Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14

Spam komen, ya!
Harus rame pokoknya ❤

***

Dia memang sepopuler itu, ternyata.

Gosip menyebar begitu cepat sehingga kurang dari 24 jam, aku merasa seperti seorang buronan satu sekolah. Di ponselku, nada pemberitahuan terus berderet-deret membuatku mematikannya dengan sengaja. Bahkan ketika aku ke meja makan untuk makan malam, Bia menatapku dengan alis yang dipenuhi pertanyaan. Aku dapat membacanya, tetapi akan sulit untuk menghindarinya.

"Jadi," dia menangkup kedua tangan di atas meja sembari mencondongkan tubuh ke arahku. Dia bahkan tidak menunggu aku mengambil suapan pertama sebelum menanyakan itu. "Kak Isa pacaran sama Kak Aksal?"

Aku tidak bisa berkutik di tempatku. Pun membalasnya dengan santai. Alih-alih, aku menatapnya dengan wajah tak terbaca.

"Denger dari mana?"

"Ih, anak-anak heboh, tahu, gosipin itu. Katanya Kak Isa nembak Kak Aksal ya, di lapangan? Berani banget! Kereeeennn! Bia mau juga jadi cewek keren kayak Kak Isa. Tapi Bia pasti malu kalau kayak gitu. Kakak tahu, kan, gimana gosip di sekolah kita nyebar? Terus masa cewek nembak cowok, ya? Pasti Bia dikatain gitu. Kalau bisa sih nggak bisa nggak tahu malu gitu─"

Dia terus bicara, mengungkapkan isi kepalanya. Sementara aku mengeratkan peganganku pada sendok. Aku tidak bisa membedakan apakah dia sedang menyindirku atau mengolok-olokku. Setiap kalimatnya membuatku tidak nyaman. Membuatku ingin menamparnya.

Bahkan sekarang Mama ikut tertarik. Ia melepaskan pandangan dari video mukbang-nya dan menatapku penuh selidik.

"Kamu punya pacar, Isa?" tanyanya. Dengan mudah aku mendeteksi nada tidak suka dalam suaranya. Tetapi kemudian dia selalu tidak suka dengan apapun itu yang berhubungan denganku.

"Iya, Ma, Kak Isa tadi─"

"Itu nggak benar," potongku.

Namun Bia tidak melepaskanku begitu saja. "Masa?" sungutnya. "Bukannya Bia liat Kak Isa sama Kak Aksal ya, di lapangan? Kak Aksal nerima, kan?"

Untuk pertanyaan itu, aku tidak lagi ingin menjawabnya. Orang-orang dapat berasumsi semau mereka dan aku tidak peduli. Aku mengambil suapan pertamaku dan memilih melupakan pertanyaan itu.

"Kak? Iya, kan? Nerima, kan? Kak Aksal langsung ngajak nge-date nggak, abis itu?"

Pertanyaan itu sekali lagi tidak kugubris. Namun bohong jika kukatakan, itu tidak membawaku pada ingatan sore tadi. Saat aku melihatnya bersandar pada dinding.

Dia punya tampak sisi yang menawan, tubuh yang beraroma menyenangkan, juga senyum yang sulit untuk ditampik. Pantas saja jika kebanyakan siswi di sekolah menyukainya. Sayangnya, aku bukan salah satu dari mereka.

"Kamu pulang naik apa? Biar saya antar."

Aku termangu begitu mendengar tawarannya. Mengantarku pulang? Otakku masih kesulitan mencerna kalimat sederhana itu. Kemudian, aku menggeleng.

"Oh... nggak perlu. Saya bisa sendiri."

Aku tidak menunggu reaksinya, melainkan terus mengambil langkah, berjalan mendahului cowok itu. Aku tidak ingin pulang dengannya. Tidak ingin menarik lebih banyak perhatian daripada ini. Tidak ingin terlibat lebih jauh.

Dia tidak menahanku, dan aku bersyukur untuk itu.

"Kak?" Bia memanggilku sekali lagi, cukup untuk memutus lamunanku. Juga cukup untuk memutus napsu makanku.

Dan Mama, tidak membuat semuanya lebih baik. "Apa dia kaya? Apa aja yang udah kamu kasih ke dia?"

Aku nyaris tersedak oleh tawa. Si jalang ini berpikir aku akan sama sepertinya, menjual diriku demi beberapa barang tidak berharga.

Aku menenggak setengah dari gelas air putihku dan berdiri.

"Kamu mau kemana? Habisin makannya!" Mama mulai menaikkan suaranya.

Tetapi, aku tidak peduli.

"Mama aja, yang habisin," jawabku. "Nggak baik, membuang-buang makanan dari Papa, setelah semua yang Mama 'kasih' untuk Papa."

Lalu, aku mempercepat langkah dan menulikan telinga. Aku tidak akan membiarkannya menghentikanku. Tidak juga Bia, yang kudengar memanggilku, lalu kursinya berderit setelahnya. Ia ingin mengejarku, tetapi tersandung, atau entah, yang menyebabkan bunyi gelas jatuh dan pecah terdengar oleh telingaku. Membuatku secara otomatis menoleh.

Bia di sana, menekan kuku-kukunya di antara gigi sementara Mama berdiri di depannya, dengan gaun tidur basah oleh susu cokelat milik Bia. Dia telah menumpahkannya di tempat yang salah, dalam waktu yang salah.

"Ma- ma'af, Ma. Bia nggak sengaja."

Lalu plak! Kulihat tangan Mama melayang dan mendarat sempurna di pipinya. Dengan kerasnya. Bia nyaris terjatuh karenanya. Gadis itu memegangi pipi dengan tangan yang gemetar, nyaris menangis.

Mama tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia pergi begitu saja, dengan langkah-langkah lebar. Berteriak pada ART untuk menyiapkan pakaian baru dan mandi air hangat untuknya. Aku juga tidak mengatakan apa-apa. Aku tidak pergi ke Bia, tidak menenangkannya.

Sebaliknya, aku berputar di tumitku, dan pergi. Aku masuk ke kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Sama saja, seperti apa yang orang-orang lakukan ketika melihatku dipukuli; tidak peduli.

***

Keesokan harinya, dia datang lagi.

Kupikir setelah kemarin, dia akan menghentikan permainan konyol ini. Kupikir semua akan kembali normal sementara gosip itu akan segera mereda. Tetapi dia di sana, dengan buku di satu tangan dan tangan lainnya di saku celana.

Ketika aku melangkah di ambang pintu, dia melihatku. Tetapi untungnya gerombolan para siswi yang ingin pulang menjadi pemisah di antara kami. Ditambah, mereka tidak hanya sekedar lewat, mereka menghampiri Aksal.

"Kak Aksal ke sini nyariin siapa?"

"Candy, ya?"

"Ketua kelas, kali?"

"Eh bukannya Kak Aksal sekarang punya pacar?"

"Eh iya, anak baru di kelas kita bukan, sih?"

Aku menggunakan kesempatan itu untuk mempercepat langkah dan menjauh. Kali itupun, aku berhasil menghindar.

Tidak di hari ketiga.

Kelas telah sepi. Semuanya telah pulang saat aku menyandang tas di bahu dan berjalan ke luar kelas. Hanya untuk dihadang olehnya. Kali ini tidak tepat di depan kelas sehingga awalnya aku sempat menghela napas lega. Tetapi dia berdiri di koridor menuju satu-satunya gerbang sekolah.

Ia menyimpan bukunya, mengecek arloji, lalu menatap ke arahku.

"Kamu terlambat tiga puluh lima menit."

"Apa?"

"Saya dari tadi nungguin kamu. Untungnya kamu belum pulang."

"Kamu nunggu saya?"

Dia mengangguk. Lalu, dia berjalan ke arahku, memperpendek jarak. Dengan mudahnya menerobos jarak kenyamananku, membuatku sedikit beringsut mundur.

"Kenapa nggak nunggu di depan kelas?"

Bodohnya, setelah kalimat itu meluncur keluar, aku baru menyesalinya. Pertanyaan itu muncul begitu saja tanpa sempat kusaring. Kesannya, aku malah seakan menunggunya di depan kelas. Dan tentu saja itu tidak benar.

"Oh, saya takut itu mengganggu, buat kamu."

Aku mengerjap.

"Ada banyak orang di sana. Kamu mungkin nggak nyaman, jadi pusat perhatian."

Oke... apakah dia baru saja membacaku? Apa aku begitu mudah dibaca? Selama tujuh belas tahun, tidak ada yang melakukannya. Bagaimana dia bisa?

Tetapi dia tersenyum seolah apa yang dia lakukan barusan bukanlah hal mengejutkan. Tangannya terulur. "Mari, saya antar pulang."

Aku tidak menyambut uluran tangannya. Tidak beranjak untuk berjalan bersamanya. Aku hanya diam, menatapnya. Mencari-cari rahasia. Mencari-cari makna di balik sikapnya.

Permainan apa yang sebenarnya sedang dia mainkan?

"Dengar," kataku akhirnya. Jemariku meremas tali tas. "Terima kasih kamu mau menolong saya waktu itu. Saya tahu kamu cuma nggak ingin saya malu di depan banyak orang." Yeah, itu adalah alasan paling masuk akal. Jika dia benar-benar laki-laki yang baik seperti yang orang-orang katakan, laki-laki yang merangkul perempuan yang baru ditolaknya seperti yang pernah kulihat, dia akan melakukannya. Hanya demi menghargaiku.

"Saya menghargainya. Tapi itu sudah cukup. Tugas kamu sudah selesai."

Lelucon berakhir. Aku tidak lagi ingin terlibat. Aku mengambil langkah maju, melewatinya, tanpa berpikir untuk menoleh. Ia pun, lagi, tidak mengejarku.

Tetapi tidak lama, langkahku terhenti. Bukan oleh Aksal. Tetapi bisikan-bisikan terdengar di sekitarku, terlalu jelas untuk kuabaikan.

"Tuh kan dia pulang sendiri!" Seseorang di belakangku berbisik keras. "Artinya mereka nggak pacaran."

"Aksal kasian aja kali. Tapi abis itu ditolak beneran di belakang."

"Bener tuh!"

"Aksal terlalu baik nggak, sih? Harusnya cewek kayak gitu langsung ditolak di depan umum aja biar malu sekalian!"

"Emang dia tahu malu?"

Mereka tertawa. Dengan ringannya.

Jariku mengepal. Cukup menyebalkan ketika orang-orang mengatakan yang tidak-tidak, menggosipkan hal yang jauh dari kenyataan. Tetapi lebih menyakitkan ..., ketika mereka mengatakan kebenaran.

Aksal pasti mengasihaniku. Aku mungkin terlihat semenyedihkan itu di matanya. Mungkin ... memang semenyedihkan itu.

Tapi kemudian tawa itu lenyap dalam sekejap. Gosip-gosip terhenti. Suasana menjadi mendadak hening. Sebelum aku sempat menoleh, sesuatu menggesek kulitku. Sesuatu yang hangat, menelusup di antara jemariku, kemudian menangkup telapak tanganku.

Aku mendongak ke sisi. Kutemukan dia. Anak laki-laki dengan lambang ketua OSIS di lengan seragamnya. Anak laki-laki dengan wangi musk yang tipis. Anak laki-laki dengan tag nama Pangeran Aksal Adiwilaga terajut di dadanya.

Dia sedang menggenggam tanganku. Dan dia mengembangkan senyum.

"Maaf lama," katanya.

Lalu dia seakan menghipnotisku untuk berjalan bersamanya, bergenggaman tangan. Seolah kami adalah sepasang kekasih. Dengan seisi koridor yang mendadak senyap di sekeliling kami.

Ketika kami tiba di parkiran, aku melepaskan genggaman itu.

"Cukup," kataku. Lantas berlalu untuk mengambil jalan berbeda.

Bia mengatakan dia akan mengikuti ekskul hari ini, jadi mobil jemputan akan tiba sore nanti. Aku hanya perlu mencari angkutan umum, dan pulang.

Tetapi, Aksal kemudian menahan lenganku.

"Belum," katanya. Lalu dia mengangkat helm di satu tangannya dan memasangkannya melewati kepalaku, dengan penuh kehati-hatian.

Dalam prosesnya, tatap kami bertemu.

"Belum," ulangnya. "Tugas saya belum selesai. Saya hari ini bela-belain bawa dua helm. Saya ingin mengantar kamu pulang dengan selamat."

tbc

Aksal kaku banget ga sih ngomongnya? 😂😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro