Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 31

Vote dan komen, ya~

***

"Jadi, Pandawa masih belum ngehubungin lo?"

Aku yang baru saja kembali dari dapur untuk mengambil air putih melambatkan langkah. Tepat di depan kamar Bia yang pintunya setengah terbuka. Gadis itu sendiri sedang bertiarap di kasurnya, dengan bantal menyangga siku dan bekas tisu berhamburan memenuhi hamper seisi kamar.

Lagi, dia sedang menangis sembari melakukan sambungan video dengan speaker dinyalakan.

"Belum!" Bia menyedot ingus lagi. Lalu, dengan suara nasal dan sedikit tersedak, dia meracau. "Mungkin dia emang mau putus, deh! Mungkin dia udah bosen sama Bia! Huaa tapi Bia enggak mau putus!!!"

Aku perlahan menarik gagang pintunya, agar lebih tertutup. Tangisannya itu, bisa terdengar oleh seisi rumah.

"Bia, tenang! Mungkin lagi sibuk aja kali, Bee."

"Iya, dia bilang sibuk latihan sih." Satu sedotan ingus lagi. "Tapi masa sesibuk itu sampai nggak ada waktu buat ngehubungin?!"

"Ya kamu chat aja duluan!"

"Enggak mau! Masa Bia yang chat duluan? Pokoknya─"

Dan kututup pintu itu dengan sempurna. Aku tidak perlu mendengarkan semua rengekan anak itu. Tetapi ada satu hal yang dapat kutangkap. Pandawa sedang sibuk latihan untuk kelompoknya, itu artinya Aksal pun sedang melalui hal yang sama. Sibuk, tetapi sempat-sempatnya dia meluangkan waktu.

Aku kembali ke kamar dan mulai melepas kancing seragamku satu persatu. Akan terasa menyegarkan untuk mandi sekarang. Ketika aku berbalik untuk mengambil handuk, mataku menemukan jaket itu.

Ah, ya. Itu jaket Aksal. Dia memberikannya padaku tapi lupa menagih balik sementara aku lupa mengembalikan. Aku seharusnya tidak lupa. Karena sekarang, di luar jendela, gerimis yang tadi menyongsong kini telah berubah menjadi hujan. Tidak deras, tapi jika dia tidak membawa jas hujan, dan tanpa jaket itu, dia akan kebasahan. Itu mengkhawatirkan.

Haruskah aku menanyainya?

Usai melemparkan seragamku ke keranjang cucian kotor, aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Seperti biasa, tidak ada notifikasi. Kubuka lembar perpesanan dan kolom chat terakhirku. Aksal.

[Kacang Polong]

Sudah sampai? Kamu kehujanan?

Ibu jariku membayang di tombol kirim, tetapi sedikit keraguan menelusup. Rasanya, kata-katanya kurang pas. Jadi aku menghapusnya untuk menuliskan pesan baru.

Sekarang hujan, kamu kehujanan?

Lalu, merevisinya lagi menjadi...

Hati-hati. Jangan sampai kehujanan.

Bagaimana kalau dia telah kehujanan?

Kalau hujan, berteduh. Jangan sampai

Hapus. Hapus. Hapus. Aku menghapus ssemuanya. Kalimat-kalimat cringe itu. Lantas melemparkan diriku ke kasur. Apa yang harus kukatakan? Aku tidak tahu dimana dan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mungkin saja, dia sekarang telah sampai dengan selamat, atau sedang meneduh di suatu tempat.

Mungkin aku harus mencoba memeriksanya.

Entah setan apa yang akhirnya menghampiri kepalaku, setelah mandi dan berganti pakaian, akhirnya aku mengunduh aplikasi media sosial yang sebelumnya tidak kupunya, melengkapi data diri untuk mendaftar, lalu mulai mengetikkan Namanya di kolom pencarian.

Tidak ditemukan. Meski hamper satu jam berlalu, aku menyelami berbagai akun tetapi tidak satupunyang merupakan milik Aksal. Tetapi aku menemukan satu yang dimiliki oleh sahabanya, Nino.

Nino adalah seseorang yang aktif membagikan kesehariannya. Di bagian cerita, dia mengunggah foto dan video dirinya sedang makan, sedang duduk-duduk bergaya di sebuah kafe, lalu dia yang sedang latihan, dimana aku dapat melihat sedikit sosok Aksal di latar belakang. Tetapi unggahan foto di slide terakhir membuat jantungku berdetak lebih cepat.

Ada Aksal di sana. Sedang tidur dengan tudung jaket membungkus erat wajahnya. Aku akan menganggap dia terlihat lucu, tertidur begitu tenang seperti itu jika saja tidak membaca caption yang disematkan.

Abis latihan sampai malem, dia pinjem jaket dan langsung tidur pulas di sofa kayak bayi. Eh taunya demam. Gws bro!

Dia ... sakit?

Akupun mengiriminya pesan, menanyakan kabar. Tetapi hingga pagi, pesan itu masih belum terbaca.

***

Aku pasti sudah gila!

Sepanjang pagi, sepanjang makan di kantin yang penuh dan menyesakkan, bahkan sepanjang siang, aku menyesali keputusanku. Sepanjang waktu-waktu itu, aku tidak melihat Aksal. Jika aku melihatnya, mungkin aku tidak harus melakukan ini. Maksudku, berdiri di depan ruang musik dan mengetuk pintu.

Atau mungkin, aku tidak harus mengetuknya. Mungkin, sebaiknya aku pulang saja.

Aku berbalik di tumitku, mengambil satu Langkah berbalik, dan menghentikannya. Tidak, akan sia-sia semuanya jika aku pulang sekarang. Tetapi haruskah aku menghadapinya? Membayangkannya saja sudah membuatku perutku mulas.

Akhirnya, setelah mengumpulkan kekuatan, aku mengetuk pintu. Keinginan untuk kabur kembali menyerang, kali ini lebih kuat. Sayangnya, sebelum aku dapat melarikan diri, pintu telah terbuka dan aku tidak bisa kemana-mana. Pandawa berdiri di depanku.

"Gadis di seberang jalan?" katanya, sedikit kebingungan.

Kupikir bibirku bergerak sendiri, tersenyum kaku. Atau malah tidak bisa disebut tersenyum. Entah.

"Isa," balasku.

Sesaat, keningnya berkerut, tetapi dia mengangguk. "Ah, ya, benar. Nama kamu Isa. Mau masuk?"

Dengan cepat, aku mengeleng. Lalu, dengan harapan semua ini cepat berakhir, aku mengajukan pertanyaan langsung. "Aksal ada?"

"Ketiduran kayaknya. Sebentar gue panggil─"

"Nggak usah!" Aku menyambarnya seperti kilat, membuatku terhenti di tempat dalam posisi setengah berbalik, setengah terperanjat.

Kembali, dengan gerakan seperti robot, aku menyodorkan lunch bag yang kubawa, berisi sestoples bubur yang dibuat seorang amatir.

"Tolong ... kasih ke dia."

Dan setelah Pandawa menerimanya, aku tidak menunggu dia hingga mengatakan sesuatu, bahkan tidak sempat lagi mengucapkan terima kasih. Karena dengan cepat, aku berputar di tumitku dan melangkah secepat yang aku bisa. Berharap aku punya kekuatan untuk menghilang saja.

Wajahku rasanya panas. Apa yang ... baru saja kulakukan?! Ini bukan Isa. Ini bukan Isa. Ini bukan Isa!

Duh, Aksal sialan!

***

[Extra]

"Bi, kamu masak dari jam tiga pagi?!"

Begitu aku memasuki dapur, Mama telah duduk di kursinya, dengan kopi yang mengepul di hadapan serta sepiring kecil croissant. Bi Nur tengah memasak, wanginya enak, sedikit pedas, sepertinya.

"Enggak, Nyonya," Bi Nur menyahut di sela-sela kegiatannya mengoseng sesuatu di atas wajan.""Saya masak kayak biasa, habis salat subuh."

"Loh, tapi kok jam tiga pagi saya denger udah berisik banget di dapur?"

Deg! Aku menarik kursi dan merasakan jantungku berdetak cepat. Kuharap Mama tidak turun ke dapur dan menemukan pelaku sebenarnya.

"Nggak tahu, Nya. Tadi saya mau masak juga ini udah berantakan banget. Kacang polong sama beras berantakan di lantai."

"Kucing apa, ya?"

Tenggorokanku rasanya serat. Segera, aku mengambil jus jerukku dan menuntaskannya. Situasi ini membuatku gila.

"Iya kucing, kali." Walaupun tampak tidak percaya, Bi Nur mengangguk mengiyakan.

Dan topik pembicaraan pun berganti, membuatku secara diam-diam menghela napas lega. Sementara di dalam tasku, benda itu masih terasa hangat. Kotak makan berisi bubur, dengan banyak telur dan kacang polong.

Aku harap ... dia menyukainya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro