Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 27


Catatan: Di sini timelinenya Aksal sama Riam belum baikan, ya. Terus adegan Iyam-Una cuma sekilas. Tapiii kalau yang mau baca lengkapnya, bisa baca di Karyakarsa aku, ya (nayahasan). Dari momen lucu sampai momen uwu ada di sana. Puas deh, bacanya.

PS: We are getting close to Aksal-Isa sweet and sweet moments.

Happy reading!

***

"Kak Riam!"

Laki-laki yang dipanggil Riam itu tinggi, seperti Aksal. Dengan bahu tegap dan rambut hitam yang rapi, kontras dengan kulitnya yang pucat. Dia tampan. Mungkin seumuran Aksal, atau sedikit lebih tua.

Aksal nyaris secara spontan berjalan cepat ke arahnya, mengakibatkan genggaman tangan kami terlepas. Memberi jarak di antara kami. Sementara aku tertinggal di belakang, terlalu takut untuk memasuki wilayah yang sepertinya bukan tempatku.

"Kak Riam apa kabar?" Aksal bertanya ramah, hampir terdengar ceria, dengan senyum di wajahnya. "Kebetulan banget ketemu di sini."

Sepertiku, Aksal melihat ke balik pundak laki-laki bernama Riam itu. Baru menyadari bahwa dia sedang bersama seorang perempuan. Perempuan yang memiliki aura seratus delapan puluh derajat berbeda dari Riam.

Jika pria yang Aksal panggil Riam ini terlihat tenang dengan tatapan yang tegas dan dingin, gadis itu memiliki senyum dan pembawaan yang hangat. Nyaris mengingatkanku pada Bia. Dia mengangkat tangannya bersemangat dan menjadi orang yang justru membalas sapaan Aksal.

"Halo! Adeknya Iyam, ya?! Ya ampun!!! Akhirnya kita ketemu juga! Aku pernah denger cerita soal kamu, loh!" katanya berapi-api. "Wah, kamu ganteng banget, ya! Tinggi kayak Iyam! Kalian makannya apa, sih? Kok bisa tinggi banget kayak gitu? Bener, ya, kalau ngemil mi lidi bisa bikin tinggi kayak lidi?!"

Aku dapat mendengar Aksal terkekeh. Gadis itu bicara dengan cepat, dengan menggebu-gebu. Membuatku bertanya-tanya darimana dia mendapat semua energi itu.

"Hai," balas Aksal. "Pacarnya Kak Riam, ya?"

Gadis itu mengulurkan tangan. "Kenalin! Una! Panjangnya Skala Aluna tapi kamu panggil aja Una. Atau Una gemoy juga boleh!"

Tetapi sebelum tangan Aksal yang ikut terjulur berhasil menjabat tangan gadis itu, Riam menariknya, menyembunyikannya di belakang tubuh. Tatapannya dingin. Terlalu dingin.

"Gue rasa ... kita nggak seakrab ini. Lebih baik pura-pura tidak melihat."

Sedingin ucapannya.

Dan begitu saja, dia pergi, menarik gadis itu bersamanya. Tidak sekalipun, bahkan ketika punggungnya nyaris menghilang dari pandangan, ia berbalik. Seolah apa yang baru saja dia ucapkan sama sekali tidak keterlaluan. Seolah tidak ada apa-apa. Sementara di sini, Aksal menatap kepergiannya tanpa berkedip.

Melihat pundaknya yang jatuh, punggungnya yang tampak kesepian, aku nyaris dapat merasakannya. Rasa hancur. Seolah ... jika aku menyenggolnya sedikit saja, dia bisa retak dan hancur menjadi kepingan.

Jadi aku mengambil langkah maju. Dan ... menyelipkan jemariku di antara jemarinya.

Setidaknya, jika dia merasa akan hancur, dia bisa menjadikanku sebagai pegangan. Agar tidak jatuh sendirian.

Aksal menoleh padaku. Senyum yang dia berikan kemudian, belum pernah kulihat sebelumnya. Senyum tipis yang seakan menyimpan luka.

"Mau pulang sekarang?" tanyanya.

Jika kami pulang sekarang, aku akan bisa tidur dengan tenang. Dan dia akan sendirian. Terluka.

Aku menggeleng. Memantik kerutan di kening Aksal.

"Saya ... mau ke suatu tempat," kataku.

***

"Kamu yakin mau ke sini?" Aksal menatapku tidak percaya.

Dan ya, aku mengerti alasannya. Orang gila mana yang begitu kurang kerjaannya ingin pergi ke atap sekolah pada jam sepuluh malam? Atau memang, pada dasarnya aku sudah sedikit gila sejak awal. Sehingga pada pertanyaan Aksal, aku hanya mengangguk ringan.

"Mau ngapain, memangnya?" Dia bertanya lagi.

"Kamu akan tahu nanti. Sekarang, bisa kita turun?"

Kami turun dari mobil Aksal. Sekolah gelap sekarang. Benar-benar gelap. Terkecuali untuk beberapa titik seperti teras koridor menuju kantor guru dan pos satpam, meski sosok yang patut kami waspadai itu tidak terlihat di manapun.

Tetap saja, kami berhati-hati, nyaris mengendap-endap ketika melewati pos itu sebelum setengah berlarian di koridor. Sepatu berdecit-decit di atas ubin yang dingin. Kami berjalan dan berjalan. Hanya mengandalkan penerangan minim yang didapat dari senter ponsel Aksal.

"Horor banget." Aksal berkomentar. Meski suaranya pelan, tetapi nyatanya suara itu bergema di setiap tembok, menambah sensasi horor seperti yang Aksal sebutkan.

"Di belakang kamu!" Secara refleks aku berseru.

Secara refleks juga, dia menoleh ke belakang, nyaris melompat mundur. Bahkan dengan cahaya minim, aku dapat melihat kekagetannya. Dan tanpa bisa menahan diri, aku tertawa.

Ia menatapku setengah merajuk, setengah tersenyum.

"Saya baru tahu ternyata kamu juga bisa jahil!" keluhnya.

Aku hanya tersenyum. Setidaknya, selama sesaat. Karena detik itu juga, aku melihat sesuatu di belakang Aksal. Sebuah cahaya.

"Di belakang kamu!"

Aksal mencibir. "Kamu nggak bisa membodohi saya dua kali."

"Serius!"

"Siapa itu?!"

Ia menoleh dan aku menariknya cepat. Berlari menyusuri koridor. Di belakang kami, cahaya senter bergerak-gerak. Milik Pak Satpam yang sedang mengejar. Aku menarik Aksal untuk berbelok cepat, menuruni tangga, dan bersembunyi di sana dengan senter dimatikan.

Lama, kami berdiam di sana. Mendengarkan suara langkah kaki yang menjauh, hingga hening.

"Sudah pergi?" Aksal berbisik. Posisinya amat dekat hingga aku dapat merasakan panas tubuhnya.

Lalu, dia menarikku dari persembunyian. Kami melanjutkan tujuan. Rasanya, adrenalin memuncak dalam diriku hingga aku berjalan lebih cepat ketika menaiki undakan tangga, dan nyaris tergelincir karenanya.

"Kamu tidak apa-apa?" Aksal bertanya dalam suara pelan yang terdengar nyaring hingga bergema di seisi ruangan. Tangannya menggenggam lenganku, menahanku agar tidak jatuh.

Aku menggeleng, meski tidak yakin apakah dia bisa melihatnya. Karena tangannya refleks mencoba menolongku, cahaya senter tersorot ke arah yang acak, jauh dari kami berdua. Hingga aku hanya dapat melihat siluet Aksal. Menatap bayang hidungnya yang tegas, di atas sepasang bibir yang memiliki siluet indah.

Dengan cepat aku membuang wajah. Jengah atas apa yang baru saja aku pikirkan. Kupercepat langkah meniti tangga tersebut. Hingga akhirnya, dengan sedikit dorongan pada pintu besi berkarat, kami tiba di atap.

Aku memburu ke tembok pembatas. Lalu, membiarkan diriku terkesima.

"Kita ngapain ke sini?" Aksal kembali bertanya dan aku membalasnya dengan lambaian tangan.

"Sini!"

Ia menurut untuk berjalan mendekat, dan aku segera menariknya ke sisi tembok. Pemandangan malam menyapa kami dengan segera. Semarak kerlip cahaya lampu yang tersebar seperti barisan kunang-kunang, bulan sabit yang menggantung, semuanya menambah semarak langit luas yang seperti sebuah kanvas hitam maha besar.

Di sisiku, Aksal sama terpesonanya. Senyum terbit di bibirnya, yang masih dia pertahankan bahkan ketika melihatku.

Untungnya, sekarang gelap. Sehingga senyumnya, serta tatapannya yang amat dekat tidak memengaruhiku seburuk itu. Hanya ... hanya membuatku sedikit berdebar. Untungnya pula, dia tidak dapat melihat wajahku sekarang.

"Cantik," katanya.

Aku mengangguk dan membuang pandangku pada barisan kunang-kunang nun jauh di sana. "Iya, kan?"

Lama, aku merasakan tatapannya terpaku padaku. Seperti menghujam. Membuatku tidak bisa kabur.

Akhirnya, setelah menit-menit yang terasa seperti selamanya, ia mengucapkan sesuatu. "Terima kasih, Isa."

Perkataan itu memancingku untuk menoleh, untuk menatapnya. Dan meski hanya diterangi sinar bulan, aku dapat melihatnya, sinar matanya yang hangat.

Terima kasih .... kata-kata itu terasa asing di telingaku. Amat asing.

Aku pasti sedang mengernyit sekarang. "Kenapa ... berterima kasih?"

"Karena kamu nggak ninggalin saya sendirian."

Aksal kemudian menumpukan kedua lengannya pada dinding pembatas. Tatapannya kembali lari pada pemandangan di kejauhan. "Terima kasih karena kamu membuat saya ... nggak begitu kesepian lagi."

Rasanya, aku seperti mendengar diriku yang bicara. Tetapi ini Aksal. Aksal yang populer di sekolah, yang diidolakan semua orang. Aku mengikutinya menumpukan lengan di atas tembok setinggi perut orang dewasa tersebut, tetapi perhatianku, seluruhnya tercurah kepada Aksal.

"Kamu? Kesepian?"

Dia balik menatapku. "Ya. Kamu nggak sendirian. Ada banyak orang kesepian di dunia ini. Termasuk saya."

Lalu, senyumnya yang kulihat waktu itu terasa seperti sedang diterjemahkan. Sekarang.

"Ibu saya adalah istri kedua, yang membuat Ayah meninggalkan istri dan anaknya yang pertama. Ayah saya mementingkan uang, begitulah cara Ibu mendapatkannya. Dan Ibu saya ... dia egois, tidak ada penolakan baginya, meskipun itu artinya harus merampas milik orang lain. Cowok tadi itu kakak saya. Lebih tepatnya, anak yang ayahnya saya rampas."

Senyum getir itu kembali, sesaat sebelum Aksal membuang muka.

"Jadi, sikapnya yang seperti itu, saya mengerti. Saya mungkin juga akan melakukan hal yang sama seandainya ada di posisi dia."

Angin malam yang dingin berembus pelan, mendaratkan anak-anak rambutku ke wajah. Aku menyimpannya ke belakang telinga.

"Saya punya ayah, ibu, dan kakak. Tapi setiap hari ... saya selalu sendirian, selalu kesepian. Bukankah ini ironis?"

Ia menoleh menatapku. Dan akhirnya, aku mengerti. Tatapannya ... aku sering melihat tatapan seperti itu di cermin. Ternyata kami sama. Hanya dua orang yang kesepian. Dua anak yang tersesat dari dunia.

Kami bertatapan cukup lama. Seperti saling menyelami kedalaman mata masing-masing. Seperti saling menemukan. Seperti sedang berbagi luka. Hingga angin bertiup lebih keras, beberapa helai rambut masuk ke mata. Membuatku mulai jengkel.

Kulepaskan ikat rambut, membiarkannya tergerai untuk nanti diikat kembali. Sayangnya, dalam prosesnya aku justru kehilangan karet rambutku. Di dalam gelap, aku berusaha menampaki kemana benda itu melayang.

Saat itulah, aku merasakan tangan Aksal, ujung-ujung jemarinya bergesekan pelan dengan leherku. Dia tengah mengumpulkan rambutku, lalu mencoba mengikatnya. Jaraknya dekat. Begitu dekat hingga aku dapat merasakan samar hangat napasnya di punggung leherku. Dan bisikan yang kemudian dia lontarkan, membuatku nyaris jumpalitan.

"Tapi sejak ada kamu," katanya lagi. "Rasanya ... saya nggak begitu kesepian lagi."

Sial. Aku berdebar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro