Chapter 17
Ramein ya biar cepet update~
.
.
.
"Lo udah baca, belum? Chat Kak Aksal semalem?" Gadis di depanku, Deera, memulai sesi gosip dengan teman-teman gengnya, tepat setelah bel berbunyi, namun guru belum masuk.
"Kenapa, emangnya?" Selin dengan sengaja memindahkan posisi duduknya menyerong agar mereka lebih mudah mengobrol.
"Aneh, nggak, sih? Kayak random banget. Kalian semua tahu sendiri Kak Aksal itu kalaupun pernah muncul di chat Bikini Bottom, palingan cuma nge-share acara resmi sekolah. Ngapain juga dia nyari orang? Orang mah yang nyamperin dia."
"Iya juga, si. Btw si 'I' itu siapa menurut kalian?"
"Gue kali," Candy menyahut. "I Candy."
Serta-merta, Deera menoyor kepalanya. "Bangun, Mbaaak! Halu terooosss!"
"Gue tuh! I Ketut Poppy!" Poppy menyambar.
"Perasaan lo nggak ada darah Bali sama sekali. Nggak usah ngarang, ya!"
"Pacarny─" Selin berhenti dari kalimatnya. Untuk sesaat, aku merasakan tatapannya padaku, yang coba kuindahkan dengan menatap jendela, juga memperbaiki earphone yang terpasang tanpa suara di telingaku.
Gadis itu kembali bicara, namun kali ini dalam suara setengah berbisik. "Dia lagi nyari pacarnya nggak, sih? Kan inisialnya I."
"Ya nggak mungkin lah!" Deera mendebat. "Aneh aja kalau pacar tapi nggak tahu nomor pacarnya. Kecuali itu settingan, ya."
"Hush!" Alexa menggamit Deera, berusaha mendiamkannya yang bicara terlalu keras. Sementara aku pura-pura tidak mendengar.
Kadang, ketika aku melewati beberapa orang, aku akan merasakan tatapan mereka padaku. Sepertinya, label pacarnya Aksal tertancap di punggungku. Meski begitu, lebih banyak lagi yang tidak percaya. Dan aku lebih memilih yang kedua.
Bu Ratna kemudian masuk, mendiamkan seluruh anak yang tadinya berhamburan ke sana kemari.
"Yang piket, bantuin Ibu bawa buku-buku kemaren ke kelas, ya."
Aku memandang sekitar. Ini jadwalku piket, bersama tiga orang lainnya, seharusnya. Sayangnya, tidak ada satupun di antara mereka yang terlihat. Mau tidak mau, aku berdiri.
Jarak antara kantor guru dan ruang kelas cukup jauh. Dan segunung tumpukan buku-buku yang kubawa tidak membuatnya lebih baik. Berkali-kali, aku harus membenarkan posisi buku-buku yang hampir jatuh, menahannya di paha sebelum memeluknya erat kembali.
Hingga kali ketiga aku melakukannya.
Hingga yang ketiga, dia mengambil sebagian besar tumpukan itu dariku. Hingga hanya menyisakan dua buku untuk kubawa sendiri. Aku menoleh, mendapati Aksal yang tengah tersenyum.
"Kenapa bawa ini sendirian? Berat, tahu."
"Tugas," jawabku seadanya.
"Kamu bisa minta tolong orang lain. Atau saya."
Aku menoleh menatapnya. Ada sebentuk senyum yang asimetris berkembang di sana.
"Kamu bisa panggil saya. Saya bawain."
"Kamu bukan kuli panggul."
Ia tertawa pelan mendengar jawabanku yang sebenarnya tidak bermaksud bercanda. Kemudian, kami tidak saling bicara ketika meniti tangga bersama. Dengan jarak setengah meter di antara kami berdua.
Ia baru membuka suara, beberapa menit kemudian, seolah baru teringat sesuatu.
"Omong-omong. Kamu sudah cek grup?"
"Grup apa?"
Aku menatapnya, serius ingin tahu. Tetapi langkahnya terhenti, begitupun langkahku. Kami telah tiba di depan kelasku, dan secara otomatis, seluruh pasang mata memandang pada Aksal.
Dia pun masuk. Langkahnya sopan, tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek. Ia menunduk sedikit ketika berdiri di depan guru, sebelum meletakkan buku-buku itu di mejanya. Sementara aku, terpaku di ambang pintu.
Semua orang menatapnya. Kagum padanya. Dan cahaya matahari pagi yang kebetulan menerobos ventilasi dan menyiraminya dengan tepat seolah mendukung seluruh citra dirinya. Dia seperti namanya. Pangeran.
Dia berpamitan, lalu berbalik. Berpapasan denganku di pintu.
"Kamu....," Ia membuka suara, lalu terhenti. Seakan sadar bahwa dirinya sedang di awasi sehingga dia mengurungkan entah apapun itu yang ingin diucapkannya.
"Sampai nanti," katanya.
Lalu kami berpisah di sana.
***
Papa benar-benar pulang hari ini. Ketika aku pulang sekolah, barang-barang berbungkus plastik tersusun rapi di atas karpet di ruang keluarga. Dan Papa duduk di sofa, sedang membaca berita melalui ipad-nya.
Begitu mendengar kedatangan kami, beliau berdiri. Tepat waktu untuk meletakkan ipadnya sebelum Bia yang berlari menyongsong langsung melemparkan diri pada pria itu.
"Papaaaaa! Lama banget sih, perginya. Bia kangen~"
Papa terkekeh. "Cuma seminggu, kok. Manja banget," katanya sembari mencubit ujung hidung Bia. Anak itu terkikik geli.
"Papa! Papa!" Bia melepaskan diri.
"Hm?"
"Papa bawain oleh-oleh yang Bia minta, kan?"
"Liat aja."
Lalu sebelum diminta dua kali, anak itu sudah berteriak dan menyongsong deretan barang berplastik yang tersusun. Ia hampir membongkar semuanya sementara Mama mendekat dan segera memeluk lengan Papa.
"Yey! Tas Bia! Lucu banget!" seru Bia senang seraya mengangkat tinggi-tinggi tas ransel berwarna merah muda pastel dan hitam dengan logo emas di tengahnya. Gaston Luga. Menilik dari kemasannya saja, aku tahu itu tidak murah.
Bia tidak berhenti di sana. Usai menyisikan tas miliknya, Bia membongkar barang-barang lainnya sementara aku duduk di sofa dan menonton. Ada dua buah tas lainnya. Berwarna pink juga dengan shade berbeda-beda. Beberapa pasang pakaian, sepatu. Lalu ada tas lagi. Kali ini tidak ada warna pink padanya.
Tas itu berwarna putih dengan dua lingkaran hitam di tengah dan dua telinga. Seperti seekor Panda.
"Ih, Panda!!!" Bia berseru. "Bia mau yang ini! Pa, Bia mau yang ini!!!"
"Itu punya Kak Isa," Papa menegurnya. "Kamu kan udah Papa beliin tiga. Masa mau itu juga?"
Bia seketika merengut, memperlihatkan ekspresi kecewanya. "Tapi ini kayak Panda. Bia mau yang ini..."
"Nanti Papa beliin yang lain."
"Nggak mau! Maunya yang ini!"
"BIA!!!"
Tetapi Mama sudah memeluk lengan Papa dan menariknya untuk kembali duduk. Satu hal yang baru kusadari sekarang, Papa adalah orang yang cukup temperamen. Caranya menatap seolah ia akan sanggup menghajar anak itu─meskipun sebenarnya aku tidak keberatan.
"Udah, Mas."
Papa mengembuskan napas kasar. "Kamu itu selalu dimanja sama almarhumah Ibu kamu! Beginilah hasilnya!" ujarnya, keras.
Bia menunduk dan menggigit bibirnya. Ini reaksi yang serupa seperti menatap ke langit mendung. Hujan nyaris turun.
"Bia memang perlu lebih didisiplinkan. Dan aku, sebagai ibu sambungnya, akan mengusahakan yang terbaik, Mas," kata Mama lembut. Nadanya menjilat. "Tapi untuk sekarang biar aja."
Mama lalu menatapku. "Isa, kamu nggak papa, kan? Ngalah dulu? Biar aja tasnya buat Bia. Isa nanti beli yang baru, ya?"
Sebenarnya, aku tidak akan setuju. Itu tasku. Seharusnya menjadi milikku dan aku terlanjur menyukainya. Kenapa aku harus mengalah pada rengekan anak manja ini? Tetapi tatapan Mama yang mengancam mengingatkanku pada jambakannya di rambutku, tamparannya, makiannya. Semua yang dilakukannya padaku yang seharusnya seorang ibu tidak lakukan.
Dengan enggan, aku mengangguk.
***
Aku sempat merasakan teksturnya. Bahannya yang tebal namun tidak kaku, tampak kuat, juga hitam di mata dan telinganya yang ternyata terbuat dari beledru. Aku tidak pernah memiliki yang seeperti itu sebelumnya. Aku menginginkannya.
Tetapi, lagi, Bia merenggutnya dariku.
Dia sedang berada di tengah sambungan telepon, pintu kamar tidak tertutup sepenuhnya ketika aku lewat. Dia berbaring di atas tempat tidur, di atas perutnya dengan bergaam boneka memenuhi tempat tidur berukuran besar itu.
"Panda juga makan yang banyak!" katanya, dan langkahku terhenti.
"Omong-omoong, Panda! Panda! Tebak, deh?" Ia seakan bermonolog di telingaku.
"Papa baru pulang dari Singapur! Terus Bia dibawain banyak oleh-oleh. Mau liat, nggak?"
Dari sudut mata, aku dapat melihatnya beranjak, mengambil tas yang seharusnya menjadi milikku itu dan memamerkannya ke layar ponsel.
"Liat deh! Bia punya tas panda sekarang! Jadi kalau Bia kangen Panda, Bia bisa peluk tas Bia aja!"
Lalu, aku dapat mendengar kekehan Pandawa, yang belum pernah kudengar sebelumnya.
"Lucu banget, Bee."
"Iya, kan? Kayak Panda!"
Aku dapat membayangkannya. Senyumnya waktu itu, terkembang kembali kali ini. tetapi, bukan untukku.
"Bakal Bia pake ke sekolah besok! Panda liat, ya!"
Aku melanjutkan langkah, berlalu ke kamarku. Kemarahan menguasaiku.
Kenapa di dunia ini ada orang yang mendapatkan semuanya dengan begitu mudah? Sementara yang lain harus berdarah-darah. Aku benci Bia. Selalu membencinya. Tetapi malam ini, aku membencinya lebih dari apapun.
***
"Biiiiii Bi Nuuuurr!!! Liat tas Bia, nggak?"
Sejak sepagian, dia telah ribut dan membangunkan semua orang. Merengek di setiap sudut rumah.
"Nyari apa, Bia?" Mama, yang masih mengenakan piyama tidur sutranya menghampiri Bia sembari mengikat rambut. "Ribut-ribut. Papa masih tidur, masih kecapekan."
Sementara aku duduk di meja makan, siap menyantap nasi goreng buatan Bi Nur pagi ini.
"Tas Bia! Tas Bia yang panda itu ilang! Mama liat, nggak?" Ia terdengar seperti akan menangis.
Aku mengunyah makananku pelan sembari mendengarkan semua drama pagi ini dengan tenang.
"Masa hilang? Coba dicari lagi."
"Udah, Ma! Nggak ada! Udah Bia cari-cari kemana-mana!"
"Ini ya, Non?"
Termasuk aku, pandangan semua orang kemudian tertuju pada Bi Nur yang baru datang dari arah ruang cuci. Wanita itu menenteng tas di tangannya. Tetapi itu tidak lagi terlihat seperti tas yang kemarin kusentuh.
Tas itu telah sobek hingga nyaris tidak bisa dipakai, dan warna putihnya telah luntur menjadi warna kecokelatan pekat yang tidak rata. Bau kopi tercium dengan tajam.
"Bibi nemu di mesin cuci udah kerendam gini."
t b c
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro