4th
Seusai hari itu, Eve menjaga kristal berharga milik Kakek Greg. Hanya saja, sudut hatinya dipenuhi kepenasaran, tentang penampakan Aster yang lari dari balik pohon. Eve merasakan firasat buruk, dan benar saja pemikirannya mengatakan itu.
Siang ini tepatnya, Aster memintanya agar tidak pulang ke rumah dahulu. Katanya, ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Eve menuntutnya untuk beri tahu langsung selama sekolah, tetapi Aster berulang kali mengelak, "Bahasnya nanti saja. Kita masih sibuk sekolah."
Eve tidak suka jawaban itu, terlebih ketika ada seseorang yang ingin mengatakan sesuatu sepulang sekolah nanti. Seolah dia menahan Eve untuk gerak. Belum lagi pekerjaan yang berakhir Eve tunda di rumah nenek. Kalau tidak cepat pulang juga, dia akan dimarahi Lixa, dan tidak akan dapat jatah makan malam.
Aster juga menambah beban saja. Tempat pertemuannya jauh sekali, diadakan di lereng bukit. Tepatnya, di pohon ungu yang Eve kunjungi dua hari sebelumnya. Alasan Aster cukup sederhana, hanya untuk menghindari halaman belakang sekolah yang angker. Padahal, Eve tidak keberatan bila bertemu di halaman sana. Toh, dia berani saja dengan hantu yang berkeliaran di sana.
Cukup mengambil beberapa menit Eve menempuh lereng bukit seorang diri. Aster ada di depannya, tengah menaiki undakan sembari membawa kotak. Entah apa di dalamnya, Eve pura-pura saja tidak melihatnya.
Sesampai di tujuan, sang bocah mendapat reaksi bodoh. Gadis yang dia kenal tergemap, tanpa sadar tangannya turut bereaksi, sampai-sampai menumbangkan kotaknya ke daerah pijakan. Gerakan itu cepat, lekas membuat kotak tersebut penyok, memuntahkan isi warna-warni.
Eve membeliak, selangkah mundur dari objek-objek kecil nan berkilau yang menyebar ke mana-mana.
"Ini koleksi kristalmu?"
Pertanyaan itu, Aster cukup mengangguk padanya. Ada sesuatu yang terbesit di hati, hingga berefek ke sisi wajahnya.
Eve kembali bereaksi, "Wah, keren! Bagaimana kau mendapatkannya?"
"Aku sering pergi ke gua, mengoleksinya bersama kakekku. Itu semua mulai dari dua tahun yang lalu, hingga akhir semester kelas 5," tukasnya.
Eve tersenyum lebar sembari memutar batu-batu berkilau tersebut. "Kau tidak pernah beri tahu hobi ini padaku."
"Yah, memang kau harus tahu?"
"Ya! Karena aku juga mau koleksi kristal sebanyak ini. Sayangnya, aku tidak tahu caranya. Aku hanya punya satu yang diberi temanku."
Eve berucap, tetapi tidak ada suara khas Aster yang menimpalinya. Udara siang yang hangat menabrak rambut ungu tuanya, membawa suara gemertak gigi yang terselip di mulut. Saat menoleh, hanya Aster di dekatnya dengan kepalan tangan. Bergetar tanpa tahu arti.
"Berikan itu padaku."
"Eh, kenapa tiba-tiba?"
"Berikan saja!"
"Aku tidak bawa. Kristalnya kusimpan di rumah. Memang kenapa kau mau kristal itu?"
"Harusnya aku yang tanya begitu!" Aster membentak. Eve memejam mata singkat, merasakan kegamangan sedang melewati pandangannya.
Setelah dia membuka kembali, Aster tengah mendekat, mulai memungut koleksinya yang tumpah. Lanjut lagi mulut gadis itu membuka, dengan tampang tidak mengenakkan hati. "Kenapa ... kakekku beri itu padamu? Kenapa dia ingin kau yang menjaga kristalnya? Sementara, aku ini cucunya yang paling dipercayai."
Eve tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sekadar kalimat orang tua itu yang terbayang tentang teman terbaik itu adalah Eve, sang pengkhianat itu banyak di sini.
Saat pembahasan itu terbayang, Eve tidak bisa menyangkal fakta kalau Kakek Greg telah menjadi pengkhianat bagi Aster. Sungguh, itu menyedihkan dan telah menyakitkan hati gadis di depannya.
"A-aku ... tidak tahu itu kakekmu. Aku minta maaf, Aster." Hanya kalimat itu yang terlontar. Eve tidak tahu lagi apa yang bisa dia katakan. Bibirnya yang seharusnya stabil, justru gemetar tanpa keinginan.
"Maka itulah aku membawamu kemari, hanya ingin menukar koleksi ini dengan kristalmu."
Eve mendongak, menatap iris merah muda tidak percaya.
"Apa kau masih tetap ingin koleksi ini? Gratis, lho. Aku sama sekali tidak masalah koleksi ini ada di tanganmu, selama kau menyimpannya baik-baik."
Tawarannya terdengar menggiurkan. Hati itu ragu antara memilih jawaban iya atau tidak. Setiap pilihan selalu ada risiko, Lixa pernah berucap sewaktu itu, ketika dia dan Eve memutuskan tinggal di luar kota.
"Bagaimana kalau menjaganya bersama saja?" Tanpa sadar kalimat itu menyentuh lidah, membuat Eve membungkam mulut kemudian. Tetapi, rasa ragu itu hilang, dan membuatnya semakin yakin di kalimat selanjutnya. "Kita bisa jaga kristal itu bersama. Lalu, koleksi ini juga! Aku ingin melihat-lihatnya. Jadi ... boleh ya?"
Sudut bibir itu terangkat. Tampaknya, Eve tidak salah memberi tawaran lain yang meyakinkan hatinya.
Jari kelingking itu kemudian terikat, membentuk janji satu sama lain. Tanpa sadar, sang pengkhianat lahir lagi pada siang ini.
🌷
Seisi penghuni heboh saat Eve menyahut kalau dia sudah pulang. Lebih tepatnya ketika matahari hendak pergi ke ufuk barat, saat itu masing-masing penghuni tengah sibuk. Entah apa yang mereka kerjakan, hingga terkejut melihat Eve muncul.
Eve mendengus setelah melepas sepasang sepatu menggunakan kaki—karena tangannya sibuk mengangkut kotak pula—sebelum dia memasuki ruang utama. Pemandangan layak kapal pecah membuat suasana hatinya langsung berubah. Terutama Lixa yang sedang fokus pada teleponnya. Eve tidak acuh terhadapnya. Namun, tiba-tiba Lixa balik bahu, mencekal pergelangan tangan Eve dengan cepat.
"Eve! Tadi kau bersama Aster?"
Eve takjub pada pertanyaan itu, tetapi dia cukup mengiakan. Pertanyaan selanjutnya mulai lagi muncul. Tetapi entah kenapa, dari nada Lixa bertanya ada sebuah kepanikan.
"Orang tuanya barusan telepon, katanya Aster sampai saat ini belum di rumah!"
Mata Eve membeliak. Spontan dia melepas kotak yang ada di telapak tangan, segera berlari ke jalur yang dia lewati sebelumnya.
Eve takut bila Aster hilang. Takut tanggung jawabnya akan semakin berat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro