Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 32

Aku lagi mengalami suatu musibah, sih. Jadi agak banyak pikiran. Chapter ini aku cicil sedikit-sedikit tiap hari selama seminggu lebih. Dan hasilnya sependek ini, haha.

Aku mau cepat menamatkan cerita ini. Gimana menurut kalian?

Happy reading!

***

[Kacang Polong]

Makasih buburnya.

Iya. Rasanya aneh?

Enggak, kok. Enak.

Selanjutnya, Aksal mengirimkan sebuah foto. Wadah yang kosong. Sebelum pesan berikutnya muncul.

Saya abisin malah.

Mau tidak mau, Isa tersenyum meski tipis. Dia selalu tahu bahwa dia tidak pandai memasak. Dia melakukan percobaan yang lama tentang rasa masakannya, dan berakhir nyaris melemparnya ke tempat sampah. Dan kenyataan bahwa bubur yang ia buat dihabiskan membuatnya ... tersentuh.

Sudah merasa baikan?

Iya. Makasih.

Sore ini. Pulang sekolah kamu sibuk?

Enggak. Kenapa?

Saya mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu bersedia?

Hmm. Oke.

Kamu enggak nanya kita mau ke mana?

Ke mana?

Rahasia.

Saya tunggu kamu di atap sore ini.

***

Orang terakhir, seorang cewek berjilbab dan seorang cewek berambut lurus panjang yang Isa tidak tahu namanya baru saja meninggalkan ruangan. Menyisakan Isa sendiri di kelas itu. Bel tanda kepulangan telah berdering lima belas menit yang lalu dan dia masih berkutat dengan ponselnya, mempertimbangkan.

Isa menggigit jarinya. Kenpa dia dengan mudahnya mengiyakan ajakan Aksal meski tidak tahu kemana? Bisa saja laki-laki itu berbuat jahat kepadanya. Meski Isa menyangsikan pemikirannya sendiri. Aksal ... bukan orang yang demikian.

Ia menarik tasnya lebih dekat, memasukkan buku dari mata pelajaran terakhir, lalu menyampirkan tas itu di bahu, beranjak pergi. Aksal ... mungkin tengah menunggu sekarang.

Tetapi langkah Isa tidak sampai jauh hingga tertahan. Napasnya ikut tertahan. Karena di depan pintu, dia melihat seseorang yang tidak terduga. Seseorang yang tidak pernah sekalipun dalam pikirannya terlintas bahwa sosok itu akan berdiri di depan kelasnya, menatapnya. Dia Pandawa.

Alih-alih menunggu Isa melanjutkan langsung, pria itu justru melakukannya. Pandawa mulai berjalan pelan, memperpendek jarak antara dia dan Isa.

"Boleh... saya bicara sama kamu?" tanya Pandawa tanpa basa-basi.

***

Seandainya bukan karena seisi sekolah yang telah nyaris kosong melompong, Isa tahu ini akan menjadi hal yang celaka baginya. Duduk di bangku payung di taman sekolah, dengan dua bungkus roti dan dua botol teh di antara mereka, bersama Pandawa akan membuatnya menjadi bulan-bulan seluruh penggemar laki-laki itu.

Meski begitu, meski hanya ada mereka di sana, tetap rasanya ... tidak tepat. Isa merasa gelisah di kursinya.

"Jadi, apa yang mau kamu omongin?" tanyanya akhirnya, melompati proses basa-basi untuk segera sampai ke inti.

Pandawa menyeruput tehnya dengan sedotan, mengangguk sekali, lantas mengambil waktu sejenak sebelum dia mulai berbicara.

"Kamu ... yang ngasih bekal Bia waktu itu, kan?" Dia lalu mengangguk, seolah menjawab pertanyaannya sendiri. "Kamu juga cewek yang di seberang jalan waktu itu," gumamnya menambahkan. Kali ini bukan berupa sebuah pertanyaan.

"Kamu ingat." Isa menanggapi.

Pandawa tersenyum kecil. "Aku ingat." Dia terkekeh. Tatapannya lalu menjauh, seolah menembus masa, kembali ke masa lalu. "Waktu itu aku pikir kamu punya rambut paling indah yang pernah aku lihat."

Sesaat, Isa tertegun. Tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya untuk mendengar kalimat demikian diucapkan oleh Pandawa. Ia menatap laki-laki itu. Cukup lama. Mencari kejujuran di matanya.

Itu... adalah sebuah sanjungan.

Sebagai balasan, dia tersenyum tipis. "Terima kasih."

Pandawa membalas dengan anggukan yang disusul dengan keheningan. Tidak ada di antara mereka yang melanjutkan pembicaraan itu. Setidaknya hingga satu menit berlalu, hingga Isa memecah keheningan itu kembali.

"Jadi ... ada apa, dengan Bia? Hubungan kalian baik-baik saja?"

Entah dia benar ingin tahu atau tidak, tetapi pertanyaan itu meluncur begitu saja. Belakangan ini, ia terkadang memergoki suara seseunggukan dari kamar Bia. Tidak ada lagi kemesraan yang biasa mereka pertontonkan. Tidak ada lagi Bia yang bermanja-manja. Hal yang sepertinya bagus ... untuk Isa.

"Entah." Pandawa menggeleng pelan, senyumnya masam. "Kamu dekat dengan Bia?"

"Tidak."

"Kamu ngasihin bekal dari dia waktu itu."

"Karena harus."

Di luar dugaan Isa, cowok itu tertawa meski pelan.

"Ada apa?" tanyanya sembari mengerutkan alis. Berpikir, dia tetap tidak menemukan apa yang lucu.

Pandawa hanya tersenyum dan menggeleng kecil. "Kamu lucu."

Jawaban itu seperti menjawab pertanyaan di kepala Isa, meski tidak seluruhnya. Ia masih tidak mengerti dimana letak kelucuannya. Tetapi dia tidak bertanya dan Pandawa tidak menjelaskan. Alih-alih, Pandawa menceritakannya kisahnya.

"Kami ketemu di tahun ajaran baru," mula cowok itu. "Delapan bulan yang lalu. Hubungan kami dengan cepat berkembang, makin dekat. Bia adalah cewek yang lucu, ceria. Jujur, dia kayak lebah kecil yang penuh enerji."

Isa tidak ingin mendengar ini. Ia tahu ia tidak ingin. Tetapi, ia tidak memindahkan pantatnya kemana-mana. Meski dari kalimat memuja cowok itu ia dapat menyimpulkan bahwa─

"Tapi jujur, kadang ... rasanya sulit menahan beberapa hal."

Isa menaikkan satu alisnya. "Beberapa hal?"

"Kamu tahu sendiri sifat manjanya, ambekannya, posesifnya. Kadang ... too much."

Di penghujung hari, Pandawa juga manusia, ternyata. Dia yang Isa pikir punya sabar tak berbatas menghadapi Bia, ternyata bisa lelah juga. Dia juga ... bisa pergi, dari cewek itu. Hanya membutuhkan sedikit dorongan.

Dia bukan orang yang cocok untuk Bia. Dia terlalu baik. Terlalu sempurna. Dan dia ... adalah tujuan Isa bertahan hidup selama ini.

Perlahan, Isa mengulurkan tangan ke seberang meja.

"Mama bilangin, ya," kata ibunya suatu hari usai pulang bersama pacarnya yang tujuh tahun lebih muda dulu. Senyum tersungging di bibirnya yang merah, matanya tidak fokus, dan cara berjalannya tidak lurus. Dia tampak sedikit mabuk. "Kamu mau cari cowok yang ganteng, yang banyak duit, yang loyal, semua itu gampang! Laki-laki itu gampang didekati. Bahkan kalau sudah punya pasangan, lebih gampang."

Sesaat, dia terkikik geli, menunjukkan deretan gigi yang tersusun rapi. Isa tidak meraih tangannya yang mulai sempoyongan. Ia hanya diam di sana, menatap bosan.

"Kalau dia merasa kurang perhatian dari istrinya, atau dia bosan, disitulah kesempatan kamu. Kamu tinggal elus pundaknya, dengarkan keluh kesahnya, puji dia. Dan ... boom! Dia pasti bakal langsung luluh."

Saat itu, Isa merasa teramat membenci ibunya. Namun sekarang, ia membenci dirinya sendiri. Membenci pikirannya. Dengan cepat, ia menarik tangan, seolah jika terlambat satu detik tangannya bisa terbakar.

Pandawa yang memerhatikannya menatap dengan heran. Lalu, Isa membalas tatapannya.

"Kamu ... sayang sama Bia?"

"Ya?"

"Apa kamu akan merasa sakit kehilangan dia? Kalau kamu sayang, pertahankan. Kalau enggak, tinggal."

Dan sebelum pertanyaan itu mendapatkan jawaban, Isa bangkit berdiri dari kursinya. Berbalik meninggalkan Pandawa tanpa menoleh ke belakang. Aksal ... pasti tengah menunggunya sekarang.

Ia berjalan. Lebih cepat. Lebih cepat lagi. Hingga setengah berlari. Namun belum genap langkahnya meniti tangga menuju atap sekolah, ia bertemu Aksal, sedang meniti tangga yang sama ke arahnya. Langkah keduanya terhenti sementara tatap mereka bertemu.

"Kamu datang." Itu yang diucapkan Aksal, dengan nada setengah lega. Seolah... dia tidak percaya.

"Tentu saja." Isa tersenyum.

Dan Aksal membalasnya. Ia lalu melanjutkan langkah, memperpendek jarak di antara mereka. Hingga, lengannya meraih pergelangan tangan Isa.

"Mau ikut saya ke suatu tempat?"

"Kemana?"

"Kamu akan tahu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro