Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 31

"Bilamana kau tahu perasaan seseorang yang tak tulus padamu, apa yang kau lakukan untuk mengubahnya?"

→◈←

"Ren ... Bangun! Hei, Ren!" Vier mengguncang pelan tubuh Ren yang masih terlelap.

"Vier ... Berhenti mengguncang tubuhku." Ren menaikkan selimutnya hingga menutup wajah. "Jangan ganggu. Aku ingin tidur," lanjutnya dengan suara yang hampir mustahil di mengerti.

"Hei, hei!" Vier menarik paksa selimut Ren hingga tubuh gadis itu tak tertutup selimut sedikit pun. "Menurutmu kau bisa bersantai hari ini? Oh, tidak bisa Nona Pemalas."

"Ugh ... Apa lagi, sih, Vier?!" geram Ren gusar. Ia menahan rasa kantuknya yang masih terus menggerogoti kesadarannya. Rasanya sangat berat untuk sekadar membuka matanya di hadapan Vier.

"Bangun! Mandi, dan cepat bersiap  untuk kelasmu pagi ini!" Vier menghunus tajam Ren dengan manik nilamnya.

Ren bungkam sejenak. Otaknya mencoba menafsirkan kata-kata yang disampaikan Vier.

"T-tunggu! Kelas?" Ren langsung membulatkan mata. Rasa kantuk yang sedari tadi menggelayuti kelopak matanya enyah entah kemana.

Vier mengangguk mantap. Dilihat dari lagatnya, pagi ini emosi Vier nampak stabil. Tatapan matanya yang tajam seperti biasa, senyum simetri di bibirnya, dan wajah yang terlihat tak terlihat kusut. Seratus persen normal!

"Cepat bersihkan dirimu. Seragamu di atas nakas," ujar Vier singkat lalu berbalik meninggalkan Ren yang masih berantakan.

"M-au kemana kau?"

"Ke kamar Rezel sebentar. Jika kau membutuhkanku, kau bisa langsung ke sana. Kamarnya tak jauh, kok, hanya terbatasi tembok ini saja," jawab Vier sembari menunjuk tembok sisi ruangan.

Vier menghilang di balik pintu. Berlalu dari pandangan buram Ren.

"Hoam ... Aku masih mengantuk."

Ren memaksakan kaki telanjangnya menepak pada pualam dingin kamar Vier. Mengarahkan dirinya menuju kamar mandi.

Air dingin mengalir lancar melalui celah keran di wastafel. Ren membasuh wajahnya, membiarkan air dingin membasahi area wajahnya. Mengusir kantuk yang membuat matanya serasa berat untuk terbuka.

"Huuh, airnya lebih dingin dari es musim dingin." Ren menatap wajahnya lamat melalui pantulan cermin. "Eh, tunggu. Aku tak ingat aku pernah merasakan musim dingin."

Gadis itu menepuk-nepuk wajahnya, memainkan kelopak matanya, lalu meniup umbai-umbai rambutnya. Konyol, memang. Namun, gadis itu sama sekali tak peduli, bahkan jika pun ada cctv tepat di depannya dia tak akan peduli.

Ren menekan pipinya yang ia rasa semakin kendur, atau dirinya yang semakin gemuk, tapi bisa saja karena atmosfer dark zone (?) ah, sejak kapan seorang Ren Leighton memperhatikan tentang hal yang menyangkut penampilan. Sekali lagi, gadis bersurai cokelat itu kembali menampung air dengan ke dua telapak tangannya lantas meraupkannya pada wajah.

Terhenti. Ren menghentikan aktivitasnya yang bisa dibilang mubazir waktu. Matanya menyipit, memperhatikan dengan seksama sebuah tanda seukuran mata koin di dahinya. Tanda itu cukup membuat Ren terperanjak. Sejak kapan?

Ren menutup sembarang pintu kamar Vier. Mungkin bisa dibilang membanting pintu kamar Vier. Ia berlari tergesa ke kamar sebelah, seperti yang Vier katakan. Gadis itu seperti baru saja kesetanan setelah melihat apa yang terpatri di dahinya. Setidaknya ia tahu kode kamar Vier, jika tidak ia pasti gelimpangan di lantai karena tak sabaran.

"Vier, buka! Buka! Vier!" jerit Ren sembari menggebrak-gebrak pintu kamar Rezel.

Ia nampak tak peduli dengan penampilannya yang tidak bisa dibilang rapi itu. Tubuhnya yang nampak masih terbalut piama satin berwarna krem, dan rambut panjangnya yang tergerai berantakan, ditambah lagi kakinya yang telanjang tanpa alas.

Sampai dua orang laki-laki lewat di lorong tempat Ren berteriak sembari menggedor pintu kayu berukir ivy.

"Perempun itu gila. Bagaimana dia sampai ke sini?" bisik laki-laki pertama pada laki-laki ke dua.

Dan kebetulan pendengaran Ren sedang peka. Reflek Ren menghentikan kegiatannya. Ah, mungkin ini namanya sadar diri kembali.

"Entahlah. Dia menyebut-nyebut nama Vier. Mungkin saudara Vier yang sedang sakit jiwa," balas laki-laki ke dua setengah berbisik.

Mendengar kata sakit jiwa membuat Ren seakan ditusuk dengan ribuan panah. Wajahnya merah padam, urat-urat malunya sedang aktif berlebihan bercampur dengan rasa kesalnya yang tak kunjung padam.

Awas kau, Vier! Pokoknya kau yang membuatku begini.

Terlampau sibuk menyumpah serapahi Vier, pintu tebuka tiba-tiba dengan posisi Ren yang tak bisa dibilang siap. Gadis itu masih menempelkan dahinya di pintu saat pintu berwarna kecokelatan itu terbuka.

Bruk. Ren mendarat pada sesuatu yang tak bisa di bilang empuk atau pun keras. Ia terjatuh di atas seseorang, atau lebih tepatnya seorang laki-laki. Ren menutup matanya rapat-rapat. Berharap yang ia timpa bukanlah si cerewet Rezel. Tapi dari aroma khas tubuhnya, dia ...

"Ren, sampai kapan kau seperti itu. Posisiku benar-benar tak bisa dibilang nyaman saat ini." Vier mencoba mendorong tubuh Ren untuk menyingkir.

"Hei, apa-apaan kalian ini. Pagi-pagi sudah ..." Rezel menggelengkan kepalanya sembari bersidekap.

"Jangan sembarangan," geram Vier. Ia mengambil posisi beranjak dari posisi terduduknya--membiarkan Ren yang masih bersimpuh. "Apa hal kau teriak-teriak? Bukankah aku menyuruhmu mandi?" manik Vier menyisir penampilan Ren yang masih tetap.

Ren mengambil reflek cepat untuk berdiri. Manik emasnya menghunus tajam Vier, seakan siap akan menerkam laki-laki itu.

"Apa?" tanya Vier dengan wajah datar, lempeng, polos tanpa ekspresi. Apa ini yang dinamakan kembali bipolar?

"Apanya yang apa? Ini apa?!" Ren menyibak umbai rambutnya yang menutup dahinya, menunjukkan sebuah simbol phoenix pada laki-laki di hadapannya.

"Oh." dengan santainya Vier hanya ber-oh ria, menghiraukan Ren yang sudah tak lagi sabar mendengar jawaban darinya.

Wajah Ren merah padam. Sepertinya perempatan siku sudah terbentuk di dahinya. Ia semakin dibuat kesal dengan sifat acuh tak acuh Vier yang membahana. Apa bipolar-nya sedang kambuh sekarang?

"Eits ... Kauserius melakukannya, Vier?" Rezel menunjuk-nunjuk dahi Ren dengan telunjuknya. Mata zamrudnya menatap curiga ke arah Vier.

"Apa? Itu hanya tanda bodoh yang sedikit membuatnya ..." Vier berbicara sembari sedikit menyipitkan matanya ke arah Ren yang membatu. "Sedikit kelihatan bodoh."

Jleb. Rasanya Ren baru saja dihujami belati yang entah dari mana datangnya. Rezel yang mendengar pernyataan Vier terbahak. Laki-laki pirang itu malah makin keras tertawa saat Ren menatap nyalang ke arah dirinya.

Marah. Nampak kentara sekali di wajah Ren. Menghadapi Vier yang bipolar membuatnya seperti dijatuhi batu meteor, ditambah cibiran Rezel membuatnya seperti kejatuhan meteor berapi dan setelah itu mayatnya diinjak-injak. Ah, apa itu terdengar terlalu hiperbol?

"Terserah."

Ren membanting kuat-kuat pintu kamar Rezel. Sejenak ia bersandar di pintu sembari mengigit pelan bibirnya. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia berusaha agar air matanya tak keluar lagi. Tak ada lagi yang namanya air mata!

Bukannya mendapat jawaban dari pertanyaannya, ia malah kembali mendapat sifat tak acuh Vier dan cibiran Rezel. Apa dunia ini kembali normal lagi? Seperti inikah Royal High School yang terasa membosankan dengan hadirnya para pangeran-pangeran mengesalkan.

"Apa yang kau lakukan? Aku tak pernah melihatmu menggunakan simbol milik. Dan terlebih lagi ... Menggunakannya pada Ren. Apa itu tak terlalu berlebihan?" Rezel menelisik wajah datar Vier. Ia merasa ada yang tak normal di sini. 

"Memangnya kenapa?"

Memangnya kenapa? Astaga, laki-laki dengan manik nilam itu susah sekali di ajak serius. Rezel pun mulai geram dibuatnya. Bukanya apa, tapi simbol milik bukanlah sesuatu hal yang lumrah, apalagi seorang Vier yang menggunakannya. Dengan simbol itu, otomatis Vier menandai Ren sebagai miliknya, dan tak ada lagi yang namanya predator yang boleh menganggunya, terkecuali predator yang setingkat dengan Vier. Itu sudah menjadi hukum mutlak setelah istilah predator ditemukan. Orang-orang yang memiliki kekuatan elemen dari mahluk mitologi dan para soul--para arwah yang diciptakan tanpa raga.

"Hei, jawab aku serius! Kaubahkan belum menandai apa pun kecuali Ren," sanggah Rezel gusar.

"Yeah, memangnya apa masalahnya? Mungkin, dia akan menjadi yang pertama dan satu-satunya."

◆◇◆◇◆

Ren menatap dirinya dalam pantulan cermin. Ia belum yakin, siapa yang kini berdiri sebagai pantulan dirinya. Seorang gadis bersurai kecokelatan dan bermanik keemasan, nampak rapi dengan setelan seragam berwarna putih dengan gradasi benang emas pada bordirnya. Terlihat agak aneh untuk Ren, ini pertama kalinya ia memakai rok dalam kurun waktu lima tahun.

"Kukira kau tak akan pernah selesai." Vier berdiri menyandarkan lengannya pada kosen pintu.

Ren memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya pada Vier yang terkekeh melihat gelagatnya. 

"Bodo amat. Aku nggak peduli. Aku mau tidur lagi." Ren memberi penekanan pada kata terakhir dan menajamkan tatapannya pada Vier.

"Hei, tak bisa begitu. Aku sudah menunggumu, tahu. Aku sudah terlambat sepuluh menit dari waktu biasa aku berangkat."

Ren mendongakkan kepala, melihat jam dinding di kamar Vier. Jarum jamnya mengarah pada angka enam dan dua belas.

"Ini masih pagi, Vier." Ren menggelengkan kepalanya. Pandangannya langsung terlempar pada kasur yang seprainya sudah tertata rapi. "Aku-mau-tidur." Ren melepas kancing baju teratasnya dan mulai berancang-ancang merebahkan diri ke kasur.

"Eits ..." Vier menarik lengan Ren kuat-kuat. Mengarahkan gadis itu untuk mengikutinya. "Ini bukan saatnya hibernasi," cetusnya sembari menunjukkan senyuman horornya pada Ren.

"Lepaskan, Vier!" Ren mencoba berontak. Tapi cengkraman Vier semakin mengerat.

Vier melepas halus cengkramannya dari lengan Ren. Gadis itu semakin termnyum menyadari dirinya sudah tak lagi di area asrama.

"Rapikan bajumu," ujar Vier lantas berjalan duluan.

Ren menggerutu sembari merapikan setelannya. Tak ada pilihan lain kecuali mengikuti Vier. Rada aneh berpenampilan seperti itu, ia merasa jadi siswa baru. Ren agak gugup mendapat tatapan-tatapan keingin tahuan orang-orang yang ia lewati. "Siapa gerangan dia?" mungkin itu yang terpikir oleh benak mereka. Memang jika dilihat-lihat wajah Ren saat ini cukup asing di Royal High Scool.

"Kenapa kau pakai softlen lagi?" tanya Vier pelan tanpa memalingkan pandangannya dari lorong area belajar.

"Hnn ... Dengar, ya, tuan sok tahu. Mataku ini minus," jawab Ren ketus.

"Itu bukan minus, tapi hanya belum aktif."

Ren menautkan alisnya. "Apa maksudmu?"

"Tak ada. Ayo masuk!" Vier kembali mengalihkan pembicara. Ren tak mengerti, tapi laki-laki itu kerap mengalihkan pembicaraan. Apa pasalnya?

Ren terhenti.Jarak pintu kelasnya tinggal beberapa jangkah lagi dari tempatnya berdiri. Ia tak yakin, belum siap menerima tatapan-tatapan penasaran itu. Dalam pandangannya tatapan itu berubah menjadi tatapan pembunuh yang haus akan darah. Atau mungkin pembulian akan makin semakin merangkul erat dirinya saat mereka semua tahu Ren Leighton adalah perempuan. Ah, tidak. Ren menggelengkan kepalanya mengusir kemungkinan-kemungkinan buruk dalam pikirannya.

"Sepertinya aku tak yakin." Ren sedikit berbisik ke arah Vier. "Mungkin, aku akan kembali ke kamarku, memotong rambut, dan berganti pakaianku yang seperti biasa."

Vier menatap Ren sejenak, tak lama ekspresinya berubah. "Tak ada waktu. Kau pikir baju akademismu ada berapa?"

"Aku tak ingat sol itu."

"Ayo!" Vier kembali menarik paksa lengan Ren. Menyeret masuk gadis yang bersikeras kembali ke kamarnya.

Berontakan Ren tentu saja lebih lemah dari tarikan Vier. Ia hanya bisa pasrah, ketimbang membuang tenaga untuk melawan Vier. Dan benar saja, tatapan-tatapan menguliti itu eh ... Tatapan-tatapan penuh tanya itu terfokus pada satu titik--seorang perempuan yang kini di gandeng Vier melewari ambang pintu. Tidak, jangan kira mereka gandengan seperti pasangan kekasih melainkan gandengan paksaan Vier yang membuat pergelngan tangan Ren merah.

"Dia siapa?"

"Murid baru lagi?"

"Siapa, sih, yang bersama Vier itu?"

Suara bisikan-bisikan yang membuat nyali Ren ciut itu kembali terdengar. Gadis itu tak sanggup mengangkat wajahnya, terlalu berat, rasanya seperti kepalanya tertimpa batu satu ton. Apa itu hiperbol? Lagi?

Ren mendudukan dirinya ke bangku biasanya, mencoba menghiraukan bisika-bisikan dari mereka-mereka yang tak tahu siapa dia. Ia lebih memilih bertopang dagu sembari menatap lurus ke luar jendela.

"Vier! Kau harus dengar ini!" seru Rezel semangat ketika kakinya melewati ambang pintu.

"Woi, mulut singa! Bisa pelan-pelan, nggak!" balas Cindy sewot.

"Mulut singa? Wah, panggilan yang bagus."

"Itu bukan pujian!"

"Hei, Rezel! Apa yang akan kau bicarakan?" sela Vier melihat sifat Rezel yang membuat orang lain sebal.

"Hampir lupa. Kata Kak Ken, kau akan segera dilantik, walau ..." Rezel terhenti, pandangannya beralih pada Ren yang duduk di bangku pojok belakng. "Wah, apa aku melihat penampakan Ren yang baru di sana? Kau terlihat agak buruk, Ren!" seru Rezel lantang membuat semua pandangan teralih pada Ren.

"Ren?!"

◆◇◆◇◆

"Hahaha ... Aku ingin melihat ekspresi mereka saat tahu kau perempuan. Apa semuanya bisa direka ulang?" Syira terkekeh mendengar cerita Ren.

"Tolong lupakan itu. Rezel membuatku menjadi topik pembicaraan di mana-mana." Ren melongos. Ia menengadahkan kepalanya melihat pohon yang menaunginya.

"Yeh, tapi ada keuntungannya juga, kan. Kau tak perlu mengumumkan kepada semuanya, hei aku Ren aku perempuan."Syirar kembali terkekeh. "Mungkin kauakan populer, Ren."

"Populer pun tak ada gunanya." Ren memutar bola matanya culas.

"Kenapa?" Syira menautkan alisnya. Melihat ekspresi Ren, membuatnya curiga ada yang membuat Ren tak senang.

"Aku akan segera dipindahkan," jawab Ren pelan. Kepalanya tertunduk menatap kakinya yang terbalut sepatu berwarna hitam.

"Eh, kemana?"

"Airstreet Dormitory. Aku tak tahu itu tempat apa, tapi mau bagaimana lagi?" Ren menghela napasnya pasrah.

"Airstreet?" Ren mengangguk. "Kau serius?" tanya Syira tak percaya.

"Hnn ... Iya."

"Hei, jangan lesu begitu. Airstreet itu cabang dari Royal Academy, termasuk Royal High School. Jadi sebenarnya Airstreet itu sama seperti Royal High School, hanya saja pelajaran di sana lebih menjurus ke tata krama dan keterampilan. Biasanya, sih, siswanya adalah orang-orang penting yang dipersiapkan untuk suatu hal. Seperti karantina," jelas Syira panjang lebar, meyakinkan pada Ren Airstreet tak seburuk dalam bayangannya.

"Iyakah, tapi untuk apa?"

"Aku juga tak tahu, tapi aku yakin kau akan lebih hebat di sana. Kudengar siswa Airstreet sedikit, sih, jadi sesuikan dirimu di sana, ya, Ren." Syira beranjak dari tempat duduknya selepas melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku pergi dulu, ya. Jangan lupa datang ke festival tahunan Royal Fair, ya!"

"Iya. Sampa jumpa nanti malam."

Ren kembali terdiam, menatap dedaunan yang bergelayut manja diterpa angin. Mungkin, ini akan jadi pemandangan terakhir Royal High School untukku, batinnya.

"Jangan kebanyakan melamun."

Ren terperanjat. Tanpa disadarinya Vier sudah terduduk manis sembari menenteng buku di sampingnya.

"S-sejak kapan kau di sini?"

"Sejak kapan, ya?"

"Aku serius!" Ren menepuk lengan Vier pelan. "Apa yang kau inginkan?" lanjut Ren.

"Kau tak punya hp?" Vier menelengkan kepalanya.

"Tentu saja tidak, uang dari mana?" tanya Ren ketus, "aku tak perlu hp. Telepati, kan, ada."

"Kau hidup di zaman apa, sih, Ren." Vier menggelengkan kepalanya. "Eh, bukannya kau tak bisa gunakan telepati?" Vier menautkan alisnya menyelidik ke arah Ren.

"Memang tidak," saut Ren santai.

"Hnn ... Sudahlah. Basa-basi memang tak akan pernah selesai." Vier melongos, lantas mengeluarkan benda dari sakunya. "Pakai ini, aku akan lebih mudah menghubungimu," ujarnya sembari menyerahkan sebuat gadget pada Ren.

"T-tapi ..." Ren pikir panjang.

"Apa lagi?" Vier menatap tajam Ren.

"Aku tak bisa menggunakannya."

Doeng! Sepertinya sia-sia memberikan gadget pada Ren. Dia itu terlalu ... Yeah, kalian tahu Ren seperti apa.

"Huh, baiklah kemari! Aku akan mengajarimu."

Beberapa jam kemudia ...

"Jadi, kau mengerti, kan?" Vier merenggangkan otot jari-jarinya sembari terus menatap curiga Ren.

"Tentu."

"Aku pergi dulu." Vier beranjak lagi. Belum sempat ia merampungkan langkah ke limanya, Ren memanggil.

"Vier, tunggu!"

"Apa lagi?" Vier memutar badannya malas.

"Bisa kau beri tahu bagaimana cara membuka lock screen-nya?"

"Astaga, Ren ..."

◆◇◆◇◆


Ren menatap kosong Vier yang sibuk sendiri. Ke sana ke mari, masuk ke sana masuk ke sini. Sepertinya dia sibuk hari ini. Ren tak mau mengganggunya, pasti Vier akan marah jika Ren melakukannya.

"Aku lelah melihatmu, Vier," dengus Ren. Lantas ia merebahkan dirinya di atas ranjang yang sedari tadi didudukinya.

Kling! Ren melirik gadget Vier yang berdering. Sebuah notifikasi pesan tak sengaja terbaca olehnya.


"Hah?" dari Ren mengernyit, lantas melempar pandangannya pada Vier. "Vier kau akan datang ke Royal Fair nanti malam?"

"Ya, begitulah."

"Aku ikut!" ujar Ren antusias.

"Boleh saja, asal ..." Vier menghentikan aktivitasnya. "Jangan mengangguku malam ini."

"Mau berkencan dengan Rise?" goda Ren.

"A-apa?" Vier benar-benar terhenti dan menatap Ren dalam tanya.

"Maaf, Tuan, tapi aku tak sengaja membaca notifikasi." Ren mengangkat gadget Vier dengan satu tangannya. "Bukannya lancang, tapi tak sengaja." Ren terkekeh kecil, tapi ekspresi Vier mengatakan, ia sama sekali tak tertarik dengan candaan Ren.

"Berikan!" Vier mengambil kasar gadget-nya dari Ren yang masih dengan santainya membaringkan tubuhnya di ranjang.

"Tak usah malu-malu, kalian pacaran, kan." Ren kembali tertawa, lantas mengibas-ibaskan jemarinya ke arah Vier.

"Diam!"

Ren kembali terkekeh. Ia tak pernah melihat wajah Vier memerah seperti itu, apa yang ia duga benar. Vier dan Rise ...

Kenapa rasanya ... Ren menatap Vier sejenak. Laki-laki itu masih sibuk dengan gadget-nya. Vier ...

◆◇◆◇◆

Ren berjalan mengekori Vier memasuki sebuah padang yang menjadi bagian dari Royal Secret Garden--tempat berlangsungnya Royal Fair. Ren bisa melihat banyak tenda-tenda berjejer membentuk barisan yang memamerkan berbagai pernak pernik dan kuliner. Royal Fair rupanya menjadi ajang pameran dan wisata kuliner yang ditungguh-tunggu, mengingat hanya diadakan setahun sekali. Namun, yang paling mereka tunggu-tunggu adalah pesta kembang api yang katanya begitu meriah dan menakjubkan (Ren mendengarnya dari Syira).

"Oke, carilah tempat yang nyaman untukmu melihat kembang api. Aku akan menemui seseorang dulu." ujar Vier tiba-tiba.

"Siapa? Rise?"

"Iya. Apa kurang jelas?" tanggap Vier malas. Ren menggeleng kepalanya. "Baiklah. Aku pergi," lanjut Vier lantas berjalan menjauh.

"Vier!"

"Apa lagi, Ren?"

"Bisa kaubelikan aku itu. Aku tak bawa uang." Ren menunjuk-nunjuk pada deretan tenda kuliner, tepatnya di sebuan tenda yang menjajakan apel karamel dan berbagai permen.

"Tidak," jawab Vier singkat, padat, dan menusuk. Vier berbalik dan melangkahkan kakinya tanpa menghiraukan Ren.

"Vier, kumohon," mohon Ren sembari menunjukkan wajah termelasnya.

.
.

Ren menghela napasnya. Menatap kosong keramain di sekitarnya. Ia masih merasa kesepian di tengah-tengah keramaian. Nafsu untuk melahap apel karamel di tangannya pun hilang entah kemana. Di saat seperti ini memangnya siapa yang mau memperhatikannya.

Ren kembali melirik Vier yang sibk berbincang dengan Rise. Entahlah apa yang mereka bincangkan, tapi Ren bisa melihat rona bahagia dari wajah Vier. Ren kembali membuang muka, mengalihkan pandangannya pada gadget yang diberikan Vier tadi siang. Memangnya apa yang akan dilakukannya dengan gadget itu, menggunakannya seja belum lanyah.

Tak lama terdengar sorak-sorai yang memberi bertanda bahwa pesta kembang api akan segera berlangsung. Ren menfokuskan pandangannya pada langit berbintang yang siap dihiasi gemerlap kembang api.

Sorak-sorai semakin terdengar nyaring saat berbagai kembang api menghiasi langit malam Royal Secret Garden. Seulas senyum terlukis di bibir Ren menatap orang-orang yang berbahagia di tengan Royal Fair. Ia berpikr, mungkin akan asyik jika mengabadikan semuanya dengan gadget barunya. Ren mengarahkan kamera gadget-nya pada langit yang dihias dengan kembang api berbagai warna dan bentuk. Indah.

Tak sengaja kameranya menangkap sosok Vier yang sedang tertawa bersama Rise. Seketika kerutan di wajah Ren muncul. Mengubah perasaan senangnya malam ini. Mengingatkan padanya, saat ini ia sendiri.

Aku tak tahu, rasanya sangat hampa jika tak bersama Vier. Rasanya juga sakit jika melihat Vier dengan Rise.

Terlebih, apa maksudnya senyuman Vier itu. Kenapa senyumnya terlihat begitu tulus? Kenapa Vier tak pernah menunjukkan senyuman itu kepadaku. Apa aku beban bagi Vier?

Jika begitu, maafkan aku, Vier ...

Ren menekan tombol merah pada gadget-nya, mengambil foto Vier tanpa sepengetahuan laki-laki itu. Ren terseyum melihat hasil jepretannya. Terpotret Vier yang tengah tersenyum, tapi bukan ke arah Ren, melainkan Rise.

Mungkin, suatu hari aku akan berguna untuk Vier. Dan aku harus jadi lebih kuat.

Aku ... Tak akan menyerah di sini. Ini semua baru akan dimulai.

END

.
.
.

Eh!

Readers: yang bener aja lu!

Santai-santai. Bukan End, sih, tapi berpisah sementara. Sebenarnya Lin mau ...

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
































Pengen tahu?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.















Tahu aja, apa tahu banget?

.
.
.
.
.




















.
.
.
.
.
.


Yakin?

.
.
.
.
.
.














Readers: oy yang bener napa?

Oke oke, buka slide berikutnya ↓↓




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro