Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 26


[Kacang Polong] Saya di depan rumah kamu.

Mataku secara otomatis melebar membaca pesan tersebut. Dengan cepat aku berjalan ke jendela dan menyibak tirainya sedikit. Dari jendela kamarku di lantai dua, aku dapat melihat jalanan di depan rumah. Dan ya, aku melihat sebuah mobil putih di seberang jalan, dan seorang laki-laki berjalan yang keluar dari sana.

Itu Aksal. Meski aku tidak mengenali mobilnya, aku dapat mengenali perawakannya, cara dia berdiri, bahkan gaya rambutnya. Semua itu kuingat tanpa sengaja. Dia benar-benar sudah datang!

Kepanikan melandaku dengan cepat begitu menyadari keadaan. Pertama, aku masih dibalut kaus lusuh, tidak siap untuk pergi kemanapun. Kedua, Papa ada di rumah, dan mengingat pembicaraan tadi, rasanya sebuah belati akan ditodongkan ke leherku jika aku nekat berpamitan untuk pergi dengan seorang laki-laki.

Aku tidak punya pilihan. Aku harus membatalkan janji malam ini. Atau ....

Atau aku tidak perlu menjadi anak baik-baik seperti yang Papa harapkan. Karena memang sejak awal, aku bukan salah satunya.

Maka aku membuka lemari, memilih secara acak pakaian yang layak untuk dibawa ke luar rumah (hal yang tidak terlalu memusingkan karena jumlah pakaianku yang tidak banyak dengan jenis yang itu-itu saja, kaus hitam, putih dan abu-abu, kemeja hitam, sweter hitam, jaket hitam, jins). Usai mengenakan kaus lengan pendek warna putih dan jins berwarna gelap, aku membalutnya dengan jaket denim hitam. Tidak ada waktu untuk menyisir rambut sehingga aku menguncirnya dan meletakkan topi baseball di atas kepala. Uang dan ponsel kulesakkan ke dalam saku jins, dan aku pun siap pergi.

Aku tidak pergi keluar dari kamar lewat pintu. Alih-alih, aku membuka jendela. Kisi-kisi beton yang ditempatkan di bagian atas dan bawah jendela menjadi sangat berguna. Aku turun melalui bebatuan kolam air terjun buatan yang sudah dikeringkan sejak seminggu lalu, lalu mengendap-endap dalam kegelapan dan memanjat pagar.

"Maaf lama," kataku begitu tiba di belakang Aksal. Hal yang membuatnya kaget hingga nyaris melompat.

Ketika melihatku, ia melepaskan napas lega dan mengurut dadanya. "Kamu ngagetin."

Ekspresinya benar-benar lucu hingga membuatku nyaris tertawa. Nyaris. Aku berhasil menahannya hingga menjadi senyum kecut saja. Ia melihatku, lalu kepada pagar yang masih terkunci.

"Kamu datang dari mana?"

Aku mengendik sebagai jawaban. Tatapanku terarah pada SUV putih di sampingnya. "Kamu hari ini bawa mobil?"

Aksal mengangguk, lantas segera membukakan pintu penumpangnya. "Terakhir kamu kayaknya nggak nyaman naik motor."

Aku termangu. "Kamu nggak sampai beli mobil baru, kan?" Menilik betapa mulusnya mobil tersebut, aku sedikit ragu, meskipun tahu pertanyaanku konyol.

Ia terkekeh. "Enggak. Saya pinjam mobil Papa, kok. Yuk, masuk."

"Kamu nggak perlu bukain saya pintu," ujarku, namun tetap masuk ke kursi penumpang, takut dia merasa perlu memegangi pintu itu lebih lama lagi.

"That's bare mininum I can do," katanya, sebelum menghidupkan mesin. "Kamu ada rencana mau pergi ke mana?"

Aku menggeleng.

"Kalau begitu boleh saya mengajak kamu ke suatu tempat?" Ia menatapku. Intens. Cukup intens untuk membuatku membeku.

Jawabanku tidak muncul dengan segera. Kesadaran akhirnya muncul di otakku. Bahwa kami akan pergi. Ke suatu tempat. Hanya berdua. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa memercayainya. Atau memercayai diriku sendiri yang bisa-bisanya pergi dengan sukarela dengan seseorang yang cukup asing?

"Tenang, saya nggak akan ngapa-ngapain," katanya seakan dapat membaca pikiranku. "Ke suatu tempat dimana akan ada banyak orang, dan kamu akan merasa aman."

"Banyak orang ... banyak orang belum tentu, membuat saya merasa aman."

"Lalu, apa yang harus ... saya lakukan?" Ada sedikit panik di matanya. Seperti kendala di luar rencana. Aku bisa menebak, dia adalah orang yang terorganisir. Semua sudah direncanakan dan diantisipasi. Kecuali ... jawabanku.

Terkadang, aku merasa seperti anomali. Seperti sesuatu yang salah tempat saat berada di sampingnya. Dia dengan segalanya yang dia punya. Dia yang dikagumi banyak orang. Dia yang menyandang nama Pangeran dan membawanya ke tahap serius; dia benar-benar hidup untuk nama itu. Dan aku, adalah rencana tidak teduga di tengah jalannya.

"Cukup dengan ... jangan tinggalin saya," kataku.

Karena dengannya, rasanya ... aku merasa cukup aman.

***

Apa yang dikatakan Aksal benar. Di sini ada banyak orang.

Dia membawaku ke sebuah mall. Karena kukatakan aku sudah makan malam, akhirnya kami membeli kopi sebelum mengantri untuk tiket bioskop. Semua itu sudah ada dalam daftarnya. Beberapa kali, aku bahkan menangkap basahnya sedang blank, tidak tahu apa yang harus dilakukan hingga melirik catatan di ponsel.

Aksal memilih sebuah film bertema keluarga. Hal yang awalnya kusyukuri karena studio itu termasuk yang tidak penuh, hanya berisi setengah dengan sebagian besarnya adalah keluarga atau pasangan anak ibu atau ayah anak. Kami duduk di barisan ke tiga dari belakang, di antara kursi kosong dan pasang yang setidaknya berusia masing-masing empat puluh tahunan. Lampu di ruangan mati, dan ... senyap. Filmnya dimulai.

Setelah dua jam yang terasa seperti selamanya, lampu kembali menyala dan wanita di sebelahku tengah menyusut airmatanya dengan tisu. Beberapa orang membicarakan betapa mengharukannya cerita tadi. Aku menoleh pada Aksal. Wajahnya tidak terbaca, bahkan sepanjang film.

Ini pertama kalinya kami pergi ke sini, pertama kali bagiku memasuki ruangan bioskop. Dan menilik rencana yang telah dia rancang, aku sempat menebak-nebak hal-hal yang mungkin dia lakukan sepanjang lampu dipadamkan. Nyatanya tidak ada. Tidak bahkan sekedar jemari yang tidak sengaja bersentuhan. Sepanjang film, Aksal hanya menatap ke depan, dengan tatapan yang tidak dapat kutafsirkan. Baik itu ketika gelap maupun ketika ruangan dipenuhi cahaya seperti sekarang.

Kediaman kami baru terpecah ketika kami telah berada di luar bioskop. Berjalan bersisian di antara toko-toko barang bermerk yang gemerlap.

"Gimana filmnya tadi?" tanyanya. Suaranya santai, seperti Aksal biasanya. "Saya senang mereka sekeluarga bisa rukun kembali."

Langkahku terhenti. Aku menatapnya sembari berpikir haruskah aku berkata jujur? Apakah aku menginginkannya di sisiku lebih lama? Apakah aku menginginkan kencan kedua, ketiga dan seterusnya?

Lalu sebelum sempat berpikir dua kali, aku menyatakan pendapatku. Apa adanya.

"Saya nggak suka."

Ia pasti mengira dirinya salah dengar. Karena Aksal melangkah mendekat, mencondongkan badannya sedikit ke arahku dnengan kening berkerut.

"Kenapa?" tanyanya.

"Ada banyak orang. Saya nggak suka di sini. Dan saya nggak suka filmnya."

There. I said it. Orang-orang membenciku karena ini. Kebenaran mutlak yang akan kumuntahkan tanpa sungkan. Tapi itu lebih baik. Dijauhi lebih baik. Bahkan ... meski oleh Aksal sekalipun.

"Dan filmnya?" Dia bertanya.

"Keluarga harmonis ... Saya nggak suka melihat hal-hal yang saya nggak punya."

Aku membayangkan berjalan sendirian di mall ini, lalu mencari taksi untuk pulang. Itu skenario terburuk. Karena ini Aksal, kupikir dia hanya akan tersenyum pura-pura biasa. Lalu perlahan menjauh.

Mungkin, tebakanku yang kedua yang benar. Tetapi pertanyaannya benar-benar di luar ekspektasiku.

"Boleh saya genggam tangan kamu?"

Selama beberapa detik, otakku membeku. Apa ... katanya? Dan bahkan sebelum sempat berpikir dengan sempurna, aku mengangguk.

Tangannya tidak sehangat bayanganku. Alih-alih, ujung-ujung jemarinya terasa dingin. Ia menyelipkan jari jemarinya itu dengan lembut, tidak menekan. Dan perlahan, aku mulai merasakan ujung-ujung jemari itu mulai menghangat. Sedikit demi sedikit.

"Terima kasih udah jujur," katanya sembari kami melanjutkan langkah. "Saya senang kamu bisa ngomong kayak gitu."

"Senang?" Giliran aku yang mengerutkan kening.

Memangnya ada orang yang senang dijelekkan?

Dia terkekeh sebagai jawaban. "Artinya, kamu sudah cukup terbuka sama saya. Saya senang kamu nggak ngasih saya jawaban sekedar basa-basi."

Detik itu aku bertanya-tanya. Terbuat dari apa, Aksal ini? Apa otaknya memiliki deterjen tersendiri hingga dia bisa berpikir bersih?

Kami berjalan menuruni eskalator, dengan aku yang di tepi dan dia di tengah dengan keadaan eskalator yang kebetulan cukup penuh. Ketika berjalan keluar mall menuju lahan parkir, dia tiba-tiba berkata. "Keluarga harmonis... Saya juga nggak punya."

Secara otomatis, aku menoleh padanya, merasa salah dengar. Tidak mungkin, kan, Aksal barusan mengatakan bahwa dia tidak lahir dari keluarga yang tidak harmonis? Karena itu hal yang mustahil.

Namun bukannya meralat, dia hanya meneruskan ucapannya. "Karena saya nggak punya, saya suka membayangkannya. Berkhayal bahwa itu adalah keluarga saya sendiri."

Itu baru. Benar-benar pengetahuan baru untukku. Juga mengejutkan. Aku ingin menatapnya, memastikan kebenarannya. Tetapi dia tidak melakukan hal yang sama; menatapku. Dia membuang pandang. Seperti ... sedang melarikan diri.

Jadi yang bisa kulakukan hanya mengeratkan genggaman tanganku padanya.

Terutama, ketika langkahnya terhenti. Aksal membeku di tempat dengan pandangan lurus ke depan.

Di sana, aku melihat seorang laki-laki. Tinggi, seperti Aksal. Dengan bahu tegap dan rambut hitam yang rapi, kontras dengan kulitnya yang pucat. Dia tampan. Mungkin seumuran Aksal, atau sedikit lebih tua.

Kemudian kudengar Aksal memanggilnya.

"Kak Riam!"

***

A/N: Bagi yang udah baca Orionis Zeta pasti paham ya gimana hubungan Riam sama Aksal. Tapi kalau belum baca nggak papa kok. Ikuti aja terus kelanjutannya ya. Tapi kataku sih baca aja dua-duanya, hehehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro