Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 38

Finally, we almost reach the end of the story. Yay!

***

"Itu ceweknya Aksal bukan sih?"

Aku tengah berhenti untuk mengikat tali sepatu ketika mendengar celotehan itu di belakangku, lolos melalui earphone yang sejak turun dari mobil telah kumatikan dari lagu apapun.

"Ah, yang nembak Aksal di lapangan terus diterima?"

"Bukannya itu cuma settingan, ya? Biar dia nggak malu aja. Abis itu diputusin di belakang. Ya, lo pikir aja, Aksal kan emang sebaik itu."

"Masuk akal sih. Pantes nggak pernah keliatan bareng."

"Kan?"

"Apa gue coba tembak Aksal depan umum juga, ya? Biar bisa jadian walaupun sehari doang!"

"Si Oneng! Udah putus urat malu lo?!"

Dan mereka tertawa-tawa dalam canda sembari berjalan melewatiku. Ada tiga orang, semuanya tidak kukenal, dan tidak ingin kukenal.

Kuselesaikan ikatan tali sepatuku, cepat-cepat berdiri, lalu ... menemukan Aksal di arah pukul sebelas, sama terpakunya ketika menemukanku meski ada jarak yang cukup besar di antara kami. Aku lebih dulu memutuskan kontak itu dan berbalik menjauh.

Karena jika tidak ... aku khawatir, aku akan kesulitan untuk berpaling.

Aku khawatir... aku mungkin akan berjalan menemuinya, dan meminta agar dia melupakan semua yang kuucapkan waktu itu, menganggap semuanya tidak pernah terjadi.

***

Aku pulang dengan pemandangan Bi Nur yang berlutut di ruang tengah, menunduk dalam-dalam dengan raut wajah ketakutan. Di hadapannya, berdiri Mama dan Papa. Terutama Papa, beliau tampak marah. Tampak seolah ... sebuah pertengkaran besar telah terjadi.

"Itu Isa pulang!" Mama berseru dan Papa seketika melihat ke arahku, tatapannya tajam, nyaris menciutkan.

"Isa! Kemari!" suara ayah tiriku yang biasanya lembut mengayomi, sekarang terdengar kasar dan keras.

Aku berjalan mendekat tanpa bertanya, tas masih menggantung di pundaknya. Dalam hati aku cukup penasaran, apakah seperti ini sifat aslinya? Atau dia hanya sedang marah. Jelas terlihat dia tidak cukup pandai mengatur emosi. Yah, kurasa memang tidak ada satu orangpun yang sempurna, termasuk pria yang kukagumi ini.

"Benar, kamu punya pacar?"

Pertanyaan itu diajukan Papa langsung tanpa basa-basi, menohokku di tempat.

"Papa lihat ada cowok yang jemput kamu. Kata Bi Nur, dia sering datang. Benar?" tuntut Papa lagi. Nadanya naik, menandakan emosinya kembali meluap.

Aku tidak langsung menjawab. Mataku menatap semua orang di ruangan. Bi Nur, yang tidak berani mengangkat wajah, Mama yang memegangi lengan Papa agar lebih tenang, lalu Bia. Bia yang mengintip di pojok ruangan sembari memeluk boneka besarnya. Bia yang baru tadi sore kupergoki berpelukan mesra dengan pacarnya. Ironi ini membuatku menyeringai.

Haruskah aku membongkar semuanya saja? Agar jika jatuh, aku tidak jatuh sendiri.

"ISA?!" Papa kembali membentak. Mungkin gerah dengan kediamanku. "Benar kamu pacaran?! Bukankah sudah Papa tegaskan?! Papa tidak akan menerima anak-anak Papa jatuh dalam pergaulan bebas! Kalian itu masih sekolah! Belajar aja yang benar! Bukan malah pacaran!"

Ketika aku menemukan tatapnya, Bia berpaling, ia memeluk bonekanya erat, jari-jemarinya bertaut. Kentara ... Bia yang tampak ketakutan.

Pasti akan menyenangkan untuk melihat ekspresinya ketika aku mengatakan semuanya ke Papa.

Atau tidak.

Melihat Bia jatuh ... tidak lagi tampak menyenangkan. Itu tidak akan membuatku merasa lebih baik.

Aku menatap Papa tepat di mata, tidak merasa gentar maupun terintimidasi. "Papa tenang aja. Udah putus, kok."

Lalu kuputuskan berlalu sebelum dipersilakan, berjalan menuju kamarku di lantai dua dan menutup pintu. Untuk waktu yang cukup lama, aku tidak pernah keluar dari kamar itu.

***

Putus. Itu adalah pertama kalinya kata itu meluncur dari bibirku setelah sore itu. Kami memang sudah putus dan tidak ada yang aku sesali. Atau setidaknya, aku mencoba berpikir demikian.

Sekarang aku duduk termenung di kamarku, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kamar ini begitu kosong dan suram. Tidak ada boneka. Tidak banyak dekorasi. Hanya dinding putih yang menutup jendela, selaras dengan tempat tidur. Juga dinding bercat abu-abu. Lalu, rak buku kecil yang ditempatkan di sudut, berisi beberapa buku yang belum pernah kubaca.

Tanpa kuundang, atau sempat kucegah, rak buku itu serta-merta mengingatkanku pada Aksal. Aksal yang, ketika aku menemukannya, selalu memiliki sebuah buku di tangan. Aksal yang panggilan-panggilan tak terjawabnya mulai berhenti datang. Mungkin dia sudah menerimanya. Putus. Mungkin ... dia sudah melupakanku.

Aku bangkit, menuju rak itu dan mengambil salah satu buku bersampul gelap. Aku juga harus begitu, melupakan. Dan itu bisa dimulai dengan menyibukkan diri sendiri. Dan itulah bagaimana aku berakhir di meja belajarku malam itu. Juga, malam-malam setelahnya. Setiap pulang sekolah hingga larut malam, aku menyibukkan diri membaca buku, mengerjakan soal-soal latihan, melakukan apapun yang kurasa bisa kulakukan.

Aku bukan seorang ambisius. Aku tidak punya rencana untuk mendapat nilai bagus, apalagi menjadi juara kelas. Tetapi ... tidak ada yang dapat kulakukan selain belajar. Aku hanya melakukannya. Begitu saja. Demi mencegah otakku berpikir hal yang lain. Demi mencegah dia ... hadir terlalu sering di kepalaku.

Hingga di salah satu malam itu, aku berhenti di tengah-tengah soal matematika nomor dua belas. Pulpenku kehabisan tinta, dan aku tidak punya pulpen lain di kotak pensil di atas meja. Seingatku, aku masih punya satu, masih baru dan belum pernah kupakai. Hanya kusimpan seadanya di laci. Jadi aku membuka laci, meraba-raba untuk mencari pena baru. Dan tanganku menyentuh benda yang kupikir telah lama kulupakan keberadaannya. Sketsa wajah Pandawa yang pernah kulukis sendiri dengan mengandalkan ingatan.

Kertasnya telah lusuh menguning dan ujung siku-sikunya tumpul. Aku memungutnya, menatap sketsa itu. Kenapa baru kusadari sekarang? Sketsa Pandawa yang kulukis, dan Pandawa yang sekarang kukenal ... tidak mirip. Ketebalan bibirnya tidak sama. Alisnya berbeda, bahkan bentuk matanya. Selama ini ... bertahun-tahun dalam hidupku, aku berpikir bahwa aku begitu mencintai Pandawa, terobsesi padanya sampai-sampai tidak dapat melupakan lelaki itu.

Nyatanya aku salah. Nyatanya itu hanya perasaan semu.

Maka tanpa ragu, aku merobeknya sebelum melemparkan gumpalan kertas itu ke tong sampah.

Aku lalu mencari lebih dalam di laci, menarik keluar buku catatan kecil, membukanya sembarang. Buku itu dengan mudah terbuka di bagian tengah, di bagian dimana aku menyelipkan foto polaroid kecil di dalamnya.

Itu adalah foto Aksal.

Aku memegang erat salah satu sudutnya, siap merobeknya menjadi dua bagian. Mungkin ... yang ini juga sama semunya. Sama konyolnya.

Namun sebelum jariku bergerak, seketika obrolan pertama di pertemuan kami yang pertama memenuhi memori di kepalaku.

"Jadi, kamu mau jadi pacar saya?"

Aku mengangguk.

"Siapa nama kamu?"

"Isa."

"Oke, Isa. Kalau gitu, ini hari pertama kita."

Lalu ketika dia mengirimkan pesan super kaku itu padaku.

Lalu ketika dia mengajak makan siang di atap. Ia tidak menatapku tepat di mata. Tampak lucu.

Lalu ketika dia membalut luka di kakiku. Kami bertukar informasi kecil. Warna kesukaan. Cokelat. Dia suka warna cokelat. Dan dia sangat menyukai kacang polong.

Lalu tatapannya ketika bertemu tanpa sengaja di sekolah.

Lalu malam itu. Luka di matanya. Lega di matanya. Tatap yang membuatku ingin memeluknya, menjaganya. Seperti sepasang rapuh yang saling ingin menguatkan.

Aku melepaskan foto itu dari genggaman, menyerah. Aku tidak bisa merobeknya. Aku juga tidak bisa memungkiri ini.

Bahwa aku ... merindukannya.

Sangat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro