Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 6

disclaimer: 

ide cerita diambil dari writing prompt. jadi dulu aku ikut writing fess, di situ sistemnnya pembaca/penulis submit prompt (ide) yang mereka mau baca terus penulis lain pilih prompt yang mau ditulis. Aku pilih prompt yang isinya kira-kira gini: kisah cinderella, tapi pemeran utamanya di saudara tiri.

So, tolong hentikan ya menyebut drama-drama lain di cerita ini, padahal aku sendiri nggak tahu ceritanya kayak gimana.

.

.

.

(timeline-nya saat Candy masih sebal-sebalnya sama Navy)

.

Guru mata pelajaran Bahasa Inggris terlambat datang . Akibatnya, kelas yang sudah riuh selayaknya pasar, berubah menjadi semacam arena tawuran.

Bahkan ketika aku menyisipkan earphone ke telinga dan menyetel musik dengan volume keras, itu tidak mampu menghalau keberisikan yang mengisi setiap penjuru kelas. Usahaku justru menambah kebisingan yang sudah ada. Kumatikan musik, kepalaku mulai sakit.

"Lo udah liat belum? Kak Navy update IG tadi malem dan gumush baget doooonggg!!!"

Suara anak bernama Deera di kelasku adalah salah satu yang bisa paling jelas kutangkap, selain karena jarak tempat duduk kami yang cukup dekat, juga karena suaranya yang seperti tertelan speaker.

"Yang mana si?" Poppy menyambar.

"Ituuu yang pake kaos putih, terus keliatan lesung pipinya. Gila gemes banget pengen bawa pulang! Mleyot gue disenyumin pake lesung pipi gitu!"

"Ih, lo Deer," anak berkacamata bernama Selin menoyornya. "Pas liat Kak Navy mleyot, pas liat Kak Nino mleyot, pas liat kak Pandawa mleyot. Apa sih yang lo nggak mleyot?!"

Tadinya, aku akan mengabaikan obrolan mereka. Tetapi nama terakhir yang disebutka membuat tanganku yang mencoret asal di bagian belakang buku menjadi terhenti. Telingaku coba menangkap lebih banyak pembicaraan.

"Pas liat Echan mah enggak."

"Itu artinya jodoh."

"AMIT AMIT JABANG POHON!!!"

Di tegah kekacauan itu, Poppy tampak membuka ponselnya. Wajahnya langsung semringah seketika.

"Eh iya gue baru liat! Cakep banget Kak Navy!!!"

"Bisa nggak sih kita nggak ngomongin manusia dajj─ maksud gue Kak Navy terus?" Cewek dengan rambut pendek sebahu, Candy, melerai. "Gue perhatiin ampe juling nggak ada cakep-cakepnya, tuh. Cakepan Kak Aksal kemana-mana!"

"Candy sebentar, deh." Deera menangkup pipi cewek itu, lalu sebelah tangannya menbuka mata Candy lebar-lebar hingga cewek itu berusaha membebaskan diri. "Lo sakit mata atau apa sih? Yang spek dewa gitu lo bilang nggak cakep! Lah, modelan gue apa dong?!"

"Kita mah bukan jelek lagi. Tapi remaja keriput ya nggak, Can?" Selin tertawa. "Eh tapi kalau ditanya siapa paling cakep sih gue masih ngefans berat sama Kak Pandawa. Apa ya, gantengnya dia itu anteng, terus vibesnya kayak cool banget."

"Setuju sih. Tapi di hati gue tetep Kak Aksal seorang!" Candy mengangguk-angguk.

"Kalau gitu gue pegang Kak Nino!" Poppy menimpali.

"Gue Langit nih?" Cewek paling tinggi dan sedikit tomboy yang sedari tadi diam ikut berseloroh.

"Kaga! Lu mah milik Jeje seorang!"

Navy, Aksal, Nino, Langit. Aku tidak tahu siapa mereka. Tetapi sepertinya, mereka orang-orang yang dekat dengan Pandawa.

Aku menempelkan sebelah pipi di atas meja, memandangi jendela di luar kelas. Pandawa, anak laki-laki itu. Kapan aku bisa menemukannya lagi? Dan memastikan ... itu benar-benar dia.

***

Aku melihatnya lagi setelah nyaris seminggu.

"Sayang sekali, Anisa, program ekstrakulikuler di sekolah kita bersifat wajib. Kamu harus memilih setidaknya satu bidang yang kamu minati. Menggambar, misal? Atau musik?" Bu Laila, Wakil Kepala Bidang Kurikulum menatapku dari kursinya. Ia bicara dengan santai, tetapi aku tahu, aku tidak bisa lagi menawar.

Dengan berat hati, aku menghela napas. "Yang mana, yang paling sedikit peminatnya?"

Pilihanku jatuh pada jurnalistik, hanya karena Bu Laila mengatakan ekstrakulikuler yang satu itu berada di ambang kepunahan karena ... yah, tidak banyak murid yang peduli dengan mading atau majalah sekolah sekarang. Sehingga, tidak banyak anak yang berminat bergabung.

Tidak banyak yang harus kulakukan agar diterima di kelompok tersebut. Bu Laila memintaku mengisi formulir, lalu mengarahkanku untuk pergi ke lantai dua gedung olahraga untuk menyerahkan formulir tersebut.

Kelasnya di ujung, sebelah klub musik, pesan wanita itu.

Klub gambar. Aku memandangi ruangan tertutup dengan pintu kayu yang didepannya digantungi semacam lukisan dengan tulisan kaligrafi yang menunjukkan identitas klub mereka. Aku berjalan lebih jauh.

Ruangan berikutnya tidak mempunyai apapun di depan pintu. Tetapi, pintu itu sendiri terbuka sebesar jarak satu jengkal, memungkinkanku untuk mengintip sedikit ke dalam.

Hal pertama yang kudapati adalah denting gitar. Seseorang sedang memetik alat musik tersebut, dan seharusnya, itu cukup untuk membuatku menyimpulkan bahwa tujuanku berada tepat di sebelah pintu ini. Namun tujuan tidak lagi penting setelah aku menyadari siapa anak laki-laki yang berada di balik pintu itu.

Pandawa. Aku menemukannya lagi.

Kali ini, dia sedang duduk di sebuah sofa abu-abu sambil memangku gitar. Sesekali, ia akan menulis dan mencoretkan sesuatu di kertas di hadapannya. Tatapannya fokus. Begitu fokus hingga ia tidak menyadari bahwa ia sedang ditatap.

Berdiri menatapnya di sana. Memandangi keringat yang turun di keningnya. Mengekori setiap gerak lengannya. Memperhatikan bagaimana banyak hal dalam dirinya tampak berubah namun ia tetaplah anak laki-laki yang kutemui tiga tahun lalu. Terutama, ketika sudut bibirnya tertarik membentuk senyum. Seperti saat ini. Ia sedang mengangkat telepon dan tatapan fokusnya menghilang. Alih-alih, dia menatap ke segala arah. Dia bisa melihatku kapan saja sekarang.

Jadi aku mundur menjauh.

Begitu saja sudah cukup. Hari ini, aku tahu satu hal lagi tentangnya.

Namanya Pandawa dan dia berada di grup musik. Dia juga pandai memainkan instrumen gitar dan membuat lagu. Dia membuat lagu yang indah. Lagu yang akan selalu mengingatkanku padanya, pada senyumnya, pada caranya menyelematkanku.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Tiba-tiba, suara seorang laki-laki berbicara di telingaku. Membuatku terlonjak kaget dan berputar ke arah sumber suara. Aku tidak memperhitungkan jarak yang mungkin kelewat dekat sehingga, untuk satu momen, ada tabrakan pelan. Ada gesekan pelan hidungku dengan bahunya. Ada wangi yang memenuhi inderaku.

Ketika aku mendongak demi menatapnya, ada wajah asing. Hidung yang tinggi, wajah tirus, alis tebal dengan yang rapi, dan tahi lalat di pangkal hidungnya. Dia terlihat seperti seseorang yang akan diidolakan banyak anak perempuan di sekolah.

"Tidak," jawabku.

Lantas menavigasikan kakiku untuk bergerak menjauh dari jalannya. Aku melangkah cepat, secepat yang aku bisa sebelum menarik perhatian lebih banyak orang.

***

pendek dulu, ya. my back's killing me TT

ini hint tipis-tipis, silakan main tebak-tebakan aja. ^^ see you again soon!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro