Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

✔ Chapter 1

Ren mengatur napasnya yang tersengal. Lututnya terasa lemas setelah berkali-kali menukik pada undakan-undakan tangga yang tiada habisnya. Entah sudah berapa banyak undakan yang sudah ia pijaki, pastinya terlalu banyak hingga kakinya keram. Sejenak Ren menengadah, melihat susunan undakan tangga sepiral yang meliuk-liuk sampai ke atas sana. Melihatnya saja membuat kaki Ren makin lemas, apa lagi harus memijakinya satu per satu.

Ren mendudukkan dirinya asal di atas salah satu anakan tangga, lantas merenggangkan otot-otot kakinya yang menegang. Sejenak, Ren mulai terbawa ke alam bawah sadarnya (dibaca: melamun). Angin mana yang membawakannya keberuntungan dan kesialan secara beruntun? Ia hampir-hampir bersyukur sampai berlinang air mata saat menerima surat yang menyatakan dirinya lolos tes beasiswa di sekolah kenamaan di Benua Sapphire, Royal High School. Namun, semuanya enyah selepas Ren tiba di Royal High School siang tadi.

Gadis itu tak pernah menyangka, hari pertamanya di Royal High School benar-benar buruk. Saat ia sampai di gerbang utama sekolah itu, tak pernah terpikir dalam benaknya bahwa, jarak gerbang utama dan gerbang asrama mencapai dua kilo meter. Intinya, Ren harus berjalan jauh melewati jalanan berbatu granit dan melawan kepenatan yang terus melanda, rasa haus yang menggerogoti kerongkongan, dan nyeri yang merambati kaki-kakinya.

Bukan hanya itu, saat pengurusan berkas-berkasnya dengan pengurus asrama berlangsung amat lama. Hampir tiga jam Ren berdiri di depan Ny. Belle untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebagian menjurus pada data dirinya. Wanita paruh baya itu tak mempersilahkan Ren mengisi sendiri data dirinya, bahkan saat Ren akan protes dengan salah satu data dirinya, Ny. Belle mengacuhkannya. Parahnya lagi, data diri itu merujuk pada kolom 'gender'. Tercetak tebal di sana, laki-laki. Oke, itu lumayan buruk, atau itu sangat, sangat, sangat buruk. Tapi, memang dilihat-lihat benar, sih, penampilan Ren mirip laki-laki,  bahkan dirinya tak yakin ada orang lain yang melihatnya menggunakan bawahan selain celana. Dengan fakta itu, sudah jelas, kan. Mana ada orang yang akan melemparkan pertanyaan tentang gender jika bisa dilihat langsung. Itu benar-benar konyol.

Itu semua cukup melelahkan. Sekarang apa? Ren terpaksa mengiyakan fakta bahwa dirinya mendapat kamar terjauh dari Study Area--Asrama Sayap Kanan. Jangan lupa juga tentang letak kamarnya yang persis berada di lantai tiga (dan kebetulan itu lantai teratas di Asrama Sayap Kanan), tanpa lift pula.

Ren melirik malas jam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Pukul 16.45. Sudah petang, tapi Ren belum juga bisa berehat di atas ranjang empuk yang dimiliki kamar asrama Royal High School. Malahan, kini ia tengah berehat di atas undakan tangga terkutuk yang dimiliki Royal High School.

Tak lama terdengar derap langkah rendah dari arah tangga bawah. Ren terdiam. Mencoba mendengarkan suara pelan yang membuat suaranya seakan-akan hanya ada di pikirannya. Ren berdiri lantas memutar pandagannya ke arah bawah untuk melihat apakah gerangan yang menimbulkan suara berderap. Tak lama Ren melihat sesosok laki-laki yang memakai setelan jas. Laki-laki yang mengendarai mobil yang digunakan untuk menjemput Ren tadi siang, juga orang yang menurunkannya sembarangan di depan gerbang terluar Royal High School.  Ren masih hafal betul rambut blonde yang menawan itu.

Laki-laki itu nampak tersenyum saat melihat Ren. Gadis itu berdiri mematung dengan tatapan bingung ke arah sosok yang tersenyum padanya. Jujur, penampilan yang urak-arikan saat ini menambah Ren seperti seorang idiot yang menatap seorang genius dengan pertanyaan satu tambah satu yang terus terngiang di kepala.

"Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Ren tiba-tiba selepas sadar dari tingkah kebingungannya.

"Saya mendapat perintah untuk membantu Anda sampai ke kamar," jawab laki-laki itu dengan nada sopan.

Sejak pertama bertemu, laki-laki itu terus berbicara dengan nada sopan seakan-akan Ren adalah majikan atau bahkan rajanya. Laki-laki itu juga selalu memanggil Ren dengan sebutan 'Nona'. Sampai Ren heran, kenapa laki-laki itu tak mengiranya sebagai laki-laki?

Memang, sih, kebanyakan siswa Royal High School adalah orang-orang berdarah biru, para penguasa, juga orang-orang kaya. Tapi, memanggil seorang siswa beasiswa dengan sebutan 'Nona' amat terdengar berlebihan.

"Nona, Anda tidak papa?" laki-laki itu mengibaskan tangannya di depan wajah Ren.

"I-iya aku baik-baik saja," jawab Ren gelagapan. Ia tak tahu kenapa dirinya sering kehilangan kendali diri dan sering melamun ketika berbicara dengan orang lain. "Kaubisa membantuku membawa ini?" Ren menunjuk sebuah koper berukuran sedang yang sedari tadi membebaninya.

"Tentu," jawab laki-laki itu, "jadi ini yang membuat anda belum sampai di kamar sampai sepetang ini?" lanjutnya sembari mengangkat koper Ren dan berjalan duluan ke atas.

"Membiarkan perempuan mengangkat koper berat dengan manaiki ribuan tangga satu per satu adalah sebuah penyiksaan," ujar Ren sembari membuat nada bicaranya ketus, tapi malah terdengar menggelikan.

Laki-laki berambut pirang itu terkekeh. "Jadi, Anda punya dendam kesumat dengan saya?" sautnya beberapa saat kemudian.

"Hah? Apa hubungannya?"

Terdengar kekehan kecil dari laki-laki pirang yang entah siapa dan apa kedudukannya di Royal High School. Setelahnya suasana kembali lenggang. Yang terdengar hanyalah gemeletuk derap sepatu mereka.

Ren mendongakkan kepala. Sudah tak ada uliran tangga lagi, maknanya ia sudah sampai di susunan tangga terakhir dan ... Selamat datang di kamar!

Ren menghela napasnya lega. Kamar nomor 3.10. Gadis itu mencocokkan nomor kunci dan angka yang tertera pada masing-masing pintu.

"Apa selalu selenggang ini saat senja? Ke mana mereka semua?" tanya Ren sembari sibuk mencari pintu berangka 3.10.

"Siapa?" laki-laki pirang itu melirik Ren dengan ekor matanya.

"Abang penjual cilok," ketus Ren membuat laki-laki pirang itu kembali terkekeh.

"Anda satu-satunya siswi yang menempati lantai tiga--"

"Apa?" sela Ren. "Sa-tu-sa-tu-nya?" Ren menekan setiap kata yang ia ucapkan.

Laki-laki pirang itu tersenyum. "Tenang saja. Tak akan ada hantu yang meneror Anda," candanya, "juga tak ada tetangga asrama yang mengganggu. Anda akan merasa damai di sini," lanjutnya kemudian.

"Aku malah merasa kaumengataiku mati."

"Kamar 3.10. Ini kamar Anda," kata laki-laki pirang itu menghiraukan perkataan Ren. Lantas ia meletakkan koper Ren di depan pintu. "Saya izin undur diri."

belum sempat Ren bicara, laki-laki pirang itu sudah berlalu dari pandangannya.

"Yasudahlah ..."

Ren kembali menghela napas, lantas memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Ceklek. Pintu dengan ukiran ivy itu terbuka membentangkan pemandangan kamar asrama yang kelewat mewah. Ren sempat ternganga melihat kamar yang akan menjadi miliknya selama di Royal High School lima kali lebih luas dari kamar lamanya.

Ren kembali menggelengkan kepalanya. Mengusir semua rasa kekaguman berlebih yang tak baik untuknya. Gadis itu lantas memijakkan kakinya ke dalam ruangan dengan lantai pualam berwarna krem yang terlihat kontras dengan dinding berwarna putih gading. Ada satu single bed dengan seprai satin berwarna hijau tosca di sisi ruangan, tepat menghadap pintu balkon yang terbuat dari kaca terbalut gorden tipis berwarna putih. Ada juga sebuah sofa kecil berwarna hijau di atas sebuah karpet beludru berbentuk lingkaran, di sampingnya ada nakas kecil yang di atasnya terdapat vas porselen dan setangkai bunga daisy. Rak buku, bifet, lukisan yang tertempel di dinding, juga lampu kristal yang tergelantung di langit-langit membuat suasana ruangan itu makin elegan.

"Siapa pun yang mendesain kamar ini, sungguh luar biasa."

Ren langsung menjatuhkan diri di atas ranjang empuk. Bukan lagi dipan keras yang membentur punggungnya, tapi sebuah kasur seempuk bunga kapas yang menenggelamkan punggungnya ke dalam belai hangat seprai satin. Tanpa sadar, dirinya semakin mengantuk dan terlelap, lantas mulai bertualang bebas ke dalam alam mimpi.

Keringat dingin mengalir membasahi pelipis juga tengkuk Ren. Ia hampir tak bisa bernapas, menahan sesak yang terus mengimpit paru-paru. Kekagokan macam apa yang membuatnya makin grogi berdiri di depan 52 pasang mata yang melototinya dengan tatapan mengintimidasi, bukan, maksudnya tatapan yang biasa kau dapatkan saat menjadi yang baru diantara yang lawas.

"Baik, Ren. Perkenalkan dirimu." suara halus Mrs. Zee membuyarkan lamunan Ren.

"Ah, i-iya," jawab Ren reflek sekenanya. Ren mengatur napasnya, mengisi penuh paru-parunya dengan udara lalu kembali menghembuskannya lewat mulut. Ren mengangkat wajahnya. Menatap lurus ke depan, menerobos 52 pasang tatapan menguliti itu tak acuh. "P-erkenalkan n-amaku Ren L-eighton, dari kota Tropicae. M-ulai hari ini, a-ku akan b-elajar bersama k-alian." Ren mencoba menekan kegagapannya, tapi malah terdengar menggelikan.

"Apa ada pertanyaan?" Mrs. Zee menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru kelas.

Ren terdiam. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tak berani terlalu berharap karena selalu ada kemungkinan tak terduga yang membuat harapannya pupus begitu saja. Tapi sekarang, Ren sangat, sangat,sangat berharap sesi perkenalan dan basa-basi ini kunjung selesai.

"Baik--"

"Mrs!" suara berat seorang laki-laki memutus perkataan Mrs. Zee.

"Ya, Vier." Mrs. Zee menunjuk seorang laki-laki yang mengangkat tangannya untuk unjuk bicara.

Ren menyipitkan mata. Menilik seorang laki-laki yang duduk di deret bangku paling belakang. Ia tak perlu susah-susah mencari sosoknya, karena surai kebiruannya yang berkilauan ditimpa cahaya matahari yang menerobos kaca jendela. Ya, dia cukup ... Tampan (dilihat dari segi mana pun).

"Apa dia murid beasiswa?" Entah kenapa setelah pertanyaan itu terlontar darinya, suasana jadi agak mencekam dan atmosfer menjadi berat.

"Yeah, kalian tahu alasan kenapa ia ada di kelas ini," jawab Mrs. Zee lantas tersenyum kecut.

Sejenak kelas lenggang. Semua tatapan yang mengarah Ren semakin menghunus. Mereka semua bersikap seakan tak pernah ada murid beasiswa yang menjejakkan kaki di Royal High School.

"Baiklah, Ren," ujar Mrs. Zee memecah keheningan, "silahkan duduk di bangku yang masih kosong," lanjutnya mempersilahkan.

Ren mengangguk lantas berjalan ke arah bangku yang ditunjuk Mrs. Zee. Sebuah bangku deret pojok paling belakang. Bangku yang bersisihan dengan jendela, juga tepat di seberang bangku milik laki-laki pemilik surai kebiruan itu.

Ren menghela napas. Pada akhirnya sesi perkenalannya berakhir dengan amat sangat membosankan.

"Kuperingatkan padamu," kata Vier membuat Ren sedikit terperanjat lantas tertoleh. "Tak pernah ada murid beasiswa yang bertahan di sekolah ini," lanjutnya beberapa detik kemudian.

Terdiam. Ren tahu ini hanya tradisi yang dilakukan penghuni lawas pada penghuni baru.

Vier terdengar mendengus. "Aku tak peduli kau mau mendengarkan atau tidak. Tapi, pastinya kau harus berhati-hati hidup sebagai siswa beasiswa di sekolah yang menjunjung tinggi kasta. Orang-orang dengan kasta rendah di sini punya nasib yang miring."

Ren terhenyak, lastas membuang perhatiannya dari Vier. Ini bukan apa-apa. Dia hanya menakutimu, ujar Ren dalam hati. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali mempercayai dirinya sendiri. Jika Vier bilang sekolah ini menjunjung kasta, maka tak ada yang bisa dipercaya kecuali diri sendiri jika kau seorang yang memiliki kasta 0.

"Maaf, bukannya lancang, tapi bukannya orang yang ada di kelas ini memiliki rata-rata kasta yang sama?" tanya Ren tanpa mengalihkan pandangannya.

"Huh, begitulah. Tapi, setidaknya kami berada di sini dengan menanggung biaya sendiri, bukan seperti kau, murid beasiswa." perkataan Vier malah terdengsr sarkastis di telinga Ren.

Astaga, Ren. Berhenti bicara dengannya!

Vier tertawa kecil membuat Ren bergidik. Pasalnya tawa itu menebar aura yang dingin dan mengancam untuk Ren.

"Kenapa? Kau takut?" tanyanya dengan nada sinis.

"Tidak," tegas Ren mulai geram.

Vier tersenyum puas di sana. Puas telah membuat Ren terpancing. Namun, Ren lekas-lekas bersikap tak acuh. Membuang kekesalannya jauh-jauh. Karena ini semua baru saja dimulai! Akan ada waktu di mana ia bisa membalas Vier.

Kaki-kaki Ren melangkah ringan memijaki lantai pualam lorong area belajar. Sesekali ia berdecak kagum melihat gaya arsitektur lorong itu yang menawan. Bukan lorong gelap yang sepi seperti yang tergambar pada film-film horor atau apa pun, tapi lorong lenggang yang terang oleh lampu-lampu kristal yang tergantung pada langit-langit lorong.

Ren memutuskan untuk berjalan-jalan di hari keduanya di Royal High School. Walau mustahil baginya untuk berkeliling Royal High School seluruhnya. Jika jarak gerabang utama dengan gerbang asrama saja kurang lebih dua kilo meter, apa kabar panjang jalur yang harus Ren tempuh untuk berkeliling.

Ren mendengus. Mengingat kembali apa yang ia alami pada hari keduanya di Royal High School. Monoton dan cukup menyebalkan. Dua hal yang bisa menggambarkan suasana yang dirasakan Ren. Tapi, setidaknya hari ini lebih baik dari kemarin. Yeah, walaupun tentang undakan tanggan sepiral itu tak akan terhapus, setidaknya harinya di Royal High School cukup membaik.

Terlalu sibuk bergelut dengan lamunannya, tanpa sadar seseorang menabraknya hingga keduanya sama-sama tersungkur. Ren tak tahu dosa apa yang telah ia lakukan sampai-sampai dewi fortuna jarang meliriknya. Lengkaplah hari-harinya di Royal High School dengan patokan ambang batas antara keacuhan dewi fortuna dan ketidakacuhannya. Oke, itu mulai berlebihan.

"A-anu ... M-aaf. Kau tak apa?"

Seorang perempuan lekas-lakas menghampiri Ren yang masih belum merubah posisi tengkurapnya. Perempuan itu berseru panik sembari berusaha menolong Ren.

"T-tenang. Aku tak apa," ujar Ren sembari menepis halus tangan perempuan itu.

"Betul kau tak apa? Ada yang terluka, lebam, atau patah, mungkin?" perempuan dengan manik magenta itu terus melempar pertanyaan dengan tempo ekspres kepada Ren. "Astaga, sekali lagi maafkan aku. Andai saja aku berhati-hati aku tak akan menabrakmu," lanjutnya kemudian.

"Aku tidak papa," tegas Ren menekan kekesalan pada nada bicaranya.

"Benarkah?"

"Iya."

"Betul kau tak apa?"

"Iya. Aku baik-baik saja." Ren mati-matian menahan emosinya.

"Kau--"

"Sudah. Aku baik-baik saja," tegas Ren hampir terdengar menggertak.

"Syukurlah," ucap perempuan itu akhirnya. "Jika ada apa-apa karena aku, kau bisa menuntutku. Namaku Syira Myrenta. Kurasa itu cukup, sampai jumpa." setelah mengatakan itu perempuan yang mengaku dirinya Syira itu bergegas pergi. Langkahnya terlihat tergesa, seakan ia tengah berkejaran dengan waktu.

"Dia cantik, tapi agak aneh," gumam Ren pelan. "Eh, tunggu! Apa dia bilang Myrenta?"

Ren terhenti, menatap belokan lorong tempat Syira terakhir terlihat.

"Dia seorang putri."

✔SUDAH DIREVISI

Note:

Lin nggak tahu ini lebih baik atau malah tambah ambrul-adul, tapi setidaknya ini yang bisa Lin tulis.

30 September 2017

Salam, AleenaLin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro