Epilog
Ini epilog rasa extra chapter sih karena mayan panjang, hehe.
Dan menurutku ini adalah ending paling masuk akal untuk Isa dan Aksal. Mereka saling jaga.
Enjoy, though~
***
Hari menjadi minggu. Minggu menjadi bulan. Dan bulan-bulan berlalu. Tidak banyak hal yang berubah. Sebagian besar hal, masih berputar di porosnya, seperti bumi dan rotasinya sendiri.
Kupikir... Bia menjadi sedikit lebih berani sekarang. Seperti beberapa hari lalu. Aku membuka jendela untuk menghirup udara segar. Namun yang kutemui justru buntalan selimut, dan Bia yang bergelantungan di ujungnya sebelum melarikan diri, pada sudut gelap tempat Pandawa memarkirkan motornya. Sementara Papa ada di satu ruangan lain di rumah ini. Sebelumnya, dia tidak seberani ini. Tapi aku tidak begitu keheranan karena yah, seperti kebanyakan remaja, orang yang dimabuk cinta memang agak tolol dan nekat.
Papa adalah alien bagiku. Kadang-kadang, dan sebagian besar waktu dia sangat baik. Tapi aku tidak pernah mengharapkan dia marah seperti yang pernah kulihat. Itu menghancurkan image yang selama ini kubangun untuknya. Dia baik, tapi sedikit saja melangkah keluar dari garis prinsipnya, tamatlah. Seperti yang Bia lakukan. Tinggal menunggu waktu.
Mama... Mama is just Mama. Kupikir dia sedang mengukuhkan posisinya sebagai ibu tiri yang licik, kejam dan bermuka dua. Kudengar sifat orang tidak akan berubah setelah usia empat puluh, dan dia sudah empat puluh dua tahun ini. Ketika ada Papa, dia seperti malaikat. Namun di belakang, yah... bahkan aku muak dengannya.
Terdengar bunyi piring yang berkelantang keras di lantai, lalu pecah berhamburan. Aku yang baru saja kembali dari dapur untuk mengambil minum, terhenti. Kulihat Mama berdiri di antara ruang dapur dan ruang tengah. Pecahan piring dan makanan terserak tidak jauh dari kakinya, juga kaki Bia yang mematung.
"M-maaf, Ma," akhirnya ia merengek terbata, kedua tangan ditangkupkan. "Bia cuma mau minta ganti nasi gorengnya karena Bia alergi udang. Bia minta maaf."
"ANAK NGGAK TAHU DIUNTUNG!" hardik Mama. "UDAH DIKASIH MAKAN! POKOKNYA NGGAK ADA MAKANAN BUAT KAMU!" Kepada Bi Nur, ia berpaling. "Jangan kasih dia makan sampai besok! Biarin aja mati kelaperan!"
"Ma! Tapi Bia belum makan dari tadi siang!"
Mama memutar bolamata. Seolah airmata yang mengucur di pipi Bia mampu membuatnya berubah pikiran. Tentu saja tidak, airmata dan lebam-lebam dari putri kandungnya sendiri saja tidak mampu menggerakkan hatinya. Dengan ujung sandal rumahnya, ia menyungkil sisa-sisa nasi goreng di lantai.
"Nih, kalau mau makan, ambil di lantai!"
Pemandangan itu memuakkan, memualkan. Karena aku ingat kejadian yang sama pernah terjadi dulu, padaku. Di tengah malam memunguti sisa-sisa nasi dari lantai lantaran sudah gemetaran karena belum makan. Nasi yang keras itu terasa asin, tercampur tangis.
Aku memalingkan wajah dan dengan cepat beranjak kembali ke kamarku, tidak ingin mengingat kejadian itu. Lebam-lebam dan luka-luka yang ia torehkan di tubuhku telah lama sembuh, kukira. Ternyata tidak. Ternyata kenangannya, dapat menyakitiku sekali lagi, dan terus berulang-ulang. Ia tertanam dalam, tanpa dapat disembuhkan.
Maka aku dengan gusar menggeledah isi tas dan laci. Aku hanya menemukan sebungkus roti. Lalu, aku menunggu hingga suara-suara di bawah mulai sunyi. Langkah-langkah kaki Mama terdengar jelas, menghentak keras pada lantai saat ia berjalan ke kamarnya.
Saat aku turun, Bia sendirian, memeluk lututnya di depan sisa-sisa nasi dan piring yang belum dibersihkan. Mungkin Mama sengaja, melarang Bi Nur membersihkannya. Membiarkan Bia harus memilih antara menahan lapar atau memakan makanan sisa itu. Aku bahkan melihatnya sempat membuat sisa makanan yang masih ada di piring dan wajah ke tempat sampah.
Ketika Bia akhirnya menyerah dan mulai meraih sisa nasi dari lantai, aku mencegat tangannya.
"Nih," kataku, menyodorkan roti. "Cuma ini adanya."
Ia menatapku, matanya berkaca-kaca, dan aku segera memalingkan muka. Itu bukan apa-apa, hanya roti. Jadi, setelah ia menerimanya, aku buru-buru pergi.
Aku bukan ingin sok baik. Heck, aku bahkan tahu malaikat pencatat keburukan bekerja keras untukku dan malaikat pencatat kebaikan menatapku sinis. Tapi apa yang pernah kualami ... tidak harus dialami oleh orang lain. Dia tidak harus memakan nasi keras dari lantai sambil menangis. Dia tidak harus terluka sepertiku.
Seperti yang Aksal katakan, lakukan. Kekurangan di keluarganya tidak menjadikannya seseorang yang menyakiti orang lain sebagai pelampiasan, justru sebaliknya. Dan meski aku tidak seperti itu, aku ... menganguminya.
Ah... bicara soal Aksal. Aku belum mendengar kabarnya sejak siang. Sibuk, kurasa. Dia sempat bercerita bahwa menjelang akhir masa jabatannya sebagai ketua OSIS dan menginjak tahun ketiganya juga di sekolah, ada banyak laporan yang harus dikerjakan, program yang dibenahi, belum lagi akademik yang menuntutnya untuk fokus. Dan jangan lupakan the Effects.
Aku menonton audisinya minggu lalu. Meski semua orang mungkin fokus pada Navy yang membawakan lagu karyanya sendiri dengan mengangumkan, aku tidak bisa melepaskan tatap dari Aksal.
Kurasa, aku harus berhenti memikirkannya karena aku juga punya tugas dan tujuanku sendiri.
Aku mematikan lampu utama di kamar dan menghidupkan lampu meja. Kubuka lembar latihan Matematika terakhir yang kukerjakan, juga menyiapkan alat tulis dan buku untuk coret-coret. Menjelang kelas sebelas, aku sudah menetapkan satu tujuan. Bisa dibilang, ini adalah ambisi pertamaku.
Baru mengerjakan dua soal, ponselku bergetar di ujung meja, memecah konsentrasi karena ... aku sudah membisukan pemberitahuannya. Kecuali untuk satu orang.
[Kacang Polong]
Sedang apa?
Belajar.
Nggak percaya.
Dih.
Mana buktinya?
Aku mendelik. Ketika kubilang aku akan masuk sepuluh besar di ujian kenaikan kelas, ia juga memberikan respons yang sama dengan nada bercanda. Ketika aku menepuk lengannya cukup keras, dia tertawa, sebelum memberiku semangat. 'Top ten spot is yours. I knew it,' katanya.
Kali inipun, aku tahu dia hanya sekedar iseng menggoda. Karena belajar dan Isa tidak benar-benar berteman akrab sebelumnya. Jadi aku memundurkan tubuh sedikit, membuka fitur kamera, lalu mengambil foto meja belajarku yang berantakan, penuh buku hingga dasarnya tidak terlihat lagi.
Tidak berapa lama, dia langsung membalas. Siapa tahu Papa kamu yang belajar?
Aku memutar bola mata, pada akhirnya, mengambil potret diriku sendiri dan mengirimnya.
[Kacang Polong]
Kurang capek apa kelihatannya?
Saved
Ini modus biar dikirimin foto, ya?
:)
Kamu sedang apa?
Menatap foto kamu
Sebelum itu?
Chatan sama kamu
Ah, males.
Aku bisa membayangkan dia tertawa di ujung sana. Siapa menduga, si ketua OSIS karismatik, Pangeran Aksal Adiwilaga adalah seorang yang senang bercanda? Suka menggoda, kadang sampai membuatku ingin meninju lengannya.
Ada beberapa lagi pesan masuk darinya, mengira aku merajuk, mungkin. Aku berniat mengabaikannya sebentar, membiarkannya berpikir aku benar marah. Tiba-tiba, sebuah video call masuk. Kacang Polong. Aku seketika panik. Sembari menyisir rambut dengan jemari, aku buru-buru menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menempatkan bantal di pangkuanku sebelum menerima panggilan itu.
"Apa?" tanyaku, berusaha terdengar terganggu meski sebenarnya tidak apa-apa, meski aku tidak keberatan.
"Tidur sana," jawabnya.
"VC cuma buat itu?" Hidungku pasti berkerut, turut menyuarakan tanda tanya besar di kepalaku. Dia sedang kurang kerjaan atau apa?
Di seberang, Aksal terkekeh. Pencahayaan di kamarnya gelap, tapi aku masih dapat menandai warna putih selimutnya, kaos abunya, atau wajahnya. Kenapa dia terlihat lebih menarik dengan cahaya buram dan kualitas kamera yang buruk seperti ini? Sial.
"Saya masih ada kerjaan," katanya menambahkan.
"Saya juga."
"Belajar?"
Aku mengangguk.
"Ya udah kerjain."
"Kamu juga kerjain kerjaanmu sana."
"Saya masih mau ngobrol sama kamu."
"Tsk." Aku berdecak, tangan terulur ke belakang tanpa tujuan, tapi tanpa sengaja, aku menyentuh kertas formulir yang tadi kuletakkan di sana. Ah, aku lupa mengisinya.
"Itu apa?"
Buru-buru, aku menyimpannya. "Jangan ngintip!"
"Kayak bisa ngintip aja dari sini," cowok itu gantian berdecak. "Pokoknya, temenin saya."
Alisku mengerut, menyuarakan pertanyaan.
"Kamu nemenin saya ngerjain laporan, saya nemenin kamu belajar," katanya, beringsut kembali ke meja belajar, sepertinya. "Jangan dimatiin videonya."
Aku turut beranjak kembali ke kursiku, lantas meletakkan ponsel di atas meja, menyandar pada kotak pensil.
"Nanti saya ganggu kamu."
"Enggak." Dia mulai membuka laptop, kemudian tersenyum ke arahku. "Kamu nggak pernah ganggu. Saya senang, ditemani kamu."
Karena itulah, satu setengah jam berikutnya, video itu masih tersambung. Kami mengerjakan bagian kami masing-masing. Kadang, kami tidak bicara untuk waktu yang lama, kadang bertukar pendapat, kadang ... aku mencuri pandang, dan kadang juga ... tatap kami bertemu, dan Aksal tersenyum.
Dia benar-benar ... teman terbaikku, saat ini. Manusia favoritku.
***
Dua minggu sejak semester baru berjalan, Aksal sudah sibuk kesana-kemari. Dia sudah berada di kelas XII sekarang. Ada banyak yang akan dihadapi, ujian sekolah, try out, persiapan penerimaan mahasiswa baru. Sehingga ada banyak yang harus dilepas. Dengan resmi Aksal sudah mengakhiri masa jabatannya sebagai ketua OSIS, meskipun banyak laporan yang harus dia kerjakan. Juga, satu tanggung jawab kecil, membimbing hingga ketua OSIS yang baru terpilih.
"Ada berapa orang yang daftar jadi calon ketua OSIS yang baru?" tanyanya pada Saskia, bendahara OSIS saat sedang membereskan menunggu print laporan kegiatan tahunan selesai.
Sejak Veloxa dicopot dari jabatannya sebagai Sekretaris OSIS, Aksal nyaris mengerjakan semuanya sendiri, kelimpungan sendiri. Syukurlah, semua itu segera berakhir.
Saskia memperbaiki letak kacamatanya sembari mengecek kembali jumlah kertas di tangan, itu adalah formulir pendaftaran beserta data singkat. "Totalnya sih 3 orang."
Aksal mengangguk-angguk. Tiga bukan angka yang besar, tetapi di sekolah mereka selalu tidak banyak yang berminat pada jabatan itu, ketua OSIS terdahulu bahkan sampai membujuknya untuk mencalonkan diri.
"Ini datanya," kata Saskia sembari menyerahkan formulir-formulir itu.
"Mereka kapan mau wawancaranya?"
"Er...," Saskia mengernyit. "Sekarang, kayaknya?"
Di belakangnya, pintu diketuk sebelum melayang terbuka. Wajah-wajah familiar namun tidak Aksal ketahui namanya menyapa. Lambang di dadanya menunjukkan mereka kelas XI.
"Kandidat OSIS?" Aksal berdiri. "Masuk."
Mereka masuk satu persatu. Pertama adalah seorang anak laki-laki kurus dan tinggi, berkaca mata tebal. Ia mengenalkan diri sebagai Javier. Yang kedua memiliki badan yang cukup berisi dengan potongan rambut rapi dan pendek, seperti habis dari barber. Namanya Ilham, dan dia adalah ketua OSIS waktu SMP. Dan terakhir, masuk seorang perempuan. Perempuan yang kemudian membuat Aksal terperangah.
"Hai," katanya, sedikit kaku.
"Siapa nama kamu?" Aksal bertanya, dan merasakan deja vu yang hebat saat pertanyaan itu bergulir dari bibirnya.
Tetapi tidak seperti pertama kali, sekarang gadis itu tersenyum. "Isa. Anisa Putri. Salam kenal."
Dan di balik perkenalan formal itu, ada satu kedipan mata, ada satu pesan tersirat. Pesan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua.
Nanti, makan siang bersama. Di atap.
❤❤❤
Credit on Pinterest
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro