✔Chapter 3
Angin malam berdesir lembut. Matahari baru saja lingsir dari cakrawala. Waktu menunjukkan pukul 18.04 malam.
Seorang laki-laki dengan surai kecoklatan terduduk menyandarkan punggungnya pada kursi rotan yang sengaja diletakkan di atas balkon. Pandangannya terfokus pada halaman demi halaman dari buku yang tengah ia baca. Sesekali semilir angin dengan usil membelai umbai-umbai rambutnya, tapi lagaknya tak dipedulikan olehnya. Kebiasaannya membaca sembari bersantai di balkon membuatnya bersahabat dengan angin-angin malam.
Ceklek
Suara pintu yang terbuka membuat kenyamanan laki-laki itu terusik. Karena ia tahu persis siapa yang memutar kenopnya.
"Sudah kuduga, Zeon. Kau belum turun untuk makan malam," ujar sosok yang muncul dari balik pintu.
"Pergi, Zuan! Jangan ganggu aku!" ujar Zeon tanpa memalingkan pandangannya dari buku bacaan.
"Hei, hei! Jahat sekali kau." Zuan menatap Zeon geram. "Aku ke sini untuk mengajakmu makan malam. Aku tak mau, ya, Ny. Micella yang galak itu mengomeliku karena tak membawamu makan malam, malam ini," lanjutnya kesal.
"Aku tak peduli."
Zuan menghela napas, lantas mendudukan kesal dirinya di samping Zeon.
"Hei, siapa yang mengizinkanmu duduk di sini," ujar Zeon dengan nada sarkas, lantas mendorong Zuan untuk menyingkir.
"Aku bukan tamu, dan kau bukan ketua RT. Aku ini adikmu, lebih tepatnya saudara kembarmu." dengan santainya Zuan menyeruput secangkir coklat panas yang belum disentuh Zeon sama sekali.
"Hei!"
Zuan tertawa. "Sepertinya jabatan ketua Dewan OSIS cukup membuatmu depresi, ya," ledeknya sembari sedikit menyipitkan mata.
"Tidak juga."
"Ya, ya." Zuan mengibaskan jemarinya. "Siapa yang tak tertekan jika mendapat kedudukan sebagai ketua OSIS plus ketua angkatan 9 organisasi keamanan rahasia, hah?"
"Sudah, sudah!" Zeon meletakkan paksa buku bacaannya, lantas menyeret Zeon ke luar kamarnya. "Kalau kau mau curhat, besok saja, ya."
"Kau ini jahat, Zeon," gerut Zuan kesal.
Zeon hanya mendengus lantas memaksa Zuan keluar dari kamarnya. Sepasang manik hazelnya menghunus kala Zuan hanya berdiri di depan pintu kamarnya dengan raut yang ... Cukup menyebalkan untuk dilihat.
"Apa?" Zeon mengerutkan kening tanpa mengurangi ketajaman tatapannya.
"Keluar dari sarangmu turun untuk makan malam. Saat ini juga!" Zuan menekan kata terakhir. Ia mencoba membalas tatapan menghunus Zeon, tapi malah terlihat menggelikan.
"Beri aku beberapa saat untuk menyepi."
Blam
Sekali lagi Zeon menghela napasnya. Entah apa yang dipikirkan seorang Zuan, saudara kembarnya itu. Heboh. Mungkin itulah satu kata yang terpikir oleh Zeon saat mendengar nama Zuan.
Terdiam. Manik hazel Zeon lantas terlirik pada sebuah potret dengan bingkai kayu berukir di atas bifet. Ada tiga sosok mungil yang terpotret dalam foto itu. Tiga bayi kembar dengan surai cokelat yang manis. Dua laki-laki dan satu lagi seorang bayi perempuan. Senyuman yang terpoles sempurna pada potret bayi perempuan itu selalu membuat Zeon merindukan sesuatu yang sudah lama hilang.
"Mungkin kau yang akan berisik jika kau masih ada, ya, Zean."
Sepoles senyum mengembang di bibir Zeon. Ia sempat tersenyum kecut mendengar sumpah serapahan Zuan dari luar.
Dasar, Zuan ...
Di luar kelas terdengar gaduh. Entah apa yang jadi biangnya. Ren tak punya niatan untuk tahu, ia tak peduli. Tanpa merasa penasaran sedikit pun, ia melanjutkan membaca sekilas untuk mengulas pelajaran beberapa menit yang lalu.
"Ren!"
Ren mendongak. Dilihatnya sosok Syira sudah berdiri di depannya dengan menunjukkan senyuman yang terapit oleh lesung pipit manis (seperti biasa).
"S-syira, apa yang kau lakukan disini?"
"Aku hanya ingin mengajakmu ke kantin," jawab Syira semangat.
Atmosfer terasa lebih berat sekarang. Para laki-laki menatap berang, Ren rasa.
Dengan susah payah Ren menelan ludahnya. "Umm ... Sepertinya aku tidak bisa. Ajak yang lain saja." Ren merasa bersalah mengatakan itu.
"Ayolah, Ren!" Syira menunjukkan wajah memelas.
"T-tapi--"
"Tak perlu banyak tapi. Ayo!" Syira menarik paksa Ren untuk beranjak, lantas mengamit lengan gadis itu dan ke luar dari zona aman Ren.
"Kau kenapa sih Ren? Jangan canggung begitu," kata Syira melihat Ren yang terdiam sepanjang jalan.
"T-tidak kok," jawab Ren gelagapan. Beberapa detik Syira menatapnya dengan kerutan halus di dahinya. "Ah, k-ita mau kemana?" Ren mencoba tenang.
"Bukankah sudah kubilang, kita akan ke kantin," saut Syira menghentikan aksi menatapnya. "Lihat ini! Aku baru saja mendapat voucher makan sepuasnya. Aku punya sepuluh voucher dan satu voucher bisa digunakan satu orang untuk makan sepuasnya." Syira menunjukkan lembaran voucher di tangannya sembari tersenyum angkuh.
"Lalu ... kenapa kau mengajakku?"
"Ya, karena ... tidak ada yang bisa diajak. Yeah, kau tahu alasanku, kan." Syira tersenyum kecut. "Anggap saja ini penyambutan teman baru," tambahnya.
Setelah beberapa menit berjalan, Syira berseru, "Ya, kita sampai!"
Ren tertegun. Nampak berdiri kokoh sebuah bangunan yang disebut kantin oleh Syira. Arsitektur bangunan itu lebih mirip restoran bintang lima dibanding kantin. Tergambar jelas sekali bahwa tempat itu diperuntukkan bagi orang-orang kalangan atas.
"Ayo, kita masuk!" ajak Syira pada Ren yang masih terpaku melihat bangunan mewah itu.
"Kau serius ini kantin?" Ren terlihat ragu. Syira mengangguk lantas mengamit lengannya untuk masuk.
Ren hampir-hampir tak bisa bernapas. Aura di dalam sana sarat akan keanggunan dan kewibawaan. Semuanya terlihat berkelas di mata awam Ren. Banyak para siswa kalangan atas tengah menikmati santapan siang mereka. Dan Ren benar-benar terpesona dengan apa pun yang mereka lakukan. Pasalnya semuanya terlihat begitu anggun. Mungkin, ini yang dinamakan praktik pelajaran tata krama dalam sudut pandang para bangsawan.
"Kau tak salahkan mengajakku kemari?" Ren memutar pandangannya canggung. Jelas sekali emblem F Ren terlihat mencolok di antara emblem-emblem A mereka semua.
Syira menatap Ren bingung. "Memangnya kenapa?"
"Yeah ... Kaubisa lihat siapa saja yang ada disini."
Syira tersenyum kecil. "Hei, kauini temanku. Tak usah sungkan. Lagi pula tak ada peraturan yang mengatakan bahwa siswa kelas F dilarang makan di sini, kan." Syira mengendikkan bahunya.
"Ya ... I-tu benar, sih, tapi--"
"Hei, berapa juta kata tapi lagi yang harus kudengar darimu? Apa aku membuatmu tak nyaman?" Syira mengerutkan dahinya.
"Tidak. Kenapa kau sensi begitu, sih? Aku kan hanya ..." Ren berpikir ulang untuk mencari alasan.
"Hnn ... Ya, ya, itu terserahkau. Dari pada kita berdebat, lebih baik kausegera memesan apa yang kau mau!"
"Dengan senang hati."
Udara dingin bagai bilah-bilah jarum berebut menusuk kulit. Mengusik Ren dalam balutan sweeter abunya. Makan malam baru saja usai. Jalan menuju area asrama juga sudah mulai lenggang.
"Hei, kau, culun!"
Panggilan itu membuat persaan Ren tak enak. Pasalnya, kata-kata itu terdengar membentak. Dan Ren kini tengah membayangkan ekspresi garang si empunya suara. Ren berbalik ragu-ragu, menilik siapa gerangan yang memanggilnya dengan sarkas.
"I-ya. A-da apa?"
Ren hampir-hampir terlonjak melihat ekspresi ketiga sosok yang berdiri di belakangnya. Ada tiga orang laki-laki yang menyeringai ke arahnya. Pastinya salah seorang diantara mereka yang tadinya memanggil Ren.
"Kau ikut kami sebentar!" titah salah satu laki-laki itu. Dia memiliki raut tegas dan wajah khas brandalan dalam pandangan Ren. Hal itu cukup membuatnya was-was.
"A-da urusan apa denganku?" Ren mencoba menghilangkan kegagapan juga firasat buruknya jauh-jauh. Ia tak ingin terlihat ketakutan di depan tiga pasang mata yang kini menatapnya.
"Sudah ikut saja!" seorang laki-laki lainnya mendorong punggung Ren, memaksanya untuk mengikuti laki-laki berambut cokelat.
Ren menelan ludahnya dengan susah payah. Detak jantungnya makin tak karuan. Apa pun yang akan terjadi, naluri Ren mengatakan itu bukan hal yang bagus. Apa lagi mengingat posisi Ren berjalan saat ini. Ia merasa jadi tawanan. Seorang laki-laki berjalan di depan untuk memandu dan dua orang lainnya berjalan di belakangnya, mereka mengawasi, seakan takut Ren melarikan diri.
Ren menatap cemas sekitar. Ia tak tahu di mana tepatnya dirinya sekarang. Tempat itu begitu sepi dengan penerangan yang minim.
Laki-laki di depan Ren berhenti dan membuat Ren hampir menabrak punggungnya. Lantas laki-laki itu mendorong Ren ke arah tembok, membuat gadis itu terkepung oleh tiga orang laki-laki.
"Kau. Kemampuan daya pikat apa yang kaukuasai?"
Ren terdiam sejenak. Memahami tiap kata yang teelontar dari mulut laki-laki berambut cokelat. Ren sempat membaca name tag yang wajib terpasang di dada kanan setiap siswa Royal High School sebelum diperkenankan dilepas pada jam tidur. Kalau tak salah baca, tercetak di sana Aelexi.A.Shaudhawn.
"A-apa maksudmu?" keringat dingin mengalir mulus pada pelipis dan tengkuk Ren. Jantungnya memacu lebih cepat dari biasanya.
"Jangan banyak berlagak tak tahu!" bentak Aelexi sembari menggebrak keras tembok di belakang Ren. "Dengan mudahnya kau membuat Syira tertarik padamu, sedangkan orang seperti Syira sulit tertarik pada seorang laki-laki. Bukankah itu tak lazim?!" laki-laki pemilik mata almond itu menghunus tajam Ren, membuat kaki-kaki gadis itu melemas.
"S-ungguh. Aku tak mengerti maksudmu. Aku tak melakukan apa pun," jawab Ren ragu-ragu.
"Jangan banyak basa-basi, Ael. Hajar saja dia. Aku yakin dia tidak bisa berkelahi," ujar teman Aelexi membuat tatapan Ren beralih padanya. Kilatan lampu mengenai name tag-nya. Laki-laki bermanik abu itu bernama Joshua Wycliff.
Aelexi tertawa pada detik berikutnya. Suara tawanya membuat Ren makin gentar. Apa yang akan ia lakukan sekarang?
"Benarkah itu? Aku kalah dengan laki-laki yang bahkan ... Tak bisa bertarung." Aelexi menatap Ren rendah.
"T-tunggu. Sebaiknya kita selesaikan kesalahpahaman ini baik-baik." Ren mencoba menetralkan suasana, tapi lagaknya sulit.
"Elvis, apa tempat ini cukup aman?" Aelexi melirik laki-laki di sebelah kanannya. Ini berkata seolah memberi kode. Aman dari apa?
Laki-laki bernama Elvis itu membenarkan letak kacamatanya. "Cukup aman asal kau tak buat keributan yang lebih," jawabnya sembari sedikit menunjukkan seringaian tipis.
"Oke, Culun." Aelexi menatap Ren sembari menyeringai. Ren tak akan melupakan senyuman mengerikan itu. "Aku aka memberimu sedikit pelajaran. Siswa kelas bawah seharusnya tak menantang bangsawan secara terang-terangan."
"T-unggu. Kita ... S-elesaikan ini baik-baik. Oke?"
Tepat saat Ren selesai bicara, tinju tangan Aelexi melesat ke arahnya. Ren menahan napas. Telapak tangannya yang mencoba menghalau pukulan Aelexi terasa nyeri. Apa tangannya terkilir sekarang, atau terparahnya tangannya akan patah.
Detak jantung Ren semakin gencar memburu. Seakan berseru, meminta Ren untuk segera pergi dari sana. Kabur dan berlari ke mana pun asal terhindar dari mereka. Tapi apa yang bisa dilakukan Ren sekarang? Toh, nantinya mau tak mau ia harus melawan Aelexi dan dua teman bersenyum horornya itu.
Dan yang harus Ren ingat sekarang adalah ...
Dia tak dibekali kemampuan bela diri apa pun.
Sial!
Pukul 09.00pm.
Zeon melirik jam yang melingkari lengan kirinya. Seharusnya saat ini ia sudah duduk-duduk manis di kamarnya, tapi karena seksi keamanan anggota dewan tengah sakit, dengan berat hati ia harus menggantinya patroli malam. Tak seluruh bagian Royal High School ia periksa, hanya beberapa tempat rawan.
Dan kini, ia tengah duduk tenang di atap salah satu bangunan di area sepi Royal High School. Ada empat orang yang tengah ia amati sekarang. Mereka sedang ... Berkelahi. Tiga lawan satu. Yang ada di benak Zeon, satu orang itu kelewat bodoh. Dia tak bisa berkelahi, tapi nekat melawan tiga orang.
Apa yang dipikirkannya, sih? Umpat Zeon dalam hati.
Zeon mengambil sebuah buku catatan kecil dari dalam sakunya, lantas menggoreskan tinta pena pada salah satu lembarnya. Seperti biasa, ia akan mencatat nama-nama pelanggar dan pembuat kerusuhan malam ini. Tak mungkin ada yang lepas dari mata Zeon, terlebih ia hafal semua nama dan wajah siswa-siswi Royal High School.
-Aelexi Shaudhawn
-Joshua Wycliff
-Carmendia.D.Elvis
-Ren Leighton
Sudah tercatat empat nama ketika Zeon berhenti menggoreskan penanya.
"Kalian pikir akan bebas begitu saja?" desis Zeon pelan.
Beberapa menit kemudian mereka selesai. Diakhiri tiga dari mereka pergi. Zeon rasa, perkelahian mereka sudah usai. Zeon hendak beranjak, tapi terhenti saat menyadari satu di antara mereka tersandar tak bergerak lagi di sana.
"Kuharap dia tak mati," decak Zeon.
Ia memutuskan untuk memerika keadaan seorang siswa baru bernama Ren Leighton yang baru saja terlibat perkelahian itu. Setidaknya tak akan ditemukan mayat di keesokan harinya.
Zeon berjongkok di depan Ren yang bersimpuh. Mata gadis itu terkatup rapat. Nampak beberapa lebam di pipi, pelipis, bibir, juga beberapa bagian tubuhnya yang lain.
"Hei!" Zeon mengguncang tubuh Ren pelan, memastikan gadis itu masih hidup. Ren mengerang pelan. Menandakan nyawanya masih ada di dalam sana. "Hei, bangun!" Zeon mengguncang Ren sekali lagi.
Perlahan, Ren memaksa kedua kelopak matanya yang terasa berat untuk terbuka. Pening langsung menghantam kepalanya dari segala arah. Persetan degan tiga orang yang mengeroyoknya. Tubuh Ren serasa remuk, ia bahkan tak merasakan jari-jari tangannya.
Ren mengerjap. Mengatur kefokusan matanya seperti semula.Tertangkap penglihatannya seorang laki-laki tengah berjongkok di hadapannya. Tampangnya terlihat biasa saja melihat Ren babak belur. Tak ada rasa cemas, heran, senang, iba, atau perasaan lainnya yang tergambar pada air mukanya.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya membuat Ren tersadar dari lamunannya.
"Menurutmu?" itu lebih mirip pertanyaan dari pada jawaban. Ren menyupahi dirinya sendiri.
"Menurutku ... Kau baik-baik saja," ujarnya lantas berdiri. "Anak baru yang mencoba bunuh diri pada hari-hari awalnya, punya fisik dan mental yang kuat, kurasa," lanjutnya.
Ren mendengus. Ia mencoba berdiri, tapi kedua tangan tumpuannya terasa sakit. Ia harap itu hanya terkilir, bukan patah, retak, atau persendiannya bergeser.
"Kau butuh bantuan?" tanya Zeon hampir-hampir membuat emosi Ren tersulut. "Jika tidak, aku akan pergi." dia berlagak seakan ia buru-buru untuk pergi.
"Kau siapa?" reflek pertanyaan itu keluar dari mulut Ren. Tak ada yang pernah acuh pada Ren kecuali Syira. Tak pernah.
Zeon tersenyum. Rambut cokelatnya terkena sorot lampu membuatnya terlihat makin menawan. "Ketua Dewan OSIS," jawaban Zeon membuat Ren terdiam.
Jantung Ren serasa berhenti. Napasnya tercekat. Dia tertangkap basah berkelahi oleh seorang Ketua Dewan? Astaga, mimpi buruk dari mana yang mendatangi Ren malam ini? Ren malah sibuk membayangkan hukuman apa yang ia dapat. Ren hanyalah korban. Ia tak bermaksud melanggar peraturan Royal High School. Apa lagi pelanggaran kategori poin hukuman tinggi.
"Kenapa wajahmu pucat. Kauberani melakukan, seharusnya kauberani menerima resikonya, kan," ujar Zeon seakan membaca pikiran Ren.
Ren menggigit bibir. "Aku tak bermaksud melanggar peraturan. Kumohon, jangan berikan poin pada catatan pelanggaranku." ia memaksa dirinya membenarkan posisi berlututnya di depan Zeon. "Aku ... Aku tak mau diskors pada minggu pertamaku disini."
"Jangan memohon begitu padaku. Permohonanmu takkan mengubah segalanya." jawaban Zeon membuat Ren mengkerut.
"Sungguh, ini semua salah paham. Mereka menyeretku ke tempat ini, lalu menuduhku yang tidak-tidak--"
"Cukup," tegas Zeon membuat Ren gentar. "Sudah kubilang, permohonanmu takkan mengubah segalanya."
Ren merasakan panas pada kedua matanya. Ia tertunduk, menahan mati-matian air mata yang ingin menetes. Poin pelanggaran sama dengan mimpi buruk untuk seorang siswa beasiswa seperti Ren. Tak tanggung-tanggung, ancaman terberatnya dikeluarkan dari Royal High School. Ren baru saja masuk, ia tak mau mimpi-mimpinya mengup begitu saja dalam seminggu ini.
"Kautak butuh bantuan, kan? Aku pergi."
"T-tunggu," cegah Ren. "Aku tak bisa berdiri."
Ren pasrah. Memohon dengan menangis tersedu pun tak akan membuat Zeon menghapus namanya dari catatan pelanggaran.
"Kemarikan tanganmu!" Zeon mengulurkan tangannya. Ren langsung menyambut uluran tangannya dan berusaha berdiri.
Ren meringis pelan. Kakinya sakit sekarang. Siapa yang mau bertanggungjawab untuk itu?
"Kakimu harus segera diperiksa, sebelum ada hal yang tak kauinginkan terjadi," ujar Zeon sembari memapah Ren.
Ren hanya menurut mengikuti Zeon. Walau, sejujurnya ia masih memikirkan poin pelanggarannya, sih.
"Dari hasil roentgen-nya, tak ada tulang yang retak, patah, atau pun bergeser. Itu cuma cedera ringan. Saya harap anda tak beraktivitas terlalu berat ..."
Ren mendengarkan malas pesan perawat yang tengah berjaga di Unit Kesehatan Royal High School malam ini. Ren tahu semua yang dikatan perawat itu, tak perlu diberitahu pun Ren hafal semuanya.
Ren menghela napas berat. Tubuhnya serasa remuk malam ini. Ini adalah luka terberat yang pernah ia rasakan. Ren kira, malam ini hidupnya akan berakhir. Belum, takdir tak akan membiarkannya pergi begitu saja. Ia masih harus menghadapi benang-benang hukumam yang sudah siap menjeratnya. Ah,bahkan poin tinggi itu terus terbayang dalam kepalanya.
"Hei!" Zeon menjentikkan jarinya di depan wajah Ren. "Kau bisa mengurus dirimu sendiri, kan? Aku masih harus patroli." Ren hanya mengangguk dan membiarkan Zeon meninggalkan ruang kesehatan.
Ren menjatuhkan punggungnya di atas pembaringan. Tak ada yang bisa ia lakukan. Hampir. Ia tak mungkin kembali ke kamarnya, mengingat seberapa menyiksanya tangga itu. Bisa-bisa kakinya cedera berat betulan.
Seseorang menyikap tirai putih yang memisahkan setiap pembaringan. Ren sedikit terkejut dan hampir reflek bangun dari posisi terbaringnya.
"Astaga, Nona. Aku baru meninggalkanmu beberapa hari dan Anda sudah separah ini?"
Laki-laki pirang yang tak pernah Ren tahu namanya itu kembali muncul. Ia menggelengkan kepalanya melihat keadaan Ren sekarang. Ren rasa dia datang untuk membantu.
"Kumohon ... Jangan membuat kebisingan dalam kepalaku," ujar Ren tanpa tahu maksud dari apa yang ia katakan. Gadis itu lantas membalikkan posisi berbaringnya, membelakangi laki-laki pirang yang tengah sibuk menafsirkan pernyataan Ren.
"Anda terlihat tak nyaman."
Terdiam. Ren tak menyaut laki-laki pirang itu. Pasalnya, Ren tak tahu perkataannya itu termasuk pernyataan atau pertanyaan.Ada jeda di mana ruangan menjadi begitu sunyi. Suara detikan jam yang hanya tertangkap indera pendengaran Ren, tapi ia masih merasakan laki-laki pirang itu di dekatnya.
"Apa kaumasih di sana?" tanya Ren dengan suara pelan.
"Ya."
"Kaubisa menolongku?"
"Tentu saja. Saya kemari untuk membantu Anda."
Ren membalikkan tubuhnya lantas terduduk. "Antarkan aku ke kamar. Tempat ini membuatku sesak."
Laki-laki pirang itu mengangguk. Entah kenapa, Ren merasa jadi perempuan seutuhnya jika berada di dekatnya.
Ren menurunkan kakinya dari pembaringan. Ia menghela napas, menenangkan dirinya. Tak akan terlalu sakit saat kakinya bersentuhan dengan pualam. Yeah, Ren pun juga ragu soal itu. Ren menegakkan kepalanya, dilihatnya laki-laki pirang itu sudah mengulurkan tangan padanya.
"Anda terlihat ragu." laki-laki itu tertawa.
"Diam kau!"
Ren menurukan kakinya sembari bertumpu pada pegangan tanganya dengan laki-laki pirang itu. Ia meringis merasakan nyeri langsung merambati kakinya.
"Anda baik-baik saja?"
"Uhm ... Ya."
Satu tarikan pelan dari laki-laki pirang itu cukup membuat Ren tersentak. Detik berikutnya Ren sudah ada di gendongannya.
"Hei! A-apa yang--"
"Tenanglah. Saya tak bermaksud lancang. Melihat keadaan, sepertinya Anda tak akan mampu berjalan ke kamar dengan keadaan kaki seperti itu," ujar laki-laki itu, "jadi diam saja di sana, ya."
Vier terdiam. Sudah lewat sepuluh menit dia melakukan itu. Ia hanya diam duduk di sana sembari menatap uap teh yang menari-nari di atas cangkir keramik. Ia tengah sibuk berpikir. Memikirkan ulang tentang tawaran Mrs. Mire.
"Vier," panggil Mrs. Mire. "Berapa lama lagi kau memikirkan itu?"
Vier menghela napas berat lantas menjatuhkan punggungnya pada sandaran sofa. "Aku akan memutuskan setelah mendapat masukan dari Kak Ken."
Tak lama setelah Vier mengatakan itu, pintu terbuka tanpa ada ketukan yang mengawalinya. Itu termasuk pelanggaran. Apa lagi ruangan yang ia masuki adalah ruang Wakil Kepala Sekolah.
"Uhm ... Maaf aku lupa mengetuk," ujar laki-laki yang muncul dari balik pintu dengan wajah tanpa dosa. "Apa aku harus mengulangnya?" lanjutnya bertanya.
"Tak perlu, Ken. Masuklah," ujar Mrs. Mire dengan logat halusnya.
Laki-laki berambut pirang bernama Ken itu mengangguk, kemudian mengambil posisi duduk di samping Vier.
"Maaf, terlalu lama. Sepertinya nona kita baru saja mendapat masalah."
Mrs. Mire menegakkan kepalanya. "Masalah? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya cemas.
"Dia terluka, tapi tak terlalu parah, tapi masalahnya bukan itu. Poin pelanggaran sudah ditambahkan pada catatan pelanggarannya. Ia tertangkap basah berkelahi oleh Zeon, tapi percayalah ... Saya kira itu salah paham," terang Ken panjang lebar.
"Sepertinya aku harus sedikit berbicara pada Zeon, ya." Mrs. Mire tersenyum miris.
"Oke. Apa Vier sudah memutuskan?" pandangan Ken langsung beralih pada Vier yang terdiam di sampingnya.
Vier nampak berpikir sejenak. "Pertama kenapa harus aku?" bukannya menjawab, ia malah bertanya. "Bukankah seharusnya tugas ini untukmu?" Vier menatap penuh selidik kearah Ken yang masih bertahan dengan senyumanya.
"Kau, tahu. Kau ini seorang pangeran, kauakan jadi raja di kemudian hari. Kauharus belajar melindungi. Tak peduli siapa pun dia," jawab Ken membuat dahi Vier berkerut. "Dia memang orang yang sedikit aneh dan merepotkan, tapi kauakan tahu sisi menyenangkan darinya," tambah Ken sebagai bujukan untuk Vier.
Vier kembali terdiam. Menimbang-nimbang keputusan yang tepat. Keputusan yang mungkin tak akan merugikannya terlalu jauh. Ia baru saja mendapat tawaran misi jangka panjang yang mungkin sedikit berat untuknya, ia harus melindungi seorang Ren Leighton yang diketahuinya sekarang sebagai seorang perempuan. Mrs. Mire bilang, akan ada banyak bahaya yang mengintai Ren kedepannya. Oke, ini mulai tak masuk akal untuk Vier. Keterangan yang disampaikan hampir tak terdengar relevan.
"Vier!" Ken menepuk pelan bahu Vier, membuat laki-laki bermanik nilam itu terbangun dari lamunannya.
"Huh, mungkin aku akan menanyakannya pada Tuan Norm. Kupikir dia akan memilih jalan terbaik untukku." Vier hendak beranjak, tapi dihalau oleh Ken.
"Jadilah dewasa, Vier. Berhenti bergantung pada Tuan Norm!"
Vier kembali terduduk. Ia mangut-mangut mendapat gertakan dari Ken.
"Lalu?" Vier menatap balik Ken.
"Terima saja misinya. Selesai." jawaban Ken terdengar mudah, rapi sangat sulit dilakukan bagi Vier. "Lagi pula," tambah Ken, "ini adalah ujian terakhirmu sebelum pelantikanmu sebagai ketua utama Elite."
"Jika kaukeberatan Vier." suara Mrs. Mire memecah keheningan yang sempat terjadi. "Kautak perlu memaksakan diri," lanjutnya halus.
"Aku menerimanya," tegas Vier. "Tapi ..." ia mulai beranjak seakan terusik dalam posisi duduknya. "Kuharap kalian tak keberatan dengan caraku menjalankannya," ujar Vier sembari mengumbar aura dingin sebelum menghilang di balik pintu.
Mrs. Mire menghela napas. "Dia benar-benar anak didik Norm," gumamnya.
"Sepertinya Tuan Norm memengaruhi terlalu jauh, ya? Vier jadi keras kepala akhir-akhir ini."
"Yeah, begitulah. Saya harap misi ini bisa sedikit mengubahnya."
📎Note:
Fiuh ... Akhirnya chapter ini selesai juga.
Readers: Kok kesannya kayak Remake gini ya?
Enggak, kok, enggak. Emang kalau dicermati makin jauh dari chapter 3 yang lalu, tapi hampir seluruh adegannya sama, kok. Lin cuma nambahin beberapa adegan agar ceritanya logis. Yeah,begitulah. Ribet jelasinnya. Intinya si Pirang cuma tritagonis, deutagonisnya ya tetep si Nilam.
Untuk typo, maaf ... Sampe pedes mata Lin ngeceknya, tapi kenapa selalu ada yang lolos dari penglihatan Lin. Dan kalian tahu, kan, besar keyboard hp yang seupil itu? Yeah, gitulah, Lin masih pake hp jadi maklumin pasal-pasal typo tu. Lebih-lebih kalian mau ngingetin^^
Salam
AleenaLin
🍁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro