Chapter 22
Kacang Polong
Selamat pagi... :)
I'll be busy today, persiapan event hari mata sedunia. Jadi enggak ada foto makanan karena nggak akan sempat foto-foto di basecamp, hehe.
See you soon!
(Dikirim 04.39 a.m)
Aku tertegun begitu membaca pesan itu, lalu memeriksa jam dinding di kamarku. Setengah enam. Kalau begitu, pesan ini sudah dikirim satu jam yang lalu. Apa yang dia lakukan pada pukul setengah lima pagi? Waktu aku masih tertidur hingga satu jam setelahnya. Apakah dia menyiapkan semuanya sejak dinihari?
Aku bahkan baru tahu ada yang namanya hari mata sedunia. Meskipun sebelumnya dia sempat bercerita bahwa hari ini, besok dan mungkin besoknya lagi dia akan sibuk menyiapkan acara sekolah. Aku tidak bertanya lebih lanjut, namun sekarang menjadi cukup penasaran. Event apa yang dia rancang? Persiapan seperti apa? Apakah dia akan menjadi sesibuk itu? Ada begitu banyak pertanyaan.
Kuputuskan untuk mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan itu dari kepala lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Itu sedikit menggangguku, sebenarnya. Kebiasaan baru untuk memeriksa ponsel segera setelah aku bangun tidur. Kebiasaan yang sebelumnya tidak kupunya.
Aku tidak suka perubahan. Aku tidak ingin perubahan. Sehingga segera setelah mencuci muka, sebelum mengeringkannya dengan sempurna, aku telah keluar kamar mandi dan membuka laci belajarku. Sketsa wajah Pandawa masih di sana. Aku memerlukannya, memastikan bahwa hatiku masih di sana.
***
Rupanya, dia benar-benar sesibuk itu. Pagi-pagi, aku melihatnya bersama rombongan OSIS. Roti di satu tangan dan tumpukan kertas di tangan lain, sementara kacamata berbingkai perak menempel di pangkal hidungnya. Ia tengah mengobrol serius dengan temannya sembari melangkah sehingga tidak melihatku.
Meski aku, seperti orang bodoh menghentikan langkah dan berpikir ... penampilan terbaiknya adalah seperti saat ini, saat dia begitu serius dengan rencana-rencana yang ia sampaikan.
Aku lalu melihatnya kembali di jam pulang sekolah. Ia tampak terburu-buru menuju motornya, ponsel di telinga dan tas berkas di tangan. Mungkin mengurus sesuatu yang penting?
Lagi, ia tidak melihatku. Tidak menyapaku.
Bukannya aku ingin disapa.
Tidak. Hanya ... ini pertama kalinya. Dan aku tidak peduli, tentu saja.
***
Namun anehnya aku masih dapat menemukan pesannya. Dia mengirim pesan dua kali. Yang pertama, dikirim lewat pukul dua belas malam. Saat itu aku telah tertidur.
Kacang Polong
Kamu pasti sudah tidur, ya?
Selamat malam. Mimpi indah~
Yang kedua dikirim jam setengah lima. Sebelum aku terbangun.
Kacang Polong
Selamat pagi~
Kamu pasti belum bangun, ya?
Saya hari ini masih sibuk. Jangan lupa sarapan.
Kuakui, pesan-pesannya cukup acak. Itu ... agak lucu. Berbeda dengan image ketua OSIS penuh tanggung jawab yang selalu terpancar setiap aku berpapasan dengannya di sekolah. Kadang aku tidak mengerti kenapa dia bekerja sekeras itu, kenapa dia berusaha keras menjadi baik?
Tidak ada untungnya ... menjadi orang baik.
Aku memasukkan ponsel kembali ke saku. Sekarang sudah jam makan siang, dan aku tidak bisa menemukan alasan mengapa aku mengeluarkan ponsel dan membaca kembali pesan yang dikirim Aksal tadi pagi?
Pasti karena aku benar-benar tidak ada pekerjaan.
Aku sedang malas ke kantin, tidak merasa lapar. Jadi, tujuanku adalah ke atap. Dan sambil memutuskan demikian, aku tidak bisa untuk tidak berpikir apakah aku akan bertemu Aksal disana? Kemungkinan besarnya tidak. Dia sedang sibuk. Dan seharusnya itu lebih baik bagiku. Artinya aku bisa memiliki tempat itu untuk diriku sendiri hari ini.
"Aksal! Bisa bawain ini, nggak?!"
Aku menoleh. Refleks. Di ujung tangga dari lantai tiga ke lantai dua, aku melihat dua orang perempuan sedang memegangi ujung-ujung meja. Lalu ada Aksal.
"Kenapa kalian yang angkat?" tanyanya. "Sini, gue aja. Kalian bawain kotak yang kecil-kecil aja di atas."
Jadi dia tidak menyebut dirinya sebagai 'saya' setiap mengobrol dengan orang lain?
Aksal kemudian mengangkat meja itu, sebuah meja kayu dengan kursi di atasnya. Sendirian. Menuju ke arahku. Meski kursi yang dia bawa menghalangi pandangan pada wajahnya.
"Jadi ..., lo pacaran, sama Aksal?"
Sebuah suara menyambangiku. Begitu dekat, seakan nyaris berbisik di telinga. Aku menoleh kembali dan menemukan Veloxa di sisiku. Dia tersenyum memuakkan. Oh, aku sempat lupa dengan makhluk licik yang satu lagi.
Kusipitkan mata sembari memandanginya. Penasaran, apa yang sedang dia rencanakan dengan mengajakku bicara. Juga, maksud dari pertanyaannya.
"Bukan urusan lo." Aku akhirnya menjawab.
Dia tersenyum mencemooh. "Oh, no, sweety," ujarnya dengan nada lembut yang palsu. Tangannya terulur, menyibakkan helai rambutku ke belakang, lalu menepuk-nepuk pundakku pelan. "Jelas ini urusan gue. Karena, Aksal itu deket sama gue."
Giliranku yang nyaris mendenguskan cemoohan. Dia mengatakannya seolah mengenal Aksal lebih baik dari siapapun.
Dan mungkin ... dia benar. Jelas, dia lebih mengenal Aksal daripadaku.
"Gue cuma nggak pengen, ya, Aksal dipermainkan sama perempuan kayak lo," ujarnya lagi.
Kali ini, keningku mengerut kala aku menatapnya, seolah menanyakan maksud ucapannya itu.
Dan dia, dengan senang hati, juga senyum lebar, menjelaskan. "Maksud gue, gimana, ya, kalau Aksal tahu kalau pacarnya ... justru suka, sama temennya sendiri?"
Rahangku pasti merapat, meski aku berusaha tidak menunjukkan eskpresi apapun. Tetapi dia pasti membacaku, karena senyum kemenangan segera terukir di bibirnya dipoles lip tint merah muda.
"Maksud lo?" Aku bertanya dengan dingin.
Tetapi dia hanya menepuk-nepuk pundakku, , mencondongkan tubuh, lantas berbisik di telingaku sebelum pergi.
"Lo akan segera tahu."
Lepas kepergiannya, aku masih tercenung di tempatku. Berusaha memahami maksud ucapan gadis itu. Apa dia ... tidak mungkin dia tahu, kan? Tidak ada yang tahu dan akan pernah tahu.
"Isa!"
Lalu panggilan dari Aksal menyeretku kembali pada kenyataan. Ia telah berdiri di depanku. Kami berhadapan di koridor yang tidak terlalu lebar. Dengan dia yang tengah menggotong meja. Ia tampak menurunkan benda itu, lalu menyeka bulir keringat di keningnya.
"Hai," sapanya, tersenyum.
Lalu, aku berusaha mengingat kapan terakhir melihat senyumnya itu. Kemarin, tidak ada, hanya melihatnya di kejauhan. Dua hari yang lalu. Yah, itu dia. Saat dia mengantarkanku pulang, lagi. Hanya dua hari yang lalu. Tetapi kenapa rasanya sudah begitu lama sejak itu terjadi?
"Hai," aku mengangguk tanpa membalas tatapannya. Alih-alih, pandanganku tertuju pada meja kursi di depanku, menaksir beratnya.
Dan seperti menyadari arah tatapanku, Aksal pun menjelaskan.
"Ini buat stand," katanya. "Kamis ini nanti kita mau adain event buat hari mata, kita mau undang dokter dan nakes dan mau ngadain cek mata gratis, buat anak-anak sekolah kita dan umum. Kalau kamu, atau keluarga kamu mau periksa, silakan datang, ya."
Aku mengangguk pelan. Itu "ide yang ... bagus," komentarku, kesulitan untuk mengatakan kata hebat. Apakah dia memikirkan itu semua sendiri?
"Thanks," balasnya. "Saya merasa kita semua harus periksa, banyak remaja seumur kita yang enggak tahu kita punya minus atau apa, kan?"
Lagi, aku mengangguk setuju. Kemudian, seakan baru ingat bahwa dia sedang terburu-buru, ia meraih meja itu lagi.
"Silakan, kamu duluan," katanya dengan gestur menyilakan.
Aku menurut, melangkah melewatinya. Namun, sebelum aku melangkah jauh, dia kembali memanggil.
"Isa."
Lagi, aku menoleh. "Ya?"
"Saya senang ketemu kamu hari ini. Mungkin ... saya kangen."
***
A/N: Kamu kangen juga nggak? Hehe
Tugas-tugasku hampir selesaiiii yay!!! See you again soon!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro