✔Chapter 6
Malam itu di koridor asrama kelas satu Royal High School. Vier terlihat tenang membaca sebuah buku tanpa mendudukan dirinya di atas bangku. Ia hanya berdiri menyandarkan punggungnya pada dinding. Ia nampak menikmati kelenggangan koridor saat itu. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, tapi laki-laki itu belum berniat kembali ke kamarnya. Ia tadinya kembali dibuat kesal oleh Rezel, si mulut singa itu. Ia kembali mengoceh tentang hal yang benar-benar tak dimengerti okeh laki-laki nilam itu.
"Vier." panggilan halus itu membuat Vier menghentikan kegiatan membacanya. Tanpa menoleh pun Vier tahu siapa pemilik suara itu. Mrs. Mire. Namun, demi menaati peraturan tata krama, Vier langsung menghentikan kegiatan santainya itu.
Mrs. Mire sudah berdiri dengan raut agak datar di sana. Senyumnya tak tergambar jelas di bibir merah mudanya. Dalam penafsiran Vier, Mrs. Mire tengah memikirkan sesuatu. Tak ada yang janggal jika wakil kepala sekolah seperti Mrs. Mire banyak pikiran, tapi rasa-rasanya pikirannya kali ini agak berbeda. Ada yang menganggunya, Vier kira.
"Bisakah kau ke ruanganku sekarang? Ada yang ingin kubicarakan padamu," lanjut Mrs. Mire yang hanya ditanggapi anggukan kecil oleh Vier.
Vier mengikuti Mrs. Mire dari belakang. Jujur saja, ia dibuat amat penasaran dengan 'hal' yang akan dibicarakan Mrs. Mire. Apa yang membuatnya begitu resah?
Selepas sampai di ruangannya, Mrs. Mire memberikan isyarat pada Vier untuk duduk.
"Apa yang anda akan bicaraka?" tanya Vier langsung. Karena ia tahu, Mrs. Mire selalu menjeda atau menyela perbincangan utama untuk sekadar basa-basi.
"Saya ingin kau lebih waspada, Vier." Mrs. Mire menjeda. Vier yang mendengarkan pun mengernyit. Ia selalu waspada, kan? "Saya mendapat informasi dari asosiasi rahasia yang melindungi pemilik elemen dewa tipe alam, bahwa Lya Verrin diculik." Vier tersentak. Perempuan bermanik emerald itu. Diculik?
"Anda serius?"
Vier hampir-hampir tak percaya pada apa yang dikatakan Mrs. Mire. Ia tahu betul keamanan Lya benar-benar ketat. Ia selalu diikuti lebih dari sepuluh pengawal saat ia pergi. Terlebih, Lya bukanlah perempuan yang bisa diremehkan. Vier bahkan kalah bertarung dengan perempuan yang usianya terpaut dua tahun di atasnya itu dalam pertarungan pengenalan. Yeah, itu pertama dan terakhir kalinya ia bertemu dengan Lya.
"Yeah, belum genap tiga hari ini saya mendapat informsi. Ada penyerangan bangsa dark di Kota Leafana. Dan mereka menculik Lya. Belum diketahui siapa dan apa motif dari penculikan ini. Namun, organisasi dark yang berhubungan baik dengan bangsa light menyatakan penculikan itu ilegal, dan mereka tidak bertanggungjawab atas insiden itu."
Vier bergeming. Mencerna informasi yang di sampaikan Mrs. Mire. Ia tak habis pikir, perjanjian damai antarbangsa lima puluh tahun lalu seperti tak ada artinya. Masih banyak pemberontakan demi pemberontakan yang bertujuan untuk meruntuhkan perjanjian sakral itu.
"Dan saya juga tak tahu, mereka akan mengincar pemilik elemen dewa yang lain atau tidak." Mrs. Mire kembali menjeda. "Saya hanya berharap kau lebih menajamkan inderamu."
"Yeah, bukankah saya tak pernah lengah?"
"Ya. Saya tahu itu." Mrs. Mire berdiri dari kursinya lantas berjalan perlahan ke arah kaca jendela besar yang belum terbalut gorden. "Akhir-akhir ini saya merasakan sesuatu yang membuat saya resah." pandangan Mrs. Mire menerawang ke balik jendela.
"Apa itu tentang Gray?" Vier menyela.
Mrs. Mire mengangguk samar. "Ya. Siswa baru itu. Kurasa dia bisa sedikit dicurigai. Kita tak tahu dia berasal dari keluarga Fionelyst yang mana. Kita juga tak tahu siapa yang menjadi sasarannya." Mrs. Mire berbalik menghadap Vier. "Apa ... Apa kau bisa melindungi dirimu sendiri dan Ren sekaligus darinya, sementara penyelidikan akan berlangsung?"
"Ya. Ini memang tugas saya. Anda bisa mengandalkan saya."
Kini senyuman terulas di bibir Mrs. Mire. Walau samar, tetap saja itu sebuah seyuman. "Aku mengandalkanmu, Vier."
Tedengar suara bising didalam kelas X Class F siang itu. Bel tanda istirahat pertama sudah berdering lima menit lalu. Kebanyakan siswi berbondong-bondong mengerumuni Gray. Tak tahu apa yang mereka harapkan dari aksi mereka itu. Jelas saja laki-laki bermanik abu itu hanya tersenyum dan sesekali menjawab canggung sekadar membalas lontaran-lontaran pertanyaan yang berhambur tanpa memerhatikan tatapan penuh harap para gadis-gadis itu.
"Dasar, cewek-cewek alay. Cuma anak baru saja dikerumuni. Menarik juga tidak," dengus Rezel yang kebetulan sedang ada di kelas untuk mencari Vier seperti biasa. Ia merasa terusik dengan suasana kelas yang tak seperti biasa. Semua orang juga tahu suasana kelas F memang selalu gaduh, tapi kali ini benar-benar keterlaluan. Sampai-sampai kegaduhan itu mengusik orang terheboh seperti Rezel.
"Bilang saja kau iri. Setiap hari kaukemari tak ada yang peduli," balas Cindy sinis. Ia memang terkenal nyolot, sih. Rezel pikir, ia juga tertarik pada Gray, hingga tak rela laki-laki itu digunjing.
"Aku tak peduli. Lagi pula, aku sama sekali tak tertarik dengan orang-orang tak berkelas seperti kalian," balas Rezel ketus.
Cindy termanyum. Merasa terhina dengan celotehan anak kelas E itu. Orang yang terpaut satu tingkatan kelas darinya. "Terserah. Kenapa juga kaukemari kalau kau tak suka dengan penghuninya," saut Cindy tak mau kalah.
"Heh, kau pikir aku kemari untuk melihat kalian? Jangan berharap." Cindy mendengus kesal mendengar jawaban Rezel.
"Sudahlah, Rezel. Jangan buat kelas ini tambah ramai," sela Vier dingin. Ia lebih terusik dengan suasana kelas seperti ini. Gaduh dan pengap. Itu tak sekelas dengan Vier yang suka dengan ketenangan.
"Huh, baiklah." Rezel mencibir. "Dasar mak lampir alay!"
Mendengar ketusan Rezel wajah Cindy terlihat memerah seakan ada tanduk yang baru saja bertumbuh di kepalanya, ia terlihat marah. Tak lama, ia berlalu pergi karena tak tahan lagi dengan ocehan Rezel. Yeah, siapa pun tak akan tahan, sih.
"Hei, Ren. Apa kau tak iri melihat Gray dikerumuni perempuan? Padahal kau dulu saat pertama masuk tak ada yang peduli." tanya Rezel ganti sasaran.
"Buat apa? Aku juga tak peduli mereka mau melakukan apa," jawab Ren tanpa memalingkan wajahnya dari buku bacannya. Ia sempat tersenyum kecut, merasa tertohok dengan komentar Rezel.
"Mungkin karena Ren tidak layak disebut laki-laki yang bisa melindungi mereka," saut Giren yang sudah berdiri di samping Ren dengan membawa tumpukan buku yang cukup tinggi. Ren heran, apa laki-laki itu ta keberatan membawa buku sebanyak itu. "Ah, sudah lupakan! Sebaiknya kau kembalikan buku-buku ini. Kau piket, kan, hari ini?" Giren menaruh tumpukan buku-buku yang bisa dibilang cukup tebal itu di atas meja Ren. Ada sekitar dua puluh enam buku dan setiap bukunya tak kurang terdiri dari 500 lembar. Wow!
"Eh, s-sebanyak ini? Kenapa kau tak menyuruh petugas piket hari ini untuk membantuku?" Ren melirik tumpukan buku tebal itu dengan wajah memelas. Ia tak akan sanggup, ia tahu itu.
"Uhm ..." Giren melirik perempuan yang tengah mengerumuni Gray. Beberapa dari mereka pasti piket hari ini. "Huh, sepertinya mereka terlalu sibuk." Giren berjalan menuju tempat duduknya santai. Seakan tak peduli dengan apa yang dilakukan Ren selanjutnya. Padahal hari ini laki-laki itu jatah piket. Dasar!
"Pertanyaannya adalah bagaimana caraku membawa buku sebanyak ini?" Ren terlihat pasrah. Membawa 5 buku dengan tebal sepadan saja membuat lengannya mati rasa, apalagi buku sebanyak itu.
"Mungkin kau harus pakai troli belanjaan, atau mungkin alat berat," canda Rezel sembari terkekeh.
"Hnn ... Atau mungkin kau untuk membantuku." Ren melirik kearah Rezel dengan tatapan butuh bantuan.
"No. Maaf ya, tapi aku bukan anggota kelas ini. Itu-bukan-tanggung-jawabku," kata Rezel dengan nada angkuh dengan menebalkan pengucapan klausa terakhir.
"Kukira kau menawarkan bantuan dengan mengatakan itu," cibir Ren dengan nada agak terdengar ketus.
"Hei, kau ini terlalu polos, nggak peka, atau bego sih?" gertak Rezel sebal.
"Mungkin bahasa kau yang berbelit-belit!" sentak Ren tak mau kalah.
"Dasar lola!"
"Eh?" Ren terkejut melihat Vier sudah mengangkat lebih dari setengah tumpukan buku-buku tebal itu.
"Daripada kalian debat, cepat kembalikan buku-buku ini, Ren," kata Vier dengan mode dinginnya. Ren rasa, emosinya sedang normal-normal saja hari ini. Atau mungkin, sedikit bergeser lima sampai sepuluh derajat.
"Aku setuju. Lagi pula, tenggorokanku sudah kering. Aku butuh istirahat," saut Rezel seraya memegang lehernya.
Ren mengangguk, lantas beranjak dari tempat duduknya dan mengangkat buku-buku yang masih tersisa. Berat, sih. Apa boleh buat?
"Yeah, biasanya orang bego kebanyakan bicara," cibir Ren sembari terkikik saat melewati Rezel.
"Woi, aku nggak bego!" seru Rezel tak terpedulikan oleh Ren.
Ren mengikuti langkah Vier dari belakang. Buku-buku itu cukup membuat lengan Ren ngilu. Sesekali ia menghela napas karena beban di lengannya benar-benar keterlaluan.
"Kau terlihat buruk," ujar Vier memecah keheninganyang sempat berlangsung.
"Hei! Aku kuat mengangkatnya!" jawab Ren mengerti apa yang dimaksud Vier dengan terlihat buruk.
"Yang benar saja." Vier melirik Ren sembari tertawa kecil.
"Jangan menghinaku! Kau mau ikut-ikutan menghinaku? Silahkan! Aku tak akan menghiraukannya."
"Kurasa aku tak punya waktu untuk melakukannya," jawab Vier santai.
Ren terdiam. Mencerna betul kata-kata Vier. Apa dia bilang tadi? Apa penafsiran Ren tak salah jika ia mengartikan kata-kata Vier secara harfiah?
Tak lama, seulas senyum samar tersungging pada bibir Ren. Dendam kesumatnya mungkin hilang sekarang, sampai ... Vier kembali membuat Ren kesal.
Lampu di tengah dinner hall berpendar. Kristal-kristal kecil yang tergelantung di sana memantulkan kilauan cahaya yang menurut Ren indah. Tak ada lampu sebesar itu di pantai asuhan.
"Kau tahu, dia benar-benar mengumbar fitnah kejam itu."
Rezel masih asyik bercerita di tengah kegiatan santap malamnya. Dan Vier ... Yeah, dia hanya menanggapi Rezel dengan jawaban tanpa rasa antusias sedikit pun. Kini, mereka tampak tak keberatan dengan kehadiran Ren di meja mereka. Bahkan, terkadang Ren merasa amat tak dipedulikan.
"Permisi." seseorang membuat tiga insan itu terfokus padanya. Gray. Dia berdiri sembari membawa nampan makan malamnya. "Apa kalian tidak keberatan aku duduk di sana?" lanjutnya diakhiri senyuman.
"Hnn ... Ya," saut Rezel malas-malasan. Ia tak suka jika ceritanya di sela, tapi sebaliknya ia suka menyela. Dasar.
"Maaf. Lanjutkan saja perbincangan kalian. Jangan pedulikan aku." ujar Gray disela senyum canggungnya.
"Oke ..." Rezel menjeda, "Sampai mana kita tadi?"
"Sampai kau bercerita tentang siswa beasiswa di sekolah ini yang selalu berakhir sama. Dimakan oleh dendam dan menjadi daftar anak paling hina yang tak terlupakan," saut Ren ketus.
"Itu memang benar, kok."
"Eh, jadi gosip itu benar, ya?" tanya Gray mengalihkan fokus Rezel. "Kudengar mereka sering kisruh karena merasa tak punya tempat di sini."
"Yeah, begitulah. Maka dari itu kau harus hati-hati dengan murid beasiswa." laki-laki bersurai pirang itu makin semangat saja membahas tentang problematika anak beasiswa yang sering terjadi setiap tahunnya. Rupanya, Gray pun juga tahu tentang masalah itu. Membuat Rezel makin antusias.
"Kau menyindirku, ya!?" Ren mulai terusik. Ia menggebrak meja dengan emosi bergejolak. Ia tak tahu, kenapa orang-oeang terus membicarakan tentang tempat untuk siswa beasiswa di sekolah bangsawan elit itu. Memangnya salah jika ia di sana?
"Aku hanya memperingatkanmu untuk tidak berbuat yang aneh-aneh!" gertak Rezel, "tak ada lagi teror, pembunuhan, perusakan, juga kegaduhan yang dibuat siswa beasiswa atas dasar balas dendam! Aku sampai heran, kenapa sekolah ini masih menerima siswa beasiswa."
Sesak rasanya mendengar pernyataan Rezel. Sehina itukah para siswa beasiswa. Tak terasa, titik-titik bening mulai berkerumun di sudut mata Ren. Ia tak pernah merasa seperti ini. Merasa amat tak punya nama, kedudukan, atau pun tempat. Apa nantinya keyakinannya tentang kasta tak menentukan segalanya juga akan runtuh.
"Aku ..." Ren ingin meluapkan kemarahannya. Namun, sesak yang mengimpit paru-patunya membuatnya tak mampu mengutarakannya. "Cih!"
Ren pergi dengan perasaan gusar. Cukup sudah! Ia tak tahan lagi dengan semua ini. Ia berekspektasi terlalu tinggi, mungkin. Awalnya, ia mengira bahwa menjadi murid beasiswa benar-benar menyenangkan. Dikagumi karena prestasi, menjadi ketua klub belajar, bergabung dengan klub perpustakaan, dan hal menyenangkan yang bisa di dapat pada sekolah pada umumnya. Namun, ia terlalu jauh terbang, hingga tak sadar sarangnya ada di bawah tanah.
Vier ikut beranjak. Namun, tangan Rezel menggapai lengannya.
"Mau kemana?" tanya Rezel yang terlihat mati-matian menahan emosi.
"Pergi sebentar," jawab Vier datar.
Vier mempecepat langkahnya, mengejar Ren yang pergi dengan letupan emosi yang tertahan. Dengan perasaan seperti itu, gadis itu tak akan memilih tempat yang benar untuk meluapkan perasaannya. Dia itu bodoh.
"Ren!"
Vier melesat cepat menarik tangan Ren, membuat gadis bermanik cokelat itu terhenti. Vier menatapnya lamat. Manik safirnya makin terlihat menusuk kala melihat mata Ren yang sudah sembab.
"A-apa?" Ren tergagap. Kulit Vier terasa dingin ketika bersinggungan dengannya. "Lepaskan!" ia menyentak kasar tangan Vier. Tatapannya berubah nyalang.
"Kau ini kenapa?"
"Kenapa katamu!?" gertak Ren ketus. Sorot matanya yang sarat akan kemurkaan menatap Vier dengan tatapan menggeretak.
"Kau sudah biasa melihat Rezel seperti itu. Seharusnya kau tak meladeninya," ujar Vier dengan nada, tatapan, dan gaya bicara yang tak berubah.
"Biasa?" Ren mulai terlihat kalap. "Apanya yang biasa?! Dia terus mengatai anak beasiswa itu hina, seakan ia menuduhku akan segera melakukan ha-hal keji itu." amarahnya tak bisa terbendung lagi, terus terluap dengan perantara perkataan yang meledak-ledak.
"Masalah untuk seorang Ren Leighton?" tanya Vier remeh. Tatapan sinisnya otu kembali membuat Ren tertohok. Oke, ini hebat. Ren kembali membuat emosinya berganti.
"Memangnya kenapa kalau aku Ren Leighton!?"
"Bukannya seseorang yang sudah rerbiasa dengan cobaan akan lebih mudah menghadapi cobaan apa pun itu?" dahi Vier mengernyit dalam, tapi tatapan sinisnya belum tanggal.
"Oh. Jadi, kau mengatai hidupku penuh masalah, begitu?"
Vier yang salah bicara atau masalah ini yang tak mungkin usai. Rasa-rasanya masalah ini makin kalut saja. Dan apa? Mereka berdua malah beradu tatapan tanpa berkata apa-apa.
"Cih, aku bilang terbiasa bukan penuh masalah!" sanggah Vier beberapa saat kemudian.
"Sama saja." gigi Ren bergemeletukm semua ini tak ada gunanya! "Aku tak peduli apa pendapatmu! Katakan saja pada temanmu itu utuk berhenti mengataiku atau aku benar-benar melakukan hal yang kalian sebut-sebut hina itu!"
Ren berbalik lantas bergegas dengan emosi yang sudah meletup-letup. Laki-laki itu sama sekali tak membantu. Malahan membuat dendam kesumatnya muncul lagi.
"Oh, okey ..." Vier bergumam. "Itu alasan aku tak suka bicara dengan perempuan." setelahnya ia tersenyum kecut. "Aku salah bicara lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro