Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 28


Aku dipaksa untuk duduk bersama mereka, Deera dan yang lainnya, di bangku depan kelas kami. Waktu itu bel masuk belum berbunyi dan seluruh anak terpencar menempati sudut-sudut sekolah. Kecuali aku, yang memilih untuk diam di tempat dan bersikap masa bodoh dengan sekitar.

"Jangan sendirian aja, nanti diculik wewe gombel!" kata cewek yang setahuku memiliki suara paling keras di kelas itu.

Lalu, mereka menarikku, menempatkanku agar terhimpit di antara mereka, tidak dapat melarikan diri. Mereka bercanda sembari menunggu bel berbunyi dengan berbagai obrolan yang tidak memiliki tema. Mulai dari soal idola Kpop, PR, crush, hingga─

"Dah liat foto terbaru Kak Nino?!" Seseorang di dalam kelompok berceletuk. Gadis berkacamata bernama Sela. Atau Selin. Terserah.

"Hah? Yang mana?"

"Barusan banget update!"

Lalu mereka saling merunduk untuk bersama-sama melihat layar ponsel, dengan aku yang terjepit di tengah-tengah. Tolong, rasanya aku ingin sekali kabur.

"Wah gantengnya!!!"

"Gantengnya calon imamku!!!"

"Eh ini rambutnya disemir? Emang boleh?!"

"Kak Aksal ada update juga, nggak?"

Deg!

Sebelum dapat kupikirkan, kepalaku telah bergerak untuk menengok ponsel yang dipegangi Deera. Berharap aku juga dapat melihatnya. Aksal.

"Dih, Kak Aksal mah! Emang punya IG? Itu orang jalur komunikasinya lewat email kali!"

"Iya, ya. Dia 'kan sesibuk itu. Mana sempat main IG," Selin menarik kembali tubuhnya, mengembuskan napas. "WA aja dia nggak punya jangan-jangan!"

"Tahu, nih. Kayaknya di antara semua member The Effects, cuma Kak Aksal sama Kak Pandawa nggak, sih, yang nomor WA-nya nggak pernah kesebar?"

Nyaris, nyaris saja aku gagal menahan senyum. Jika dia tidak punya alat komunikasi paling standar saat ini, lalu siapa yang mengobrol singkat denganku tadi pagi? Atau yang mengucapkan selamat malam kemarin.

Pikiranku dengan cepat berkelana. Pemandangan malam dari atap sekolah. Cerita yang membuatku mengenal sisi dirinya yang lain. Siluet wajahnya di bawah cahaya bulan. Kenangan itu rasanya membuatku menghangat. Hingga ucapan Candy menarikku kembali pada kenyataan.

"Eh itu Kak Pandawa sama Bia couple goals banget nggak, sih?"

Pandanganku segera mengikuti arah pandang Candy dan yang lain. Di seberang koridor aku melihatnya. Pandawa dan Bia. Cowok itu tengah dengan lembut meletakkan telapak tangannya di kepala Bia, lantas mengacak rambutnya pelan. Dan di antaranya, mereka berbagi tawa.

"Ih, iya loh. Tiap hari berduaaa terus, nempel kayak perangko. Mana Kak Pandawa suka perhatian banget gitu, ya nggak, sih?"

"Gue iri weeyyy"

"Orang-orang kok pada uwu sih? Gue kapaaaan?!!"

"Duh kok mereka serasi banget sih bedua? Pengen gitu juga!"

"Mereka nggak pernah berantem apa, ya? Kok tiap hari uwu banget?!"

Dengan cepat, aku mengalihkan pandang. Muak.

***

Mungkin ... apa yang terlihat selalu baik-baik saja, tidak selamanya seperti itu.

Pertanyaan Sela terjawab hanya di keesokan harinya. Aku memasukkan roti dan minuman jus kotak milikku ke dalam saku untuk makan siang di atap. Tetapi sebelum tiba di sana, langkahku terhenti. Di balik tangga menuju atap, aku melihat punggung bidang Pandawa. Juga Bia.

"Anterin Bia beli sepatu pokoknya! Nggak mau tahu!"

"Hari ini nggak bisa, Bee. Lain kali aja, ya?"

"Hari ini nggak bisa. Kemaren nggak bisa. Terus kapan bisanya?! Sepatu Bia udah buluk banget, udah bosen Bia litany."

"Sepatu kamu kan banyak, Bee. Pakai yang lain dulu."

"Ish, nggak mau! Pokoknya Bia mau sepatu baru. Dan Panda harus nganterin, oke?"

"Nggak bisa, Bee. Aku ada Latihan."

"Latihan lagi?!"

Niatku yang semula untuk berbalik pergi dihentikan oleh ucapan, atau lebih tepatnya umpatan keras itu. Diucapkan oleh Bia dengan nada melengking, membuatku dengan cepat mundur agar tidak terlihat. "Latihan! Latihan! Latihan! Kapan istirahatnya?! Kapan ada waktu buat Bia?!!"

"Bia," Pandawa terdengar menghela napas sabar. "Bukan gitu. Tapi kamu tahu, kan, sepenting apa audisi buat The Eff─"

"The Effect! The Effect! The Effect terus!" sanggahnya cepat. "Iya, Bia ngerti. Bia nggak penting, kan, bagi Panda?!"

"Kok kamu ngomong gitu?" Nada bicara Pandawa sedikit naik. Bahkan dari jarakku, aku dapat melihat sisi wajahnya, juga ujung alisnya yang tertekuk.

Sementara Bia mulai mengayun-ayunkan tangannya di udara, seolah isi kepalanya akan meledak dan ia harus meledakkannya pada Pandawa, sekarang juga.

"Panda latihan terus tiap hari! Kapan sih, emangnya Panda punya waktu buat Bia? Emang latihan lebih penting ya, daripada Bia?!"

"Bukan gitu, Bia. Aku─"

"Kalau gitu anterin Bia beli sepatu!"

"Nggak bisa! Latihan ini penting!"

"Oh, jadi lebih penting latihan daripada pacar sendiri?!"

Lalu, tercipta jeda. Pandawa terdiam sejenak, sebelum dengan amarah yang ditekan, dia membalas. "Kalau iya kenapa?!"

Kali ini, Pandawa meninggikan suaranya. Tidak terdengar jawaban dari Bia, seolah dia terdiam oleh suara tegas Pandawa yang dialamatkan padanya. "Latihan ini bukan cuma kepentingan aku, tapi juga teman-teman yang lain. Semua orang udah kerja keras di sini, aku nggak bisa ninggalin begitu aja. Kamu nggak bisa ngerti sama sekali?!"

"Bia─"

"Kapan kamu dewasanya, Bee? Aku nggak bisa memaklumi kamu terus-terusan! Aku nggak bisa manjain kamu terus! Aku juga punya kehidupan dan aku capek!"

Lalu, sebelum Bia menemukan sanggahan atas ucapan laki-laki itu, atau sekedar menguasai dirinya, Pandawa berlalu. Aku kehilangan punggungnya ketika dia dengan cepat berjalan melewati tempatku berdiri sebelumnya, ke arah berlawanan.

Tertinggal Bia yang harus mencengkeram dinding demi menopang diri, terbelalak tidak percaya atas kepergian Pandawa. Dan, tidak sampai menghitung menit, puluhan bulir kristal bening meluncur dari tiap sudut matanya, seperti air terjun.

Aku tidak tahu apakah harus merasa Bahagia, atau ikut bersimpati.

Kurasa ... aku cukup senang.

Lalu, aku menyadari sesuatu telah terjatuh ke lantai.

***

"Tunggu! Pandawa!"

Ia berhenti setelah kupanggil namanya, menoleh, dan mengernyit melihatku.

Aku mempercepat langkah, berjalan dalam langkah-langkah lebar ke arahnya. Lalu, dengan hanya jarak dua Langkah kaki di antara kami, aku mengulurkan tangan. Pick gitar yang sempat dia jatuhkan, kusodorkan Kembali.

"Ini ... punya kamu, kan?"

Sesaat,dia menatap pick gitar di tanganku, lalu, naik, ke wajahku. Rasanya, jantungku melewatkan satu detakan karena saat itu, dia menatapku, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun.

"Oh, iya. Makasih, ya."

Lalu, dia tersenyum. Dia tersenyum dan otakku seketika macet.

"Ini barang penting buatku," katanya, sembari menjepit pick itu di antara jempol dan ibu jari.

"Nggak masalah," balasku.

Lantas, aku tidak punya alasan untuk tinggal lebih lama. Aku berputar di tumitku, berniat pergi. Namun belum mencapai langkah kedua, dia memanggil.

"Tunggu."

Aku menoleh. "Ya?"

Dia memiringkan kepala, menatapku, cukup lama hingga menimbulkan berbagai pertanyaan di benak. Apakah ada yang aneh di wajahku? Apakah dia menyadari bahwa aku telah mencuri dengar pertengkarannya? Atau ... apa?

"Kita ...," akhirnya, dia buka suara, "pernah ketemu, kan, sebelumnya?"

Jantungku tiba-tiba berdetak cepat. Berdentum-dentum di dalam dada. Apakah ketika aku memberikan kotak Bia? Dia punya ingatan sebaik itu? Atau dia salah orang? Tidak mungkin, kan, dia mengingat─

Dia tersenyum lagi dan napasku rasanya tersekat di tenggorokan.

"Cewek di seberang jalan. Benar?"

***

Oleng, nggak, tuh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro