Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 23


Aku menyerahkan kotak makan itu ke pangkuannya begitu masuk ke dalam mobil. Bia menatap kotak itu, lalu kepadaku secara bergantian. Kerut di keningnya seolah memiliki pertanyaan sehingga, tanpa ingin berada di situasi ini lebih lama, aku pun menjelaskan.

"Dari Bi Nur. Ketinggalan, katanya."

"Oh," katanya, mengangguk sekali, lantas menggumamkan terima kasih pelan. Itu adalah kata pertama yang dia ucapkan padaku setelah tiga hari ini.

Ya, aksi diam yang dia lakukan sejak insiden tas itu. Entah apa alasannya. Akupun tidak ingin peduli. Kami saling duduk di masing-masing ujung sisi yang berbeda di dalam mobil, saling menatap ke luar jendela.

Hingga ponselku berdenting. Hal yang tidak biasa sehingga aku perlu memeriksanya.

[Kacang Polong]: Siang ini kamu sibuk, nggak?

Aku sedikit terkejut. Tidak biasanya orang itu mengirimi pesan pada jam seperti sekarang. Biasanya, dia saat ini telah sampai di sekolah dan menyibukkan diri dengan tanggung jawab. Karena penasaran dengan pesan yang tiba-tiba itu, juga pertanyaan tiba-tiba itu, akupun membalas dengan cepat.

Kenapa? Ketikku.

[Kacang Polong]: Saya kayaknya bisa curi-curi waktu.

[Kacang Polong]: Mau ... makan siang bareng?

Jemariku terhenti di papan ketik sementara aku berpikir harus menjawab apa. Dia mengajakku ... makan siang? Lagi? Aku tidak punya rencana apa-apa sehingga banyak memiliki waktu luang, itu jelas. Tetapi makan siang bersama ... aku tidak tahu apakah aku menginginkannya.

Otakku memerintahkan untuk menolak. Makan siang bersamanya seperti waktu itu membuatku tidak nyaman, aku tidak ingin melakukannya lagi. Tetapi ucapannya tempo hari kembali mengisi benakku dan tahu-tahu, aku sudah mengetik balasan.

Boleh, balasku.

Aku membuang pandang ke jendela segera setelahnya. Kurasa ... aku sudah gila. Tapi anehnya, aku merasa ... cukup senang.

Oke, aku pasti benar-benar gila!

***

Perasaan tidak nyaman yang aneh menyerangku momen ketika aku menginjakkan kaki di koridor sekolah. Rasanya ada yang salah, meski aku tidak tahu apa. Anak-anak seperti biasa berkumpul di beberapa titik di sepanjang koridor; di dekat mading, di sekitar bangku panjang yang menghadap taman, di dekat gerbang, ramai mengobrol dengan ponsel di tangan mereka.

Namun secara aneh, obrolan itu mendadak senyap begitu aku mendekat.

Di depanku berjalan Candy, anak yang sekelas denganku, rambut pendek sebahu. Aku tidak menyapanya, hanya berjalan di belakang ketika bisikan-bisikan aneh itu mulai terdengar. Candy juga menghentikan langkah.

"Urat malunya udah putus apa, ya?" seru seorang anak perempua, cukup kencang untuk bisa terdengar dari tempatku berdiri.

"Bukan lagi," sahut yang lain. "Kalau gue jadi dia, gue nggak bakal lagi punya muka buat dateng ke sekolah."

"Gue bakal pindah sekolah, kayaknya!"

"Gue bakal langsung terbang ke Korea buat operasi plastik! Ganti muka!" Suara mereka bersahut-sahutan. Kembali menjadi ramai, dengan nada-nada sarkastis yang serasa sedang dihujamkan semuanya kepadaku.

"Lagian dia pikir dia siapa sih? Berani-beraninya nulis surat super duper norak kayak gitu buat pangeran kita?!" seru seorang yang lain, sembari menatap layar ponselnya.

Apa ... yang sedang mereka lihat?

Dengan sedikit terburu, aku berjalan melewati Candy, menuju kamar mandi. Di dalam salah satu bilik toilet, aku membuka ponsel, memeriksa isi grout chat yang belum kubuka sejak kemarin. Ada ratusan pesan. Dan salah satu yang paling awal, adalah kiriman sebuah file dari nomor tanpa nama.

Suratcinta.pdf.

Jantungku mendadak berdetak lebih cepat. Firasatku tidak nyaman. Aku membuka file itu, dan menahan napas.

Itu ternyata adalah sebuah hasil scan foto, dari surat yang yang telah robek, lalu disatukan kembali sebelum diabadikan hingga terbaca dengan jelas setiap hurufnya. Goresan pena yang terlalu familiar membayang di pelupuk mataku, menari-nari yang membuat pandanganku mengabur. Rasanya, aku ingin menenggelamkan diri saat itu juga.

untuk pandawa, surat itu berbunyi. Tertulis dengan huruf-huruf kurus yang tidak begitu rapi, hasil terburu-buru.

kamu masih mengingatku? mungkin tidak.

tapi aku mengingatmu. meski tiga tahun telah berlalu. aku masih mengingatmu.

kita pernah bertemu di penyeberangan jalan. kamu menarikku agar tidak tertabrak, ingat? aku masih menyimpan plester yang kamu berikan. terima kasih, untuk waktu itu. dan terima kasih, telah menjadi alasanku bertahan.

ya, kamu adalah alasanku. aneh, kan? padahal kamu orang asing yang kemungkinan besarnya tidak mengingatku sama sekali.

tapi denganku, kamu berbeda. kamu istimewa.

aku menyukaimu. begitu saja. dan hanya ingin kamu tahu itu.

***

Aku tidak datang ke kelas. Hanya mendekam di dalam toilet hingga tempat itu sepi, semua orang telah berada di kelas masing-masing. Lalu, aku pergi ke atap. Aksal tak di sana. Jadi yang kulakukan hanya duduk berjuntai di dinding pembatas, menatap lingkungan sekolah yang tenang.

Tenang. Bagaimana bisa mereka begitu tenang? Aku iri. Sementara aku di sini menemukan telapak tanganku berkeringat. Berbagai cemoohan membayang di benakku. Kumpulan kenangan masa lalu. Makian, hinaan, yang sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Yang mungkin saja... terjadi lagi.

Masih kuingat apa yang dikatakan anak-anak itu tadi pagi. Semuanya terasa dilemparkan padaku. Meskipun tidak ada namaku pada surat itu. Ya, aku membacanya berulang kali, memastikan bahwa identitasku tidak ada di sana. Mustahil mereka tahu. Mustahil ...

"Urat malunya udah putus apa, ya?"

"Kalau gue jadi dia, gue nggak bakal lagi punya muka buat dateng ke sekolah."

"Gue bakal pindah sekolah, kayaknya!"

"Lagian dia pikir dia siapa sih? Berani-beraninya nulis surat super duper norak kayak gitu buat pangeran kita?!"

Aku menutup kedua tangan ke telinga, berusaha menghalau suara-suara itu. Suara-suara yang semakin lama, terdengar semakin keras di kepalaku. Rasanya seperti semua mata memandangku seperti manusia-manusia kelas atas memandangi seonggok sampah. Mereka mengejekku dan bersenang-senang dengannya. Rasanya ... seperti itu.

Mungkinkah ... mereka sudah tahu?

Tidak, aku menggeleng. Itu mustahil. Amat mustahil. Kecuali ...

"Maksud gue, gimana, ya, kalau Aksal tahu kalau pacarnya ... justru suka, sama temennya sendiri?"

Ucapan Veloxa tempo hari tiba-tiba melintas. Senyum licik itu. Aku menurunkan tangan dan mengepalkan tinju di sisi tubuh. Cewek sialan!

Dengan cepat, aku menyimpan ponsel ke saku dan berdiri. Veloxa, gadis itu harus diberi pelajaran, seperti cara menutup mulut. Atau, cara berhenti menjadi berengsek.

Maka aku berjalan dengan cepat dan turun dari atap. Menuju lorong kelas dua belas, tempat gadis itu berada, meski aku tidak tahu dimana persisnya kelas Veloxa. Tujuanku hanya satu; melabrak Veloxa. Tidak peduli gadis itu menjadi kesayangan semua orang dan aku akan menjadi musuh, sampah yang membuat iritasi siapapun yang melihat,

Dia sudah bersikap keterlaluan ketika kudiamkan. Mungkin jambakan yang merontokkan rambut atau satu dua tamparan keras di kepalanya yang kosong dapat membantu. Tanganku mengepal lebih erat. Langkahku kupercepat.

Namun, langkah itu harus kuhentikan tepat di persimpangan koridor. Rupanya aku memilih waktu yang salah untuk turun. Beberapa siswa telah meninggalkan kelas untuk makan siang. Dan dari semua orang, aku melihat Bia. Berdiri hanya sekian meter dari tempatku. Dan di antara jarak itu,kami sama-sama mematung.

Aku mengambil langkah mendekat. Satu demi satu. Hingga, aku berdiri di hadapan Bia.

Yang mengejutkan, adalah tatapannya. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak pernah kukenali darinya. Namun kukenali dengan amat baik dari semua orang. Itu adalah tatapan yang selalu ditujukan orang-orang padaku. Tatapan jijik.

"Jadi ini, alasannya?" tanyanya, nyaris berbisik.

Aku menatapnya, tidak mengerti ke mana arah pembicaraan yang dia inginkan.

"Kak Isa selama ini benci sama Bia, kan?" tanyanya lagi.

Aku terdiam, masih menatapnya. Sementara dia menatapku tajam. Ada kemarahan yang seperti tertulis di seluruh ekspresinya. Juga... kekecewaan.

"Tas itu. Kak Isa ngerusak tas itu karena surat itu, kan?!" Sekarang dia mulai histeris. Nada suaranya terus naik. "Karena Kak Isa suka sama Pandawa? Iya, kan?!"

Itu bukan pertanyaan. Itu mutlak tuduhan. Tuduhan yang tidak berusaha untuk kusangkal. Kubiarkan jeda keheningan yang mengisi. Sementara Bia mulai membuang pandang, lalu menatapku lagi dengan frustrasi. Dia menjadi gelisah. Kemarahannya seperti menggelegak.

"Ternyata feeling aku bener, ya. Kak Isa pelakunya! Iya, kan?!"

Masih, aku hanya menatapnya.

"JAWAB!" Ia berteriak, menarik perhatian beberapa siswa yang akan melintas.

Di belakang, bel tanda istirahat baru saja berbunyi. Di belakang, semakin banyak siswa yang keluar kelas dan berada di koridor. Di belakang Bia, aku melihatnya. Aksal, berjalan bersama Pandawa.

Aku menatap Bia lagi dan mengangguk satu kali.

"Itu benar," jawabku. "Gue memang nggak pernah suka sama lo."

Lalu, aku berbalik pergi.

Sepertinya, tidak akan ada makan siang bersama untuk kami.

Ternyata ... semuanya sama saja. Manusia cenderung percaya apa yang ingin mereka percaya. Bahkan jika aku mengatakan tidak, dia tetap tidak akan percaya. Tuduhan itu akan terus bergulir. Seperti yang selama ini terjadi.

Aku melangkah dan terus melangkah. Menuju pintu keluar dari sekolah yang memuakkan ini.

Dunia yang berengsek, yang dipenuhi orang-orang berengsek, kapan ... ini akan berakhir?

Aku meniti tangga. Satu demi satu, rasanya terlalu lambat. Jadi kuputuskan untuk mengambil dua langkah sekaligus. Dan ... keputusan bodoh. Aku tersandung dan jatuh di atas kedua lututku. Sementara di sekitar, kudengar tawa yang memekakkan telinga. Entah itu nyata atau hanya imajinasiku. Aku ... tidak mampu membuka mata dan melihatnya sendiri.

Aku... takut.

Aku merasa amat terpojok sekarang. Tidak punya tempat ... untuk pulang.

"Isa."

Sebuah bisikan.

Aku masih menunduk dalam, masih menghalau monster-monster dalam kepalaku.

"Isa!" Kali ini, panggilan itu lebih keras, disertai goncangan pelan di pundakku.

Lalu, aku memberanikan diri membuka mata dan menemukannya.

Lelaki bernama Pangeran Aksal Adiwilaga. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro