Chapter 12
Nino menyunggingkan seringai di satu sudut bibir. Sebelah tangannya di simpan di saku. Sebelah yang lain bertopang pada dinding, tepat di sisi kepala seorang anak perempuan kelas sepuluh berambut panjang sepundak dengan pita rambut di kepala. Tatapan Nino meneduh, menatap gadis di depannya selayaknya serigala pada sang mangsa.
"Tahu nggak, Dek, bedanya hape Kakak sama hati Kakak?"
Gadis itu menatap Nino malu-malu, sebelum kembali menunduk.
"Apa ..., Kak?"
Nino tersenyum, lantas memperpendek jarak di antara mereka, sebelum berbisik. "Kalau hape Kakak, 4G. Kalau hati Kakak, for you," ujarnya dengan begitu mantap seolah kalimat itu ia ciptakan sendiri dan bukannya mengambil apa yang sedang viral di media sosial.
Tetap saja, meski gombalannya basi, pesona Nino tidak. Gadis yang berada di depannya bersemu merah seketika.
"Ih, Kakak bisa aja!" sungutnya manja sembari memukul pelan dada Nino.
Sembari terkekeh, Nino menangkap tangan mungilnya, menggenggamnya, sementara tatapannya intens pada mata gadis itu, membua si gadis menunduk malu.
"Halo, Dek~"
Tiba-tiba, sebentuk wajah usil hadir di antara mereka, menginterupsi keromantisan yang susah payah Nino ciptakan.
Pada gadis itu, Langit menyengir.
"Dek. Kamu jangan mau sama dia. Mending sama Abang aja. Tahu, nggak, dek? Harta Abang banyak. Di Jakarta aja, dari kokas itu Tanah Abang!"
"Minggir lo, Malih!" Nino seketika menyikutnya. "Ganggu aja orang pacaran!"
Langit mencibir. "Oh, baru lagi, ya? Perasaan kemaren sama Nadira ya? Apa Safira? Kalau Kinanti apa kabar? Bukannya dua hari lalu kamu masih jalan sama dia?"
Langit sengaja, Nino tahu. Sehingga diam-diam cowok itu mengutuk. Dia menarik napas demi meredam emosi, namun gagal dan mulai menendang Langit yang tertawa-tawa sembari menghindari serangan itu.
"KUDA NIL! PENGUIN! BERUANG MADU!" Nino seketika mengabsen nama-nama penghuni kebun binatang.
Ia berlari mengejar Langit yang begitu lincah menghindari serangan-serangannya. Langit masih tertawa ketika dia berlari masuk ke ruang musik. "Navyyy!!! Tolong! Bebeb lo nih!"
Navy yang tengah duduk di sofa sembari memangku gitar meletakkan gitarnya ke sisi dan membuka kedua lengan lebar-lebar.
"Ada apa, Nino Beb. Cerita, sini."
"Najis!" Nino menarik Langit yang bersembunyi di balik sofa. "Sini lo! Kalo mau jomlo jangan ngajak-ngajak juga elah!"
"Lo tuh! Cewek mulu. Latihan kagak!" Langit membela diri.
Pandawa yang telah selesai mengisi botol minumnya dengan air putih dari dispenser kemudian berjalan mendekat. "Kalian ngapain sih, ribut terus!" tegurnya.
Nadanya datar. Namun jika Pandawa sudah bicara, semuanya diam.
"Nino nih. Dicariin dari tadi buat latihan, eh dia sibuk ngegombalin cewek!"
"Emang dia nih, nggak hidup kayaknya kalau gak godain anak orang," Navy mengangguk-angguk, membuat Nino mendelik pada keduanya.
"Ya, mending gue godain cewek, kan, daripada godain cowok?" belanya.
Aksal yang duduk di sudut tersenyum, tetapi Navy dan Langit mencibir. Nino tidak mau kalah. Bukan Elnino namanya kalau dia tidak bisa membalas perbuatan dua cecunguk di hadapannya ini.
Mendapat ide cemerlang di otaknya, Nino pun duduk santai di antara Navy dan Langit, memaksakan diri di sana hingga dua orang itu harus menyingkir sedikit ke tepi dan memberinya ruang.
"Ya udah sih, kalau gue nggak jadian sama Mila." Kaki dikaitkannya di atas lutut, dengan santainya. "Lagian, gue udah punya gebetan baru."
"Siapa?" Langit memakan umpan.
"Itu ... siapa sih, namanya." Nino lalu menoleh pada Navy. "Itu loh, Nav, cewek rambut pendek yang nungguin lo kemaren. Siapa sih, namanya? Cindy? Eh, Candy??!"
"Gila! Dah ada inceran baru aja."
"Oh, iya, dong. Lagian manis banget gitu anaknya. Gue boleh deketin dong. Iya, kan, Nav?"
Navy tidak menyahut. Alih-alih, dia berdiri, lantas dengan heboh menunjuk pada buku di tangan Aksal yang duduk di pojok.
"Wah, Sal! Lo baca apaan tuh?! Kayaknya seru!" Dan secara 'tidak sengaja', menginjak kaki Nino dalam perjalanannya menuju Aksal. Secara tidak sengaja juga, begitu kerasnya hingga Nino mengaduh hebat dan jatuh berguling seketika.
"Sori, nggak sengaja," balas Navy santai begitu Nino mulai memanggil nama-nama hewan lagi.
Aksal tertawa kali ini. Ia masih ingat dengan jelas, teori dan rencana yang dibeberkan Nino beberapa waktu lalu.
"Navy naksir tuh cewek!" kata Nino dengan sangat meyakinkan.
Langit, menjadi orang yang lebih dulu menyuarakan pertanyaan di kepala Aksal. "Navy? Naksir cewek? Serius?!"
Nino mengangguk. "Gue udah pengalaman soal beginian jadi gue langsung tahu. Tapi ya lo tahu Navy itu gengsinya segede kumis Pak Amitabh Bachchan, nggak bakalan dia ngaku ke kita."
"Terus?"
"Kita pancing lah! Nggak seru kalau disia-siain gini aja. Lagian lo pada pengen memastikan, kan, gue bener apa enggak?"
Aksal dan Langit mengangguk. Pandawa bahkan ikut mendengarkan dengan seksama.
"Caranya?" Kali ini, Aksal yang bertanya.
Dan yang ditanya, dengan senang hati mengistirahatkan lengannya di pundak Aksal, lalu menjelaskan.
"Tuh cewek naksir lo."
"Candy?"
"Iya, anjir. Lo nggak sadar? Polos banget lo jadi orang. Harus berapa korban lagi yang bergelimpangan lo buat baper tapi lo-nya nggak sadar?!"
Aksal menggeleng. "Gue anggep dia kayak adik aja. Lo tahu gue nggak punya sodara." Kecuali satu orang. Satu orang saudara yang tidak pernah mengakuinya. Satu orang saudara yang selalu berharap Aksal merenggut segalanya darinya.
"Iya, iya. Gue sadar itu," Nino mengangguk. "Masalahnya, dia naksir lo. Walaupun kayaknya nggak naksir-naksir bange─"
Langit lalu menyela dengan tidak sabar. "Terus apa hubungannya Aksal sama Navy naksir cewek?"
"Nah!" Jemari Nino menjentik di udara. Ia lalu menatap Aksal, seribu satu akal muslihat tergambar dari sorot matanya. "Lo buat Navy cemburu. Dan liat aja, hasilnya."
***
Aksal telah melakukan beberapa upaya untuk membuat Navy cemburu. Harus ia akui, itu cukup menyenangkan. Meski sebenarnya ia merasa senang dekat dengan Candy tanpa alasan apa-apa.
Gadis itu lucu, menyenangkan, mudah disukai.
Bersamanya, Aksal kadang bertanya-tanya, apakah gadis seperti ini tipenya? Apakah gadis seperti Candy yang akan meluluhkan hatinya? Mungkin saja, seandainya Aksal tidak mengetahui perasaan Navy.
Atau mungkin saja tidak.
Tidak ada ruang di hatinya saat ini untuk urusan asmara. Semuanya telah penuh, oleh harapan, oleh masalah-masalah yang ia coba sembunyikan dari semua orang.
Sebuah bola basket melayang ke arahnya, yang Aksal tangkap dengan releks. Nino, yang sebelumnya melempar bola itu, menyengir ketika dia menghampiri Aksal.
"Pas banget. Kita kurang orang buat tanding. Lo gabung!"
Itu bukan lagi ajakan. Jika Nino berkehendak, niscaya dia tidak mengizinkan siapapun mengatakan tidak.
***
"Saya suka sama kamu!"
Riuh seisi sekolah bergelora memenuhi lapangan berikut lorong-lorong di sepanjang sekolah hingga ke lantai tiga. Siswi-siswi bergerombol, siswa-siswa memanjat pagar, semua tidak ingin ketinggalan dari pertujukan. Kamera-kamera ponsel diangkat, mengabadikan. Dan di beberapa sudut, cemoohan terdengar dengan sudut-sudut bibir terangkat, siap menerkam dengan ocehan pedas.
Aksal memindahkan bola basket yang ditopang pinggang kirinya ke sebelah kanan, mengelap keringat di kening dengan lengan, lantas menatap sekitar. Tidak ada lagi orang lain dalam radius dua meter dari tempatnya berdiri. Permainan terhenti begitu saja begitu dia, gadis ini datang dan berdiri di depannya tanpa basa-basi.
Ia menatap bunga mawar yang disodorkan ke arahnya. Lantas sepasang kelereng gelap itu beralih pada gadis yang berdiri di depannya. Gadis itu menatap Aksal tanpa ekspresi. Meski begitu, tangannya yang memegang bunga terlihat sedikit gemetar.
"Jadi ... kamu mau jadi pacar saya?" tanyanya sembari mengangkat alis. Bukan gadis itu, melainkan Aksal yang bertaya.
Gadis berambut panjang dan lurus sepunggung itu mengangguk. Ia tidak memiliki poni tetapi angin yang beembus pelan menerbangkan sebagian rambut ke wajahnya. Rambut yang indah, pikir Aksal.
Sayangnya, dia bahkan tidak tahu namanya.
"Siapa nama kamu?"
Si Gadis Tak Bernama menatapnya balik. Tatapannya tegas, dingin. Seolah dia tidak takut dengan apapun. Bahkan tidak dengan kenyataan bahwa semua orang di sekolah tengah menonton mereka saat ini.
"Isa."
Aksal berbalik detik itu juga, menjauh. Membuat sorakan cemooh terdengar hampir dari segala penjuru. Bisik-bisik mulai ramai. Derai tawa mulai terdengar. Dan gadis itu diam, berdiri di tempat.
Dia bego, ya? Seseorang berbisik.
Udah ditolak, masih nggak malu juga?
Emang nggak tahu malu!
Tetapi Aksal tidak pergi. Dia hanya berjalan ke pinggir lapangan, meraih sesuatu dari tasnya, dan berbalik. Dia kembali berdiri di hadapan gadis itu lagi.
Lalu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Sebelah tangannya terulur, memasangkan topi hitam di kepala gadis itu sementara tangan lainnya meraih bunga yang dia sodorkan.
Aksal, dengan lembutnya, tersenyum.
"Oke, Isa. Kalau gitu, ini hari pertama kita."
Dan sorakan paling memekakkan telinga pun baru saja menghantam semua orang seperti gulungan tsunami.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro