Dikte
Ah sial, mengapa hari ini anginnya kencang sekali sih? Kertas-kertas absensi di tanganku jadi berhamburan tertiup angin. Adik-adik kelas sepuluh sudah meninggalkan TMP (Taman Makam Pahlawan) ini, sedangkan teman-temanku sibuk mengantar adik kelas. Lebih sial lagi, ban motor Indra kempes. Jadi aku harus menunggunya mencari tempat tambal ban sambil membereskan sedikit kekacauan di sini, sendirian.
Lari! Aku harus berkejaran dengan angin demi mendapatkan satu kertas lagi, tetapi, "Bruk!!" Aku menabrak keranjang besar berisi bunga tabur milik seorang nenek. Untung saja tidak terlalu keras, jadi bunganya tidak banyak yang tumpah.
Nenek itu mengambilkan kertas absensi yang sekarang sudah diletakkan angin ke tanah, lalu membantuku membereskan bunga tabur.
"Maaf, Nek. Saya kurang berhati-hati," kataku.
"Tidak apa-apa," sahut nenek itu sambil tersenyum.
Kulihat nenek itu sendirian dan kesulitan memindah-mindahkan keranjang besar itu. Aku memutuskan untuk membantunya, lagipula aku kesepian di sini.
"Nenek, saya bantu bawakan keranjangnya ya?"
"Tidak usah, Cah Ayu. Nenek bisa," jawab nenek itu.
Aku berusaha dengan setengah memaksa untuk mendapatkan izin untuk membantunya sampai akhirnya nenek itu memperbolehkanku.
Tangan nenek itu menaburkan bunga dengan hati-hati ke setiap makam di situ. Dia tidak berbicara, hanya diam. Mungkin sedang berdoa. Tetapi, mengapa semua makam? Kukira orang hanya menabur bunga di makam orang yang dia sayangi.
"Ah, ini tanggal tujuh belas. Nenek melakukannya sebulan sekali di tanggal yang sama untuk mengenang jasa para pahlawan dan suami nenek," kata nenek itu seakan membaca pikiranku yang penuh tanda tanya.
"Beliau seorang tentara yang taat pada negara. Meski nenek ditinggalkan saat usia muda, nenek tetap menyayanginya. Bahkan nenek juga menyayangi teman-temannya sehingga nenek melakukan ini," nenek itu mulai bercerita.
Aku mengambil segenggam bunga dan menaburkannya ke sebuah makam dari sisi kepala sampai sisi kaki.
"Aku mau membantu nenek. Aku akan datang setiap tanggal tujuh belas dan ikut menabur bunga bersama nenek. Ini sebagai wujud syukurku atas kemerdekaan Indonesia. Aku merasa berhutang pada mereka, Nek."
Nenek itu menghela napas sambil memandangiku dengan wajah sayunya. "Nak, apa yang diajarkan gurumu tentang memaknai kemerdekaan?" tanya nenek.
"Eh? Seingatku, kita harus rajin belajar, mengikuti upacara bendera, dan mengunjungi makam pahlawan. Apa lagi ya? Uhm."
Nenek menyelaku, "Ah, seperti dikte ya, Nak? Semua pelajar akan mengatakan hal yang kira-kira sama denganmu."
Nenek itu terlihat sedih, "Umur saya sudah delapan puluh sembilan tahun. Syukurlah sampai saat ini masih diberi umur panjanb. Saya itu pensiunan guru,Nak.
Ngomong-ngomong, berita akhir-akhir ini mengejutkan ya? Ada guru yang dipenjara karena memerahi muridnya. Dulu saya, bahkan tidak cuma memarahi. Menampar wajah anak didik saya itu hal yang dianggap umum dulu. Tujuannya memang baik, tetapi saya menyesal."
"Tidak apa, Nek. Sudah berlalu, pasti murid nenek sudah memaafkan nenek," kataku berusaha menghiburnya.
"Tamparan nenek mungkin terlupakan, tetapi rasa sakitnya membekas. Rasa sakit yang membuatnya hanya menhafal semua ajaran nenek, semua dikte yang nenek berikan, tanpa berusaha memahami dan mengamalkannya setelah mereka semua keluar ke masyarakat.
Rajin belajar, memang rajin. Mereka menjadi pandai, tetapi tidak menggunakan kepandaiannya untuk menolong orang lain, melainkan mengakali mereka.
Orang-orang zaman sekarang kalau upacara seperti formalitas saja. Tidak pernah merenungkan betapa beratnya perjuangan pendahulu mereka. Suka bergosip. Panas sedikit, buru-buru cari tempat berteduh. Kalau diam pun, terkadang pikirannya kosong, tidak sepenuh hati mengikuti upacara.
Lalu, mengunjungi makam pahlawan, memang dikunjungi, tetapi tidak dengan keikhlasan dan niat untuk mendoakan mereka. Apalagi pejabat, artis-artis. Wartawan pasti berbondong-bondong memotret."
Wajah nenek kini mulai berlinang air mata, "Bukan salah mereka, Nak. Saya baru sadar bahwa mereka membutuhkan teladan bukan dikte.
Saya menyuruhnya rajin belajar hanya supaya pandai, namun tidak menunjukkan pada mereka bagaimana membuat kepandaian itu bermanfaat. Setidaknya kepandaian untuk mengajarkan kebaikan pada anak-anak mereka.
Saya meminta mereka memakmurkan rakyat, tetapi saya lupa mengatakan bahwa itu harus dilakukan secara nyata tanpa manipulasi. Ini sama saja seperti saya, yang hanya ingin yang terbaik. Saya selalu memberi nilai yang bagus pada murid saya, sebodoh apapun, tetapi saya lupa mengevaluasi dan mengajarinya dengan lebih keras supaya kenyataannya dia memang sebagus apa yang saya tulis di rapor mereka.
Kini kebanyakan dari mereka hanya terlihat sedang- memakmurkan-rakyat. Kenyataannya, kemiskinan dan kebodohan masih merajalela. Padahal di TV, program pemerintah yang nyaris-sempurna sudah tersebar di mana-mana. Janji-janji manis yang ditebar menjelang pemilu.
Kamu tidak harus mengunjungi makam pahlawan untuk menunjukkan rasa hormatmu pada mereka,Nak. Kalau kamu bekerja, bersikaplah tulus dan jujur. Intinya, jadilah pelayan masyarakat yang baik.
Bagi nenek, sudah terlambat untuk memperbaiki semuanya. Tetapi, kamu dan teman-temanmu pasti bisa mewujudkan mimpi para pahlawanmu yang telah gugur itu. Jadilah pejuang muda yang tangguh, Nak"
Nenek mengusap air matanya, lalu menepuk bahuku sambil tersenyum. Aku balas menatapnya dan mengangguk mantap.
Aku mendengar klakson motor di gerbang depan. Aku langsung berpamitan pada nenek dan menghampiri Indra yang menjemputku.
"Kamu ngapain tadi?" tanya Indra.
"Eh? Nggak ada, cuma dengerin ceramah sore dari nenek-nenek," jawabku malas-malasan.
Nenek tadi pidatonya panjang sekali. Padahal belum juga 17 Agustus, tapi aku harus mendengarkan pidato sepanjang itu.
Dalam perjalanan pulang, aku mendengar angin membisikkan sesuatu dalam suara nenek-nenek yang sayup-sayup, "Dasar anak SMA, nasihat baik dikira angin lalu."
O,o
Multimedia: banner untuk dikte
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro