Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16

.
.
.

Rasanya, aku tidak ingin pernah bertemu dengannya lagi.

Aku tidak ingin melihatnya lagi dan teringat kebodohanku sendiri. Rasa malu merambatiku dengan cepat sebelum aku cepat-cepat melepas helm dan mengembalikan padanya. Lalu menutup pagar di belakangku tanpa pernah melihat lagi ke belakang. Uh, bisa-bisanya aku kehilangan fokus dan jadi bodoh?

"Non udah pulang? Nggak sama Non Bia?" Bi Nur yang melihatku menegur, tetapi tidak kuhiraukan.

Aku mengunci pintu kamar, lalu tidak keluar hingga menjelang magrib, ketika mobil Pak Darto terdengar di halaman diikuti ribut-ribut Bia ketika dia memasuki rumah.

"Bibiiii mau juuuusss," rengeknya seketika.

Tanpa melepas sepatu, dia berjalan di karpet lalu melemparkan diri di sofa ruang tamu, tasnya di taruh di lantai sembarangan dan sepatunya di atas sofa. Pemandangan yang agak mengganggu bagiku. Bi Nur-lah yang kemudian harus melepas sepatu Bia untuknya.

"Jus apa, Non?"

"Jeruk."

Bi Nur baru berjalan beberapa langkah ke dapur ketika dia memanggilnya lagi. "Eh nggak jadi! Nggak jadi! Jus apel aja."

Lalu, dia mengulanginya lagi untuk kembali ke jus jeruk. Jika aku adalah Bi Nur, aku pasti sudah menjejalkan blender ke mulutnya.

Anak itu bahkan merengek-rengek dalam kebohongan.

"Duh, kaki Bia sakit banget, nih. Capek banget latihan terus," keluhnya seraya memijit-mijit kaki. "Biiiii nanti pijitin kaki Bia sekalian, yah!"

Yang aku tahu, kakinya pasti lelah untuk alasan berbeda. Hanya ketika Mama keluar dari kamar dan berjalan ke arahnya, gadis itu diam. Kejadian kemarin, tamparan itu sepertinya membuatnya lebih berhati-hati di dekat Mama. Sekarang dia tahu, dirinya telah masuk perangkap dan menjadi seorang Cinderella.

"Bia baru pulang?" Mama menegur dan secara mengejutkan, terdengar begitu lembut.

Wanita itu mengambil posisi duduk di sisi Bia. Lalu, dengan perhatian meletakkan kaki Bia di atas pahanya sebelum mulai memijit pelan. Bia dibuat terkejut oleh perbuatannya itu.

"Soal kemarin ....," ucapnya, "maafin Mama, ya. Mama lagi stress aja dan refleks... menampar Bia. Mama nggak sengaja, sungguh. Mama bener-bener nyesel sampai-sampai Mama nggak bisa bicara sama kamu langsung." Ia lalu menatap Bia lekat-lekat dengan tatap teduh. Tangannya naik, mengelus pelan pipi anak malang itu. "Pasti sakit, ya? Kamu pasti kaget."

Bia menunduk, seolah tidak tahu harus menjawab apa. Ketika dia mendongak lagi, dia tersenyum dan menggeleng. "Enggak apa-apa kok, Ma. Bia enggak apa-apa."

"Mama minta maaf. Mama nyeseeeelll banget." Ia meraih tangan Bia, lalu menempatkannya di pipinya sendiri. "Tolong kamu tampar Mama, ya. Biar impas. Tolong kamu tampar Mama juga."

Tetapi Bia menarik tangannya cepat dan menggeleng keras-keras. "Enggak Ma. Bia udah maafin Mama, kok! Bia sayang Mama!"

"Mama juga sayaaang banget sama Bia."

Lantas, mereka berpelukan.

Aku mendengkus, atas opera sabun murahan yang barusan kusaksikan. Hanya ada satu alasan yang dapat kupikirkan, Papa akan pulang. Karena itu sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. That fake bitch.

Aku berjalan ke dapur, melewati Bi Nur yang sibuk menuangkan perasan jeruk ke gelas untuk meraih gelas dan mengambil air putih.

"Non Isa tadi diantar pacarnya, ya?"

Seketika, aku tersedak. Leherku nyaris menoleh terlalu cepat pada Bi Nur, yang menatapku dengan senyum.

"Anaknya ganteng ya, Non. Rapi," komentarnya.

Aku berdeham, berusaha mengalau rasa panas di pipiku

"Cuma... temen," balasku, lantas meletakkan gelas di wastafel dan kembali. Tidak ingin Bi Nur menanyaiku lebih banyak. Atau sekedar mengingatkanku pada Aksal dan responsku yang memalukan.

Begitu aku memasuki kamar kembali dan menyalakan notifikasi yang sempat kusenyapkan, ada banyak pesan masuk, berderet-deret tanpa henti, seperti air bah. Hampir seluruhnya, sekitar seratus tujuh puluh sembilan pesan baru itu muncul dari grup obrolan WARGA BIKINI BOTTOM─demi Tuhan aku benci sekolah ini dan siapapun yang menamainya demikian. Aku yakin pendiri Bintang Karya Insani akan menangis di dalam kuburnya jika tahu nama yang telah dia ciptakan dengan begitu filosofis berakhir menjadi disebut BIKINI.

Grup perpesanan itu sendiri memiliki banyak anggota. Seluruh siswa SMA Bintang Karya Insani dimasukkan ke sana, minus para guru dan karyawan. Karena itu tidak mengherankan mereka bisa menamai grupnya apa saja dan membicarakan apa saja di sana. Selama tidak ada yang melapor ke guru.

Begitu aku membukanya, pesan paling awal yang belum terbaca secara otomatis terpampang.

[WARGA BIKINI BOTTOM]

Echan Zamed Tamvan: Guys, coba tebak! Siang-siang gini enaknya sapi makan rumput laut Pasifik hiu tempat Titanic tenggelam sambil minum air

Nadeera Deera: Korslet lu, ya?

Pesan itu dikirim dan dibalas siang tadi. Dan bukan pula pesan itu yang membuat ponselku tidak berhenti bergetar. Ada jarak. Setelah pesan itu, ada pesan lain. Tertanda, dikirim kurang dari tiga puluh menit yang lalu.

Aksal Adiwilaga: Teman-teman, saya mau tanya.

Nadeera Deera: Tanya apa, Kak?

Yuyun Selir The Effects: Tanya apa, Kak?

Sazkia Madina: Tanya apa, Kak?

Poppy Puspita: Kalau mau tanya kapan kita nikah, aku siap!

Dedenya Kak Aksal: Tanya apa, Kak?

Dan berderet pesan serupa sebelum aku dapat menemukan apa yang sebenarnya ingin ditanyakan Aksal.

Aksal Adiwilaga: Ada anak kelas sepuluh yang tadi siang ada urusan sama saya. Tapi belum selesai. Tolong japri, ya.

Banyak pesan lagi setelahnya sebagai jawaban. Seperti: 'Urusan apa, Kak?', 'Kalau kasih sayang aku ke Kakak yang belum usai boleh japri?', dan sejenisnya. Hanya selang beberapa menit, tampaknya cowok itu membalas pesannya sendiri dengan pesan baru.

Aksal Adiwilaga: Ada anak kelas sepuluh yang tadi siang ada urusan sama saya. Tapi belum selesai. Tolong japri, ya.

Aksal Adiwilaga: Kalau nggak salah, inisialnya I.

Aksal Adiwilaga: Chat saya, ya. Ditunggu.

Aku mengerutkan alis. Apakah yang dia maksud ... aku?

Tidak mungkin, aku tidak punya urusan dengannya. Lagipula, aku juga tidak berniat menghubunginya. Jadi, ponsel kukembalikan ke meja sementara aku menarik kursi dan membuka laci.

Sketsa Pandawa ada di sana. Menatapku dengan mata teduhnya. Kuletakkan di atas meja belajarku, bersandar pada lampu belajar yang tidak menyala. Lalu, kurebahkan kepala di atas meja. Aku menatapnya balik. Seolah kami sedang berhadapan.

Memori tentangnya, tentang senyumnya, dan apa yang dia lakukan untuk menyelamatkanku, terekam begitu jelas. Seperti ingatan sore kemarin.

Aku memejamkan mata. Bisakah dia datang sekali lagi dan menyelamatkanku?

PS: Aku suka cantiknya Isa mukanya kayak jutek gitu~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro