Chapter 15
"Kau tahu di mana Lya dikurung?" Arenda menatap lamat-lamat Vier.
"Aku hanya tahu dia dikurung di penjara bawah tanah."
"Itu artinya kau tak tahu, bodoh!" geram Arenda. "Bahkan, sekarang kita sudah di penjara bawah tanah," lanjut Arenda masih emosi.
"Bukan."
Arenda beralih pada Rezel. "A-apa?"
"Bukan tempat ini. Tapi penjara yang lain," jelas Rezel membuat Arenda terdiam.
"Ya, itu benar. Kita hanya perlu berjalan menelisir lorong-lorong ini lalu mencari pintu rahasia," jawab Vier lalu tersenyum pada Arenda.
"Kau bilang kau tak tahu." Arenda melirik culas Vier.
"Hei, aku tak bilang tak tahu lho. Sudah ayo!" Arenda hanya mengikuti Vier dari belakang tentu saja masih dalam keadaan menggerutu.
"Para Dark memiliki selera estetika yang buruk," gumam Arenda sembari menyusur lorong panjang seakan tanpa ujung. Hanya ada obor yang menerangi lorong iti, tertempel di setiap sisi dinding dengan warna suram itu.
"Menurutmu mereka itu apa? Kolektor barang antik? Mereka itu cuma makhluk-makhluk bertaring yang gak punya perasaan," saut Rezel mendengar gumaman Arenda.
"Jangan salah menilai mereka dari rupa. Itulah kebiasaan kalian, hanya melihat cover- nya saja," gerut Vier membuat Rezel dan Arenda melotot.
"Maksudmu?" Arenda mengernyitkan dahi.
"Kau akan tahu nanti."
.
.
.
"Deaz, kenapa kita harus lewat jalur tikus begini, hah?" tanya Yuvie. Ia sangat merasa tak nyaman terus memijakkan kakinya di atas tanah lembek dan basah. "Di sini juga baunya seperti bangkai, atau Agra yang kentut?" tambah Yuvie lagi.
"Hanya jalur ini yang aman, Yuvie!"
Yuvie bersungut mendengar penjelasan Deaz. Dia tak suka bila harus berkompromi lebih lanjut dengan para laki-laki. Apa lagi, di sini hanya dialah yang bukan laki-laki. Dia benar-benar ingin mengutuk Vier karena telah memisah ia dan Arenda.
"Dengar ya, Yuvie. Jika aku yang kentut kamu bakal minta aku kentutin terus," canda Agra mencoba menghibur Yuvie.
"Ciah, pingsan baru percaya aku!" gerut Yuvie tambah kesal.
"Sssttt..." Agra membungkam mulut Yuvie.
Yuvie melepas paksa bungkaman tangan Agra. "Apa sih?"
"Diam!" gertak Agra. "Ada yang datang!"
Suara geraman terdengar makin jelas. Tanah yang mereka pijaki pun terasa bergetar. Bayangan sosok-sosok bertubuh besar mulai muncul di balik kabut.
"Ya ampun, kita punya masalah di sini!"
"Agra mundur!" teriak Yuvie seraya mendorong Agra.
Tanah bergetar hebat membuat batu-batu di sekitar mereka menggelinding mengarah pada titik yang sama, membentuk sebuah golem yang tingginya hampir menyamai langit-langit terowongan.
Yuvie dan Agra mengalihkan pandangan pada Deaz yang berdiri nyengir di belakang.
"Cepat ambil posisi!" instruksi Deaz langsung dituruti oleh Yuvie dan Agra.
Sosok-sosok bertubuh besar itu memiliki perut buncit, mata merah menyala, tubuh yang pasti tak rata dengan duri-duri di kulit mereka, juga taring-taring yang menjuntai keluar dari mulut mereka. Peliharaan para dark memang tak ada lucu-lucunya sama sekali ya.
Sosok-sosok itu meraung keras, membuat tanah-tanah rapuh di langit-langit terowongan berjatuhan. Mereka mulai menyerang. Monster yang entah apa namanya itu tak terlalu banyak, hanya ada tiga... Harus kusebut apa? Ekor atau orang? Jika disebut ekor, apa mereka hewan? Atau orang, tapi mereka bukan orang. Lupakan!
Tanah-tanah di bawah membentuk sebuah lubang dangkal tepat di bawah kaki dua monster itu dan langsung menahan kuat kaki mereka. Mereka meraung semakin keras. Satu monster yang lain terlihat siap menerjang Deaz yang berada pada posisi paling depan. Sebelum monster itu sampai sepuluh langkah dari Deaz, golem tanah yang ada di depan Deaz menerjang secara sepontan membuat monster itu terlempar beberapa meter dan langsung menyambar dua monster lainnya. Ketiga monster itu terpelanting beberapa meter ke belakang. Mereka kembali meraung. Suara raungan mereka menggema ke seluruh penjuru terowongan.
"Apa mereka tidak bisa berhenti berisik?"
Raugan monster itu makin keras. Tubuh monster itu saling menyatu sama lain. Sekarang wujud monster itu lebih menyeramkan! Monster itu memiliki tiga kepala, tapi hanya ada satu badan menopangnya. Tangan-tangannya terlihat semakin besar dengan kuku-kuku panjang nan tajam. Punggungnya juga terlihat lebih keras dengan duri-duri tajam disana. Monster itu kembali meraung, seakan meraung adalah cara bicara mereka satu-satunya.
Monster itu berlari cepat ke arah Deaz. Golem di depannya mengambil posisi pertahanan. Monster itu menerjang dengan keras hingga golem Deaz menjadi kepingan kerikil. Tubuh Deaz terhempas beberapa meter ke belakang.
"Berhenti main-main Deaz!" gerut Yuvie kesal. Ia terlihat tidak memedulikan Deaz yang meringis memegangi punggungnya.
Deaz tertawa kecil lalu berdiri. "Baik, baik. Kau tak sabar melihat aksi kerenku ya." Deaz tersenyum angkuh ke arah Yuvie seakan Yuvie baru saja mengajaknya terlibat dalam suatu permainan gila yang menyangkut nyawa.
"Tidak sepenuhnya!"
.
.
.
Bel istirahat sudah berdering lima menit yang lalu, tapi tak ada niatan untuk Ren beranjak dari tempat duduknya. Sedari tadi ia masih sibuk bergulat dengan soal-soal yang tecetak di bukunya. Sampai akhirnya rasa bosan berhasil membuatnya berhenti. Ren melirik sebuah jam yang tertempel di sisi belakang kelas. Lalu kembali memandangi setumpuk buku-buku tebal yang ada di mejanya.
Tak banyak yang bisa ia lakukan saat jam istirahat. Dia tak suka memboroskan uangnya untuk makan-makan di kantin setiap hari. Lagi pula siapa yang harus ia ajak? Tak ada yang berminat. Terkecuali Syira, tapi di mana ia sekarang?
Karena itulah, ia lebih memilih menghabiskan jam istirahatnya dengan membaca. Entah buku apa pun, yang terpenting ada tulisan yang memungkinkannya untuk membaca.
"Gak ada jam terakhir hari ini. Jadi pembelajaran sampai jam ini aja. Ayo pulang awal, guys!" kata Jia memberi pengumuman dengan semangat seakan ada liburan musim panas.
Ren hanya menghela nafas lalu mengikuti yang lainnya keluar kelas. Tak ada bedanya pulang awal atau seperti biasa.
"Ren kau terlihat lesu, kau sakit?" Gray menepuk pundak Ren, membuyarkannya dari lamunan paling membosankannya.
Ren melirik culas Gray lalu menghela nafas. "Aku tak apa. Hanya sedikit bosan," jawab Ren dengan suara pelan.
"Apa aku yang membuatmu bosan?"
"T-tidak. Bukan begitu maksudku. Hanya saja, hari ini terasa lebih membosankan."
Gray menatap Ren sebentar lalu tersenyum. "Sepertinya kau butuh liburan," saran Gray.
"Ya mungkin begitu," saut Ren apa adanya.
"Bagaimana kalau kita ke Sapphire Waterfall sekarang?" tawar Gray yang langsung membuat Ren sumpringah.
"Oke, siapa yang terakhir harus traktir makan di kantin!" ucap Ren lalu berlari meninggalkan Gray.
"Kau curang, Ren!" teriak Gray membuat Ren mempercepat larinya.
.
"Aku menang! Ini maknanya Gray yang harus traktir!" seru Ren semangat.
"Kau mencuri start, Ren." wajah Gray terlihat kesal yang hanya disambut kekehan oleh Ren.
Ren berjalan ke tepian Sapphire Waterfall lalu terduduk dan membenamkan kakinya di air. Membiarkan dinginnya air melepas kepenatannya.
"Ren, kau pernah berfikir ada sesuatu yang berbeda darimu?"
Ren menatap bingung Gray yang kini telah duduk di sampingnya. "M-memangnya kenapa?"
"Umm... Entahlah," jawab Gray terdengar asal.
"Entahlah, mungkin bisa dibilang begitu. Terkadang aku sedikit tidak nyaman dengan suasana di sini."
"Boleh aku memberi tahumu tentang sebuah rahasia yang terpendam dalam dirimu?"
Ren mengeryitkam kening lalu menatap kosong Gray. "Apa?"
"Sebenarnya-"
"Nah lho, berduaan aja. Gak ajak-ajak. Kau punya dendam kesumat apa denganku, Ren?" serobot Felix tiba-tiba. Sejak kapan ia di sana?
"Apa maksudmu, hah? Memangnya aku harus lapor jika mau ke mari?" Ren mendecak.
"Tidak. Hanya saja..." Felix menyeringai memampakkan taringnya yang tajam, ia terlihat seperti vampir atau mungkin serigala, tapi itulah Felix. Manusia bertaring. Mungkin ia cocok menjadi pemeran vampir dalam film-film bertema vampir. "Seperti ini waktu yang pas untuk latihan!" seru Felix semangat. Sejak kapan ia semangat seperti ini?
"Tidak! Jangan ganggu waktu santaiku!" tegas Ren kesal.
"Tak ada waktu bersantai. Ayolah!"
Ren menatap berang Felix. Dia mulai sebal tentang semua yang ada di Royal High School. Semuanya bersikap... ANEH. Sebenarnya apa yang mereka pikirkan?!
"Kau tak bisa mengambil waktuku seenaknya!" Ren beranjak lalu bergegas meninggalkan Sapphire Waterfall.
Felix menghela nafas lalu berjalan pelan menyusul Ren.
"Yang gelap tak akan memadamkan cahaya." Felix memutar pandangannya pada Gray lalu menunjukkan seringaiannya. Kemudian berlalu dari hadapan Gray. Gray medesah mendengar perkataan Felix yang dianggapnya sebagai hinaan.
"Sepertinya aku akan bermain di sini." Gray menyeringai sebelum bayangan hitam menelannya.
To be continued.....
INFO!
Inyong balek! Hehe... Sepertinya saya gak jadi slow update. Karena apa? Saya di demo! (Bukan arti sebenarnya 😁)
Updatenya diganti. Bukan slow update, tapi update sebisanya. Gak tergantung hari rabu. Gak peduli hari apa pun itu. Intinya saya akan update jika:
→ saya nulisnya sudah sampai 1000+ kata.
→ mood ada
→ dan kuota tersedia
Itu aja. Iya itu aja!
Maaf jika kemarin mengecewakan pembaca semua 😅. Saya khilaf... Semangat saya muncul saat kalian tetap baca kok, iya kalian!
Makasih untuk semuanya yang sudah mampir!! See you next time!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro