Chapter 29
"Ren!"
"Ren, bangun!"
Samar-samar suara itu tertangkap oleh pendengaran Ren. Suara familiar yang sering di dengarnya. Siapa? Otaknya tak memberikan respon cepat untuk memberitahunya suara siapa itu.
"Ren!"
Ren membuka matanya perlahan. Hanya siluet bayang yang bisa ia lihat pertama kali. Gadis itu mengerjabkan matannya--menfokuskan pandangannya pada siluet-siluet samar di depannya.
"Ren?!"
Ren membuka kelopak matanya lebar-lebar. Didapatinya Vier yang memangku tubuhnya dengan raut cemas. Tak jauh darinya juga, Rezel terduduk sembari menatap penuh harap ke arah gadis bersurai kecokelatan itu.
"A-apa y-ang ter-jadi?" tanya Ren terbata. Saat ini tubuhnya benar-benar terasa lemah. Walau rasa sakit pada lukanya sudah hampir tak terasa, tapi tubuhnya mati rasa.
"Tak ada," jawab Vier singkat.
Ren memendarkan pandangannya. Didapatinya Zeon dan Zuan tengah sibuk dengan sebuah simbol untuk membuka portal. Juga Felix yang berdiri tak jauh dari mereka berdua. Tatapan Ren langsung berbalik pada Vier yang terduduk menumpu tubuhnya.
"Vier ... Kenapa ramai sekali? Apa kita sudah pulang?"
"Belum. Kita masih ditempat yang sama." jawaban Vier membuat Ren kembali tertunduk. Dirinya sudah teramat lelah, ingin cepat-cepat ia merebahkan dirinya di atas ranjang empuk. Sampai-sampai gadis itu lupa, bahwa seisi kamarnya sudah tak tersisa. "Tenanglah kita akan segera pulang," bisik Vier di telinga Ren.
"Vier! Semuanya sudah selesai," seru Zeon. Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Vier.
"Bagus."
"Merasa lebih baik, Ren?" Zeon berjongkok di hadapan Ren. Manik hazelnya menatap sosok gadis yang tengah bersimpuh dengan Vier sebagai penumpunya.
Ren mengangguk pelan. "Aku sudah tak apa," jawab Ren sembari berusaha mengembangkan senyum ke arah Zeon.
"Ayo." Zeon mengulurkan tangannya ke arah Ren, dang langsung dibalas oleh gadis itu. Zeon membantunya berdiri, menyeimbangkan tubuhnya, hingga Ren benar-benar berdiri tegak.
"T-terima kasih."
"Tak masalah."
"Vier ..." pandangan Ren beralih pada Vier yang baru saja beranjak dari posisi terduduknya. Vie hanya menanggapi panggilan Ren dengan dehaman pelan. "Apa ... Apa kau baik-baik saja?"
"Memangnya kenapa?" Vier mengerutkan dahinya, tapi Ren bisa melihat wajah minim ekspresi laki-laki itu.
"Bukannya ... Kau terluka?"
"Dari pada kau memikirkanku, lebih baik kau fikirkan keadanmu sendiri."
Ren menatap heran Vier. Sepertinya bipolar akutnya sedang kambuh. Gadis itu tak mengerti, apa yang benar-benar membuat laki-laki itu bersikap aneh, dan perubahan emosinya begitu ekstrim.
"Hei, aku kan hanya bertanya," gerut Ren pelan. Tapi, tentu saja, pendengaran Vier masih mampu mendengarnya.
"Sudahlah, kalian berdua!" pisah Rezel sembari menarik lengan Vier--memberinya isyarat padanya untuk tidak dekat-dekat dengan Ren saat emosinya tidak stabil seperti saat ini.
"Kalian semua memang orang aneh," desis Zuan pelan, "baiklah, Zeon, bantu aku membuka portalnya!"
"Oke." Zeon berjalan mendekati Zuan--melepaskan genggaman tangannya pada lengan Ren.
Semua yang ada di sana berjalan mendekat ke arah Zeon dan Zuan yang tengah membuka portal kembali ke Royal High Scool. Diam. Ren menatap kelima orang pemuda yang tengah sibuk di posisi mereka masing-masing. Pandangan Ren langsung tertuju pada Vier. Laki-laki itu berjalan ke arah Zeon dan Zuan sembari membenarkan tata letak bajunya yang nampak koyak dan kotor.
"Vier ..."
Vier tertoleh. Ada apa? Begitulah yang dikatakan Vier lewat dehaman pelan. Manik safirnya langsung tertuju langsung pada Ren yang masih berdiri di tempat yang sama sejak beberapa menit lalu. Tanpa sengaja, manik Ren bertemu dan menatap dalam ke arah manik nilam Vier. Namun, cepat-cepat gadis itu menutup matanya lalu menggeleng kepalanya pelan.
"B-bisakah k-au m-embantuku?" tanya Ren agak terbata. Tangannya terulur menunggu sautan dari Vier.
Vier menghela nafas berat, kemudian berubah haluan ke arah Ren. Ia dapat merasakan tubuh Ren yang gemetaran saat telapak tangannya bersentuhan langsung dengan telapak tangan Ren.
"Kau ... Kenapa?"
"Rasanya ... Umm ... Tubuhku kaku, dan rasanya ..."
"Hei, Ren. Kau tak apa?"
Vier menatap cemas Ren yang mulai terlihat tak beres. Gadis itu berdiri terhuyung sembari menumpu keseimbangan tubuhnya pada Vier. Mendadak semuanya mengabur dalam pandangan Ren. Kepalanya berdenyut, dadanya semakin sesak. Dan perlahan semuanya menjadi gelap.
"Ren!"
◆◇◆◇◆
"Mereka behasil keluar dengan bantuan pengkhianat Lenn, Ratuku," adu seorang laki-laki pada seorang perempuan yang duduk di atas kursi kebesarannya. Laki-laki itu membungkukkan badannya memberi hormat sembari berbicara.
"Hmm ... Menarik." muncul kilat pada mata mirah perempuan dengan tiara megah pada rambutnya yang disanggul tinggi itu. Ia memainkan jemarinya sembari menatap kilau-kilau cahaya yang terpantul dari singasananya.
"Apa yang kami lakukan selanjutnya?" laki-laki itu menegakkan tubuhnya menatap ratunya yang duduk tanpa raut khawatir.
"Biarkan dulu, Tums. Biarkan mereka berehat dulu. Dengan begitu nantinya kita bisa bertarung dengan mereka secara fair. Apa kau tak kasihan dengan calon rajaku yang masih terlalu lemah saat ini?" perempuan itu mengembangkan senyum yang cukup membuat siapapun ngeri melihatnya. Pikirannya menerka-nerka tentang sosok yang dipilihnya menjadi pasangannya.
"Bagaimana dengan Raven? Dia tewas, Ratuku. Siapa yang akan mengintai selanjutnya?"
Perempuan itu membuang pandangannya ke arah laki-laki bernama Tums itu. Tertawa. Tums tak tahu apa arti tawa sang ratu. "Jangan cemas, Tums. Kita masih punya murid kesayanganku. Dia yang akan menjerat semua para keadilan pemilik element istimewa dan tentu saja calon rajaku."
"Baik. Saya akan menunggu perintah lanjutan anda." Tums kembali menundukkan badannya lalu undur diri dari hdapan sang ratu.
Perempuan yang disebut-sebut ratu oleh Tums itu beranjak dari singasananya. Berjalan ke arah jendela lalu menerawang jauh cakrawala yang menghilang di balik pepohonan rimbun yang tumbuh mengitari kastilnya. Ia sedikit kecewa karena tak berhasil bertemu dengan laki-laki incarannya. Diluar dugaan mereka mengambil jalur yang bahkan jarang diketahui para dark sekaligus--jalur bawah tanah yang membentang sepanjang pedesaan Nirvana yang penduduknya cukup netral.
"Sudah kuputuskan. Kau akan menjadi rajaku." ia kembali menunjukan seringaiannya. "Kau tak akan bisa menolaknya, kan, Vier."
◆◇◆◇◆
Silau. Yang pertama kali ditangkap penglihatan Vier. Ia membaurkan penglihatannya dengan cahaya sekitar untuk melihat jelas. Didudukannya dirinya lalu kembali mengingat-ingat apa yang terjdi sebelumnya. Pandangannya beralih pada Ren yang terlelap di atas ranjang king size dengan warna biru dongker. Vier ingat sekarang. Dirinya harus tidur di sofa dan membiarkan Ren tidur di ranjangnya. Semalam, Ren belum juga sadar. Dia tak mungkin membiarkan gadis itu di ruang perawatan tanpa penjagaan. Akhirnya Mrs. Mire pun menyarankan agar malam itu Vier berbagi kamar dengan Ren. Lagi pula area kamar Vier adalah wilayah yang memiliki barrier terbaik di Royal High Scool. Dengan begitu, Ren aman dari para pembuas luar, bahkan tanpa penjagaan sekaligus.
Vier beranjak. Ia harus bersiap untuk program pemulihannya dengan Mr. thomas. Ia tak bisa berdiam diri untuk menunggu dirinya pulih. Ia harus banyak latihan. Dengan begitu dirinya akan cepat pulih seperti biasa. Ditambah luka-luka baru yang ia dapat kemarin, bertambahlah jam untuk jadwalnya bersama Mr. Thomas. Setidaknya hari ini akan ada hari yang normal.
Vier membenarkan letak dasi yang melingkari lehernya. Dikenakannya sebuah rompi berwarna hitam kebiruan yang menjadi pelengkap seragam akademis Royal High School. Vier melirik Ren yang masih belum terbangun dengan ekor matanya.
"Puas sekali kau tertidur, ya, Ren," gumam Vier pelan. Tangannya berlanjut menyambar tumpukkan buku yang tergeletak di atas nakas. Kakinya terlangkah keluar saat beberapa buku sudah nyaman di genggamannya.
"Hei, Vier. Kau tak sepagi biasanya." Vier langsung menjumpai Rezel yang tengah berjalan di lorong saat dirinya berhasil keluar dari kamar. "Atau jangan-jangan kau dan Ren ..." Rezel menatap penuh selidik Vier yang menenteng setumpuk buku.
"Jangan ngawur!" Vier melempar buku tebalnya ke arah Rezel dan langsung mendarat tepat di wajah laki-laki pemilik surai pirang itu. "Dia belum bangun, tahu." Vier memungut bukunya yang terlempar setelah sukses menghantam wajah Rezel. Berlanjut, laki-laki dengan manik nilam itu melenggang pergi meninggalkan Rezel yang mengaduh sembari mengelus dahinya.
"Hei, jangan marah!" Rezel berlari kecil--berusaha memperpendek jarak dirinya dan Vier. "Mungkin, dia butuh ciuman cinta sejati darimu." Rezel terikik.
"Mau kutimpuk berapa buku lagi, Rezel?" Vier menunjukkan senyum horornya.
"Hei, hei. Jangan keluarkan aura psychopath itu!" Rezel mengibas-ibaskan jemarinya tanpa memedulikan wajah Vier yang merah padam. Tak ada yang bisa melihat rasa kecemasan Vier--rasa cemas yang memberitahunya tentang peristiwa besar yang akan menganggu keberlangsungan bangsa light selanjutnya. "Vier!" Rezel menepuk bahu Vier. Menyadarkan lamunan laki-laki itu yang terbilang singkat.
"Apa?" jawab Vier ketus.
Rezel melongos lalu mengacungkan jarinya ke arah depan. "Mr. Thomas memanggilmu."
"A-apa?" Vier langsung melempar pandangannya pada sosok pria berusia 25-an yang berkali-kali menyebut nama Vier. "Baiklah, Rezel. Aku pergi dulu. Selamat berkhayal sesukamu," ujar Vier sembari tersenyum kecut lalu berlari kecil ke arah Mr. Thomas yang sudah menunggunya.
"Mengkhayal katamu!" Rezel mendengus. Manik zamrudnya menatap geram ke arah punggung Vier yang menjauh. "Tapi ... Romantis juga, ya, mengkhayalkan mereka berdua." Rezel tertawa sendiri di tengah-tengah lorong yang sepi. Mungkin, orang yang lewat akan mengiranya kesurupan.
◆◇◆◇◆
Dedaunan yang melewati kaca membuat siluet-siluet bayang menutup sorot matahari yang sedari tadi memberikan kehangatan pada seorang gadis yang terlelap di balik balutan selimut. Kelopak mata gadis itu mengerjab, merasakan kadar cahaya yang menyorotnya berubah-ubah.
"Ugh ... Silau." Ren menutup matanya dengan telapak tangan. Menghalau cahaya matahari yang dengan leluasa menyorotnya dari balik pintu kaca balkon. Gadis itu merentangkan tangannya--merenggangkan otot-otot tangannya yang menegang. "Tunggu ada yang salah." Ren membuka matanya lebar-lebar. Menyadari ranjang tempatnya berbaring tak seperti ranjangnya. Yang ia ingat ranjangnya adalah sebuah singgle bed yang agak keras bukan king size yang empuk maksimal.
"Aku di mana?" Ren membangunkan paksa tubuhnya. Memutar pandangannya ke seluruh penjuru ruangan yang semua isinya berwarna biru. Aroma mint terasa jelas di indera penciuman Ren--aroma mint yang cukup familiar.
Tring ... Tring ... Pandangan Ren beralih pada dream catcher yang tergelantung di pintu kaca menuju balkon. Penangkap mimpi itu terbuat dari potongan-potongan kaca yang berbentuk semacam ... Phoenix. Kaca-kaca itu saling berbenturan satu sama lain ketika terkena angin, sehingga menghasilkan suara yang menentramkan. Ren beranjak dari atas Ranjang. Kakinya menjelajah pualam berwarna safir yang mengkilat. Pandangannya menerawang jauh ke arah Royal Secret Garden yang menjadi pemandangan mengagumkan di balik jendela ruagan yang sepertinya berada di lantai dua atau tiga, mungkin.
"Keren," ujar Ren. Manik secerah topaz-nya tak bisa berpaling dari eloknya mentari senja. Sinar jinggnya menyorot dari celah-celah dedaunan pohon di Royal Secret Garden.
"Kukira kau tak akan pernah bangun." sebuah suara membuat Ren terperanjak dan cepat-cepat berbalik melihat si empunya suara. Vier muncul dari balik pintu sembari menenteng beberapa buku.
"V-Vier!"
"Kenapa? Cukup menikmati pemandangan dari kamarku," ujar Vier berlagak angkuh.
"Kamarmu? Hah? Kenapa aku ada di kamarmu?" Ren menautkan alisnya. Fikirannya sekarang benar-benar blank. Memikirkan apa yang terjadi sebelumnya membuatnya seperti berjalan di tengah-tengah labirin--ia tak menemukan jawabannya.
"Kau benar-benar tak ingat kamarmu yang luluh lantah itu?"
"A-apa?" duag! Entah memori yang datang dari mana langsung membentur kepalanya. Mengingatkannya tentang barang-barang yang pernah jadi miliknya yang kini sudah menjadi serpihan. "Oh." dengan santainya gadis itu ber-oh ria. Mencoba bersikap tak acuh. Namun, tak bisa.
"Dari pada kau memikirkannya, cepat mandi sana!" Vier melempar sebuah mantel mandi yang sukses menutup keseluruhan kepala Ren.
"Argh ... Kau kenapa, sih. Aku baru bangun, tahu," geram Ren.
"Memangnya aku peduli." Vier berkata dengan ekspresi tak acuh. "Cepat mandi dan ganti baju sana! Piyama itu terlalu transparan untukmu."
Ren menundukkan kepalanya--menatap tubuhnya yang terbalut piyama berwarna pink tipis. "Siapa yang mengganti bajuku?!" tanya Ren panik sembari mengambil posisi menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Pastinya bukan aku," jawab Vier santai sembari mengibas-ibaskan jemarinya.
"Jawab yang betul!"
"Sudah-sudah. Sana mandi!" Vier mendorong paksa Ren ke dalam kamar mandi. Ren tiba-tiba terhenti membuat Vier memperhatikannya. "Ada apa?" Vier mengikuti arah pandang Ren.
"A-ada bathub-nya! Aku boleh memakainya, kan?" tanya Ren dengan tatapan penuh binar.
"Kau ini, seperti tak pernah berendam di dalam bathub saja--"
"Memang tidak pernah," potong Ren.
"Hnn ... Pakai saja." jawaban Vier membuat Ren bersorak kegirangan. "Jika kau mau, pakai saja lilin aromatic-nya."
"Tidak mau. Palingan juga aroma mint."
"Huh, memangnya salah jika aku suka aroma mint? Jika tak suka, tak usah pakai--"
"Tidak, kok. Aku menyukainya. Menurutku aroma mint itu cool." Vier terdiam memandangi Ren dengan dahi berkerut. "A ... Sudah, ya. Aku mandi dulu!" Ren langsung membanting pintu cukup keras dengan bekal pipi panas dan memerah.
"Dia kenapa, sih?"
◆◇◆◇◆
Note:
Oke, seperti janji saya, saya update hari minggu.
Reader: lama, Lin! Pendek lagi.
Heee ... Maaf-maaf minggu ini saya sibuk. Dari sekolah sampai di rumah hampir setengah enam. Angkot susah kalo sore lagi. Ujian apa ini?
Dan begitulah ... Saya ngebut ngerjaim chapter 29 karena banyaknya permintaan update. Saya terhura POP punya banyak pembaca yang selalu menanti 😫
Dan akhirnya jadilah Chapter 29 yang hanya 1800-an kata. Pendeklah, biasanya 2000-an kata.
Sudah ya, babay. Sampai ketemu minggu depan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro