7th
"Halo, ini Aster. Aku ingin bicara dengan Eve. Mohon segera dihubungkan."
Aster kemudian menunggu tanggapan. Gerbong kereta lekas penuh oleh penduduk, sewaktu dia menunggu si pengangkat menghubungkan teleponnya. Entah dilakukan atau tidak, Aster sama sekali tidak mendengar suara sang penanggap.
Telepon kembali diletakkan. Gadis beriris merah muda cukup kecewa, hasilnya masih sama, walau tadi saat dia menghubungi nomor itu, Lixa yang mengangkat. Entah ke mana para penghuni sana, termasuk Eve. Aster sama sekali tidak tahu.
Lagi-lagi embusan dingin itu melewati surai rambutnya, betapa penantian kereta sudah berulang kali dilakukan, tetapi dilewati. Itu semua karena Aster ingin Lydia tidak naik kereta lebih dulu. Aster ingin kakaknya menunggu, selama Aster mencoba kembali menghubungkan teleponnya ke telepon keluarga Gwynne. Kini Aster kembali merasa bersalah, berujung ke arah kegelisahan yang mengganggu hati lagi.
Saat bibir itu ingin meminta maaf lagi, Lydia lebih lekas menghentikan. Dia mengangkat telapak tangan di hadapan adiknya. "Tidak perlu minta maaf. Kita tunggu saja kereta yang menuju Lennox. Aku baru ingat ada urusan di sana sebelum ke rumah sakit."
"Tapi, bagaimana dengan Demetria? Aku harus ke sana."
"Kubilang, ke Lennox dulu. Kau masih tidak mengerti?"
Aster meringis kecil, bersama tawanya. "Iya, aku mengerti, Kak. Maafkan aku, hahaha!"
Setelah menunggu 15 menit, kereta di jalur kiri kembali datang. Tujuannya ke Lennox, daerah musim yang dipenuhi warna jingga. Lekas mereka memasuki gerbong yang masih kosong lompong. Ada sebagian penghuni yang masih menetap, tetapi tidak seramai seperti kereta sebelumnya yang menuju ke Demetria.
"Apa sebaiknya kita pindah gerbong, Kak? Aku tidak nyaman jika sesepi ini," usul Aster. Tetapi tidak ada sedikitpun jawaban dari Lydia. Aster segera mendongak dan mengarahkan pandangan ke sisi kanan. Jaket hitam, beludru cokelat yang mengelilingi tudung, rambut abu-abu, dan ... wajah itu. Seharusnya itu Lydia---pakaian hangatnya pun sangat Aster ingat sampai siang ini---tetapi, Aster salah. Itu bukan Lydia, melainkan seseorang yang tengah dia cari. Seseorang yang dia rindukan.
Lidahnya lekas mengeras, tidak tahu apa yang harus diucap. Iris miliknya pun sama, berada di tengah-tengah dengan rasa takjub.
"Lama ... tidak berjumpa. Apa kabar?" Akhirnya kalimat itu keluar, walau awalnya dia ingin memanggil nama milik pemuda, Eve.
"Aku ... dari dulu, sangat ingin bertemu denganmu, Eve," lanjut Aster.
Entah apa yang Eve rasakan sekarang. Rasa syukur atau menyesal, Aster tidak tahu. Aster hanya mengharapkan Eve berpikiran sama, walau dia tidak tahu fakta ketidakpercayaan Eve.
"Beberapa saat lagi pintu akan ditutup. Saya ulang, beberapa saat lagi pintu akan ditutup." Pengumuman itu mengalun kala kereta berhenti di sebuah stasiun. Dalam ambang pikiran kosong, tidak ada konversasi. Tanpa aba-aba, dia bangun dari duduknya, hendak keluar dari gerbong. Aster segera mengejarnya, begitu di luar gerbong, dia segera menangkap pergelangan tangan itu erat-erat.
"Kumohon," dia mulai berpinta, "obrol denganku di sini. Sebentar saja!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro