2nd
"Eve!"
Buku pelajaran jatuh ke bawah meja tanpa sengaja. Dia mendecih kesal. Konsentrasinya lagi-lagi hilang. Itu karena Lumi yang memanggilnya. Begitupun derap kaki yang menyerbu gendang telinga, tengah mengejar gadis kecil itu.
Setelah Lumi masuk kamar, Lixa mengikuti dan menyeru, "Lu, panggilnya jangan langsung nama! Dia kakakmu!"
"Lixa sendiri juga, kan!" balas gadis kecil itu. Lixa lekas bungkam di tempat mendengar balasan.
"Eve, Eve!" Lumi kembali memanggil, kali ini lebih lantang.
"Berisik, kau mau apa? Lixa juga, ada apa ke sini?" Begitu balik bahu, Eve bertanya. 120 permen di dalam empat bungkus malah diberikan.
Eve tergemap singkat. Wajah polos milik Lumi pun tidak bisa dia hilangkan. Lantas, kakinya bergerak memutar kursi. Tangannya segera menyapu presensi empat bungkus itu. "Jangan sekarang, Lu. Aku sedang fokus belajar."
Eve tidak bohong, walau sebenarnya dia menyimpan rasa kembung dalam perutnya. Sejak tadi subuh dia sudah tidak merasa nyaman. Sarapan saja hanya disendok lima kali, sebelum gejolak dari perut membuatnya ingin muntah.
"Oh, baiklah. Kalau begitu, biar kutaruh di sini. Biar Eve tidak lupa makan." Empat bungkus lantas diletakkan di kasur besar. Kedua mata Eve membeliak, dia hendak mengangkat tubuh dan mencegah. Mengingat, penduduk semut ada di balik rak bukunya. Tetapi, tangannya tidak mampu menggapai jarak jauh yang Lumi berikan.
Eve lantas balik bahu, kembali ke buku pelajaran, tanpa tahu kalau Lumi kembali mendekat. Jemari kanan menarik benang-benang rambut yang tumbuh di kepala pemuda.
"Eve, kenapa sih rambutnya warna abu-abu?"
Eve merintih mendapat aksi tersebut. Tetapi bukannya menjawab pertanyaan langsung, dia membuat Lumi menunggu. Gadis kecil yang berbeda empat tahun dari Eve semakin menarik rambut kakaknya berulang kali.
"Eve, jawab dong! Jawab!"
Eve berakhir mencekal pergelangan tangan Lumi. "Kau ... harus tahu?"
"Harus."
"Kenapa mau tahu?"
"Penasaran saja. Habis rambutku, rambut Lixa, rambut Ibu dan Ayah beda dengan Eve. Harusnya warna ungu tua, kan?"
Eve memilin bibir, antara ingin menjawab atau tidak. Deretan memori itu, selama enam tahun menempuh pendidikan sekolah dasar di Sprinnorth, sudah cukup lama Eve simpan. Dia tidak mau membukanya lagi, karena itu menghunjam dirinya berulang kali.
Tentang Aster, Kakek Greg, dan ... dimensi lain.
Irisnya semakin berbinar, kian detik maju dan menunggu Eve menjawab. Lixa cukup mengembuskan napas, mendaratkan bokong di kasur. Tangannya mengusap ubun-ubun adik perempuan dari belakang.
"Dia pakai pewarna rambut, Lu. Sudahlah," Lixa memotong suasana hening yang diberi kakaknya. Gadis kecil itu menoleh. Tolehannya semakin menunjukkan kepenasaran, dan Eve cukup memiringkan kepala dengan senyuman miring.
"Pergilah. Ikut kakakmu keluar." Meski mengusir mereka adalah cara buruk, itu hanya satu-satunya cara yang bisa Eve lakukan untuk membersihkan pikiran. Walau akhirnya, sekelebat memori itu menimpa benaknya kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro