chapter 5
Selera makanku menguap seketika.
"Bia itu emang anaknya manja, sama almarhum ibunya apa-apa diturutin, nggak pernah dimarahin," Papa kembali bercerita. Ia bahkan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membicarakan anak semata wayangnya itu ketimbang untuk makan. "Tapi anaknya pinter dan nurut, nggak pernah aneh-aneh. Disuruh les renang, dia les renang. Disuruh les piano, dia les piano."
Bia. Bia. Bia. Untuk kesekian kalinya dia membangga-banggakan anak itu. Mungkin sudah kesepuluh kali sejak aku tiba di sini dan dia membicarakan hal yang sama.
Ibuku bahkan tidak lagi repot-repot memalsukan sifat manis dan ikut memuji. Monster yang kerap berkedok malaikat di depan Papa itu sepertinya punya taktik berbeda sekarang. Yang ternyata tidak kalah membuatku ingin cepat-cepat menghabiskan makan dan pergi dari tempat itu.
"Oh, ya? Tapi kamu harus lebih tegas, Mas. Jangan apa-apa dimanjain. Anak sekarang suka aneh-aneh, kita aja yang nggak tahu. Tapi kalau Isa sih aku tenang, Mas. Anaknya aja anteng gitu. Sukanya di rumah aja."
"Oh, ya?" Papa menatapku. "Kamu nggak suka main-main ke luar, Isa? Bia itu dari kecil nangis kalau dikurung di rumah. Sukanya main ke luar, main sepeda atau jalan-jalan."
"Anak rumahan kayak gitu," Mama justru menjawab, mengabaikan cerita Papa. "Sukanya ya baca buku, masak, iya kan, Sa? Bapak sambungnya yang dulu juga sering dimasakin." Lalu, seolah merasa ucapannya aneh, dia cepat-cepat menambahkan. "Aku sih nggak maksa, Mas. Cuma anaknya aja yang kreatif, suka bikin-bikin gitu."
Aku cukup terkejut dengan fakta ia tidak menyembunyikan fakta bahwa ia pernah menikah dua kali sebelumnya. Meskipun aku tahu, kebohongan lain telah ia karang sedemikian rupa. Seperti ayah kandungku yang meninggal karena darah tinggi bukannya overdosis, pekerjaannya sebagai penjaga toko pakaian alih-alih jalang. Atau tentang aku yang secara tiba-tiba menjadi anak kebanggaannya.
"Oh, iya. Omong-omong Bia kok belum turun-turun, ya?"
"Tahu nih, Mas. Padahal tadi sudah aku panggil-panggil loh, tapi nggak nyahut-nyahut. Asik main hape kayaknya."
Alis Papa tampak berkerut, seolah ia tidak menyukai gagasan itu.
"Isa," panggilnya, ada nada tegas dalam suaranya. "Tolong panggilin Bia. Suruh turun, makan."
Nada final yang dia sampaikan tidak memberiku banyak alasan untuk mengelak. Aku menelan suapan terakhir makananku dan minum, lalu beranjak ke lantai atas.
Kuketuk pintu kamarnya. Kamar dengan satu-satunya pintu bercat warna merah muda dan hiasan gantungan yang tampak terlalu imut bertuliskan nama Bia. Tidak ada sahutan. Jadi aku membukanya pelan.
Sebelumnya, Bia pernah menyeretku kemari untuk memamerkan kamarnya. Segalanya nyaris serba pink hingga menyakitkan mata. Dimulai dari karpet bulu di tengah kamar, alas tempat tidur, selimut, bantal, meja belajar, lemari, aksesoris dan boneka-boneka. Semuanya pink dalam berbagai rona. Satu-satunya yang kusuka dari tempat itu adalah lantai marmernya serta plafon yang berwarna krim muda.
Aku membenci kamar ini sebanyak aku membenci pemiliknya.
Anak perempuan yang menjadi alasanku datang kemari sendiri tengah berbaring tengkurap membelakangiku. Dengan kedua kaki di angkat ke atas, boneka boba di pelukan dan ponsel di telinga.
Tiba-tiba, ia terkikik dan merengek.
"Iiiih~ Iya, iya! Ini Bia bentar lagi makan kok~ Emangnya Bia nggak boleh diet? Bia kan takut genduuut~"
Dia sedang bicara dengan seseorang di telepon. Kakinya bergerak-gerak sementara tangannya sibuk memilin-milin bagian berbulu dari bonekanya. Lalu, dia terkekeh malu, menyembunyikan wajah dengan kaki mengayun cepat ke belakang.
"Iya, ih! Bawel!!!"
Aku membuka pintu lebih lebar dan mengetuk sekali lagi. Kali ini, Bia tampak terkejut. Dia segera duduk dan menutup telepon. Bahkan tanpa ucap perpisahan.
"Eh, kak isa. Ada apa?' Ada kegugupan dari senyumnya.
"Papa nyuruh makan."
"Ah, oke. Bilangin, Bia bentar lagi turun. Ini siap-siap."
Aku hanya mengangkat bahu dan berbalik. Tetapi kemudian, gadis itu kembali memanggil.
"Kak Isa?"
Terpaksa, aku menoleh.
"Kak Isa tadi ... dengar apa aja?"
"Banyak." Aku mengendik, tidak berniat untuk mengulang kembali ucapan-ucapannya bahkan dalam kepalaku.
Bia meringis. Masih sambil memilin bulu pada bonekanya, dia menatapku. "Jangan bilangin Papa yang barusan, ya, Kak? Please~"
Aku tidak mengatakan apa-apa dan hanya menutup pintu di belakangku.
Yang bisa kupikirkan adalah kamarnya, yang dipenuhi pernak pernik, segala hal yang akan menjadi impian semua anak perempuan. Kenapa hidupnya tampak begitu mudah? Dia punya orangtua yang penyayang, hidup berkecukupan. Bahkan mungkin dia juga telah punya kekasih.
Sementara aku kembali ke kamarku yang kosong dan bernuansa abu-abu. Dan seketika, merasakan kepengapan.
***
Seperti kebiasaan, aku selalu turun dari mobil lebih dulu karena tidak ingin Bia mengekorku. Dia selalu punya banyak rutinitas sebelum turun; memeriksakan diri di spion, mengikat sepatu, menyandang tas dan tas bekal, dan itu biasanya menjadi kesempatanku untuk bisa kabur. Namun hari ini aku kurang beruntung, dia berlari dan berhasil mengejar.
"Ih, Kak Isa kok ninggalin Bia terus, sih? Bareng dong!" serunya ngos-ngosan sembari berjalan cepat menyusulku. Kakinya yang lebih pendek mungkin membuat ini lebih melelahkan baginya.
Aku menatapya tajam. Sekilas saja. "Males."
Tetapi sayangnya, dia tidak mendengarku. "Apa?" Wajahnya dipenuhi kebingungan.
Jadi aku memilih mengabaikannya, membiarkan dia berjalan bersamaku.
Seperti yang Papa katakan, anak itu memang populer dan memiliki banyak teman. Hampir setiap orang yang berpapasan akan menyapanya.
"Pagi, Bia!"
"Morning, Bia!"
"Woy, Bia! Makin cantik aja!"
Tak jarang juga, beberapa cowok akan menggodanya, yang ia balas dengan senyum lebar semringah.
Aku mempercepat langkah, berusaha mengabaikan semua keberisikan itu. Setengah berharap Bia juga akan ketinggalan dan menyerah untuk mengejarku. Dan hal itu terwujud. Sekelompok anak perempuan menariknya untuk mengobrol entah apapun itu. Jadi aku pergi. Begitu saja.
Ada perbedaan besar sekarang. Dengan dan tanpa Bia. Semua orang seolah menolak untuk menatapku. Atau mungkin, pengalaman bertahun-tahun untuk menjadi tidak menonjol benar-benar membuatku transparan sekarang. Itu lebih baik. Aku benci ditatap. Benci menjadi pusat perhatian.
Kutundukkan pandang dan kupercepat langkah.
Sial, keputusan yang gegabah! Karena segera, aku menabrak seseorang. Seorang perempuan dengan rok yang lebih pendek dari rata-rata dan kemeja yang sedikit agak kekecilan. Ia tidak jatuh atau apa, tetapi botol mineral terbuka yang dibawanya jadi menumpahkan air ke seragam gadis itu.
Untungnya hanya air putih.
"Maaf," gumamku, lantas berlalu.
Aku tidak ingin bertegur sapa dengan siapapun.
Namun hanya dua langkah setelah aku pergi, aku merasakan dia berbalik dan memanggilku. "Gitu doang?!" tanyanya tanpa basa-basi.
Aku menoleh. Dia punya wajah yang cantik dan rambut panjang yang seperti habis dari salon, dengan ombak di ujung-ujungnya. Dari wajah yang cantik itu, alisnya terangkat. Ia tampak tidak terima dengan apa yang baru saja terjadi.
"Gue udah minta maaf." Dan kondisi dia baik-baik saja, hanya beberapa tetes tumpahan air yang akan kering dalam satu jam. Aku tidak melihat ada masalah.
Ia menyipitkan mata dan bersedekap sekarang. "Lo anak baru, kan?"
Aku tidak menjawab.
"Pantes kurang ajar sama senior," dengkusnya. "Tunggu aja. Bakal gue kenalin siapa gue."
***
Kalau ada yang salah kasih tahu aku, ya.
Tapi kalau kamu suka, kasih tahu orang-orang ^^
Boleh banget juga untuk tag aku di IG~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro