Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chapter 1. monster

warning: mengandung konten kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang dan upaya pembunuhan. tidak disarankan untuk anak di bawah umur.
.
.
.

Apa kamu pernah bahagia?

Apa kamu juga tahu cara bahagia?

Apakah itu rumit? Lebih dari persamaan integral bangun ruang?

Karena ... aku belum pernah merasakannya.

***

Orang lain mungkin mengingat pergi ke kebun binatang sebagai kenangan pertama mereka. Atau jatuh dari sepeda. Atau dikejar angsa. Atau terluka, dan ayahnya ada di sana untuk memeluk, mengusap lutut yang cedera.

Kenangan pertamaku yang dapat kuingat adalah hari ketika kami mendapat giliran bercerita di depan kelas di tahun pertamaku sekolah. Awalnya, aku menyukai sekolah. Sangat. Begitu sukanya hingga aku bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan pakaianku sendiri dan menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di dalam kelas. Aku melewati taman kanak-kanak begitu saja, tidak mengerti rasanya bermain jungkat jungkit atau ayunan warna-warni yang kadang kuintip dari kejauhan. Jadi, memasuki sekolah dasar terasa seperti angin segar, membawaku pada harapan besar bahwa, akhirnya, aku akan memiliki teman. Banyak teman.

"... Warna kesukaanku merah dan cita-citaku ingin jadi Ultraman!"

Seisi kelas tertawa sementara anak yang seingatku bernama Rama mengepalkan tangan penuh semangat. Aku juga tertawa, juga bertepuk tangan. Rama adalah anak laki-laki yang tampan dan selalu memakai sepatu bagus yang kalau ditekan saat melangkah, akan menimbulkan cahaya warna-warni. Aku suka Rama dan sepatunya.

Sayangnya, dia tidak pernah menyukaiku.

"Berikutnya, Anisa!"

Aku maju dengan percaya diri dan senyum yang kubagi kepada semua orang. "Namaku Anisa Putri. Dipanggil Isa! Umurku enam tahun, warna kesukaanku biru. Aku ingin jadi polisi!"

"Huuu kamu cocoknya jadi malingnya aja!" seseorang menyahut, dan seisi kelas, sontak tertawa.

"Rama, nggak boleh begitu!" Wali kelas kami menegur. Rama mencibir. "Anisa ini kan teman kalian juga. Nggak boleh jahat-jahat, ya!"

"Tapi aku nggak mau temenan sama dia!"

"Aku juga!" sahut yang lain.

Ibu Guru mengerutkan alis. "Loh, kenapa?"

"Isa bau!" Rama berseru seraya menutup hidung. Jam tangan digitalnya yang keren menghiasi pergelangan. Aku juga suka jam tangannya.

Dan yang lain, tidak bisa untuk tidak setuju. "Iya, bau, Bu! Bajunya juga jelek! Sepatunya aja sobek!"

Bu Guru mengatakan sesuatu lagi, tetapi aku tidak begitu mendengarkan. Justru, aku sibuk membaui diriku sendiri. Apa hanya aku yang tidak bisa mencium baunya? Apa aku memang sebau itu? Bajunya memang jelek, lungsuran dari tetangga dan sepatuku juga bekas, tetapi aku sudah menjahitnya dengan hati-hati.

Kalau boleh, aku juga ingin memiliki sepatu seperti Rama. Tetapi aku tahu, aku hanya bisa bermimpi. Aku tidak bisa memperbaiki itu. Tetapi soal baju, dalam hati aku berjanji akan memperbaikinya. Aku ingin memiliki teman, dan aku akan melakukan berbagai upaya agar mereka mau menjadi temanku.

Jadi ya, hal pertama yang kulakukan setelah pulang ke rumah adalah mencuci baju. ibuku pergi bekerja dan ayahku lebih sering tidak berada di rumah, itu adalah hal yang bagus bagiku. Aku bisa bebas!

Hari itu, aku menumpahkan ekstra sabun ke rendaman pakaianku, mungkin sekitar satu genggaman orang dewasa hingga busanya memenuhi ember sampai meluber. Aku sampai lupa bahwa tujuan utamaku adalah mencuci dan bukannya bermain. Karena itu yang kemudian aku lakukan; bermain busa.

Aku meniup-niupnya, mencelupkan tanganku ke sana, mengusapkannya ke rambutku. Hingga, seluruh bagian dari diriku beserta seisi kamar mandi tertutup sabun. Sayangnya, kesenangan itu tidak berlangsung lama.

Alarm bahaya mengincar di belakang ketika ibuku pulang dan menemukan keadaanku yang luar biasa berantakan. Ia punya mata besar yang menakutkan. Juga tangan yang kuat. Sebelum aku dapat kabur, dia telah menjewer kupingku dengan luar biasa keras hingga aku tidak bisa untuk tidak menangis. Terlebih, ketika dia mengambil sapu dan memukul pantatku.

"Anak nggak tahu diuntung?! Kamu tahu, nggak, sabun lagi mahal?! Kenapa dibuang-buang?! NYUSAHIN AJA KERJAANNYA!!!"

Aku sudah terbiasa dipukul. Memar di kakiku bahkan masih berwarna ungu kehijauan, belum hilang sempurna ketika memar baru ditambahkan. Aku pikir, aku sudah kuat menerimanya. Tapi kadang-kadang, rasa sakitnya semakin meningkat. Seolah mereka terus meningkatkan kekebalanku sebagai sasak tinju mereka.

Ya, mereka. Karena ayahku, tidak jauh berbeda. Lebih parah, malah. Ketika dia pulang, dia lebih sering mabuk daripada sadar. Ketika itu pula, dia akan marah pada hal-hal terkecil, seringnya tanpa alasan jelas. Dia akan memukulku, dan lebih sering memukul ibuku. Kadang mereka saling berteriak satu sama lain sementara aku meringkuk di sudut dalam usaha menghafal huruf alfabet. Namun jika Ayah sudah memukul, Ibu akan kalah dan menangis. Dia tidak melawan. Tidak bisa. Jadi akulah, sasaran semua rasa frustrasinya.

Plak! Satu pukulan lagi mendarat di pantatku.

"Kenapa kamu selalu nyusahin Ibu, sih?! Kenapa kamu selalu bawa sial?!"

Plak! Satu lagi. Aku yakin akan sulit bagiku untuk duduk tanpa meringis kesakitan.

"Mending kamu nggak usah lahir aja! SIAL!!!"

Aku menahannya. Lagi, aku menghadirkan deret alfabet yang harus segera kuhafal di luar kepala, guna memblokir kata-kata yang tidak kuinginkan. Saat itu, aku tidak begitu mengerti maknanya. Saat itu, aku masih terlalu sibuk merasakan perih di bagian belakangnya.

Tetapi secara ajaib, kata-kata itu tinggal. Memenuhi kepalaku hampir setiap malam.

***

Esoknya, aku pergi ke sekolah dengan percaya diri. Bajuku luar biasa wangi, seperti bungkus deterjen beraroma bunga. Yakin bahwa dengan begitu, aku akan mendapat banyak teman.

Dugaanku salah.

"Kami nggak mau temanan sama kamu!" Rama berkeras saat aku meminta ikut bergabung bermain lompat tali bersama mereka.

"Kenapa? Aku sudah wangi!"

"Tapi kamu itu jelek!"

"Kata mama, kami nggak boleh temenan sama kamu!" Yang lain menimpali. "Katanya kamu anak pelacur!"

"Iya! Nggak boleh ditemenin!"

Aku terdiam, mencerna kata-kata mereka satu persatu. "Pelacur itu apa?" tanyaku akhirnya, menyuarakan kebingungaku. Apakah itu seperti wanita-wanita kaya yang menghias kuku mereka? Rasanya terdengar mirip.

"Pelacur itu jahat! Suka mencuri! Kamu pasti juga suka mencuri!"

"Iya! Jangan ditemenin!"

Pada akhirnya, aku tidak pernah mendapat teman. Pada jam pelajaran, mereka memaksaku duduk paling belakang, di sudut dinding yang membuatku kesulitan melihat papan tulis. Pada jam istirahat, aku hanya dapat duduk menonton mereka bermain. Kadang mereka bermain lompat tali, kadang berlomba lari. Kadang bermain bola. Dan jika bola itu meluncur ke arahku, mereka akan mengambilnya sambil berpura-pura aku tidak ada.

Pada akhirnya, aku juga menjadi terbiasa. Menjadi transparan. Pada akhirnya, aku tidak lagi berusaha mencari teman.

Perlahan, cita-citaku berubah, kesukaanku berubah. Saat menginjak kelas lima sekolah dasar, biodata yang kutulis di catatan pribadiku tidak lagi sama.

Namaku Isa. Warna kesukaanku hitam. Cita-citaku ... monster.


.
.
.


Aku pernah kabur dari rumah.

Ya. Gila jika aku tidak pernah berpikir untuk melakukannya. Saat umurku menginjak dua belas tahun, akhirnya aku mengumpulkan keberanian dan ... melakukannya.

Semua barang-barang yang akan kubutuhkan; beberapa lembar pakaian, peralatan mandi, sedikit makanan dan sedikit uang yang kuambil dari simpanan rahasia ibuku, semuanya kumasukkan dalam ransel lusuh bekas Ayah yang kutemukan di bawah lemari. Pintu dikunci dari luar, selalu begitu, jadi aku membuka jendela. Lalu, ketika ibuku sibuk mencari pria mata keranjang dan ayahku sibuk menjadi pria mata keranjang itu sendiri pada perempuan lain, menjelang tengah malam, aku melarikan diri.

Aku menumpang bus terakhir malam itu, meringkuk dengan tas di dekapan dan perut yang kelaparan. Saat itu umurku dua belas tahun. Aku tidak memikirkan dengan matang tujuanku sebenarnya. Hanya ingin berada sejauh mungkin dari dua orang yang paling tidak ingin kutemui itu. Dua orang yang seharusnya menawarkan rasa aman.

Jadi, semalaman berikutnya kulewatkan dengan berjalan tanpa arah di sekitar terminal, mencari tempat peristirahatan. Ada banyak tunawisma juga di sana, orang-orang yang tidak punya rumah, sama sepertiku. Mereka tampak menyedihkan. Juga sama sepertiku. Aku diperingatkan tentang para preman, copet, para penjahat membahayakan. Namun bagiku, penjahat yang paling jahat di dunia, sudah kutinggalkan. Jauh.

Atau mungkin, tidak cukup jauh. Karena kurang dari dua hari, dia akhirnya menemukanku.

Aku sedang menyantap sebungkus roti, sarapan sekaligus makan siangku hari itu yang kubeli dengan banyak pertimbangan. Bagaimanapun, uang yang kubawa tidak banyak, aku harus extra berhemat dan mencari pekerjaan. Mungkin mengamen, seperti anak-anak lainnya di sana. Aku makan sambil bersembunyi, takut tunawisma-tunawisma kelaparan itu akan merebutnya dariku.

Lalu, sepasang sandal gunung dengan kaki seorang pria muncul di hadapanku. Refleks, aku menyimpan roti lebih dekat di antara kedua lutut dan dadaku. Tetapi di detik berikutnya, aku menyadarinya. Sandal itu, juga sepasang kaki itu ... keduanya familiar.

Dan sebelum aku bahkan mendongak, orang itu telah menjambak rambutku agar aku berdiri.

"Di sini kamu rupanya?!" Ayah berteriak sangar, hingga menarik perhatian orang sekitar. Mereka melihat, tetapi hanya itu, tidak ada yang mendekat untuk menyelamatkanku. Wajar, kukira. Ayahku memiliki tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, dengan berat sembilan puluh kilo yang sebagian besar berkumpul di lengan dan pahanya yang tertutup tato. Siapapun akan berpikir dua kali sebelum mencari masalah dengannya.

"Sialan! Kamu sudah bawa kabur uang Bapak, hah?!"

Dia menyeretku dengan mudah untuk pulang. Seperti kucing yang menangkap bayi cicak untuk makan, hampir sama tidak berartinya. Kurasa dia cukup sadar hari itu karena dia cukup pintar untuk tidak memukuliku di tempat umum. Sebaliknya, ia melakukannya di rumah. Ibuku di sana, tetapi ia juga tidak melakukan apa-apa untuk menolongku.

Aku berharap, seharusnya aku mati saja hari itu.

Sayangnya, mungkin Tuhan memberiku nyawa sembilan. Hanya untuk melihatku merasakan tulang-tulangku remuk, merasakan kesakitan yang tak tertahankan. Lagi dan lagi.

Aku membenci ayahku sebanyak aku membenci ibuku. Aku ingin dia merasakannya juga. Kesakitan itu. Jadi suatu malam, ketika dia tertidur di sofa, aku berlari ke belakang rumah dengan membawa botol minumannya yang kosong, memecahkannya, lalu kembali dengan sisa botol dengan serpihan runcing di tangan.

Dia harus merasakan kesakitanku juga.

Tidak. Tidak.

Dia harus mati.

Itu lebih baik untuknya. Sehingga dia tidak bisa memukulku lagi.

Hidupnya hanya menyusahkan. Lebih baik dia mati.

Satu demi satu langkah aku berjalan ke arahnya. Satu demi satu langkah itu pula, semakin besar kebencianku untuknya. Hingga, aku berdiri di belakang laki-laki itu. Pria ini ayahku, katanya. Tapi aku tidak tahu apakah itu benar. Mengingat ibu sendiri telah menjajakan diri pada banyak pria. Yang aku tahu, dia membenciku, dia menganggapku mainannya, dia memukulku dan menyulutku dengan puntung rokok, membenturkan kepalaku ke dinding dan menamparku tanpa rasa bersalah.

Dia pantas mati.

Aku mengayunkan botol di tanganku tinggi-tinggi, siap menikamnya dengan sekuat tenaga.

Hanya saja, tanganku terhenti di udara. Aku menjatuhkan botol dan membalik kepalanya menghadapku.

Matanya setengah terbuka. Dan mulutnya ... mengeluarkan busa.

***

Keesokan harinya dua orang polisi mengunjungi rumah kami sementara para tetangga sibuk menyiapkan pemakaman. Aku tidak tahu kenapa mereka masih datang membantu. Keluargaku tidak pernah berbuat baik pada siapapun, hanya meninggalkan hutang dan pertikaian yang kerap ayahku lakukan. Mungkin ini kebaikan terakhir dari mereka. Atau mungkin, mereka sedang merayakan. Satu orang benalu dalam hidup akhirnya pergi.

Mungkin, mereka juga sebahagia yang aku rasakan.

Usai pemakaman, aku dan ibuku dimintai keterangan. Aku tidak tahu apa yang ibuku katakan, mereka membawa kami untuk ditanyai secara terpisah. Ada banyak pertanyaan yang diajukan, kadang berulang, membuatku muak.

"Nak, siapa nama kamu?"

"Isa."

"Kamu kelas berapa?"

Aku menegakkan kepala, menatap mereka. Ini benar-benar membosankan. "Apa itu penting?"

Ayahku sudah mati. Overdosis. Mereka menemukan banyak bekas suntikan di lengannya, lama dan baru. Dia mengonsumsi putau, katanya. Atau apapun itu, aku tidak peduli.

"Apa kamu tahu ayahmu mengonsumsi dan mengedarkan narkoba?"

Aku lelah. Aku tidak ingin menjawab.

"Apa yang kamu lakukan tadi malam, sekitar waktu kejadian? Pukul ... sembilan empat puluh lima."

Muak. Benar-benar muak.

"Nak?"

Aku berdiri. "Semua itu nggak penting. Dia sudah mati. Itu yang penting."

Lalu, aku pergi.

***


a/n: now i know its taking turn. beda ya dari prolog, hehe. l didnt expect the excitement tbh! thank you!

i know, Isa is someone i don't usually write. she's my new character.

sekarang kasih tahu pendapat kalian dong?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro