Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 40 [END]

Yup, it's the last chapter.
Hope you like it.

***

Aku seharusnya tidak menyukainya, atau paling tidak, tidak harus berdiri untuknya. Bagaimanapun, ia gadis yang bersama Aksal. Entah bagaimana hubungan mereka, tapi aku tahu soal surat cinta yang ia tulis untuk laki-laki itu dan bagaimana ... Aksal memeluknya. Bagaimana pria itu dengan sabar menenangkannya.

Aku menarik napas dalam-dalam, membenci diriku, dan pikiran-pikiranku yang kacau. Dia hanya masa lalu! Bagaimanapun dia hanya masa lalu, aku tidak punya hubungan apapun dengannya lagi. Tetapi tidak bisa dipungkiri, aku ... tidak menyukainya. Kebersamaan mereka. Aku merasa marah, merasa sakit. Meski aku tidak seharusnya merasa demikian.

Jadi, kenapa sekarang aku di sini? Kembali berurusan dengan Veloxa yang menyebalkan, hanya karena seorang anak perempuan bernama Candy ini?

Veloxa menjambakku keras sebelum aku dapat mencegahnya, menarikku ke dalam kerumunan gengnya dan menjatuhkanku. Membuat punggungku menabrak pintu gudang dan lututku menghantam ubin. Mungkin, akan ada memar baru, setelah satu yang ia layangkan ke pipiku. Ah, bekas pukulannya mulai berdenyut perih sekarang.

Ia memaksaku mendongak, matanya mengancam marah.

"LO YANG NULIS ARTIKEL NGACO ITU DI WEB SEKOLAH?!"

Ya, aku melakukannya. Setelah satu sekolah dihebohkan oleh surat Candy untuk Aksal, yang aku tahu dengan jelas dilakukan oleh Veloxa, aku melakukan hal yang hampir sama; melemparkan bukti tentang siapa Veloxa sebenarnya ke publik. Aku terlanjur muak.

Dan ya, aku mengerti dengan kemarahannya sekarang. Justru, aku cukup senang dengan reaksi itu. Hingga tanpa kusadari senyum telah terkembang di bibirku.

"Anak miskin kayak lo berani banget, hah?!" bentaknya, cengkeraman tangannya semakin kuat. "Bosan sekolah lo? Mau DO? Atau mau hidup lo lebih menderita lagi? Gue bisa wujudkan itu semua!"

Aku menatapnya datar, setengah bosan. Ancamannya sama sekali ... tidak terdengar mengerikan. Tidak ketika kau sudah melewati semua itu.

"Coba aja. Gue udah sangat menderita dari kecil. Jadi ini bukan apa-apa, maaf."

"Nantangin, ha?!"

Veloxa mengangkat tangannya. Dalam sepersekian detik, aku menyadarinya. Dia akan menamparku lagi, mungkin lebih kuat dari sebelumnya. Namun aku sudah menduga, dan sudah mempersiapkan diri. Aku menamparnya lebih dulu.

Plak!

Tanganku terasa panas nyaris seketika. Veloxa sempat terhuyung. Tetapi dia dengan cepat menguasai diri dan menjambak rambutku. Aku tidak pandai berkelahi, tetapi aku melakukan semua yang kubisa. Termasuk menjambaknya balik, lebih kuat dari tenaga yang dia kerahkan. Kejadiannya berlangsung cepat, tetapi yang kuingat, aku mendorongnya ke dinding, mengempaskannya hingga terjatuh.

Aku mungkin telah menghajar wajah cantiknya seandainya teman-temannya tidak mengunci kedua lenganku, memungkinkan Veloxa untuk kembali mengambil kendali.

"Kurang ajar lo!" geramnya.

Kemudian aku melihat tangannya kembali di udara. Ia akan memukulku lagi. Namun kali ini aku tidak akan sempat untuk bereaksi, menjauh atau melawan. Posisiku terkunci. Dalam sepersekian detik itu, instingku mengambil alih, aku memejamkan mata.

Namun tamparan itu tidak pernah datang. Navy menahannya. Navy mengajaknya bicara. Sesuatu yang pribadi. Sesuatu yang tidak dapat kudengar dengan jelas karena ... well, karena aku terlalu sibuk mencoba untuk bangkit berdiri saat lututku mulai goyah.

Ketika Veloxa menjauh dengan marah, kemudian disusul teman-temannya, Navy dan Candy, aku tertinggal sendirian. Aku menghirup napas lega. Akhirnya, aku bisa sendirian.

Sekarang aku baru merasakannya. Sakit serta merta menyerang hampir sekujur tubuhku. Rahangku berdenyut perih. Lulutku lecet. Dan kurasa penyihir itu telah mengambil seratus helai rambutku, kepalaku sakit.

"Harusnya saya datang lebih awal."

Aku mendongak. Terkejut mendapatinya berdiri di depanku.

Sejak kapan? Aku pikir, aku tertinggal sendirian. Tetapi sejak kapan ia di sana? Kenapa aku tidak menyadarinya?

Aksal berjongkok. "Maaf saya terlambat," katanya, tangannya terulur. "maaf saya gagal jadi perisai kamu."

Meskipun perih saat melakukannya, aku memaksa diri menyunggingkan senyum seraya meraih tangannya. "Nggak apa-apa. Pasti terlambat karena nyari kuda putihnya dulu, ya, Pangeran?"

Dan dia tersenyum membalasku.

***

Walaupun aku sudah mati-matian menahannya, pada satu titik, aku menyerah dan membiarkan ringisan sakit meluncur keluar dari bibirku ketika obat merah itu mengenai lukaku.

Aksal justru terkekeh.

"Lucu banget lihat kamu dari tadi menahan sakit gitu," katanya.

Masih dengan telaten, ia berusaha mengobati luka di lututku, kemudian membalutnya dengan kasa dan plester. Deja vu. Ia pernah melakukan ini sebelumnya. Dan ingatan itu membuatku memalingkan wajah.

Aku tidak ingin mengingatnya. Karena dulu dan sekarang sudah berbeda. Hubungan kami berbeda sekarang. Sekarang ... kami hanya dua orang asing. Dan Aksal kebetulan orang asing yang sangat baik hati hingga dia bersedia mengobatiku.

Lantaran tidak ingin menarik perhatian ataupun menimbulkan kehebohan dengan membawaku yang babak belur ke UKS, kami berakhir di atap. Aku duduk di sofa lusuh itu dan Aksal berjongkok di depanku, berkutat dengan kotak P3K yang sengaja dia bawa. Angin lembut menyentuh rambutnya. Hari ini ia tidak mengenakan jel. Karena rambut itu tampak begitu lembut sekarang, begitu mudah ditiup angin. Sebagian kegilaan dalam diriku ingin sekali menyentuhnya.

"Isa?"

Ia memanggilku dan aku sedikit terkejut, kembali dari lamunan. Di tangannya sudah tersedia cotton bud yang baru dan sebotol kecil alkohol, sepertinya sudah tertuang ke cotton bud itu. Tangannya mendekat ke tulang pipiku. Secara otomatis, aku memundurkan diri. Wajahku terluka paling parah, dan perih yang tadi kurasakan membuat tubuhku sepertinya ingin kabur.

Hal itu membuat Aksal tersenyum dan menahan pundakku.

"Tahan," bisiknya sembari mengoleskan kapas itu di luka di pipiku dengan amat hati-hati.

Namun sebenarnya, dia tidak perlu melakukannya. Napasnya yang hangat, yang menyentuh kulitku sudah cukup untuk membuat pikiranku berkabut. Perih bukan lagi masalah utamanya.

Demi Tuhan kami bergitu dekat. Sebagian diriku ingin sekali menutup jarak ini dan memeluknya seolah tidak terjadi apa-apa. Sehingga sebagian diriku yang masih waras berjuang begitu keras untuk tetap waras.

Hingga, bisikannya memecah konsentrasiku.

"Maaf."

Aku menatapnya.

"Kenapa kamu minta maaf?"

"Maaf jika saya membuat kamu tidak ingin bicara dengan saya lagi. Tapi ... jika boleh egois, saya ingin meluruskan semuanya. Saya ingin kita baik-baik saja."

Tangannya menggantung di udara. Dan dia menatapku seakan memohon, yang sebisa mungkin kutepis. Karena kehadirannya ... mendorongku semakin dekat dan dekat pada sisi emosionalku. Dan aku tidak ingin menunjukkannya pada Aksal. Aku tidak ingin dia tahu, bahwa aku tidak baik-baik saja.

"Kita baik-baik saja. Kita dua orang asing yang baik-baik saja."

Hening. Aksal melanjutkan apa yang dia lakukan, dengan pelan mengusap luka di wajahku dengan obat merah. Kali ini, aku cukup mati rasa untuk tidak meringis. Meski angin yang dingin membelai lukaku yang terbuka sebelum Aksal menutupnya dengan plester.

"Apa kamu pernah bertanya kenapa saya menerima pernyataan cinta dari kamu di lapangan waktu itu?"

Dia tiba-tiba kembali bertanya. Kembali mempertemukan tatap kami. Jawabannya ... Sebenarnya, ya. Aku selalu bertanya-tanya. Dalam kepalaku, aku selalu berusaha menebak-nebak, selalu takut dia sedang mempermainkanku, atau skneario buruk lainnya. Namun seiring berjalannya waktu aku mulai bodoh dan lupa. Seiring waktu ... aku terperosok dan hanya menginginkan untuk bisa melewatkan waktu lebih banyak bersamanya. Apapun motifnya.

Namun aku tidak mengatakan semua itu. Aku diam saja.

"Awalnya saya hanya ingin membantu kamu."

Pada pernyataan itu, aku merasakan tubuhku menegak. Dan jika aku belum menatapnya dengan seksama, maka aku melakukannya sekarang. "Membantu?"

"Saya tahu kamu suka Pandawa namun Pandawa tidak mungkin dimiliki. Di atap hari itu, saya melihat semuanya. Dia sudah punya seseorang dan saya ingin kamu melupakannya. Sedikit demi sedikit. Saya tidak ingin kamu merasa sakit. Tapi saya lupa, sedikit demi sedikit, saya telah memasukkan perasaan saya ke dalamnya. Hingga saat saya sadar, perasaan itu sudah terlalu banyak. Membuat saya sama bodohnya dan lupa apa yang sedang saya lakukan...

"Maaf jika saya menyakiti kamu dalam prosesnya."

"Ya, saya mendengar semuanya." Aku merasakan tenggorokanku tercekat. Tetapi aku memaksa diri untuk terus bicara. "Kamu menerima saya karena kasihan. Dan saya berterima kasih untuk itu. Kamu menyelamatkan saya."

"Apa wajah orang yang merasa diselamatkan sesendu ini?"

Tangannya dengan lembut menyentuh pipiku. Tidak menekan, tidak bergerak. Hanya beristirahat di sana. Dan aku merasakan desakan dalam diriku untuk memejamkan mata dan menyandarkan pipiku di sana. Membiarkan diriku sekali lagi merasa aman.

Namun ... itu juga tidak bisa kulakukan.

"Kamu tahu apa yang menyakiti saya?" tanyaku. "Kamu ... membuat pertahanan saya runtuh. Rasanya saya seperti telanjang. Saya tidak bisa melindungi diri saya sendiri. Saya mulai ... bergantung sama kamu."

"Hal yang sama ... terjadi pada saya."

Detik demi detik berlalu. Kami bertatapan tanpa suara namun rasanya seakan sedang bicara. Pembicaraan yang mendalam. Itu adalah sebuah pernyataan perasaan. Yang pertama yang pernah kulakukan. Yang sebenar-benarnya.

"Saya terlanjur menyukai kamu," akuku.

Lama, kami bertatapan. Ditingkahi desau angin, dan itu saja. Tidak ada hal lain lagi di atap. Seperti dunia yang terasing sendiri.

Perasaan sendu menggantung di udara. Aku memikirkan tentang bagaimana ini adalah hari yang sempurna, cuaca yang sempurna untuk berpisah. Aku menatap langit dan akan menyimpan momen ini baik-baik di kepala.

"Bisakah kita kembali seperti semula?" Aksal berbisik.

Dan aku, dengan berat hati menggeleng. "Hubungan ini tidak punya pondasi. Kita hanya berjalan di atasnya, hanya menjalani hubungan palsu. Maukah kamu berjalan di atas pondasi yang rapuh?"

Aksal tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Ia hanya menyunggingkan senyum tipis.

"Dan mungkin ... kita masih terlalu muda untuk ini," akuku lagi. "Masih banyak hal yang mungkin terjadi, yang bisa kita lakukan."

"Kalau begitu bisa kita memulai dari awal?" bisiknya.

Aku mengangguk.

Tangan Aksal terulur lagi dengan kapas yang baru. Sudut bibirku yang sedikit robek belum dia obati. Aku mulai mengantisipasi rasa perihnya. Mataku bertemu Aksal. Ada ragu di sana. Lalu, serta merta, ia menjatuhkan kapas itu.

Dan aku merasakan bibirnya di bibirku. Di sudut bibirku yang terluka.

Ciumannya ringan, hampir sama seperti kapas di tangannya. Aku menahan napas selama beberapa detik, memejamkan mata. Ketika aku membukanya, Aksal telah menarik diri sementara aku menatapnya.

Laki-laki tersenyum, senyum ramahnya yang kurindukan.

Ia mengulurkan tangan. "Hai. Saya Aksal."

Dan aku menjabatnya. "Isa."

"Oke, Isa. Ini hari pertama kita. Dua orang asing ... yang akan terus mendekat di hari-hari berikutnya."

.

.

TAMAT

.

.

.

Author's Note:

Hai. Aku tahu kamu mungkin kaget bahwa cerita ini berakhir. Dan mungkin bingung dengan endingnya. Coba share, menurut kalian endingnya gimana?

Sebelumnya aku mau berterima kasih banyak-banyak kepada para pembaca yang sudah setia sama cerita ini. I really appreciate it. Walaupun aku jarang balas komen, aku baca semuanya dan terharu.

Sebenarnya, aku selalu berpikir untuk menghapus cerita ini. Ada banyak kegalauan yang kurasakan. Kayak, aku cinta karakter Aksal dan Isa, tapi aku merasa dari berbaga aspek lain cerita ini masih memiliki banyak kekurangan. Sampai-sampai aku insecure.

Aku nggak tahu ke depannya akan aku apain. Tapi ... sebenarnya juga aku sudah memikirkan beberapa extra chapter (mungkin berbayar) untuk cerita Aksal dan Isa. Aku pengin melihat mereka jadi mahasiswa~ Hehe. Apakah kamu juga mau?

Hmm... kita liat nanti, ya.

Dan jika ada yang bertanya cerita The Effects selanjutnya apa. Sayangnya aku pikir aku nggak lanjut dulu. Mungkin, nanti akan lanjut, tapi aku perlu motivasi yang kuat untuk itu. Aku pikir aku juga nggak pinter bikin teenfic sih dan bikin pembaca kabur hehe.

Anyway, that's all! Terima kasih ya sudah menemani Aksal dan Isa sejauh ini. Sampai ketemu di extra chapter (semoga jadi)

See you bye bye~

Banjarmasin, 19 Februari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro