✔ Chapter 8
Vier membuang tatapannya pada jam besar yang tertempel begitu anggun pada dinding putih gading ruangan wakil kepala sekolah. Lagi-lagi kali ini ia terpanggil ke ruangan wanita berusia kepala tiga itu. Entah apalah yang akan dibahasnya kali ini. Namun, kini laki-laki nilam itu harus menunggu beberapa saat. Dilihatnya Mrs. Mire tengah sibuk menandatangani berkas-berkas yang dibawa Lady Gwena beberapa saat yang lalu. Perempuan dengan rambut ikal sewarna eboni itu berdiri di samping Mrs. Mire sembari sesekali memberi penjelasan tentang berkas-berkas yang dibawanya.
"Terima kasih, Mrs." Lady Gwena menundukkan badannya memberi hormat pada Mrs. Mire. "Maaf membuat Anda menunggu." padangannya beralih pada Vier dan hanya ditanggapi anggukan kecil oleh laki-laki nilam itu.
"Maaf untuk waktumu, Vier." Mrs. Mire unjuk bicara selepas suara derit pintu tertutup berhenti bergema.
"Tak masalah," sahut Vier singkat, "apa yang akan Anda bicarakan?"
"Kau sudah tahu, bukan, tentang Lya Verin sekarang?" Vier mengangguk. "Lusa, Eldeaz Stoffen akan kemari. Ia akan membicarakan misi penyelamatan Lya yang digagas asosiasi rahasia. Kau akan ikut. Saya tahu, rencana ini amat beresiko untuk kalian, tapi tak ada cara lain. Hanya kalian para pemilik elemen dewa yang bisa merasakan keberadaan Lya."
Vier mendengarkan dengan saksama. Penjelasan Mrs. Mire tentang Eldeaz mengingatkannya pada sosok laki-laki berambut ikal itu. Laki-laki pemilik surai berwarna kadru juga manik cokelat kayu. Pemilik elemen dewa tipe bumi. Laki-laki pendiam yang menjadi target empuk Lya. Gadis itu menyukainya. Tapi, entahlah. Antara terlalu polos atau tak peduli, Eldeaz merasa biasa-biasa saja dengan tingkah laku Lya di dekatnya.
"Vier, kau mendengarkanku?" Mrs. Mire menegur Vier yang mungkin sedikit terhanyut dalam lamunannya.
"Ah, iya. Maaf." fokus Vier kembali teralihkan.
"Saya juga ingin kau memilih beberapa anggota Elite untuk membantu," tambah Mrs. Mire.
Vier menghela napas lantas menyandarkan punggungnya pada kursi yang didudukinya. Menerka-nerka siapa yang akan ia tunjuk untuk membantunya. Banyak anggota berpotensi di dalam Elite. Namun, kebanyakan dari mereka belum percaya diri dengan apa yang mereka miliki. Ada juga yang takut berkembang. Vier harus pintar-pintar memilih untuk menghindari anggota yang malah akan merepotkan di dalam misi.
Vier menegkkan duduknya kala teringat sesuatu. "Lalu, bagaimana dengan Ren?"
Mrs. Mire tersenyum, seakan sudah menunggu pertanyaan itu. "Kau tak perlu cemas tentang itu. Sementara tugasmu akan dipasrahkan pada Felix." Mrs. Mire menyerahkan lembaran biodata Felix.
Vier mengamati lembaran-lembaran biodata yang sudah beralih ke tangannya. Tercetak di sana, Felix Reio.F. Seorang laki-laki yang dituliskan merupakan anggota inti Elite dengan nilai misi rata-rata A-. Vier sedikit mendecak kala melihat potret sosok Felix dalam biodatanya. Felix yang itu, desisnya
Dining hall mulai dipadati siswa-siswi Royal High School kala itu. Ren ikut serta mengisi bakinya dengan menu makan malam seperti biasanya. Lantas, duduk santai menunggu teman semejanya usai melakukan hal yang sana. Sementara menunggu, tatapannya menengadah ke atas. Langit terlihat tanpa awan malam ini. Terbentang di atas sana langit dengan kerlipan bintang dan bulan purnama yang cahayanya menerobos kaca langit-langit dan beradu dengan cahaya lampu kristal. Ren memandanginya kagum. Menakjubkan, pikirnya.
Lamunan Ren pecah kala Rezel duduk dan meletakkan bakinya cukup keras hingga menghasilkan suara yang cukup mengagetkan gadis bersurai cokelat itu. Pandangan Ren menyisir. Ada yang kurang dari si pirang itu. Tak ada laki-laki nilam yang biasanya ada di dekatnya. Mereka itu seperti saudara kembar. Terlihat amat sulit dipisahkan. Seperti bintang dan langit, atau Romeo dan Juliet, mungkin.
"Hei, Rezel! Di mana Vier?"
Rezel menghentikan kegiatan mengunyahnya. "Dia bilang ada urusan," jawabnya dengan nada ringan.
Ren melongo. Sejak kapan Rezel setenang ini. Laki-laki bermanik zamrud itu biasanya bicara dengan nada menggebu-gebu, atau kalau tidak, menyahut dengan wajah malas, kadang kala bernada ketus, malah.
"Oh. Sejak kapan Vier sesibuk ini?" Ren malah merasa percakapan ini makin terasa canggung. Rasanya hambar bicara dengan Rezel. Seakan Ren baru saja membuat lelucon segaring kerupuk karak.
"Aku juga tidak tahu."
"Hei, apa yang kulewatkan?" Gray datang tepat waktu. Ia duduk di samping Ren dengan baki yang sudah berisi. Ia nampak tersenyum ceria. Nampak bersemangat. Seakan dirinya punya topik terbaru kisruh siswa beasiswa dan siap mengumbarnya pada Rezel.
"Tidak ada. Kami baru saja duduk," jawab Ren lekas-lekas karena Rezel terlihat makin tak acuh.
"Masih ada kursi kosong. Apa aku boleh bergabung?" tanya seorang laki-laki yang menghampiri meja mereka bertiga.
Ren mendongakkan sedikit kepalanya untuk melihat jelas laki-laki dengan badan yang cukup tinggi. Lima senti di bawah Vier, Ren rasa. Laki-laki itu memiliki surai sewarna dedaunan musim gugur yang jarang Ren temui. Manik matanya sehijau emerald. Terlihat lebih menarik dari manik mata Rezel. Tersemat pada pakaiannya sebuah name tag bertuliskan, Felix Reio.F.
"Ah, aku tak keberatan. Bagaimana dengan kalian?" Ren memendarkan padangannya pada Rezel dan Gray bergantian.
"Tidak masalah," saut Gray sembari memberikan sambutan ramah pada Felix.
Sedangkan Rezel hanya berdeham kemudiam mengangguk.
"Kau. Siapa namamu?" tanya Ren setelah laki-laki itu menyamankan duduknya di samping Rezel. Walau sudah baca name tag, tetap saja, untuk basa-basi. Ren pernah belajar pelajaran Tata Krama tentang basa-basi. Ia ingin menpraktikannya secara langsung. Siapa tahu ia dapat nilai A pada pelajaran praktik Tata Krama nantinya.
"Oh, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Felix Reio," jawab laki-laki itu diakhiri senyuman.
"Dan namaku--"
"Tidak perlu. Namamu Ren, kan. Ren Leighton," potong Felix.
"Bagaimana kau tahu?" Ren penasaran. Name tag-nya pastinya tak terbaca jelas sekarang. Pasalnya sebagian name tag-nya tertutup blazer --yang sengaja ia kenakan untuk menghindari kenakalan angin malam yang sering mengusilinya.
"Rahasia." Felix tersenyum misterius. Dalam tafsiran Ren, senyuman itu seakan berarti kepuasan Felix bisa menebak namanya, tapi untuk apa?
Laki-laki yang aneh, gumam Ren mulai curiga.
Namun, ditengah kesibukan Ren menafsirkan senyuman Felix. Tanpa disadarinya, mata Felix menajam dan beradu tatap dengan manik kelabu Gray. Seakan menatang satu sama lain dalam suatu hal yang sama.
Sebelum Itu .....
"Anda serius?"
Vier menatap lembaran kertas di tangannya tak percaya. Felix yang ia kenal. Si laki-laki dengan rambut sewarna dedaunan musim gugur itu. Orang yang hampir memenangkan gelar raja tercuek di Royal High School. Bahkan, dirinya sering tertidur saat pertemuan rutin Elite berlangsung. Namun, anehnya ia selalu dapat nilai bagus untuk setiap tugas dari Elite.
"Tentu saya serius. Ada apa, Vier?"
"Tidak. Hanya saja ... Ini Felix. Aku tak yakin ia bisa fokus dengan misi seperti ini. Felix itu ... Yeah, Anda tahu seperti apa dia." Vier mangut-mangut.
"Wah, Vier. Sepertinya kau mulai khawatir dengan Ren." Mrs. Mire terkekeh.
"Bukan begitu," sanggah Vier mulai salah tingkah. "Hanya saja ... Saya tak mau kualitas misi saya menurun."
Vier terdiam setelahnya. Sedangkan Mrs. Mire malah sibuk menata berkas-berkas di meja dengan senyuman yang belum tanggal dari bibirnya. Tak lama, suara ketukan pintu membuat fokus Vier dan Mrs. Mire teralihkan.
"Masuk." Mrs. Mire memberi jawaban tanpa bergerak seinci pun dari tempat duduknya.
Pintu terbuka. Menampilkan Felix dengan setelan seragam Elite resminya. Ia nampak menyungging senyum yang dipaksakan untuk menaati peraturan tata krama. Rambut jingga kemerahannya juga disisir rapi, anakan rambut yang terasa terlalu panjang menutupi dahi dijepitnya ke arah belakang. Yeah, penampilan paling rapi Felix.
"Akhirnya kau datang, Felix," sambut Mrs. Mire ramah seperti biasanya. Dengan senyuman yang tak tertafsirkan oleh seorang pun.
Felix mengangguk. "Yeah, walaupun misi ini sedikit konyol dan menyebalkan." ia menghela napas. "Aku menerima misi kali ini," jawabnya diakhiri dengan senyum kecut yang sarat akan keterpaksaan.
Mrs. Mire menggeleng kepalanya. "Kenapa kalian ini? Kenapa misi ini kalian anggap menyebalkan?"
"Karena sama sekali tidak menantang," jawab Vier dan Felix bersamaan.
Mrs. Mire kembali menghela napas. Mereka para anggota Elite selalu memandang segala hal dengan pandangan yang sama dengan Norm. Ia kesulitan terkadang untuk meyakinkan anggota Elite pada misi yang ia berikan. Pandangan mereka terpaku pada, bertarung adalah prioritas, dan misi jangka panjang adalah sampingan. Mrs. Mire ingin mengubahnya. Semua misi dan tugas sama pentingnya. Tak ada lagi namanya tugas yang terlalaikan. Mungkin, semua bisa terwujud jika termulai dari calon ketua seperti Vier.
Setelah diam sejenak, Mrs. Mire unjuk suara, "Aku tahu. Kalian, para Elite, lebih menyukai misi di lapangan. Namun, bagaimana pun juga, tugas ini penting."
"Selain itu semua, memangnya siapa yang mau mengawasi murid beasiswa." Felix mengendikan bahu. Ia masih berada pada ambang rela tak rela menerima tugas. Memang, seharusnya seorang Elite tak pandang bulu untuk sebuah tugas. Namun, tanpa alasan yang valid. Tidak.
Mrs. Mire kembali tersenyum. Entah sudah berapa kali ditebarnya senyuman itu. "Kau hanya belum tahu tentang Ren, Felix."
Felix mengernyit. "Tentang apa?"
"Seiring waktu kau akan mengetahuinya."
Jawaban Mrs. Mire semakin membuat Felix berlarut-larut dalam rasa penasarannya. Rahasia di balik Ren? Memangnya ada rahasia sebesar apa di balik seorang Ren Leighton. Dari luar ia terlihat polos dan terang-terangan. Bukan tipikal orang yang pintar menyembunyikan rahasia.
Ren melangkahkan kakinya menaiki anakan tangga--rutinitas yang melelahkan--seperti biasa. Ia merapatkan blazer-nya kala sepoi angin malam membuat dirinya menggigil. Ren terdiam mendengar derap langkah yang tak seirama dengan tempo kakinya. Ia sedikit melirik ke bawah. Felix. Tunggu! Apa?! Ren tertegun. Buat apa Felix naik ke lantai tiga? Tak mungkin ada yang ingin ia temui kecuali Ren di sana.
Ren mempercepat langkahnya. Tak peduli seberapa menyiksanya itu pada sendi-sendi kakinya. Dengan cekatan, gadis itu merogoh kunci yang sesekali bergemericik di dalam saku blazer-nya. Hingga gadis itu terhenti di puncak tangga. Dilihatnya lorong ke arah kamarnya terlihat gelap. Dirinya tak pernah menyadari tentang itu. Hanya ada satu lampu yang tergelantung di langit-langit yang menyala, tepatnya lampu kristal kecil yang memancarkan cahaya remang di depan pintu kamarnya. Ren meneguk ludahnya dengan susah payah. Apa salah jika phobia tempat gelapnya muncul di saat seperti ini. Setidaknya ada jarak sekitar 100 meter untuk sampai di bawah pencahayaan lampu.
Ren mengatur napas. Membuang jauh-jauh pemikiran konyolnya. Tak ada yang namanya hantu! Laki-laki pirang itu juga pernah bilang, "tak ada hantu yang akan meneror Anda." Ren masih ingat kata-kata itu di antara beberapa kata yang membuatnya tersindir. Gadis itu berjalan cepat menyisir lorong gelap tanpa mengacuhkan jarak pandang matanya di tengah kegelapan.
Hawa dingin menusuk kulit, membelai manja tengkuk Ren. Membuat bulu romanya meremang. Ia tak pernah merasa seperti ini kala menempuh perjalanan ke kamar asramanya sendiri. Sesepi apa pun itu. Apa ini karena efek Felix yang mencurigakan di belakang sana. Jarak kaki dengan pintu kamar tersisa tiga jangkah, Ren berhenti dan dengan cepat membalikkan badan ke belakang. Ia sempat terperanjat hingga hampir menjerit jika kedua tangannya tak lekas membekap mulutnya. Felix yang muncul dari balik kegelapan pun hanya melongo melihat tingkah polahnya.
"A-apa yang kaulakukan di sini?" Ren unjuk bicara. Tak tahan lagi untuk memendam rasa penasarannya yang selalu berujung pada kecemasan yang tak baik untuk psikisnya.
Felix mendengus. "Menurutmu," ujarnya, "mengikutimu? Aku bukan orang kurang kerjaan." laki-laki bersurai jingga kemerahan itu memutar bola matanya, lantas berjalan santai melewati Ren. Entah kenapa, gaya bicaranya terdengar berbeda. Ia merogoh saku celanya,mengeluarkan sebuah kunci dengan bandul kepala boneka serigala, dan memasukkannya ke dalam lubang kunci pintu bernomorkan 3.11. Tepat di samping pintu kamar Ren terpatri pada dinding berwarna krem.
"Aku baru tahu kau menempatinya." Ren bertanya canggung sembari memasukkan kuncinya. Ia merasa tak enak sudah mengira Felix yang tidak-tidak. Prasangkanya memang buruk untuk menafsirkan keadaan.
"Yeah, mudah saja. Aku masuk dan keluar lebih awal darimu."
Felix menghilang di balik pintu. Menyisakan Ren yang terbingung-bingung dengan apa yang ia katakan. Gadis bersurai kecokelatan itu menggeleng kepalanya. Melupakan hal janggal untuk kepalanya yang baru saja dikatakan Felix. Ia bersegara masuk ke dalam kamarnya dan lekas merebah.
Suasana tenang di arena latihan kala itu. Suhu normal musim panas di kota Natcattira. Menyuguhkan sepoi angin yang meluluhkan sukma. Namun, kali ini yang terasa bukan angin yang sejuk, tapi hembusan udara panas. Ren terduduk di antara deret bangku kayu di tepian arena latihan. Ia memutar pandangannya ke seluruh tanah lapang arena latihan. Tak ada sosok bersurai kebiruan itu. Gadis bermani kecokelat itu sudah nampak semangat latihan hari ini, tapi sebaliknya, sang pelatih malah belum terlihat selepas lima belas menit ini.
Ren memainkan kakinya, melenggangkannya, lantas menghentakannya bosan di atas permukaan tanah berumput. Gadis itu kembali memendarkan pandangannya. Pandangannya terhenti pada sosok yang berdiri di tengah-tengah archer zone, yang belum sempat tertangkap mata tadinya. Ren memuncingkan matanya. Menilik lebih jelas sosok laki-laki dengan postur tegap dan rambut pirang yang terurai panjang hingga menyentuh lehernya. Rezel, kalau Ren tak salah tafsir. Laki-laki itu nampak menenteng sebuah busur berwarna metal. Tergelantung selongsong kecil yang terkait pada sebuah sabuk yang melingkari pinggangnya.
Rezel nampak mengatur kefokusan matanya untuk mengambil ancang-ancang melentingkan anak panah. Ia menarik tali busurnya hingga sejajar pipinya dan bersiap.
"Rezel!"
Seruan Ren sontak membuat lentingan anak panah Rezel melenceng cukup jauh dari sasaran. Ia nampak menyumpah sebelum mengalihkan titik pandangnya pada Ren.
"Ada apa?" tanya Rezel gusar. Ia melangkah ke arah pohon dekat archer zone lantas terduduk sembari membujurkan kakinya. Ren mengikutinya. Gadis itu mendudukkan dirinya di samping Rezel yang memasang wajah agak kusut.
"Di mana Vier?" Ren bertanya terus terang. Tak peduli Rezel tambah sarkastik menjawab karena dirinya tak memakai basa-basi sebagai pancingan.
Rezel terdiam sejenak. Menerka kegiatan Vier saat ini. "Unn ... Dia sibuk," ujarnya singkat.
"Sibuk? Sampai saat ini?" tanya Ren sekali lagi. Laki-laki bermanik zamrud itu hanya berdeham. Menyimpan dalam-dalam suaranya. Ren mengernyit. "Kau kenapa, sih?"
Hening. Rezel menunjukkan sifat yang tertafsir dalam pemikiran Ren sebagai isyarat pengusiran. Ren mendengkus. Berharap pemikirannya kali ini salah. Ia terus menanti jawaban dari bibir yang termanyum milik laki-laki itu. Beberapa menit berlalu, tak ada pergerakan dari Razel. Yang Ren dengar hanyalah suara hembus angin yang sesekali mengibarkan surai pirang milik Rezel.
"Umm ... Baiklah." Ren beranjak. "Sepertinya aku mengganggumu. Aku pergi." gadis itu sempat membuang napas kecewa tatkala Rezel sama sekali tak meliriknya saat ia beranjak. Ren membalikkan tubuhnya terpaksa. Mengumpulkan kembali dendam pada Vier dan siap menyemburnya nanti malam.
"Tunggu!" suara Rezel menghentikan Ren dari umpatan dan langkahnya. "Vier menyuruhku untuk mengajarimu elemen," lanjutnya tanpa memalingkan wajah.
Ren terperangah. "Benarkah?" manik cokelatnya berbinar. Seakan sanggup menerangi jalanan gelap saat berkendara. Berbinar seperti cahaya matahari, tapi amat menyilaukan mata.
"Ya."
"Yeah, itu yang kutunggu." Ren berkata dengan antusias. Mengisyaratkan dirinya semangat untuk melanjutkan latihannya yang sempat tertunda oleh kesalahannya sendiri.
"Wah, Rezel," ujar sebuah suara membuat Ren dan Rezel berpaling. "Ini tugasku."
Felix sudah berdiri dengan atribut lengkap. Ia bahkan nampak mempersiapkan dirinya dalam balutan training outfit berwarna hitam-hijau, juga sebuah kaus tangan sewarna eboni yang hanya menutup telapak tangannya sebagai aksesoris pelengkap. Ia nampak menjepit anak rambut yang menutup dahinya ke belakang. Memamerkan dahinya yang cukup lebar itu.
"Oh, Felix," kata Rezel, "kukira kau tak datang. Bukan maksudku menyerobot, tapi kupikir kau tak bisa mengendalikan diri dalam kemalasanmu yang menjadi-jadi itu." ucapannya malah terdengar ketus dalam pendengaran Ren. Rezel menghunuskan matanya, bersiap menusuk ke arah sepasang manik yang warnanya senada dengannya.
"Hei, lancang sekali kau." Felix menggeram. Tak ingin kalah begitu saja, ia ikut menghunuskan matanya.
Ren hanya terperangah. Bertanya-tanya akan hal yang sedang terjadi. Dua orang laki-laki--dengan tingkah konyol mereka--melakukan adu tatap yang tak lekang kala mereka terus mengeluarkan sederet kata-kata dari mulut mereka.
"Hei, hei, tunggu!" Ren memisahkan keduanya. "Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" tanyanya terus terang. Bukannya mendapat jawaban, gadis itu malah mendapat sambutan pelototan dari kedua orang yang beradu tatap di depannya.
Felix membuang muka. "Terserah," katanya, "latih saja dia." ia mengibaskan jemarinya tak acuh.
"Tak bisa begitu!" celetuk Rezel dengan nada menggebu. "Kau sudah di sini, kau harus selesaikan tugasnya. Elite macam apa kau?"
"Huh, bukannya kau bilang aku tak bisa mengendalikan kemalasanku. Lebih baik aku tidur, kok, dari pada membuang tenaga sia-sia," sembur Felix lagi.
Ren terdiam. Memperhatikan mereka dalam bungkam. Perdebatan mereka tiada habisnya. Saling melemparkan celaan tanpa menyadari keadaan. Entah, Ren tak mengerti apa hal yang membuat mereka melakukan itu.
"Pokonya kerjakan saja!" tegas Rezel dengan semburat merah padam pada wajahnya. Ia marah. Setelahnya pasti menyembul sepasang tanduk di kepalanya itu, Ren kira.
"Tidak." Felix menggeretakkan giginya. Meringis tak terima sembari menampakkan sepasang taring yang tumbuh di antara gigi-giginya. "Pokoknya aku mau pergi."
"Aku juga pergi. Tapi, resiko kau tanggung!"
"Berhenti, kalian berdua!" Ren memberanikan diri menguarkan amarah yang menumpuk sejak tadi. Memberi mereka berdua hadiah masing-masing satu jitakan--yang tak pernah Ren bayangkan akan ia lakukan--setelahnya. "Aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan, tapi berhentilah!"
Felix dan Rezel reflek meringis menahan sakit di dahi mereka. Tak pernah mereka bayangkan mendapatkan jitakan dari jemari kurus Ren lebih menyakitkan dari terbentur bola basket yang dilambungkan dengan tenaga ekstra.
"Berhenti berdebat. Aku tak pernah meminta kalian melatihku. Aku tak peduli tentang apa yang kalian sepakati dengan Vier." Ren mengeluarkan uneg-unegnya. Tanpa sadar titik-titik air mata tanpa alasan berkerumun di kelopaknya. "Ukh, lupakan!"
Ren berbalik gusar. Berjalan menjauh dengan emosi meluap-luap yang belum sempat ia ungkapkan karena teralihkan oleh air mata. Sedangkan, Rezel dan Felix masih terbengong di tempat. Mempertanyakan hal yang sama, itu tadi Ren?
"Lihat! Apa yang sudah kaulakukan?!" Rezel mendecak sembari melempar tatapan menusuk pada laki-laki bersurai jingga kemerahan di depannya.
"Apa? Aku?" Felix memasang raut tak terima. "Bukannya kau yang memulainya?!"
"Ini kan tugas yang dibebankan padamu. Seharusnya kau melaksanakannya dengan benar."
Felix mendengkus. Ia memutar bola matanya culas, tak ingin mengindahkan perkataan Rezel. Lantas berujar, "Dia bukan bayi lagi. Lagi pula aku bukan pengasuh bayi." setelahnya, laki-laki bermanik zamrud itu melenggang pergi tanpa beban.
Rezel menggeleng. Menatap punggung Felix pasrah. Toh, berdebat dengannya tak guna. Dari pada itu, ia lebih memikirkan bagaimana reaksi Vier mengetahui si Cuek itu melalaikan tugasnya. Dan dengan lancang, berargumen seakan Ren bayi besar yang tak bisa apa-apa.
"Apa yang akan dikatakan Vier untuk itu," desisnya.
Ren terhenti melangkah. Menimbang-nimbang niatannya untuk pergi. Kekesalannya sempat membuatnya bingung untuk melarikan diri ke mana. Ia seakan tak peduli arah. Terus berjalan dengan rasa kesal yang berkecamuk dalam dirinya. Dan, yeah, ia bingung sekarang. Gadis itu menyisir pandangannya. Dirinya sudah ada di area Emerald Garden, taman hijau dekat Shappire Waterfall.
Ren terperangah. Ia belum pernah menjejakkan kakinya ke sana. Pasalnya, taman itu berada di ujung barat daya Royal High School. Dekat dengan arena latihan, tapi jauh dari area asrama. Kebanyakan siswa pasti sangat malas untuk sakadar berjalan-jalan melihat taman dengan nuansa hijau itu.
Ren membuang napas berat, lantas duduk di bangku kayu di bawah pohon dengan daun lebat. Air mata serasa berkerumun di pelupuk. Bagai air sungai yang hampir menghancurkan tanggul.Perasaannya berkecamuk. Antara marah dan kesal dengan semua pandangan dan perlakuan itu. Ia tak tahu, mungkin, yang dikatakan Vier itu benar. Tak da siswa beasisiwa yang bertahan. Bahakan, untuk sekadar bergaul secara normal pun amat sulit dilakukan. Seakan-akan kasta ada selubung tebal yang memisahkannya dengan yang lain. Rasanya sepi dan terisolir. Tanpa sadar setetes air mata lolos dari bendungan pelupuk Ren. Gadis itu lekas-lekas menghapusnya, tak ingin bekas basah di pipi itu mengundang air mata yang lainnya.
"Apa yang kulihat tadi itu? Ren menagis?"
Ren menengadahkan kepalanya cepat. Didapatinya Gray tengah terduduk di salah satu ranting pohon yang cukup kokoh. Ren heran, kenapa semua laki-laki di sini hobi memanjat pohon. Apakah Ren besok harus mencobanya? Pasalnya dia beridentitas laki-laki di sini.
"G-gray?"Ren menggigit bibir, lalu membuang muka. "Silahkan katakan semua cerca yang kau mau, Gray. Aku sudah tak peduli. Sepertinya, harga diriku tercipta hanya untuk diinjak-injak."
Gray tersenyum misterius. "Kenapa bilang seperti itu?"
Ren tersenyum miring. "Kenapa?" tanyanya, "sudah jelas, kan. Kau bahkan sudah ambil ancang-ancang menghinaku."
"Kau bicara apa, sih?" Gray tertawa renyah. Matanya menyipit saat bibirnya terangkat. "Buat apa aku melakukan itu, Ren?"
Angin berdesir. Menebar sejuk, menyanding senyum Gray yang menyejukkan hati Ren yang sempat memanas. Perasaan gadis itu luruh sepenuhnya. Seperti namanya. Gray seperti awan mendung--awan berwarna kelabu--yang menutup terik matahari yang tanpa ampun membakar kulit.
"J-jadi, kau ... Tak berniat ikut mencercaku?"
"Tidak." Gray kembali tersenyum. "Untuk perbincangan malam itu, maaf jika membuatmu tersinggung. Aku tak berniat demikian."
Seulas senyum mengembang begitu saja di bibir Ren. "Tidak papa," jawabnya pelan, "kurasa aku yang terlalu berlebihan."
"Ah, aku senang," ujar Gray, "ada laki-laki yang bisa berbicara normal padaku."
Gray melompat dari dahan lantas mendudukkan diri di samping Ren. Ia menutup matanya. Air mukanya berubah muram. Setahu Ren, laki-laki itu tak pernah menunjukkan ekspresi yang demikian. Ia senantiasa menebar senyum di mana pun kapan pun.
"Maksudmu apa?"
Gray tersenyum. Entah kenapa senyum itu terasa menyakitkan dalam pandangan Ren. "Aku tak mengerti apa yang salah," ujarnya, "mereka selalu bilang aku ini laki-laki tukang tebar pesona. Mereka menjauhiku. Apa yang salah?"
Ren terkesiap, lantas cepat-cepat tersenyum. Laki-laki macam apa yang tak peka terhadap pandangan orang sekitar. Ah, Ren, kan, perempuan. Mungkin, dia yang terlalu peka. Apa lagi laki-laki biasanya jarang menggunakan perasaan dalam segala hal. "Meraka hanya iri, Gray," tanggap Ren masih dengan senyumnya.
Gray mengernyit. "Kenapa?"
"Yeah, wajar saja. Kau ini populer dikalangan perempuan. Laki-laki mana yang tak iri padamu." Ren mendikkan bahu. Lantas menatap kembali Gray yang terbengong di tempatnya.
"Kau," jawab Gray sambil menuding Ren dengan telunjuknya.
Ren kembali terkesiap. "Haha ... Aku tak tertarik dengan hal begituan." Ren menggaruk tengkuknya, sembari tertawa canggung.
"Jadi, umm ..., Ren."
"Ya."
"Kau mau berteman." Gray mengulurkan tangannya ke depan. Tatapannya penuh simpati. Berharap Ren akan menerimanya.
"Tentu." Ren membalas uluran tangan Gray. Sebagai tanda dirinya mengakui Gray sebagai temannya. Akan tumbuh menjadi sepasang sahabat, mungkin. Setidaknya Gray adalah laki-laki yang normal. Bukan si dingin dan labil, Vier. Bukan tempramen dan tukang sembur, Rezel. Bukan juga si cuek, Felix. Ini Gray, Gray Fionelyst. Laki-laki ternomal yang pernah ia temui di Royal High School.
Lampu kristal di tengah ruangan berpendar. Memberikan sorot kehangatan pada malam mendung kala itu. Vier menyapukan pandangannya. Dilihatnya Rezel sudah duduk tenang menyantap makan malamnya. Di sebelahnya, Felix juga nampak menikmati santap malamnya. Tanpa ada kontak di antara mereka. Seakan tali-tali hubungan mereka terpotong sudah agak lama.
"Rezel," panggilnya, "mana Ren?" Vier terduduk. Maniknya tak berpaling dari sosok Rezel yang makan dengan santainya tanpa memerhatikan orang-orang sekitar.
Rezel mendongak. "Tanyakan saja pada orang yang mengawalnya," jawabnya ketus.
Mata Vier beralih pada Felix. "Felix?"
Felix mengangkat wajahnya, lantas menumpu dagu. "Dari pada melotot ke arahku begitu. Lebih baik kau introspeksi sahabatmu yang satu ini." Felix melirikkan matanya pada Rezel. "Dia yang memulainya," tegasnya.
Vier mendecak. "Aku baru meninggalkan kalian beberapa jam--" amarah yang akan diluapkan Vier tertahan. Dikarenakan Gray muncul bersama dengan Ren yang menunjukkan raut kusut.
"Apa kami ketinggalan sesuatu?" Gray bertanya, tapi tak diindahkan oleh mereka bertiga. Ia tersenyum kecut, merasakan atmosfer tak bersahabat di sini.
Jeda beberapa saat dalam kesunyian membuat Vier tak tahan lagi untuk berbicara. "Kau kenapa, Ren?"
Tak ada tanggapan. Ren membungkam mulutnya. Manik cokelatnya menatap tanpa minat ke arah baki yang berisi santap malamnya. Rasa laparnya terkalahkan oleh ketidaknafsuaannya malam ini. Entahlah. Rasanya ini sekali mengeluarkan semua murkanya--mengadukan semua pada Vier--di depan dua orang yang menjadi asal muasal rasa kesalnya.
Seperempat jam terlewati tanpa kesan. Tanpa percakapan. Tak ada yang terdengan kecuali denting alat makan mereka. Ren tetap mengunci mulutnya. Mengesampingkan Vier yang sedari tadi menatapnya tajam. Menuntutnya untuk memberikan sebuah jawaban.
Ren menuntaskan santap malamnya. Bakinya sudah kosong. Tak ada lagi alasan untuk tetap berada di sana. Kecuali dirinya masih ingin menikmati tatapan menusuk Vier. Ren hendak beranjak. Namun, Vier dengan cepat mencengkeran lengannya, membawanya pergi entah ke mana.
"Vier lepaskan!"
Terjadi lagi. Seperti ini lagi. Vier menunjukian raut itu lagi. Ren benar-benar muak. Berulang mendapat tarikan kasar Vier yang membuat pergelangan tangannya memerah. Namun, setiap kali berontak, laki-laki itu malah semakin mengeratkan cengkeramannya.
"Vier!" seru Ren sekali lagi. "Kau mendengarkanku?! Lepaskan!"
Gadis itu menyentak kasar tangan Vier hingga terlepas. Manik cokelatnya menatap bengis, menusuk lurus ke arah manik biru yang selalu tertutup dengan kebekuan itu. Tajam dan dingin.
"Berhenti menarikku!"
"Aku tak akan berhenti sebelum kau berhenti melakukannya!"
Dahi Ren mengernyit dalam. Namun, maniknya masih belum berhenti menjam. "Melakukan apa?!" sautnya ketus. Ia kalap. Tak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini. Marah, takut, sedih, atau merasa terhina dengan dunia ini.
"Berhenti kekanakan, Ren!" gertak Vier cukup keras. Hawa dingin masih menyeruak dari dalam dirinya saat dirinya marah. Bahkan, mata itu terlihat dua kali lebih dingin dan tajam dari bilah-bilah es. "Bersikap seolah aku melakukan hal yang jahat padamu. Sebebarnya apa yang kau pikirkan?!"
Ren terdiam. Memikir ulang hal yang membuatnya marah malam ini. Tak ada alasan untuk marah pada Vier. Ia hanya ingin mengadukan keluh kesahnya. Terasa amat teremeh dan menjadi suatu hal yang terinjak di tempat ini. Tapi, apakah laki-laki yang berdiri di depannya akan mengerti--tentang semua pemikiran rumit seorang perempuan--hal yang membuatnya jatuh bangun menghadapi semuanya. Ren tersenyum miris. Apa yang ia pikirkan? Tak berguna!
"Kau bodoh, Ren."
Ren mengangkat dagunya. Menilisik raut dingin Vier. Tatapannya sama sekali tak terbilang ramah. Menyiratkan dirinya yang benar-benar marah.
"Kau terus menunjukkan sifat cengeng dan lembek itu," katanya, "sapai kapan kau menunjukkan sifat perempuanmu itu?"
Ren melotot. "Sampai kalian semua berhenti mencercaku dengan ungkapan itu!"
Ren terperanjat kala Vier sudah tak ada di depan matanya lagi. Ia memutar pandangannya gusar. Dengan emosi meledak-ledak, pandangan matanya liar menelisir sisi lorong yang hanya diterangi bohlam-bohlam kecil dengan cahaya temaram.
Gadis itu terhenti. Merasakan sepasang tangan menekan bahunya. Tubuhnya terasa kaku saat itu juga. Tak ada yang bisa ia gerakkan. Hanya kedipan mata juga sekadar membuka mulut untuk bicara. "Kuncian elemen," desisnya.
"Bukannya ..." suara Vier terdengar dekat dari telinga. Menyentak Ren dari lamunan yang terjadi antar jeda keheningan. "Bukannya kau memang perempuan."
Ren terhenyak. Ia ingin cepat-cepat berbalik untuk bertatapan langsung dengan Vier. Namun, ikatan elemennya terlalu kuat. Ren belum pernah mempelajari teknik pematahan ikatan, ralat, ia belum belajar apa-apa tentang elemen.
"B-agaimana kau tahu." Ren menyerah. Tak ada yang bisa dilakukan selain mengikuti apa yang Vier ingin lakukan.
Ren tak bisa melihat Vier, tapi ia merasa Vier tengah tersenyum misterius di belakang sana. Bulu romanya meremang merasakan aura dingin yang timbul dari sana.
"Huh, kau tahu, Ren," kata Vier, "aku tak percaya akan mengatakan ini. Tapi, yeah, kurasa aku sudah tahu beberapa hal tentangmu."
"Aku tak menanyakan tentang itu."
Vier terkekeh pelan. "Hanya satu kata untuk menjawabnya." ia melanjutkan sembari mendekatkan bibirnya ke telinga Ren. "Rahasia."
Gigi Ren bergemeletuk. Tak tahan lagi dengan ritme bicara Vier yang lamban. Cara bicaranya itu membuatnya kesal. Setelah beberapa detik terdiam, cengkeraman di bahu Ren terasa merenggang. Gadis itu cepat-cepat membalikkan badanyanya. Namun, kembali ia dibuat terhenyak. Tak ada sosok Vier di sana. Yang tinggal hanyalah sebuah kekosongan. Hembus angin dingin yang sunyi.
"Vier ..."
[TELAH DIREVISI]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro