Chapter 24
Aku nulis ini sampai 3 kali gara-gara laptop eror. Pengen nangis banget T.T
Enjoy reading, ya. And please give me some appreciation too <3 nulisnya udah butuh effort banget.
***
Aksal menatapku. Dan aku, untuk pertama kalinya, tidak berani menatap ke dalam matanya.
Karena Isa yang terduduk di depannya sekarang bukanlah Isa yang kemarin dia temui. Bukan Isa yang berani menyatakan cinta di depan semua orang, bukan Isa yang kuat, bukan Isa yang tidak kenal cara menangis.
Ini Isa yang baru saja tersandung di atas kakinya sendiri. Isa yang berusaha lari. Isa yang ingin bersembunyi. Ini Isa yang ... rapuh. Bagian dari diriku yang tidak ingin kuperlihatkan pada orang lain.
Sekarang, dia telah melihatnya. Mungkin ..., setelah ini dia akan berubah pikirann. Mungkin, dia tidak akan mengirimkan ucapan selamat pagi dan bertemu denganku lagi. Hal itu seharusnya melegakan.
"Kamu terluka."
Itu adalah kalimat pertamanya setelah hening yang terasa panjang. Kuikuti arah pandangnya, di lututku, ada lecet kemerahan dan luka terbuka yang baru kusadari keberadaannya, hasil terjatuh tadi.
"Mari," katanya lagi. Satu tangannya terulur sementara tangan lainnya membayang di belakang pundakku, seolah berjaga-jaga jika aku bangkit dan kembali terjatuh.
Seolah-olah... aku adalah benda yang rapuh.
Jadi aku menepis tangannya dan bangkit berdiri dengan usahaku sendiri. Yang berhasil, awalnya. Sayangnya, mungkin aku terlalu percaya diri dan mulai melangkah. Di saat itulah, kakiku menyerah, oleng, dan aku kembali terjatuh. Begitu saja. Dalam hati aku mengutuk keseimbanganku yang mendadak payah.
"Hati-hati," ucapnya, kembali berada di sisiku. Dia tidak menyalahkan kekeraskepalaanku.
Dan, tanpa aba-aba, ia meletakkan satu lengan di bawah lututku dan lengan yang lain di punggungku. Ia membawaku di atas kedua lengannya.
Seketika, aku diserang rasa panik. "Kamu ngapain?" tanyaku gugup. "Turunin."
"Kamu nggak bisa jalan."
"Saya bisa! Tolong, turunin saya sekarang!"
Ia tetap melangkah sembari menggeleng. "Nggak mau."
"Kalau kamu enggak turunin saya sekarang, saya─"
"Saya apa?"
"Saya bakal pukul kamu!"
Tiba-tiba, dia terkekeh pelan. Bisa-bisanya! Di saat semua orang di sekitar menghujamkan tatapan setajam pedang padaku.
"Apa yang lucu?" tanyaku, sementara mataku menolak untuk menatapnya. Alih-alih, aku menyembunyikan wajah, seolah dengan cara itu aku berhasil tidak terlihat.
"Kamu jadi bicara lebih santai. Bisa teriak juga."
"Ini bukan saatnya becanda!" Rasanya, aku ingin membungkamnya, namun tidak sanggup memperlihatkan wajah pada semua orang.
"Sshh. Kita sudah sampai. Saya obati kamu dulu, baru kamu lanjut ngomel, oke?"
Ketika dia akhirnya menurunkanku, aku menyadari bahwa kami sekarang berada di ruang UKS, dengan aku menempati salah satu kasur paling ujung. Aksal sendiri menjauh dan memunggungiku, berdiri di depan lemari obat.
"Petugas UKSnya nggak masuk, kayaknya," ujarnya, lantas bergumam kepada diri sendiri. "Betadine... NaCl ... kasa, nah, ini dia."
Ketika dia kembali, dia membawa beberapa peralatan P3K itu sebelum berjongkok di depanku. Mula-mula, dia meneteskan cairan dari wadah putih transparan seperti infus ke atas kapas, lalu menekannya ke lukaku. Perih, hingga aku meringis.
"Ternyata kamu juga bisa ngerasa sakit," dia terkekeh lagi.
Sementara aku menatapnya dengan kening berkerut. "Saya manusia," jawabku.
Dan lagi, dia terkekeh. "Oh, ya? Saya pikir kamu kacang polong."
"Kacang polong?" Lagi? Ada apa dengan otaknya dan kacang polong?
Aksal mengangguk. Ia menatap lukaku lagi, lantas perlahan mengoleskan cotton bud yang telah ditetesi obat merah. Aku menggigit bibir agar tidak meringis.
"Hm," gumamnya, "tahan sedikit."
Usai mengoleskan obat merah itu, ia kembali mengangkat wajah. Menatapku tepat di mata.
"Kamu ... seperti kacang polong," ujarnya.
Aku terdiam dengan kening menunjukkan tanda tanya, menunggu penjelasannya.
"Kamu tahu gimana tekstur kacang polong?"
"Keras?" Aku mencoba berpikir. "Kulitnya agak keras. Agak pahit juga."
Ia mengangguk setuju. "Seperti itu kamu. Kacang polong punya kulit keras untuk melindungi dirinya. Dan bagi sebagian orang, kacang polong agak pahit. Padahal kacang polong enak. Selain itu, kacang polong adalah sumber serat yang baik buat pertumbuhan bakteri baik dalam saluran cerna, juga dengan konsumsi serat yang cukup bisa mengurangi risiko radang usus, iritasi usus, dan kanker usus besar."
Mendengar penjelasannya, aku tidak bisa untuk tidak terkekeh.
"Ternyata benar apa yang mereka bilang?"
"Apa?" Giliran Aksal yang mengerutkan kening.
"Bahwa kamu adalah ensiklopedia berjalan."
Dia tertawa sekarang, renyah. "Pengetahuan saya nggak sebanyak itu," ujarnya. "Contohnya, sampai dua minggu yang lalu, saya enggak tahu nomor hape kamu. Atau makanan kesukaan kamu. Atau warna kesukaan kamu."
"Hitam," balasku. "Dan mungkin jingga."
"Jingga, seperti buah jeruk?"
Aku menggeleng pelan. "Seperti langit saat matahari tenggelam." Dan dengan sedikit ragu, akupun menanyainya. "Kamu?"
"Cokelat." Ia menjawab dengan pasti.
"Cokelat?" Itu tidak terlalu umum. "Seperti pramuka?"
Dia terkekeh. "Ya. Dan seperti warna mata kamu."
Ada keheningan sesaat karena aku gagal menemukan satu kata saja untuk membalas ucapannya. Terlalu sibuk, mengahalau rasa panas di pipi yang tidak kumengerti sebabnya. Atau tentang detak jantungku yang tiba-tiba berdegup cepat.
Di bawah tatapannya itu, aku merasa ... seperti kehilangan keseimbangan.
"Makanan kesukaan kamu telur rebus, kan?" tanyanya lagi. Ia telah menurunkan pandang dan kembali fokus merawat lukaku.
Aku memberi anggukan. "Dan kamu kacang polong?"
Lagi, sembari tersenyum lebar, dia mengangguk. "Kamu ingat."
"Kamu selalu bicara soal kacang polong," jelasku, akhirnya menemukan akal sehatku kembali. "Sesuka itu, kamu sama kacang polong?"
Ia kembali memberikan satu anggukan pasti, tangannya mengoleskan obat merah ke sekitar luka degan telaten. "Mm. Sesuka itu."
Hening kembali. Aku mulai kehilangan kata-kata sementara Aksal kembali fokus dengan pekerjaannya. Ia sekarang memotong sehelai kasa. Menempelkan kapas, kasa, lalu ditahan oleh dua lembar plester luka di lututku. Rasanya sedikit terlalu berlebihan untuk luka yang tak seberapa.
"Sudah selesai."
Ia menepuk kedua tangannya. Tetapi alih-alih berdiri, tatapannya jatuh pada kedua sepatuku. Ujungnya kotor, tali temarinya terburai. Secara otomatis, aku menariknya ke belakang, menyembunyikannya dari tatapan Aksal.
Tetapi dia keras kepala dan menarik kakiku kembali, menjadi lebih dekat padanya.
"Kamu pasti lupa ngikat tali sepatu dengan benar," katanya.
Lalu tanpa bertanya, dia mulai menarik tali itu dari setiap lubang, menjadikannya lebih erat di kakiku sebelum membuat simpul yang tampak rapi. Bahkan aku tidak bisa melakukannya.
Usai mengikat tali sepatuku di sisi lainnya, ia mendongak menatapku. Membuat pandangan kami bertemu. Kali ini, aku tidak memalingkan wajah. Meski Aksal kemudian tersenyum.
"Jangan lupa ikat tali sepatu mulai sekarang. Jangan jatuh-jatuh lagi."
Aku menatapnya serius. Sehingga berangsur-angsur, senyumnya turut memudar dan wajahnya menjadi percampuran antara serius dan kebingungan.
"Kenapa kamu ngelakuin ini?" tanyaku, tidak ingin berbasa-basi.
"Ngelakuin apa?"
"Kenapa kamu ... baik, sama saya?" Apa yang kamu inginkan? Kepuasan? Taruhan sebuah permainan? Apa? Berhenti membuat saya bingung.
Tetapi jawaban yang keluar dari bibirnya jauh melenceng dari berbagai opsi yang kuciptakan di kepala.
"Karena saya suka kacang polong."
....
Sekarang, aku yang dibuat bingung. "Kacang polong?"
Sudut-sudut bibir Aksal kembali terangkat. Tetapi senyumnya kali ini terasa lebih ... hangat. Di bawah kanopi matanya yang teduh, aku merasakan jantungku kembali berulah. Terutama, dengan jawaban yang dia berikan.
"Saya suka kacang polong, dan kacang polong mengingatkan saya sama kamu."
"..." Aku masih tidak mengerti.
"Saya suka sama kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro