Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16

Sebelum membaca harap siapkan pisau, gunting, cutter, atau benda tajam lainnya biar ceritanya gak gantung. (Kalau gantung, potong aja talinya)
Typo everywere

~Happy Reading~

——0O0——

Agra hanya terdiam selagi Yuvie dan Deaz berdebat. Sementara monster berkepala tiga itu terus menggeram dan meraung.

"Berisik!"

Deaz meretakkan tanah yang dipijak sang monster, hingga monster itu terjerembab. Suara raungan terdengar makin keras, menggema, dan kembali menyisakan kesunyian.

Monster itu kembali bangkit. Berlari ke arah Deaz hendak menerjangnya. Namun, gelombang tak kasat mata menghempasnya ke belakang. Deaz tertoleh pada Agra yang berdiri paling belakang.

"Ingat apa yang Vier katakan, Agra!" kata Deaz mengingatkan. Agra memutar bola matanya culas.

"Vier hanya bilang hemat, bukan jangan, kan?" elak Agra yang hanya ditanggap Deaz dengan memalingkan wajahnya seakan mengatakan terserah.

Monster berkepala tiga itu kembali bangkit dan meraung. Deaz mengurung sang monster dalam penjara yang dibuatnya dari tanah. Yuvie membakar monster itu dengan element apinya. Monster itu musnah serupa dengan penjara tanah milik Deaz yang hangus.

Deaz menatap Yuvie yang cengengesan.

"Maaf untuk penjaramu, Deaz." Yuvie terkikik.

Belum sempat mereka menghela nafas lega, suara raungan kembali terdengar silih berganti. Membuat langit-langit terowongan seakan akan runtuh dengan suara itu.

"Lari!"

.
.
.

"Apa maksudnya penjara tanpa penjaga?" desis Vier melihat kosongnya sel-sel berkarat tanpa penjaga.

"Bukannya itu malah menguntungkan kita," saut Arenda.

"Bukan menguntungkan tapi mencurigakan."

Jari-jari Vier mulai menelisir tiap-tiap besi yang mulai berkarat berjajar membentuk sel demi sel. Langkahnya terhenti di salah satu sel. Vier melihat lamat-lamat sel yang ada di depannya.

"Kenapa berhenti, Vier?" Rezel menepuk bahu Vier. Matanya langsung tertuju pada apa yang dilihat Vier, "ini?" tanyanya yang langsung ditanggapi anggukan oleh Vier.

"Kenapa berhenti, sih?" Arenda berjalan ke arah Vier dan Rezel. Rezel menatap Arenda sejenak lalu menunjuk salah satu sel dengan jarinya. "Apa?"

Dengan mudah Vier membuka pintu sel yang sudah agak rapuh. Jemarinya meraba tiap jengkal tembok yang ada di belakang sel.

"Jadi?" Vier memalingkan wajahnya ke arah Rezel lalu mengacungkan jari jempolnya. "Bagus!"

"Dari tadi apa, sih, yang kalian lakukan?" tanya Arenda kesal, tapi tak ada yang menyaut pertanyaannya. Arenda semakin bersungut.

Vier menapakkan telapaknya ke atas tembok yang terlihat usang itu. Perlahan muncul retakan-retakan pada tembok itu. Semakin lama retakan itu berubah menjadi lubang.

"Ayo masuk!" seru Vier memberi instruksi.

Mereka mulai menuruni tangga sepiral yang terlihat begitu rapuh seakan mereka dapat terjerembab kapan saja. Tempat itu begitu remang, hanya obor yang menerangi setiap sisi tempat itu.

Tangga demi tangga mereka pijaki. Entah berapa banyak anak tangga yang baru mereka pijaki. Yang jelas, kini mereka bertiga sudah berada di bibir tangga.

"Tangga ini menyiksaku." Rezel memegangi punggungnya.

"Dasar kakek tua, begitu saja tak kuat!" sindir Arenda membuat Rezel bersungut.

"Sudah-sudah."

Arenda dan Rezel tediam. Tapi tatapan mereka tak henti hunus menghunus. Vier menghela nafasnya melihat dua orang gaje di dekatnya.

"Gelap lagi, PLN gak sampai sini ya," gerut Arenda lagi.

"Tukang protes. Oh, aku baru ingat kau petugas PLN ya?" Rezel terkikik membuat bibir Arenda bertaut.

"Aku merasakannya."

Arenda menatap lamat Vier. "Merasakan apa?"

"Lya Verrin," ujar Vier membuat Rezel dan Arenda melotot.

"Sudah dekat?!"

Mereka bertiga bergegas mengambil langkah seribu mengikuti insting Vier. Langkah mereka terhenti di bibir jurang. Jurang menganga lebar di depan mereka. Gelap dan suran. Namun, dari kejauhan terlihat cahaya kehijauan menari-nari di seberang jurang.

Vier memincingkan matanya. "Itu Lya." Vier menunjuk pendaran cahaya kehijauan di seberang jurang.

"Bagaimana kita menyeberang?" Arenda menggaruk tengkuknya.

"Rezel." Vier melirik Rezel yang berdiri di sampingnya.

Rezel mengangguk pelan. Rezel menggerakkan tangannya vertikal, muncul sulur-sulur mengikuti gerak tangannya. Rezel mrnghempaskan tangannya, sulur itu menjuntai ke depan, menghubungkan ujung jurang. Sulur itu dibentuknya jembatan agar mudah dilewati.

"Wah, kau berguna juga ya, Kakek tua!" Arenda menyenggol lengan Rezel.

"Terserah..."

"Tukang marah," desis Arenda pelan.

Mereka bertiga mulai menyeberang perlahan. Kegelapan hampa dibawah mereka terlihat seakan dapat menelan mereka kapan saja. Yup, tak terlalu masalah untuk mereka.

Arenda menghela nafas lega begitu sampai di sebrang. "Selamat."

Vier bergegas duluan disusul Rezel dan Arenda. Dilihatnya siluet sosok perempuan di dalam sebuah kerangkeng besi yang terlihat tidak biasa.

"Lya!" panggil Vier membuat Lya tertoleh.

Lya Verrin. Sosok yang memiliki sepasang manik mata emerald yang jernih, dan surai pirang yang terang. Memang, benar kata Vier. Dia mirip Rezel.

"Stop!" seru Arenda membuat Vier terhenti mendadak sampai Rezel hampir menubruknya.

Rezel mengerutkan keningnya. "Ada apa?"

"Vier, jangan sentuh besi sel ini! Kau bisa ikut terkurung," ujarnya.

"Tenanglah, Lya. Itu bukan hal yang sulit," ujar Vier enteng.

"Kuharap begitu."

"Apa rencananya?" potong Arenda.

"Aku tidak tahu, aku belum pernah berhadapan dengan hal seperti ini. Ditambah lagi, tempat ini membuat kita harus menambah energi dua kali lipat dalam menggunakan element." Vier mulai berfikir.

"Dua kali lipat? Pantas saja." Rezel menatap telapak tangannya yang terluka ringan.

"Yah, begitulah." Lya terduduk putus asa, "aku tak bisa keluar, sampai aku berfikir, apa aku benar pemilik element of god?"

"Jangan bilang begitu, Lya!" Arenda dan Lya saling bertatapan. Pandangan mereka saling bertemu. Dan mereka pun saling jatuh cinta. Enggak!

"Hnn, terimakasih. Itu membantu." Lya beranjak dari posisi duduknya lalu memberi isyarat pada Vier untuk mendekat.

"Apanya yang membantu?" desis Arenda yang terkurung dalam tanda tanya besar.

"Hush..." Rezel menyenggol lengan Arenda.

Lya membisikkan sesuatu pada Vier. Vier hanya mengangguk-angguk memahami tiap bisikan yang terlontar dari bibir Lya.

Sementara itu, Rezel dan Arenda terdiam di tempat mereka menunggu apa keputusan Vier selanjutnya.

"Rezel, pinjam." Vier berjalan ke arah Rezel.Rezel hanya mengangguk mengerti apa yang dimaksud Vier.

Vier memegang pundak Rezel. Rezel kembali mengendalikan sulur-sulurnya. Kini sulurnya terlihat lebih ganas dengan duri-duri tajam meliuk-liuk pada permukaan sulur.

"Sel itu menyerap element of god, tapi bagaimana dengan element campuran?" Vier menyeringai. "Sekarang!"

Sulur-sulur Rezel melilit batangan besi yang mengurung Lya dengan frontal. Besi-besi itu langsung hancur menjadi serpihan-serpihan kecil.

"Bagus!"

Lya berlari ke arah Vier. Ia langsung menubruknya sampai Vier terduduk. Lya mendekap erat Vier. Bulir air mata mengalir di pipinya perlahan.

Vier tertawa kecil. "Ayolah, Lya! Sudah tak apa. Semuanya aman," kata Vier mencoba menenangkan Lya.

"Vier!"

Vier tertoleh pada Arenda yang berdiri di bibir jurang. Ia memegangi lengan kanannya sembari meringis kesakitan. Darah mengalir dari luka sayatan selebar sepuluh senti itu. Arenda terhuyung akan jatuh ke dalam jurang. Rezel langsung memegang tangannya. Rezel menahan tubuh Arenda yang sudah tergelantung di bibir jurang.

"Semuanya belum selesai. Ini baru saja dimulai." Raven menyeringai ke arah Vier.

Ia berdiri tepat di dekat Rezel. Ia menganggkat tinggi-tinggi pedangnya. Lalu menghempaskannya pada Rezel. Sebelum sempat pedang itu menggores kulit Rezel, Vier menahannya dengan pedang miliknya.

Mereka saling beradu pedang, sementara Lya membantu Rezel menarik Arenda ke bibir jurang. Ditengah pertarungan Vier terlihat kewalahan dengan gerakan Raven. Element dark di sekitarnya membuatnya lemah.

Raven berasil menusuk Vier tepat di perutnya. Vier mundur beberapa langkah ke belakang. Ia meringis menahan perih dari luka yang dibuat Raven.

"Kau bertambah lemah ya, Vier," ujar Raven mengejek.

Vier mengusap darah yang mengalir dari bibirnya. Ia mengeratkan genggaman pedangnya lalu menyerang kembali Raven. Raven berhasil menghenpas Vier sampai ke bibir jurang.

Vier terkapar dengan tubuh penuh luka. Ia sudah tak bergerak lagi. Raven tersenyum puas.

"Belum selesai, Vier!" serunya berang.

"Berhenti!" pekik Lya mengalihkan pandangan Raven.

"Ada apa, Nona? Seharusnya kau tetap berada dalam sangkar!"

Lya mengeretakkan giginya. Sulur-sulurnya bergerak cepat hendak menelan Raven. Namun, aura gelap milik Raven langsung membuat sulur Lya mati begitu saja. Tanpa disadarinya sebuah pedang melesat ke arahnya. Dengan cekatan Rezel menarik tubuh Lya sebelum pedang itu sempat menusuknya.

"Ah, manis sekali!" Raven menatap satu per satu orang yang ada di dalam tempat itu. "Kalian lemah, sama dengan leader kalian!"

"Berhenti menghina, Vier!" seru Lya berang.

"Kenapa?" Raven tersenyum. "Memusnahkannya terlampau mudah!" ujarnya membuat Lya melotot.

Raven mengarahkan elementnya pada batuan di atas Vier. Batu-batu itu runtuh dan langsung menimpa Vier. Membuat bibir tebing runtuh menyertakan Vier di antaranya.

"Vier!" teriak Lya histeris. Lidahnya terasa kelu. Rezel menahan tubuhnya agar ia tak memcoba melakukan hal yang bodoh.

"Selamat tinggal." ujar Raven sebelum tubuhnya tertelan oleh kegelapan.

"Kami datang!" seru Deaz dari balik kegelapan.

"A-apa kami terlambat?" Yuvie memandangi tempat yang sudah kacau dengan wajah-wajah pilu teman-temannya.

.
.
.
.

Ren memandangi bentangan langit gelap dari balkon kamarnya. Tak ada bulan maupun bintang. Hanya gumpalan awan gelap yang menutup sisi langit.

"Perasaanku saja atau memang malam ini lebih dingin dari biasanya?" gumamnya pelan.

To be continued.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro