Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10

Tempat makan malam ...

"Sudah gak sibuk Vier?" tanya Ren yang baru melihat sosok Vier setelah beberapa hari. "Masih, malam ini sedang senggang. Mungkin cocok untuk rehat bentar," jawab Vier seraya menyuap malas makanan ke mulutnya. "Memangnya ada misi? Kapan?" munculah kepo akut yang Ren idap selama ini. "Yup, lusa," jawab Vier singkat padat dan tak bermutu. "Kau kenapa sih, Vier?"
Ren mengernyitkan dahinya. "Memangnya kenapa?" Ren menggaruk rambutnya. "Lupakan,"

"Kau juga, Zel? Tumben hari ini kau diam." Ren beralih pada Rezel yang sedari tadi tak keluar suara emasnya. "Jangan ganggu aku! Aku sedang puasa bicara," ujar Rezel asal-asalan. Puasa bicara katanya?

"Kenapa kalian pada diem, sih?" Ren menatap satu-persatu orang di mejanya. "Hnn... Aku sedang tak ada topik." Gray tertawa kecil. "Ah, bicara saja Gray, blak-blakan gantiin tuh Rezel!" kata Ren sembari menuding Rezel dengan garpunya. "Woy, kenapa aku!?" sentak Rezel kembali beringas. "Karna kau yang paling pecicilan," sindir Ren lalu tertawa.

"Terserah." rezel kembali terdiam. "Ah, kalian membosankan." Ren menghela nafas. Tak seperti biasanya sikap teman-temannya itu. Jika Vier saja, itu maklum, dia kan memang aneh, tapi kali ini. Semuanya terlihat menyebalkan bagi Ren, ia memang tak suka dengan yang namanya kecanggungan. Apalagi perubahan suasana seperti saat ini.

.
.

Ren terduduk di bawah bentangan langit yang di penuhi bintang. Sedari tadi ia celingukan mengecek tak ada yang mengawasinya. Karna saat ia sendiri pasti ada seseorang yang muncul, entah itu Vier atau yang lain.

Orang-orang di Royal High School memang aneh. Gumamnya mendapati perubahan suasana yang terjadi akhir-akhir ini. Mendadak perasaannya dibuat tak tenang, namun dia tak pernah menemukan jawaban apa yang membuatnya resah. Apa ada hal buruk yang akan menimpanya?

"Ren!"

Ren menengadah, mendapati Gray sudah berdiri di dekatnya. Nah bener kan, ada yang nongol.

"Gray!? Apa yang kau lakukan di sini?" Ren menatap Gray penuh selidik. "Aku hanya tak sengaja lewat dan melihatmu." Gray terduduk di samping Ren. "Maaf, aku tadi tak bisa memecah suasana, jadinya kau tak nyaman." Ren menatap Gray dengan seulas senyum. "Bukan salahmu, kok. Lagi pula mereka semua agak aneh akhir-akhir ini." Ren mendengus pelan.

"Apa kau pernah mengalami sulit dalam sebuah pertemanan?" tanya Gray seraya memalingkan pandangannya ke arah bentangan langit. Ren menghela nafas. "Yah, setelah berada di sini aku sering sekali mengalaminya."

"Oh ya, ngomong-ngomong, kenapa kau tanya begitu?" Ren menatap Gray heran. Gray tertawa kecil, membuat Ren mengernyitkan dahinya. "Kau tahu, aku jarang bicara dengan laki-laki lain selain kau. Entahlah, mereka seakan terlihat benci padaku."

"Itu wajar saja, Gray. Sudah kubilang mereka iri padamu." Gray mengernyitlan dahinya. "Iri?"

Ren tersenyum, menatap orang yang ternyata lebih polos darinya, atau lebih bodoh darinya. "Yah, kau tahu. Kau lebih sempurna dari mereka, bahkan aku juga kelewat rendah darimu," jelas Ren. Matanya menatap binar bintang yang berkelip, seulas senyum tipis terlukis di bibirnya. Gray tersenyum. "Orang bilang kasta lah yang menentukan derajat orang."

"Jika kasta tinggi, tapi dari segi penampilan tak meyakinkan. Bagaimana orang tahu?"

Gray terkekeh mendengar jawaban Ren. Ia benar-benar puas, dalam beberapa hari saja ia sudah berhasil mengecoh incarannya tanpa menimbulkan kecurigaan target. Ia benar-benar muak berada dekat dengan orang-orang berelement light, ia ingin segera misinya selesai, apa daya misinya tak semudah itu.

Jika saja, ia mampu menyingkirkan sang blue phoenix, mungkin beban misinya sedikit berkurang. Dan terlebih lagi, apa tak ada bantuan yang dikirim untuk membantunya?

"Kasta tak menentukan takdir, Gray."

.
.
.

Area latihan 04.00 pm ....

Felix menepuk keningnya, dan Ren terlihat mendengus kesal. "Aku serasa mengajari semut berenang di laut," dengus Felix melirik malas Ren yang terlihat sebal. Ren mendesis pelan mendengar omelan selangit Felix.

"Jika begitu, kenapa kau tak latih semut saja!?" balas Ren ketus. Sedari tadi Felix terus mengomel karena Ren tak juga bisa menggunakan element dengan benar. Menurutnya Ren terlalu bodoh, murid beasiswa tapi kemampuan battlenya nol. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan di dunia penuh peperangan ini?

"Terserah, pokoknya aku ingin latihan dengan Vier saja, setidaknya dia mengomel dengan kata-kata yang menyemangati, sedangkan KAU! Omelanmu membuatku sakit telinga. Aku akan menunggu Vier saja." Ren berbalik dan berjalan kesal.

"Yah, jika ia kembali."

Ren terhenti mendengar pernyataan Felix. Ia memalingkan wajahnya ke arah Felix yang menghunusnya tajam dengan manik emeraldnya.

"Apa maksudmu?"

Seulas senyum penuh makna terlukis di bibir Felix.

"Apa menurutmu misi Vier kali ini semudah membunuh semut kecil? Jika menurutku tidak! Kau tahu, bahkan aku pun tak yakin Vier akan pulang dengan selamat."

"Jadi, kau meragukan Vier begitu!? Jika Vier tak sekuat dugaanku, mana mungkin ia bisa jadi yang namanya leader pasuksn elit Royal High School!?" balas Ren geram. Ia tahu pasti Felix tengah memperdayanya.

"Aku tahu, tapi misi ini lebih berbahaya dari kelihatannya. Bahkan orang sekuat Vier pun belum tentu menyelesaikannya dengan baik."

Ren memalingkan wajahnya kembali. Kini pandangannya beralih pada dedaunan yang bergoyang diterpa angin. Andai saja Vier tak kembali apa yang terjadi? Ayolah, itu hanya omong kosong Felix!

"Terserah kau saja!" Ren melanjutkan melangkahkan kakinya keluar dari area latihan. Di dalam pikirannya terus berputar perkataan Felix tadi. Beribu argumen terfikir silih berganti, benarkah apa yang dikatakan Felix?

.
.
.

Ren menapakkan kakinya di atas rerumputan hijau. Ia melempar pandangannya ke segala arah. Pandangannya terhenti begitu ia melihat sebuah pohon. Pohon dengan dedaunan rimbun yang berwarna jingga terang, sesekali dedaunannya terombang-ambing terkena angin dan mulai berguguran. Bukan pohon yang Ren lihat, tapi sosok yang terlihat berdiri di bawahnya.

"Vier!"

Ren berlari kecil ke arah Vier yang tengah bersandar di pohon dengan dedaunan rimbun itu. Vier tertoleh ke asal suara yang memanggil namanya, suara yang begitu familiar baginya, siapa lagi jika bukan suara Ren.

"Ada apa lagi, Ren?"

Vier menutup buku yang tengah dibacanya. Pandangannya kini terfokus pada Ren yang sudah berdiri di depannya.

"A-aku hanya ingin bertanya sedikit padamu. Bolehkah?" wajah Ren terlihat penuh harap Vier akan menjawab YA. Vier menghela nafas, lalu mengangguk pelan.

Ren tersenyum kecil. "A-apa misimu itu sangat berbahaya?" tanya Ren ragu-ragu. Vier tertawa, membuat Ren terbengong. "A-ada apa? Kenapa kau tertawa?" tanya Ren kebingungan melihat Vier mentertawakannya. "Wah wah, sepertinya ada yang mengawatirkanku," goda Vier melirik Ren yang terbengong di tempatnya.

"Hey, jangan ke-PD-an ya!?" dengus Ren menyilangkan tangannya. Vier tertawa kecil melihat tingkah kekanakan Ren yang terus saja muncul ketika bersamanya. Sampai ia bertanya-tanya apa ia terlihat seperti guru TK-nya?

"Jujur saja! Dari matamu saja sudah terlihat," tambah Vier lagi yang melihat Ren mulai salah tingkah. "Memangnya kenapa jika berbahaya?" pandangan Vier beralih pada dedaunan yang mulai berguguran. Ren tahu jika sudah seperti ini, tandanya Vier sudah mulai serius. Ia sudah hafal bagaimana saat Vier bercanda dan serius, walau kadang sulit ditebak.

Ren menghela nafas panjang, ditatapnya lekat-lekat sosok Vier yang tak lagi fokus menatapnya. "Apa salah jika aku memintamu untuk cepat kembali?" Vier menatap Ren sejenak, terlihat senyum kecil terlukis di bibir Vier.

"Hey, kau takut jika aku mati ya?"

Ren terdiam. Vier tahu. Tentu saja ia tahu, dia itu seperti seorang peramal yang bisa menebak apa pun yang dipikirkan Ren. Dan terkadang juga seperti pesulap yang menghipnotis Ren untuk melupakan pemikiran konyolnya itu.

"Kau terlihat cemas. Bagaimana jika kita membuat perjanjian?" tantang Vier. Ia selalu berhasil membelokkan pemikiran Ren yang dibilangnya 'bodoh' itu.

"Perjanjian?"

Vier mengangguk. Ia terlihat tersenyum puas Ren terpancing dalam rencana yang bisa dibilang dadakannya itu.

"Yup. Begini saja, kita buat permainan. Jika aku pulang dengan selamat dan kau juga berhasil menguasai element, kau dan aku boleh meminta apapun satu sama lain dan tak ada tapi atau menolak permintaan. Lalu, jika aku pulang dengan selamat dan kau gagal, kau harus menuruti semua permintaanku tanpa terkecuali, dan tentu saja ada hukuman yang kusiapksn untukmu. Dan yang terakhir, bila kau berhasil dan aku gagal maka..."

Vier barjalan pelan ke arah Ren. Ren terdiam di tempat menunggu apa yang akan dilakukan Vier. Vier terhenti tepat tiga puluh senti dari Ren. Untuk bertatap muka dengan Vier, Ren harus mendongakkan kepalanya karena tinggi Ren hanya sampai pada dagu Vier.

Vier mendekatkan bibirnya dengan telinga Ren. "Kau harus membuka identitasmu sebagai perempuan!"

Ren mendorong tubuh Vier, lalu mundur beberapa langkah ke belakang.

"Aku tak setuju dengan yang terakhir!" sentak Ren yang pipinya memerah dengan sebab yang tak jelas. "Lalu bagaimana? Aku harus bangkit dari kematian, gitu," timpal Vier asal-asalan. "Tapi sama saja berat sebelah, apapun yang terjadi hukuman pasti jatuh padaku."

"Tapi jika kau berhasil kau juga akan mendapatkan apa yang kau mau dariku, bukan?"

Ren melempar pandangannya ke segala arah. "Yah, jika kau berhasil juga."

Senyum tipis terlukis samar di bibir Vier. "Terserah kau saja, kau tinggal jawab YA atau TIDAK." cibir Vier santai. Ren bersungut-sungut lalu menghela nafas. Ia memandang Vier sejenak.

"Oke, jawaban dariku YA!" tegas Ren mendapat sambutan senyum penuh kemenangan dari Vier.

"Deal!"

Vier mengulurkan tangannya dan dibalas oleh jabatan tangan oleh Ren.

"Deal!"

.
.
.

Gray berdiri dengan raut wajah sebal. Di sampingnya berdiri sesosok perempuan dengan surai berwarna hitam dengan garis merah pada rambutnya, manik semerah rubynya melirik Gray yang terlihat malas melirik ke arahnya.

"Hey hey. Jangan pura-pura tak senang aku ada di sini, Gray."

Perempuan itu melirik Gray dan sedikit menggodanya untuk berbicara padanya. Hasilnya nihil. Gray tetap terdiam di tempatnya. Manik abunya menatap kosong ke depan. Perpuan itu menggertakkan giginya melihat tanggapan Gray yang menyebalkan baginya.

"Ayolah, mengaku saja! Kau senang aku ada di sini, kan?"

Gray menghela nafas dan melirik perempuan di sampingnya malas.

"Senang gundulmu! Keberadaanmu di sini bukannya membantuku, tapi membebaniku. Lagian kenapa mereka mengirimmu bukan yang lain saja. Misi ini tak akan bisa sukses jika kau yang di kirim. Apa otak mereka sedang konslet atau kau yang menghipnotis mereka, sampai kau yang dikirim untuk membantuku!?" omel Gray panjang lebar kali tinggi.

"Dengar ya Gray! Kau kira aku ini apa? Batu yang segede gunung, sampai membebanimu begitu. Dia itu cuma seorang bocah, Gray," kata perempuam itu enteng seraya mengibaskan tangannya.

"Kau kira tak ada yang mengawasinya!?" Gray mulai geram dengan jawaban asal dari perempuan di sampingnya.

"Maksudmu Blue Phoenix itu? Tenanglah! Penculikan Lya cukup membuatnya sibuk, dan mungkin, cukup membuatnya tewas..." kata perempuan itu disertai seringaian.

"Selama kau tak mengacaukannya aku mengijinkanmu ikut, Ruby."

To be continued...

===============

I'm Back!!

Maaf karna telat (pake banget), pasti nungguin kan?

Readers: Gak!! *lempar sendal*

Ah, oke oke I know.

Saya senang jika masih ada yang mau baca karya saya yang absurd, penuh typo, dan penuh sejuta kesalahan ini. Dan saya juga melihat beberapa pembaca baru, "Selamat bergabung!"

New Readers: Kok perasaan gak enak yak!?

Ah, lupakan!

Intinya yang sudah mampir TERIMA KASIH BUANYAK!!

Sampai jumpa di hari RABU EMEJING, selanjutnya (^.^)/

See you next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro