Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 2. him


warning: mengandung kekerasan seksual dan percobaan suicide!

.

.

.

"Isa, kenalin ini Aldi. Papa baru kamu."

Kurang tiga bulan setelah kematian Bapak, ibuku membawa seorang pria yang tampak sepuluh tahun lebih muda darinya. Pria itu tampak kurus, muda, dan tidak berguna. Mungkin usianya dua puluhan tahun. Ia tidak bekerja, dan ponsel baru yang dipakainya, aku tahu dibelikan oleh ibuku.

Rupanya, mereka telah menikah di bawah tangan dan ibuku memboyong begitu saja suami barunya.

Awalnya, semua baik-baik saja. Aku tidak menyukai Aldi, tetapi aku dapat mengabaikannya. Sebelum aku berangkat sekolah dengan seragam putih biruku hingga setelah aku kembali ke rumah, yang dia lakukan hanya menonton TV 14 inch penuh semut milik kami atau bermain game di ponsel. Sesekali dia akan kelaparan dan memintaku memasak sesuatu.

Ya, benar-benar pria tidak berguna. Tetapi setidaknya dia tidak memukul. Rasanya cukup aneh tidak menemukan satu memarpun di kulitku sekarang.

Dan mungkin ... sedikit demi sedikit, aku akan mulai bisa menerimanya sebagai ayah baruku.

Sampai suatu malam, kurang lebih dua bulan setelah pernikahan, aku mendengar dia bicara dengan perempuan lain di telepon saat ibuku tidak di rumah. Di malam-malam berikutnya, ia melakukannya lagi hingga menjadi kebiasaan. Ia akan merayu dan berbicara kotor tanpa malu. Dan aku, hanya dapat mendengarkan melalui sekat dinding tipis yang memisahkan kamar ibuku dengan kamar dapur, tempatku tidur.

Rasanya lucu melihat ibuku banting tulang menjual dirinya hanya untuk membiayai seorang yang bahkan tidak setia kepadaya. Tapi aku tidak berkata apa-apa. Toh, dia tidak akan mendengarku. Dia terlalu dibutakan dengan cintanya pada Aldi.

"Jangan ngomong sembaran kamu soal suami Mama! Mama capek-capek kerja buat kamu sekolah! Kalau kamu aneh-aneh lagi, nggak usah sekolah aja!"

Pada satu titik, telepon-telepon dari dan kepada wanita lain itu terhenti. Mungkin Aldi sudah sadar. Atau mereka sudah putus. Atau entah. Pria itu lebih sering pergi ke luar belakangan, mungkin menemui pacarnya itu.

Sehingga ketika aku sedang menggoreng tempe untuk makan malam, kedatangan pria itu yang tiba-tiba mengagetkanku. Dia berdiri di pintu dapur, tersenyum.

"Lagi masak apa?" tanyanya.

Aldi tidak pernah berbicara keras padaku. Tetapi juga tidak lembut. Dan hari ini, sikapnya terasa aneh.

"Tempe. Ayah mau makan?" tanyaku, berusaha mengabaikan firasat aneh yang menelusup.

"Boleh."

Aku menata meja makan bulat yang berada di antara dapur dan ruang tamu. Meletakkan sewadah nasi, piring, sayur bening, dan sambil di sana. Lalu kembali ke dapur untuk mengambil piring tempe saat pria itu menarikku begitu saja, menyudutkanku ke dinding untuk selanjutnya, secara kasar menciumku.

Semuanya berlangsung dengan cepat. Pikiranku macet. Jantungku bertalu-talu. Dalam waktu singkat, aku merasakan tangannya dengan kasar menggerayangi tubuhku. Secara refleks, aku melawan. Kutolehkan kepala untuk menggigit lengannya sekeras yang aku bisa. Ia berteriak kesakitan dan cengkeramannya melonggar.

Aku membebaskan diri sejenak. Tetapi tidak lama. Pria itu berdiri di depan pintu, menatapku dengan amarah sementara aku terjebak di dapur yang sempit. Ia mendekat dengan cepat dan, di saat bersamaan, tanganku meraih apapun yang dapat diraih. Aku kemudian memukulnya tepat di belakang kepala. Dengan botol sirup kosong. Begitu keras hingga benda itu pecah di kepalanya.

Dia ambruk berlutut di depanku, meringis sakit sambil memegangi kepala. Dari tangannya, aku melihat darah.

Ia mengutukku dan aku mengacungkan sisa pecahan botol ke wajahnya. "Pergi atau saya teriak."

***

Aldi pergi dari rumah dan tidak pernah kembali.

Tahu apa yang ibuku katakan?

Begitu pulang dia tidak memeriksa kondisiku. Dia tidak menangis menkhawatirkanku. Dia bahkan tidak bertanya apa aku baik-baik saja.

"Kamu berani-beraninya mengusir suami Mama?!" dampratnya. Tamparannya telak mengenai pipiku.

Tidak. Dia hanya marah padaku. Sama sekali tidak khawatir. Bahkan ketika aku menyampaikan kebenarannya.

"Aldi itu laki-laki! Wajar dia seperti itu! Kamunya yang nggak bisa jaga diri!" hardiknya di sela kesibukan mencoba menghubungi kembali Aldi. "Lagipula sebentar lagi kamu sudah dewasa, Isa! Sebentar lagi kamu ikut kerjaan Mama! Biar kamu tahu dunia itu keras!"

Aku meninggalkan rumah setelahnya. Ragu, apakah wanita itu bahkan repot-repot mencariku. Hanya berjalan tanpa tujuan, melewati gang, kompleks perumahan, menyaksikan kehidupan terus bergerak dengan orang-orang berlalu lalang.

Di salah satu rumah, bendera kuning berkibar, orang-orang berpakaian serba putih melayat. Semuanya menundukkan wajah yang tampak sedih. Aku tidak sempat berkabung. Bahkan setelah kematian ayahku. Karena rasanya, setiap hari aku sudah berkabung.

Aku berhenti di depan sebuah taman yang bersebelahan dengan mesjid. Di sana, ada lapangan basket, bulu tangkis, dan arena untuk orang-orang bermain skateboard. Di pinggirannya, tersebar berbagai alat permainan. Ada ayunan, jungkat-jungkit, mangkok besar yang bisa diputar, juga semacam alat olahraga yang dicat warna-warni.

Seorang anak perempuan seusiaku tengah bermain sepatu roda. Lengkap dengan tribut helm, pelindung lengan dan juga pelindung lutut. Aku tidak pernah tahu rasanya bermain sepatu roda, jadi tanpa sadar, aku menontonnya. Dia tertawa bahagia dan aku sangat iri. Aku tidak pernah mendapat semua kemewahan itu. Kenapa aku tidak bisa menjadi seperti dirinya? Kenapa nasib kami sangat jauh berbeda?

Bagian dari diriku berharap dia jatuh saja.

Dan dia, benar-benar jatuh. Wajahnya secara menyakitkan akan menghantam ubin dengan keras seandainya tangannya tidak menopang. Ia bangkit duduk, memeriksa lengannya yang lecet, dan menangis. Dia mungkin dua belas tahun dan menangis karena luka kecil.

Sementara aku ... aku dipukuli, lalu ayahku yang tukang pukul itu mati overdosis, dan ayah baruku melecehkanku. Dan ibuku, turut melecehkanku dengan ucapannya. Hidup yang sempurna.

"Tuh, kan? Makanya hati-hati!" Ibu anak itu datang sambil mengomel.

Aku diam-diam tersenyum. Dia pasti akan dimarahi juga, kan?

"Sudah Ibu bilang hati-hati!" Dibantunya anak itu berdiri. Lalu, wanita itu berjongkok, memeriksa luka-lukanya. "Kamu nggak papa?" Juga, dibelainya kepala anak itu.

Senyumku jatuh.

Seorang pria empat puluhan tahun juga datang ke arah mereka, ayahnya mungkin. Pria itu membawakan es krim, memintanya untuk berhenti menangis dengan lembut, lalu menggendongnya.

Tanganku mengepal di sisi tubuh. Kenapa hanya aku? Kenapa hanya aku ... yang menderita.

***

Ada satu hal yang kupikirkan ketika berdiri di pinggir jalan tanpa penyeberangan; usiaku tiga belas tahun bulan ini. Hanya tiga belas. Tapi aku sudah ingin mati.

Semakin hari, dunia semakin terasa mencekik. Sementara di sekitar, orang-orang menjalani hidup dengan normal, dengan bahagia. Hanya aku, yang berkabung sendirian. Berduka atas luka-lukaku.

Mataku mengawasi laju kendaraan yang melintas cepat di depanku. Aku hanya perlu mengambil satu dua langkah maju, dan mungkin ... jika hidup cukup berbaik hati, dia akan melepaskanku. Dan itulah tekadku.

Dari kejauhan, aku melihat sebuah truk box besar berkecepatan tinggi melaju ke arahku. Satu, dua, aku menghitung dengan jantung berdebar, menunggu. Tiga, empat, ajalku semakin dekat.

Lima...

Enam...

Selamat tinggal, hidup yang mengerikan.

Tujuh...

Ini saatnya.

Aku melangkah maju, siap berlari. Tetapi seseorang menarikku, membawaku ke tempat yang lebih aman.

"Hati-hati," katanya.

Aku mendongak untuk menemukan sosok remaja laki-laki. Tingginya satu kepala di atasku. Tubuhnya kurus dan kulitnya sedikit terbakar matahari.

Kepadaku, dia menatap khawatir. "Kamu nggak pa-pa?" tanyanya lagi, memutar-mutar tubuhku sedemikian rupa seolah mencari apakah ada bagian diriku yang lecet. "Hampir aja tadi! Kamu bisa aja ketabrak tahu, nggak!"

Memang aku ingin menginginkannya. Tetapi, aku tidak menyuarakan isi pikiranku. Hanya menatapnya, tanpa mengatakan apa-apa.

Hingga, jemarinya yang kurus menyentuh pipiku. "Ini kenapa? Berdarah"

Aku meringis. Pipiku pasti lebam sekarang karena tamparan Mama. Mungkin juga sedikit sobek. Aku tidak menyadarinya karena begitu terbiasa.

Yang aku tidak terbiasa adalah, tatapan khawatir itu. Atau, sentuhan ringan itu di kulitku. Karenanya aku mengambil satu langkah mundur.

"Aku nggak pa-pa."

"Masa?"

Dia tidak benar-benar menunggu jawaban. Justru, dia merogoh seluruh kantong pakaiannya dan tersenyum senang saat menemukan sebuah plaster luka.

"Untung masih ada satu," katanya. "Aku selalu bawa-bawa ini karena sering luka waktu bantuin Ayah."

Aku tidak mengatakan apa-apa. Hingga, dia mengulurkan plaster luka itu.

"Pakai, ya.Biar lukanya cepat sembuh."

Begitu aku menerimanya dengan ragu, dia kembali tersenyum.

"Aku pergi dulu. Hati-hati lain kali! Dah!!!"

Dia setengah berlari kemudian, menjauhiku. Tetapi, meski sosoknya tidak lagi tampak, bayangannya tertinggal. Cara dia menatap. Cara dia peduli. Cara dia tersenyum.

Ini pertama kalinya.

.

.

.

- P R I N C E   E F F E C T -

.

.

a/n: there, double update! jadi bisa dong, ya, vote dan komennya jangan sampai ketinggalan?

tebak-tebakan aja deh. itu cowok siapa???

and ... share your thoughts on the story? like i know this is new kind of story from what i usually write.

terakhir, mau dikasih visual cast, nggak? atau di ig aja?

tebak siapa cast-nya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro