Chapter 34
This is such special chapter <3
Warning untuk yang jomlo jomlo aja :')
Happy reading!
***
"Jangan lupa, besok malam saya jemput, ya."
Isa yang tengah melepaskan helmnya tertegun sejenak. Dia menatap Aksal dengan sedikit heran.
"Kita belum pernah membuat kesepakatan ini sebelumnya, kan?" tanyanya sembari menaikkan alis. Rasa-rasanya, mereka membicarakan banyak hal, tetapi tidak satupun di antaranya yang menyangkut soal janji besok malam. Apanya yang jangan lupa?
"Memang," jawab Aksal enteng, seolah sudah menyiapkan jawaban. "Saya baru aja kepikiran. Besok malam saya mau jemput kamu. Jam delapan."
"Saya belum mengiyakan."
"Saya agak sedikit memaksa kali ini," balas Aksal.
Alis Isa yang sempat rebah, kembali menukik. "Dan kalau saya berkeras bilang enggak?"
"Well... saya terima. Tapi saya akan sedih."
Pada kalimat itu, mau tidak mau Isa tersenyum kecil. "Kamu cukup pintar memaksa," katanya. Lalu, selembar pertanyaan kembali dia torehkan. "Tapi dalam rangka apa?"
"Kalau saya bilang nge-date, kamu masih mau datang, nggak?"
"Enggak."
"Kalau gitu nonton aja. Dan makan."
"Apa bedanya?" Kali ini, tawa Isa menjadi lebih lepas. Sehingga selama beberapa detik pertama, Aksal lupa untuk menjawab pertanyaan retoris gadis itu.
Dia ... lebih sibuk menatap Isa, merekam tawa gadis itu dalam ingatannya.
"Ada apa?" Setelah beberapa saat, Isa menyadarinya. Ia menatap Aksal dengan kening berkerut.
Aksal menggeleng. "Enggak," katanya, mengalihkan pandang. Dengan setengah gugup, ia hanya memandang Isa sekilas sembari menstarter kembali motornya. "Sampai ketemu besok."
Dan tanpa membuang banyak waktu, dia berlalu pergi.
"Aksal!"
Hingga bahkan lupa mengambil helmnya kembali.
***
Besok malam yang Aksal maksudkan itu jatuh tepat setelah hari Sabtu, sebelum hari Minggu. Sabtu malam. Waktu yang menjadi cukup menakutkan untuk Isa. Dia tidak suka keramaian. Pengalaman terakhirnya menonton film dan jalan-jalan di mall bersama Aksal tidak membekaskan kenangan yang menyenangkan. Justru, hanya membuat perutnya mulas membayangkan berada di tengah lautan manusia sedemikian. Jika bukan karena Aksal, dia tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat seperti itu.
Sekarang sudah hampir pukul delapan malam. Yang artinya Aksal sebentar lagi akan datang. Perutnya bergejolak dan jantungnya berdentam sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia bisa saja tidak pergi, beralasan bahwa dia sedang sakit atau apa. Tetapi itu sama artinya dengan tidak bertemu Aksal hingga Senin nanti. Dan Senin rasanya terlalu lama.
Dia ... ingin bertemu. Barang sekadar mengobrol singkat. Atau tidak melakukan apa-apa, hanya merasakan keberadaan Aksal di sisinya.
Jadilah ketika motor Aksal merapat di dekat pagar rumahnya, Isa sudah siap dengan kemeja flanel warna biru malamnya dan jins. Aksal sendiri mengenakan kemeja motif kotak-kotak serupa dengan warna yang sama, menjadikan mereka seperti menggunakan outfit pasangan tanpa rencana.
Mereka berkendara selama sekitar setengah jam lamanya. Isa pikir, perjalanannya akan menjadi lebih jauh. Isa pikir, Aksal akan mengajaknya ke mal yang berbeda dari sebelumnya. Tetapi ketika motor cowok itu memasuki area sekolah yang sekarang gelap, beribu pertanyaan seketika membanjirinya.
"Kita mau ngapain ke sini?"
"Kamu akan tahu," kata Aksal, berhati-hati melepaskan helm yang dipakai gadis itu dan menaruhnya di atas spion. Jemarinya secara natural berada di antara helai rambut Isa, merapikannya.
Ada sedikit dejavu, ketika mereka melangkah pelan-pelan melewati koridor gelap, hanya bermodalkan cahaya senter dari ponsel. Mereka pernah melakukan ini sebelumnya. usai menonton waktu itu, dan Isa ingin mencoba menghibur Aksal, meski dengan cara paling dasar yang dia tahu yaitu menatap langit malam. sekarang, Aksallah yang mengajaknya, dan Isa tidak bisa memahami rencana pria itu.
Sepanjang perjalanan, Isa menebak-nebak, apa yang Aksal sembunyikan? Apa yang akan mereka lakukan di sekolah pada jam demikian? Apakah mereka akan menghabiskan waktu dengan menatap pemandangan dari atap sekolah? Itu sama sekali bukan ide buruk. Ia bersedia saja duduk di atap semalaman, menghitung bintang dan mendengarkan deru samar jalanan.
Tetapi ketika dia satu-satu melangkahi anak tangga terakhir menuju atap, mendorong pintunya terbuka dan membiarkan pemandangan atau menyambut di depannya, dia terkesiap.
Itu adalah hal yang sama sekali tidak pernah Isa bayangkan.
Di atap, tidak hanya ada kegelapan, atau kerlap kerlip dari kejauhan. Kerlap kerlip itu mendekat sekarang. Berbentuk lintasan lampu-lampu kecil yang memagari atap. Sebuah sofa bekas yang Isa tidak tahu dari mana asalnya duduk di tengah, menghadap sebuah meja kayu dan dinding putih yang menahan sorot proyektor.
Isa terperangah, lalu menatap Aksal dengan terheran-heran.
"Kita ... nonton di sini?"
"Hm." Aksal mengangguk. "Seperti janji, kita nonton dan makan. Terakhir kali kamu bilang nggak suka keramaian. Jadi saya siapin ini supaya kamu ngerasa lebih nyaman."
Isa melayangkan lagi pandangannya ke sekitar. Pada dinding putih yang memantulkan layar laptop Aksal berupa foto penampilan The Effects dari sudut penonton, di foto itu Aksal tengah menunduk, fokus pada kibornya. Pada kerlip lampu-lampu kecil yang mati setiap beberapa detik lalu menyala secara bergantian. Pada meja penuh makanan dan minuman. Pada sofa yang berlapis selimut, tampak nyaman.
Sejauh ia mengenal Aksal, ia paham bahwa laki-laki itu adalah seorang pekerja keras. Dia akan melakukan yang terbaik demi memastikan kegiatan rancangannya sempurna. Dia tipe yang akan menolak seseorang sehalus mungkin lalu memeluknya agar tidak menangis. Dia tipe yang akan menerima pernyataan cinta seseorang di depan umum alih-alih menolak meski tidak kenal. Dia tipe yang seperti itu. Tetapi tetap saja, tidak pernah terpikirkan oleh Isa bahwa dia akan melakukan sejauh ini hanya karena ... hanya karena Isa benci keramaian.
Di balik degup jantungnya yang tenang, Isa merasakan ... perasaannya menghangat.
"Ayo duduk!" Aksal yang menarik lembut tangannya ikut serta menarik kesadaran Isa. Dia pasrah saja ketika Aksal membimbingnya untuk duduk di sofa.
"Dan oh, kamu suka popcorn yang manis atau gurih? Saya siapin dua-duanya. Soft drink-nya juga."
Aksal mencerocos lagi dan Isa tersenyum. Ia mendudukkan diri dengan nyaman di atas sofa sementara Aksal secara antusias terus menawarinya ini itu. Demi Tuhan dia seakan memborong isi mini market dan memindahkannya ke sini. Agak lucu membayangkan bagaimana laki-laki itu melakukannya; menggotong sofa, menenteng plastik-plastik berisi makanan dan minuman, juga memasang lampu.
"Saya nyiapin beberapa film. Horor, komedi, drama, aksi, romantis," katanya lagi seraya mengutak-atik daftar film di laptopnya.
Ia lalu menatap Isa demi mendengarkan jawabannya sebelum ia bertanya. "Mana yang kamu suka?"
Isa menatapnya balik. "Kamu."
"Ya?"
Sekali ini, Isa menggeleng seperti tidak ada apa-apa. Secara acak, dia menunjuk satu judul. Satu dengan poster paling menyolok di layar laptop Aksal.
"Komedi aja."
***
Film yang mereka tonton bercerita tentang cheerleader yang jatuh dalam koma sebelum malam prom; dua puluh tahun kemudian, dia terbangun dan ingin kembali ke sekolah agar dapat menyabet gelar prom queen.
Secara keseluruhan, Isa cukup menyukai alurnya dan komedi yang diselipkan. Sesekali, secara lepas dia akan tersenyum atau terkekeh kecil. Secara keseluruhan, Aksal juga menyukai film itu. Karenanya, dia dapat melihat Isa tersenyum lebih banyak. Membuat matanya menyipit serupa sabit dan menunjukkan senyum paling cerah yang pernah Aksal lihat. Senyum yang selama ini dia sembunyikan.
Lucu, bagaimana Isa tampak begitu dingin ketika dia diam, dan begitu menggemaskan ketika dia tertawa. Seperti sekarang.
Dan menyadari dirinya sedang ditatap, Isa menoleh. Membuat tatap mereka bertemu.
Detik berlalu tanpa sepatah kata. Hanya pandang yang ditukar.
"Kenapa?" Isa bertanya akhirnya, setengah tertawa.
Aksal menggeleng. "Saya bersyukur."
"Hm?"
"Saya senang kamu nggak senyum kayak gini ke semua orang. Nanti ... banyak yang suka."
Dan senyum itu bertambah lebar. Tidak! Sebuah senyum seharusnya tidak mengandung gula sebanyak ini. Tidak semanis ini. Karena Aksal masihlah seorang laki-laki. Dan dia mulai takut ... kehilangan kontrol diri.
Karena di antara cahaya lampu-lampu kecil dan bulan, Aksal kesulitan melepaskan pandangnya dari Isa. Dari rahang lembutnya. Dari lengkung sabit matanya. Dari pipinya yang tampak begitu indah untuk direngkuh. Dari ... bibirnya.
Hingga tanpa sadar, ia telah mendekatkan wajah. Dengan kontrol tipis yang menahannya untuk berhenti. Untuk menjaga jarak.
"Isa?" bisiknya.
"Ya?"
"Boleh ... saya ... "
Tetapi pertanyaan itu tidak pernah menemukan penyelesaian maupun jawaban. Karena detik itu juga, Isa beranjak. Menutup jarak. Ujung hidungnya bergesekan pelan dengan pipi Aksal. Ujung bulu matanya terasa menggelitik di kulit. Dan bibirnya ... dengan lembut menekan bibir Aksal.
***
Bagaimana? Let me know what you think :')
Isa mode tsundere:
Isa mode kiyowo:
Bonus:
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro