Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 23

Ren melirik bangku Vier yang masih terlihat kosong. Harapnya Vier tak menampakkan wajahnya hari ini di depannya. Jika kehadirannya kini malah membuat sesak, sebaiknya jangan. Walau semua itu malah semakin membuat Ren tersiksa.

"Kenapa, sih, lesu begitu?"

Pandangan Ren beralih pada Gray yang sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya. Gray nampak menunjukkan senyumannya pada Ren, tapi Ren sama sekali tak menggubris senyum Gray yang memiliki makna tersembunyi itu.

"Entahlah, Gray. Aku merasa tak enak badan hari ini," balas Ren malas-malasan.

"Kau sakit?" Gray menelengkan kepalanya menelisik wajah pucat Ren, tapi tentu saja ia tahu ada apa dengan Ren. Ia menguntit Ren kemarin sore. Ia juga tahu, Vier sudah kembali. Tak ada yang dikhawatirkannya, mengingat Vier yang terlihat sudah tak peduli dengan Ren.

"Aku tak apa."

"Pagi, adikku yang manis! Dan pagi, Ren!" seru Ruby semangat. Ruang kelas yang cukup luas itu dipenuhi suaranya seorang.

"Jangan teriak-teriak, Ruby," geram Gray membuat Ruby terkikik. Sepertinya Gray salah telah berkomentar, karena itu akan membuat Ruby semakin berisik.

"Hehe ... Kau merindukan suara emasku ini, ya?" Ruby kembali terkikik. Gray tak menanggapinya, ia hanya terdiam. "Hei, Ren. Ada apa denganmu, hah?"

"Hanya sedikit lelah," jawab Ren malas sembari memejamkan matanya.

"Kenapa tidak ambil jam pelajaran sekarang untuk istirahat, tidur atau mungkin mencari udara segar di luar. Lagi pula, sepertinya ada jam kosong," saran Ruby sembari membenarkan letak jepit rambutnya.

"Tidak. Aku tidak mau berurusan dengan kakak-kakak ber-bedge biru itu." Ren membenamkan kepalanya dengan lengannya.

"Aku, kan, juga ber-bedge biru. Kau tak mau berurusan denganku?" Ruby berlagak kesal bagai seorang anak kecil yang merajuk meminta mainan.

"Bukan! Maksudnya kakak-kakak dari Patroli Ketertiban itu!" Ren menegakkan kepalanya kesal. Matanya menatap culas dua sosok yang berdiri di depannya.

"Ikuti saja perintahku!" geram Ruby sembari mengepalkan tangannya.

Rasa pusing mulai menyerang Ren. Kepalanya serasa berdenyut, seakan dapat meledak kapan pun. Telinganya berdengung selama beberapa saat. Ocehan Ruby menjadi suara cicitan dalam pendengarannya.

"Baik, baik! Aku akan bolos jam pelajaran ini!" seru Ren di luar kendalinya. Tanpa disadarinya kedua telapak tangannya menggebrak pelan meja dihadapannya.

Ruby yang bertepuk tangan pelan membuat Ren semakin kebingungan. Apa yang dia lakukan? Ren menutup mulutnya dengan telapak tangan—menyadari kesalahan besar yang akan dia lakukan, tapi hasrat mendorong dirinya untuk menuruti saran Ruby. Ia tak mampu menolak.

"Baiklah! Ayo kuantar!"

Ruby menarik tangan Ren keluar kelas. Diikuti Gray yang berjalan pelan di belakang mereka. Sekali lagi Ruby berhasil memperdaya Ren. Sebagai awal percobaan, itu hasil yang bagus. Dan tak lama lagi, semuanya akan usai. Tak ada lagi seorang pemilik element gelap yang menyelip di antara pemilik element terang. Dan tentu saja, precious akan kembali kepada mereka—para bangsa kegelapan.

◆◇◆◇◆

"Lalu lorong-lorong itu ada tempat apa?" Rise menunjuk lorong-lorong yan tak terlihat ujungnya dari tempatnya berdiri.

"Aku tak tahu pasti, tapi sepertinya ruangan komite," jelas Vier singkat.

Hari ini ia menjadi pemandu tour dadakan karena Rise meminta ditemani berkeliling Royal High School. Walau, ia tahu, sih, Royal High School tak ada habisnya untuk dikelilingi. Luasnya saja tak diketahui pasti. Gedung-gedung bertingkat, ruang bawah tanah, area-area khusus, asrama, ballroom, aula, study area, altar utama, dan masih banyak lagi. Jika disebut semuanya tak akan cukup ditulis dalam lima paragraf.

Tapi, setidaknya menunjukkan beberapa tempat penting di Royal High School pada Rise tak ada salahnya. Lagi pula, Rise akan tinggal beberapa hari di sana sebelum berangkat ke tempat karantina bersama Vier dan yang lainnya.

Tanpa sengaja, mereka berdua berpapasan dengan Ren dan kedua teman pengganti yang tengah menenaninya. Tak ada hasrat ingin bertegur sapa, walau rasanya Ren ingin. Tapi, apa gunanya? Apa Vier akan mengacuhkannya? Membalas sapaannya? Ah, ayolah! Dan sepertinya, hubungan pertemanan antara Ren dan Vier akan semakin memburuk.

"Wala ... Inilah yang kuinginkan. Seorang Blue Phoenix yang mengundurkan dirinya sendiri," Ruby terkekeh pelan sembari melirik sinis Vier yang tak mengacuhkan keberadaan mereka.

"Uhm ... Vier. Apa kau mengenal mereka," Rise menarik lengan baju Vier, "sepertinya kau tak suka dengan mereka," sambungnya.

"Jangan pedulikan mereka. Mereka hanyalah segerombolan pecundang yang menggunakam kedop bangsawan."

"Apa maksudmu?" Rise menautkan alisnya tanda tak mengerti.

"Lupakan! Ayo pergi!"

Rise hanya bisa mengangguk menuruti komando Vier. Banyak hal yang belum bisa ia mengerti tentang Vier. Selalu ada sisi misterius yang menyelubungi kepribadian Vier. Bahkan, ia tak tahu itu bisa dibilang wajar atau tidak. Pasalnya ia sempat tinggal bersama Vier selama sebulan, tapi sampai sekarang Vier memang orang yang sulit dimengerti.

"Oh, ya. Apa penampilanku terlalu mencolok? Karena setiap orang yang kita lewati pasti menatapku."

Vier menautkan alisnya. Ia menatap Rise dari ujung kepala sampai ujung kaki secara berulang-ulang. Ya, tentu saja. Rise terlalu ... Terang. Ia memiliki surai yang berkilau dikala sorot matahari menyinari rambutnya. Juga matanya juga terlihat berbinar saat terkena cahaya. Dia bisa saja dipanggil glow in the dark jika ada yang berani. Vier tertawa kecil membuat dahi Rise mengernyit.

"Tak ada yang salah. Hanya saja... Kau ini ... Terlalu terang. Aku mungkin akan memakai kacamata hitam jika kau tak tersinggung," ujar Vier diselingi kekehan kecil.

"Jangan mengejekku! Kau terlihat begitu biru sampai aku mengira kau tercelup dalam pewarna tekstil pekat," balas Rise tak mau kalah dengan ejekan Vier. Sedangkan siempunya nama hanya terkekeh.

Yah, batu nilakandi yang terlampau sempurna. Terlalu sempurna untuk tetap berada pada pendaran cahaya yang terlalu rapuh ... Kau akan mendapat cahaya yang lebih indah, Vier.

◆◇◆◇◆

Hening malam menyertai Ren dalam rasa letihnya. Ia berjalan terseok menaiki tangga sepiral menuju kamarnya. Tempat di mana ia bisa menjatuhkan diri di atas seprai lembut berwarna tosca favoritnya.

Lelah memenuhi ruang jiwanya. Membuatnya membuang seluruh hasrat dan nafsu yang melekat pada hatinya. Hanya kekosongan yang kini bersanding dengannya. Ren tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Ia merasa kosong dan hampa seakan harapan tertahan di luar inderanya.

Ren membaringkan dirinya di antara pilinan kapas yang terasa lembut membelai kulitnya. Merelaksasikan diri—hanya itu yang bisa dilakukan Ren sekarang. Mengingat hal yang terjadi padanya hari ini. Mengorek kembali memorinya untuk mengingat kejadian yang dilaluinya hari ini. Dalam kesadaran penuh Ren bersegera bangkit dari posisi berbaringnya. Matanya membelalak menyadari sesuatu yang janggal—sesuatu yang membuatnya terlampau letih untuk berfikir logis.

Ruby mempengaruhinya! Tapi, untuk apa?!

Ren terus mengartikan gagasan yang terngiang di pikirannya. Ia mengingat apa-apa yang secara tiba-tiba membuatnya pusing dan kosong dalam waktu bersamaan. Semua itu Ren rasakan ketika Ruby memerintahnya untuk melakukan sesuatu. Ren terdiam sembari memejamkan matanya rapat. Menguatkan hatinya untuk tetap berada pada kehendak diri. Menolak semua pengaruh yang dapat menghipnotis dirinya untuk lupa—melupakan jati dirinya.

"Ren!"

Ren mendengar suara ketukan pintu diselingi seruan seseorang di baliknya. Ia tahu siapa yang tengah berdiri di balik pintu sembari mengepalkan tangannya untuk mengetuk pintu kayu berukir. Itu Ruby. Untuk apa malam-malam ia mengunjungi Ren? Dan ... Sejak kapan ia tahu kamar Ren?

Ren menarik nafas dalam lalu menghembuskannya. Berkali-kali ia melakukan itu. Mempersiapkan diri melawan dorongan telak dari Ruby. Setelah itu, ia bergegas berjalan ke arah pintu. Benar. Ruby tengah berdiri sembari menyungging senyum sok ramahnya. Lengkap pula kehadirannya disertai Gray yang berdiri di belakang Ruby. Perasaan Ren saja atau Gray menjadi agak dingin di sana.

"R-ruby? Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" Ren mencoba tersenyum walau badannya terasa menggigil. Malam ini—tepat saat ini, ia merasa ketakuatan. Seakan ada makhluk buas yang siap menerkamnya langsung—saat itu juga!

"Malam, Ren! Maaf mengganggumu malam ini." Ruby mengeluarkan logat manisnya. "Kami, hanya ingin mengajakmu keluar malam ini." Ren dapat menangkap sesuatu yang mencurigakan di mata mirah Ruby.

"Maaf, sepertinya aku tidak bisa." Ren mencoba menahan perasaan tak karuan yang berkecamuk dalam dirinya.

"Ayolah, Ren! Kujamin ini akan menyenangkan," ujar Ruby lagi mencoba meluluhkan pendirian Ren. Ruby mencoba mengaktifkan tanda yang sudah melekat pada bahu Ren—membuatnya menurut dan patuh pada Ruby.

Ren merasakan sensasi terbakar di bahu kirinya. Disertai pusing yang menyerang kepalanya, juga kekosongan yang memburu memori-memorinya, seakan ingin melenyapkan semuanya tanpa sisa.

"Tidak!" tegas Ren membuat Ruby melotot. Dengan sekuat tenaga Ren menahan rasa sakit yang membuat dirinya agak terhuyung.

"Apa?" Ruby menggeretakkan giginya sembari menatap sarkastis. "Ayolah, Ren! Malam ini saja." Ruby meninggikan suaranya.

Ren harap-harap cemas mendapati perubahan emosi Ruby. Ia bisa melihat jelas kegelapan yang bergemuruh dalam refleksi bayang-bayang dalam matanya. Ren terus bertahan, sementara rasa terbakar terus menjalari bahu kirinya.

"Sudah kubilang tidak, Ruby. Ada apa denganmu? Kau mulai aneh akhir-akhir ini."

"Kau ..." Ruby menghunus Ren dengan manik matanya yang bersorot tajam—sarat akan kegelapan yang teramat pekat. "Turuti perintahku!" pekik Ruby membuat Ren mundur beberapa langkah ke belakang. Ia terus bertahan di tengah terjangan aura tak kasat mata dari Ruby. Bertahan di tengah kepeningan yang melanda. Bertahan di tengah rasa nyeri yang menjalari tubuh.

"Ruby! Kau ini kenapa?" ia tak habis pikir dengan emosional dua orang itu. Ada yang aneh dari mereka berdua. Seakan-akan mereka adalah lakon antagonis yang sesungguhnya. "Dan Gray, ada apa dengan kalian?!" pekik Ren, "ini bukan tanggal satu april ataupun hari halloween, kan? Kalian ini sahabatku, kan?!" Ren meninggikan suaranya menatap lekat kedua orang yang berdiri di depannya.

"Sahabat, ya?" Ruby terhenti sejenak, "biar aku bertanya, menurutmu sahabat itu seperti apa?" Ruby menunjukkan senyum menantang ke arah Ren.

"Tentu saja sahabatku itu seperti kalian! Selalu ada saat aku membutuhkan, selalu menghibur di kala sedih, menemani di kala sepi, dan setia di kala semua orang mengkhianati—"

Tawa menggelegar Ruby memotong kata-kata Ren. "Kau naif, Ren. Naif, bodoh, dan dungu." Ruby kembali menatap sarkastis. "Lebih baik kau ikut kami. Tak ada yang mengharapkanmu di sini, bahkan tempat ini tak cocok untukmu—terlalu terang. Kami sahabatmu, kan? Kenapa kau tak percaya pada kami?" nada bicara Ruby terdengar sinis, semakin membuat Ren tak percaya bahwa orang yang ada di hadapannya adalah orang yang tertulis di garis atas note dengan cap "Best Friends".

"Jika aku ikut, kemana kalian akan membawaku?"

"Ke tempat seharusnya kau berada. Tempat yang tak terjamah oleh cahaya murni," timpal Ruby sembari memperlihatkan seringaian horornya.

"Tidak! Jika kalian sahabatku, kalian tak akan mengajakku ke tempat seperti itu," sanggah Ren lagi. Ia berusaha sekuat tenaga—berusaha mengulur waktu. Berharap ada orang yang datang untuk memberi pencerahan tentang semua ini. Ia hanya bisa percaya, Ruby dan Gray tengah mengerjainya. Sebelum memberi kejutan—kejutan pada hari di mana usianya benar-benar genap 15 tahun seutuhnya.

"Kau menghabiskan kesabaranku!" udara serasa behembus kencang. Menghempaskan Ren hingga terhantam dinding. Ruby berjalan mendekat ke arah Ren. Ren bisa mendengar jelas suara derap sepatu high hills Ruby yang beradu dengan pualam violet kamar Ren. Ruby berjongkok di depan Ren yang duduk bersimpuh sembari mengerang kesakitan.

"R-ruby ... I-ini semua ... Tipuan, kan?" suara Ren terdengar parau.

Ruby tersenyum miring, jemarinya menyisir helai rambut Ren. Seakan rambut itu panjang, Ren merasa rambutnya sedikit tertarik.

"Lihatlah!" ujar Ruby, "kau terlihat lebih cocok berpenampikan seperti ini. Seorang perempuan naif, bodoh, lugu, dan dungu," tambahnya membuat Ren semakin bingung. Dari mana Ruby tahu Ren adalah perempuan? Ruby menyibakkan rambut Ren yang sudah sepanjang punggung. Tunggu! Sejak kapan!

"Ruby, apa yang kau lakukan!" pekik Ren menyadari rambutnya memanjang hanya dengan sentuhan tangan Ruby.

Ruby tak mengindahkan perkataan Ren. "Ayolah, Ren! Ikutlah dengan kami! Kau tak punya siapa pun di sini." Ruby mulai membisiki Ren dengan kata-kata yang tidak bisa dibilang enak didengar.

"Tidak!" Ren mendorong sekuat tenaga tubuh Ruby, alhasil Ruby terjungkal ke belakang. "Tidak akan!" Ren menatap balas Ruby yang bersimpuh dengan wajah murka. Ren tahu, ini semua bukan kebohongan "tips or trick" ini semua kebenaran. Kebenaran tentang Ruby dan Gray adalah makhluk jahanam yang harus ia hindari.

"Ren, kau menantangku?" Ruby berdiri sembari terus menghunus Ren dengan manik mirah delimanya. "Gray, tutup pintu!" pintu terbanting begitu keras tanpa tersentuh dengan jemari Gray.

"Ruby, apa yang kau lakukan?" tubuh Ren terasa kaku. Dan untuk sekian kalinya rasa terbakar menjalari bahunya.

"Ruangan ini terlalu sempit!" Ruby menggerakan tangannya secara vertikal. Di saat itu juga barang-barang serta perabot di kamar Ren hancur dan sebagai hangus terbakar. Lalu tersisih di sisi ruangan. Ren mendelik menyaksikan apa yang di lakukan Ruby.

◆◇◆◇◆

Vier terduduk di atas sofa beludru sembari menyesap teh chamomile dari cangkir keramik. Di depannya nampak Mrs. mire terduduk menunggu Vier selesai menyesap tehnya.

"Apa yang akan kau katakan pada saya, Vier?"

"Saya ingin mengundurkan diri," jawabnya, "mengundurkan diri untuk misi melindungi Ren. Saya mendengar dari Tuan Norm. Anda memanfaatkan saya untuk melindungi keyakinan anda, benar begitu?" Vier menatap penuh selidik ke arah Mrs. Mire. "Bahkan, anggota dewan tidak setuju dengan apa yang anda percayai."

"Ah, Norm bilng begitu padamu." Mrs. Mire tersenyum. Tak ada amarah yang terlihat dari pantulan bayang matanya—mata zamrud itu hanya memantulkan sebuah ketenangan yang tak pernah goyah walau diterjang keresahan.

Diam. Vier kembali menatap lekat Mrs. Mire yang lagatnya tengah berpikir mengolah kata yang akan sampaikan pada Vier. "Terlebih lagi, beberapa hari lagi saya akan berangkat ke tempat karantina, saya tak mungkin melindungi Ren jarak jauh, kan. Dan kemungkinan terparahnya, saya tetap berada di sini sekadar untuk melindungi Ren." Vier berujar sembari tersenyum kecut.

"Ah, Vier ... Sejujurnya aku juga akan menempatkan Ren di tempat itu. Dan memintamu mengawasinya. Aku mengerti, kau lebih percaya kepada Norm dibanding saya."

Vier menautkan alisnya. "Ren," ujarnya, "di tempat karantina? Untuk apa?"

"Apa aku belum memberi tahumu tentang precious yang kini bersemayam di tubuh Ren, dan kejanggalan lain tentang element miliknya."

Vier terdiam—mencerna pernyataan Mrs. Mire tentang precious. Setahunya, Sang Berharga hanya memilih kalangan gelap untuk menjadi wadahnya. Apa yang dilakukannya di tubuh orang dari golongan terang? Apa pun itu, pastinya precious memiliki niatan lain—yan pastinya membawa dampak besar pada kelangsungan golongan terang dan gelap.

"Precious? Tentang itu, saya memang telah merasakan sesuatu yang aneh pada Ren—sesuatu yang berhasrat kuat dan berat untuk dikalahkan. Ternyata itu Sang Berharga." Vier berpikir ulang. "Lalu kejanggalan apa yang anda temukan?"

"Ren dan Rise," ujar Mrs. Mire, "aku tidak mengerti tentang mereka." Vier mendengarkan dengan seksama apa yang dilontarkan Mrs. Mire. "Ada god symbol di mata mereka berdua."

◆◇◆◇◆

Ruby terkapar sembari meringis kesakitan. Sulit dipercaya. Ren berasil membuat Ruby kewalahan hingga babak-belur. Ruby bangkit sembari melempar pandangannya pada Gray yang masih terdiam di tempatnya. Berdiri tak acuh bagai patung yang terpahat dari es yang tak lekang oleh waktu.

"Apa yang kau lihat, bodoh! Seharusnya kau bantu aku," geram Ruby sembari menatap murka Gray.

"Kenapa tak bilang dari tadi?" tanya Gray tak acuh. Ia mengalihkan pandangannya pada Ren yang terengah setelah melakukan perlawanan sengit pada predatornya. Digenggamnya kuat-kuat sebilah pedang yang nampak mengkilap. Lucu, gumam Gray, predator yang dikalahkan mangsanya sendiri? Jangan bercanda Ruby, lanjutnya.

"Tak bilang katamu?! Seharusnya kau memahami keadaan." Gray tak mengindahkan geraman Ruby. Ia berjalan tanpa beban ke arah Ren yang mati-matian melindungi diri dari dua pembuas kegelapan yang dapat menelan jiwanya kapan pun.

"J-jangan mendekat!" Ren mengacungkan pedangnya ke arah Gray yang mulai mengurangi jarak dengannya.Ren berdiri gentar menegakkan sebilah besi dengan tangannya yang mulai dipenuhi keringat. Badannya kian melemah, rasa nyeri dan terbakar mulai menggerogoti tubuhnya, di sisi lain, ia harus menghadapi dua makhluk yang nampaknya tak punya belas kasih.

"Tenanglah, Ren ..." Gray berbicara dengan logat halusnya. "Kau tak perlu takut padaku." Gray menampakkan seringain yang membuat naluri terancam Ren aktif seketika.

Kini jarak Ren dan Gray hanya tersisa beberapa jengkal. Hawa dingin mulai membelai tengkuk Ren—mengisyaratkan bahwa kegelapan kelam tengah mengancam nyawanya. Dengan cekatan, Gray menyibakkan pedang Ren dengan kedua jarinya. Kemudian menikan Ren dengan belati yang entah sejak kapan berada digenggamannya. Ia menusuk tepat di mana jantung Ren bersemayam. Membuat Ren rubuh sekatika, jatuh ke dalam rengkuhan si pelaku.

"Gray! Apa yang kau lakukan?!" Ruby terlihat histeris melihat kemeja beralmamaterkan Royal High School yang membalut tubuh Ren telah berlumuran darah.

"Tenang saja," decak Gray, "dia tak akan mati hanya karena belati menembus jantungnya."

Tak lama setelah itu, mereka menghilang tertelan kegelapan membawa serta Ren ke dalam rengkuhan gelap malam.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro