Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 11


Aku turun dari atap usai sesak di dadaku terasa berkurang separuhnya. Surat yang kutulis kubaca ulang untuk kali kedua, lalu, kuremukkan. Hingga remasan yang membuatnya nyaris tak berbentuk lagi sebelum berakhir di tempat sampah.

Konyol, rasanya.

Aku masih membenci Bia, dan aku masih menginginkan Pandawa. Tetapi aku juga tidak berniat ditolak mentah-mentah.

Mungkin aku harus kembali ke kelas dan tidur, atau izin ke UKS dan tidur. Aku butuh tidur, belakangan aku begitu kekurangan istirahat karena kepalaku tidak bisa berhenti bicara tentang Pandawa.

"Woy! Balik lo!"

"Bodo amat! Gua tempel di mading muka lo gigi semua!"

Terdapat keributan ketika aku berjalan di koridor menuju kelas. Dua orang anak laki-laki berlarian cepat, menabrak apapun yang menghalangi jalan mereka. Aku, salah satunya.

Anak laki-laki yang berlari di belakang yang melakukannya, membuatku menjatuhkan botol air mineral yang sedang kugenggam.

"Sori, sori!" ucapnya buru-buru sembari memungut botol yang menggelinding ke kakinya.

Ia menyerahkannya padaku, dengan cara yang sopan. Tatapan kami bertemu selama beberapa saat, lantas, dengan alaminya, dia tersenyum.

"Sekali lagi maaf, ya. Nggak sengaja."

Aku mengenalnya. Rambut gondrong di atas rata-rata dan entah kenapa berhasil lolos dari inspeksi rambut. Ia memiliki mata yang membuatku memahami kenapa masih banyak saja gadis yang mau ditipu olehnya. Seperti curhat beberapa anak di kelas yang kadang kudengar tanpa sengaja.

"Kamu anak baru itu, ya?" tanyanya lagi berhubung aku tidak segera menjawab. "Kelas berapa? Eh, sampe lupa!" Ia mengelap telapak tangannya di celana, lantas mengulurkannya padaku. "Kenalin, gue Nino. Elnino Putra Bagaskara. Tapi kalau kepanjangan, kamu bisa panggil Sayang aja."

Aku menahan diri untuk tidak mengernyit. Selama beberapa saat, mataku tertuju ke tangannya, tetapi memilih mengabaikan alih-alih menjabatnya. Hingga satu menit berlalu, dia menurunkannya kembali dan tersenyum kikuk.

"Kamu pendiem banget, ya, kayaknya." Ia cepat-cepat menguasai diri. Ia lalu melirik botol di tanganku.

"Oh iya, sori soal minumannya. Mau diganti, nggak? Kamu mau minum apa, Kak Nino gantiin. Sama makan sekalian juga boleh."

Aku menatapnya. Cara dia tersenyum, cara dia membawa diri, merayu ... Cowok ini jelas memiliki kata brengsek yang tercetak di jidatnya. Dan aku sama sekali tidak tertarik.

"Enggak perlu," jawabku seadanya.

Lantas, aku berlalu. Kudengar suara tamparan di belakang, juga keberisikan. Cowok yang berlari pertama dan melewatiku tadi, Langit, sepertinya kembali untuk menjemput Nino. Kudengar dia tertawa dan berseru di belakang.

"Mampus lo No! Pesona lo udah luntur kayaknya gara-gara lo nonton bokep!"

"Mana ada anjir?! Nggak usah fitnah lo!"

Keributan itu berlanjut. Semakin lama semakin mengabur di telinga karena langkahku yang terus menjauh.

Aku menjauh. Menjauh. Dan menjauh. Lalu terhenti.

Tak jauh di depanku, aku melihat Veloxa. Ia sedang menarik seorang anak laki-laki ke balik tembok meski kentara orang itu tidak menginginkannya.

Itu Navy.

***

"Minggir. Ini tempat Velo."

Aku menghentikan acara makanku, meletakkan sendok kembali ke mangkuk dan mendongak. Di depanku, kutemukan objek yang disebut bersama ketiga anak buahnya mengelilingi meja yang kutempati.

Gadis yang memintaku untuk pindah itu meletakkan mangkuk makanan dan minumannya tepat di depanku. Ia tidak berbicara dengan suara keras, tetapi tatapannya cukup mengintimidasi. Sementara di sampingnya, Veloxa berdiri sembari memamerkan senyum palsu. Aku menatapnya sejenak, lantas pada seisi kantin yang masih sepi berhubung aku datang cukup awal. Terakhir, pada makananku yang tersisa setengah.

"Tuli?! Dia bilang minggir! Pindah!" Seseorang lain di kelompok itu berbicara dengan nada dinaikkan, tetapi masih di dalam kontrol sehingga beberapa siswa lain yang berada di sudut kantin tidak mendengar.

Aku yang dalam upaya memulai kembali sesi makanku kembali harus membatalkannya. Mereka mulai membuat selera makanku menguap. Dan itu mengesalkan.

"Kenapa nggak lo yang pindah?" ucapku.

"Ini tempat gue," kali ini, Veloxa yang menjawab.

Aku kembali menatapnya dengan pertanyaan yang terlukis besar-besar di keningku. Terus?!

Melihatku tidak kunjung menggeser pantatku dari kursi yang dia incar entah dengan alasan apa itu, Veloxa mulai terlihat tidak sabar.

"Minggir atau..." nadanya mengancam.

Aku menatapnya tepat di mata. "Atau?"

Lalu, sebelum dapat kucegah, tangannya telah bergerak, menjatuhkan minumanku di atas meja, membuat air es dingin meluncur ke rokku.

Rasanya dingin mengejutkan. Aku menunduk pada rokku. Basah. Aku benci rok yang basah karena akan menarik perhatian semua orang. Dan aku teramat benci gadis sok yang berdiri di depanku ini. Sekali-kali, dia perlu diberikan pelajaran. Mata seharusnya dibayar mata.

Hanya kadang, aku suka membayar sebuah mata dengan seluruh kepala.

Jadi aku menumpahkan seluruh kuah makananku di atas meja. Ke arahnya. Kuah soto berwarna kuning dengan aroma yang kuat menyiprat cepat pada seragamnya. Ia mundur dalam keterkejutan.

"Lo─"

Veloxa tampak menarik napas kuat. Ia seolah akan meledak. Yang batal dilakukan karena temannya menyikut. Anak-anak mulai beramai-ramai memenuhi kantin.

Dugaanku, dia tidak suka topengnya tercemar, sehingga dia beringsut menjauh sembari terus membersihkan roknya dengan tisu. Tidak lupa, dengan tatap memperingatkan sebelum beranjak, yang sama sekali tidak kugubris.

***

Perkiraanku tidak meleset.

Bel pergantian mata pelajaran telah berbunyi. Aku maju ke depan untuk menyerahkan tugas latihanku (menjadi orang terakhir yang melakukannya) dan terpaksa menerima perintah untuk membawakan sisa buku ke kantor guru yang terletak di lantai bawah, tepat di sebelah ruang lab komputer yang tidak selalu terpakai.

Sewaktu berjalan melewati lab itu, dia menjegal kakiku hingga aku jatuh terjerembab. Dia, Veloxa dan komplotannya.

Aku menolak untuk meringis, menolak mengenali rasa sakit di lututku ketika keempat orang itu berdiri di depanku dengan wajah angkuh.

"Bangun, lo! Cemen!" seru Veloxa. Ujung sepatunya menendang-nendang kecil lututku yang merah sehabis menghantam ubin.

Aku bangkit, tetapi tidak merepotkan diri untuk bertanya apa yang ia inginkan. Aku tidak ingin tahu, juga tidak ingin memanjakannya dengan mengabulkan keinginannya. Tetapi rupanya, gadis itu tidak perlu diberi pertanyaan.

Mereka sudah punya rencana sendiri.

"Minta maaf ke gue," katanya.

Aku diam saja. Posisi kami impas. Tidak ada yang perlu dimaafkan.

Sekali lagi, dia meninggikan suara. "Minta maaf ke gue! Atau hidup lo gue bikin menderita!"

Pada pernyataan itu, seketika aku merasa digelitik. Geli rasanya. Membuatku tidak bisa menahan tawa. Menderita? Apa yang gadis manja sepertinya tahu tentang penderitaan? Jika yang dia maksud adalah jegalan seperti ini, atau siraman air di toilet, atau air es ke kulit, aku sangat siap mengibarkan bendera perang.

Veloxa tampak tidak senang dengan responsku sehingga dengan cepat, dia memotong. "Masih bisa senyum-senyum lo?!"

Di tangannya, dia lalu menunjukkan sesuatu. Sebuah kertas. Kertas kumal yang di setik pertama, segera kukenali.

Keterkejutan pasti membayangi wajahku, karena detik berikutnya, dia menyeringai. Ia mengambil satu langkah maju, lalu, berbisik di telingaku. Jemarinya dengan kuat mencengkeram lenganku.

"Lakuin perintah gue kalau nggak mau surat ini tersebar."

Detik ketika dia menjauhkan diri, aku dapat dengan jelas melihat kemenangan di rautnya. Dan aku benci harus mengakui itu.

"Apa ... yang lo mau?"

Ia beradu tatap dengan teman di sampingnya dengan alis terangkat. Seolah mereka sedang menyusun rencana.

"Ini kalo ceweknya Pandawa tahu lo naksir, dia ngamuk, nggak, ya?" Veloxa tertawa mencemooh.

"Ya ngamuk lah! Mana mereka fansnya banyak. Couple goals. Paling enggak dihujat satu sekolah," jawab yang lain. Wajah mereka tampak sangat girang. "Haha pelakor!"

"Lo nggak, mau kan, ini tersebar?" Veloxa sekali lagi menatapku. Kali ini sembari melemparkan tatapan prihatin yang amat palsu. Ia meluruskan kerah seragamku, seolah mengatakan, bahwa aku telah berada di genggamannya.

"Karena itu kita punya solusi yang ... less embarassing lah, ya," gadis yang menyebutku pelakor tadi menyambung. Aku mengenali gadis itu sekarang. Gadis yang menangis tersedu lantaran cintanya ditolak. Si Bendahara.

Kepadaku, ekspresinya jauh berbeda. Dia tersenyum congkak sekarang.

"Lo liat di lapangan basket itu?" tangannya menunjuk pada anak-anak yang tengah bermain basket. Aku mengenali beberapa. The Effects.

"Oh, bener, tuh. Aksal kan terkenal dengan ratusan cewek yang udah pernah ditolak. Pasti seru kalau diliat secara live," yang lain berdecak.

Kurasakan Veloxa mengalungkan lengannya di pundakku. Aroma parfumnya tercium kuat sementara aku menahan diri untuk tidak menepisnya.

"Lo denger, kan?" Kepalanya menoleh padaku. Dengan senyum meyakinkan, dia memberikan syaratkan. "Tembak Aksal. Sekarang. Di depan semua orang."

***

Sekarang ngerti, kan? Ngerti, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro