Part 9 - Perang?
Tak sampai tiga puluh menit, mobil Aidan sudah terparkir di depan rumah Aviola yang terletak di Kenanga Residence. Aidan melepas seat belt yang mengalung di tubuhnya. Ia melihat Gladys yang kesusahan melepas sabuk pengaman itu karena tubuhnya sedari tadi memangku Zio yang tengah tertidur.
Aidan buru-buru keluar dari mobilnya tanpa aba-aba, tujuannya untuk membukakan pintu mobil yang ada di samping Gladys. Karena keponakannya terlelap menyandar di tubuh Gladys. Aidan lah yang akhirnya membuka pintu mobil yang ada di samping Gladys dengan sangat pelan, agar Zio tak terbangun.
Tubuh tegap milik Aidan mencoba untuk memindahkan Zio ke dalam gendongannya agar Gladys bisa keluar dari mobilnya. Tanpa sepatah dua patah kata yang mencuat diantara mereka. Mereka tetap melakukan aktivitasnya dengan baik.
Kini Aidan lebih dulu masuk ke dalam pagar rumah milik Aviola yang belum sepenuhnya terkunci. Sembari menggendong Zio, langkahnya sedari tadi diikuti oleh Gladys yang juga ikut masuk ke rumah Aviola. Tangan Aidan perlahan mengetuk pintu rumah Aviola.
Sedetik ... Dua detik ... Tiga detik ... Pintu itu telah dibuka sempurna oleh perempuan cantik di hadapan Aidan. Ya, siapa lagi kalau bukan kembarannya itu. Aviola terlihat memakai piyama tidur, sepertinya piyama itu piyama dinas malamnya. Ah, lupakan masalah dinas malam. Bukan saatnya membahas tentang dinas malam.
Kini kembali ke Zio yang belum sepenuhnya berpindah ke tangan Aviola karena Aviola saat ini tak bisa menggendong anaknya itu. Dia sedang hamil tua. Dan suami protektifnya tak mungkin membiarkan Aviola menggendong Zio yang beratnya melebihi janin yang Aviola kandung.
"Anak gue tidur?" tanya Aviola pada Aidan.
Aidan mengangguk. Netranya mengisyaratkan Aviola untuk mengizinkannya masuk ke dalam, "Iya."
Belum sempat Aidan masuk ke dalam rumah. Tangan Aidan ditahan oleh Aviola saat Aviola melihat sosok yang ia kenal. Dahi Aviola spontan berkerut saat melihat perempuan yang menjadi guru les anaknya tiba-tiba tanpa angin tanpa hujan bersama dengan kembarannya yang masih berstatus bujang lapuk. Sontak saja sorot mata curiga hadir di benak Aviola saat Aviola mencurigai langsung kembarannya itu, "Loh ... Miss Gladys sama .... Ini maksudnya apa ini?"
"Lo godain guru anak gue?" sidaknya pada Aidan yang masih menggendong anaknya yang tengah terlelap.
Mendengar cuitan dadi Aviola. Kepala Aidan menggeleng. Ia menghela napas panjangnya karena menerima pertanyaan Aviola yang tak penting itu, "Bawa Zio ke kamar. Jangan banyak ngomong kamu! Udah malem."
Aviola masih tak terima sebelum ia menerima penjelasan langsung dari Aidan. Tangannya masih menahan tangan Aidan untuk tak beranjak. Sedangkan sedari tadi Gladys bingung ikut menelusup menjawab pertanyaan Aviola dengan jawaban apa, "Nggak ... Nggak ... Miss Gladys kok bisa sama curut ini? Maksud saya Miss Gladys kok bisa bareng sama Aidan?" tanya Aviola pada Gladys.
Belum mencuat jawaban dari Gladys. Mulut Aviola sudah penuh dengan cuitan-cuitan lainnya yang membuat Aidan semakin menggeleng-gelengkan kepalanya. Bisa-bisanya dia satu rahim dengan perempuan banyak tanya seperti Aviola. Atau? Mungkin gen dari salah satu orang tuanya membuat sikap kembarannya jadi seperti ini?
"Padahal tadi kata Mama, Mama bilang kamu sama dokter Selena. Belajar mau mainin hati cewek lo ya? Mentang-mentang bujang belum nikah. Semua diembat sampai guru anak gue juga mau lo embat juga," seru Aviola.
"Kalau udah selesai ngomong. Panggilkan Mas Bagaskara!" pinta Aidan usai mendengarkan celotehan dari Aviola yang sama sekali tak ia jawab.
Aviola mendengus. Bukannya memanggil suaminya. Dia masih sibuk meminta penjelasan ke Aidan, "Aidan ... Gue belum selesai ngomong. Jangan kebiasaan motong kalimat-"
"Mana Mas Bagaskara? Biar Zio dipindahin ke kamar?" sahut Aidan memotong kalimat kembarannya lagi.
"Eh bentar dulu ... Gue belum selesai ngomong. Ih ... Kebiasaan dari dulu begini. Nyesel gue satu rahim barengan sama lo. Punya kembaran gini banget," gerutu Aviola. Sedari tadi mulut perempuan itu tak ada henti-hentinya meluapkan pertanyaan ke arah kembarannya. Sebenarnya pertanyaannya tak penting-penting amat. Tapi namanya juga Aviola. Satu gen dengan Mamanya dulu waktu muda.
"Ada apa?" Sorot mata Aidan sontak menoleh ke sumber suara. Suara bariton yang mengarah padanya. Yap. Itu adalah suami Aviola yang saat ini tengah berjalan ke arah Aidan.
Bagaskara adalah sosok laki-laki yang menikah dengan Aviola lima beberapa tahun silam. Ada ribuan cerita dari pernikahan mereka yang tak bisa diungkapkan satu-persatu. Dan Aidan adalah satu-satunya saksi bisu yang melihat lika-liku pernikahan Aviola sampai detik ini.
"Ini Zio ketiduran di mobil," jawab Aidan pada laki-laki itu.
"Oh ... Makasih ya Dan. Biar aku yang bawa anakku ke kamar," seru Bagaskara seraya perlahan memindahkan tubuh Zio ke dalam gendongannya.
Usai memindahkan tubuh mungil keponakannya, Aidan menepuk-nepuk pundak keras milik Bagaskara, "Aku pulang dulu udah malem," pamitnya pada laki-laki itu.
Sebelum ia berbalik. Sorot mata Aidan menatap kembarannya yang masih memanyunkan bibirnya bak anak kecil yang merajuk. Aidan mendekatkan bibirnya di telinga Aviola sebagai bisikan, "Perempuan yang hamil gede nggak boleh banyak ngomong. Apalagi kebanyakan komentari hidup orang. Dosa besar!"
Tangan Aviola sontak memelintir lengan Aidan sampai laki-laki itu sedikit kesakitan, "Bukan nggak mau banyak nanya. Tapi gue kembaran lo. Jelasin dulu kek baru pulang. Tinggal jelasin dikit aja susah banget," protes Aviola seraya menggerutu bebas.
Tak mengindahkan kalimat dari Aviola. Aidan spontan berbalik arah sembari memutar bola matanya, "Pamit, Assalamualaikum."
"Mas, kok dibiarin pulang sih? Aidan kan hutang penjelasan ke aku," seru Aviola ke arah suaminya.
Bagaskara yang tak tau apa-apa mengenai pembicaraan istri dan iparnya itu pun menggeleng penuh seraya tatapannya penuh tanda tanya, "Penjelasan apa?" tanyanya ke arah istrinya.
Namanya juga Aviola. Gen dari ibunya masih melekat. Karena tak mendapatkan apa yang dia inginkan akhirnya otaknya benar-benar tak mau diajak berpikir. Bahkan untuk menjawab pertanyaan suaminya aja rasanya malas, "Tau ah, udah nggak mood! Mau naik UFO aja," jawabnya.
Bagaskara sebagai suami juga tak membenarkan Aviola ataupun menyalahkan. Hormon ibu hamil juga bisa menjadi faktor istrinya uring-uringan. Padahal hanya masalah sepele saja, "Udah punya anak dua masih suka cemberut. Malu sama Zio. Udah, jangan cemberut! Adiknya Zio minta ditengok. Katanya udah kangen Papanya," godanya pada Aviola.
Aidan yang kebetulan masih ada di ambang pintu rumah Aviola sempat mendengar percakapan itu. Percakapan dua orang dewasa yang tiba-tiba menyumbat gendang telinganya ketika Bagaskara menggoda istrinya, "Nggak tau tempat," decak Aidan.
Entah dari mana. Aidan tak sadar sedari tadi tangannya menggandeng tangan Gladys untuk ia ajak keluar. Sampai detik ini genggaman tangan itu masih bertengger di pergelangan tangan Gladys. Gladys pun juga tak menolak karena Aidan menariknya tanpa aba-aba, "Nggak tau tempat? Yang nggak tau tempat siapa? Bu Aviola sama Pak Bagas? Kan ini rumahnya?" celetuk Gladys.
"Diam kamu!" sahutnya kemudian yang membuat mulut Gladys sontak terkunci.
Gimana sih, kenapa jadi sewot sendiri? batin Gladys.
"Pak," panggilnya pada Aidan.
Aidan menoleh saat Gladys memanggilnya. Dahinya berkerut sebelum mengatakan kalimatnya, "Apa?" tanyanya singkat.
"Kalau besok kamu ditanya Aviola yang nggak-nggak. Nggak usah dijawab. Bisa nggak habis-habis pertanyaannya," Aidan memberi pesan pada Gladys untuk mengabaikan pertanyaan Aviola yang nantinya akan mencuat.
Padahal Gladys memanggilnya bukan karena ingin membahas masalah itu lagi. Melainkan ingin melepaskan cengkraman tangan Aidan yang masih bertengger di tangannya, "Saya bukan mau bahas itu," seru Gladys.
"Terus? Mau ganti minuman kamu waktu di supermarket? Nggak usah kamu ganti," sahut Aidan.
Gladys menggeleng lagi, "Bukan mau bahas itu juga," jawab Gladys.
"Terus ap-"
"Tangan Pak Aidan dari tadi pegang tangan saya terus," seru Gladys memotong kalimat dari Aidan.
Aidan yang baru menyadarinya lantas melepas genggaman itu. Tangannya mengusap kasar wajah miliknya karena menutupi rasa malu akibat salah menggandeng seseorang. Sama halnya dengan Gladys, degup jantungnya berpacu tak normal usai Aidan melepas genggamannya, "Be-besok kamu ngajar Zio jam berapa?" tanya Aidan gagap seraya mengalihkan pembicaraan.
"Mu-mungkin sore. Kayak biasanya," jawab Gladys.
Sebelum masuk ke dalam mobilnya. Aidan mengisyaratkan Gladys untuk duduk di depan saja. Perempuan itu menurut. Mengangguk seraya tersenyum kikuk ke arah Aidan, "Rumah kamu tadi di daerah mana?" tanya Aidan lagi.
Padahal sudah ribuan kali dirinya bertanya hal itu. Tetap saja untuk meminimalisir rasa malunya tadi, ia melontarkan pertanyaan-pertanyaan tak penting kepada Gladys.
"Kan saya tadi udah jawab," seru Gladys sembari memasang sabuk pengamannya yang melingkar di tubuhnya.
"Lupa," sahut Aidan cepat.
Gladys menghela napas panjangnya. Ia melirik Aidan yang mulai mengemudikan mobilnya, "Jalan Anggrek, Pak!" jawabnya.
Selama beberapa menit satu mobil dengan Aidan. Tak ada cuitan sepatah dua patah kata sekalipun. Aidan yang berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Sama halnya dengan Gladys yang juga pusing memikirkan masalah percintaannya yang baru saja terhantam masalah.
Dreet ... Dreett ... Dreett ....
Ponsel Gladys tiba-tiba bergetar menandakan sebuah panggilan masuk. Gladys mencoba untuk merogoh kantongnya untuk mengecek siapa yang tengah menghubunginya.
[Panggilan masuk]
[Arga]
Sulit bagi Gladys mencoba mengangkat sambungan telepon tersebut. Terlebih lagi bayang-bayang sikap kasar Arga yang terus menerus menghantui seluruh pikirannya. Gladys saat ini masih belum bisa bertemu dengan Arga. Dalam kondisi apapun dia saya ini benar-benar membutuhkan waktu untuk itu.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya Aidan saat dirinya tak sengaja melirik Gladys yang terlihat gusar dengan pikirannya sendiri.
Kepala perempuan itu menggeleng menanggapi pertanyaan dari Aidan, "Nggak papa," jawabnya pada Aidan.
"Siapa tau penting," sahut Aidan yang masih fokus dengan tangan yang mengendalikan stir mobilnya sedari tadi.
Gladys tetap menggeleng. Dia menundukkan kepalanya seraya me-reject sambungan telepon dari kekasihnya itu. Ia benar-benar masih malas berhubungan dengan Arga, "Nggak penting," jawabnya pada Aidan.
"Pak Aidan, nanti turun di depan gang kosan aja ya? Soalnya takut mobilnya nggak bisa masuk gang," serunya meminta Aidan untuk menurunkan dirinya di depan gang. Karena memang, akses jalan kos Gladys kebetulan masuk ke gang kecil yang mungkin susah untuk akses mobil. Dari pada mobil Aidan kesulitan masuk lebih baik Gladys tak merepotkan Aidan.
"Iya."
Belum ada beberapa menit usai sambungan telepon itu di-reject Gladys. Arga sepertinya masih tak terima. Dia menghubungi Gladys berkali-kali. Bak teror napi yang tak ada hentinya di ponsel Gladys. Itu yang membuat Gladys benar-benar tak nyaman.
Arga
Aku udah ada di depan Kos kamu. Kalau kamu ada di dalam cepet keluar. Aku mau ngomong sama kamu. Kita butuh bicara.
Satu pesan dari Arga Prawira, masuk ke dalam ponsel Gladys. Gladys yang membacanya jadi bingung sendiri harus memposisikan dirinya seperti apa saat ini. Ingin putar balik dan mengajak Aidan pergi kemanapun saat ini untuk menghindari Arga, tapi dia tak ada hak akan hal itu. Dia sama sekali tak mengenal Aidan. Lebih tepatnya baru mengenal karena urusan kerjaan saja. Bagaimana bisa Aidan harus terlibat dalam masalah pribadinya?
"Pak," panggil Gladys.
"Hm?"
Sungguh, Gladys saat ini benar-benar bingung harus mengatakan apa ke Aidan. Pikirannya berkecamuk saling sahut menyahut. Haruskah Gladys mengajak Aidan singgah di tempat manapun asal tak bertemu dengan Arga saat ini? Haruskah Gladys meminta Aidan untuk putar balik?
"Pak ... Kita ... Anu ... Kita ..." Gladys bak orang gagap yang gagal menyampaikan maksudnya ke arah Aidan.
Sampai-sampai Aidan lebih memelankan kecepatan kemudinya karena mendengar suara Gladys yang tak jelas, "Anu apa?" tanyanya.
"Otak kamu mikir jorok? Anu ... Anu?" tanya Aidan.
Mendengar tanggapan Aidan, Gladys sontak membulatkan matanya, "Bukan. Enak aja. Nggak jadi."
"Kalau ngomong yang jelas," seru Aidan yang mulai fokus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rata-rata lagi.
Saat mobil berwarna hitam yang Aidan kendarai masuk ke dalam kawasan jalan Mawar, Aidan menoleh ke arah Gladys untuk bertanya dimana alamat tepatnya agar dirinya tak bingung, "100 meter lagi udah Jalan Anggrek. Lewat sini?" tanyanya pada Gladys.
Mendengar kalimat dari Aidan, degup jantung Gladys benar-benar tak normal. Detik-detik dirinya bertemu dengan Arga lagi. Gladys lelah. Dia ingin secepatnya beristirahat. Ada rasa sesak yang menyayat dada Gladys. Tunggu! Gladys memohon pada waktu untuk berhenti sejenak. Dia sama sekali tak ingin bertemu dengan kekasihnya itu untuk saat ini.
"Iya ... Tapi kita ... Anu ya Pak? Kita lebih baik anu dikit .... Anu Pak saya .... Ayo!" suara gagap itu mencuat dari bibir tipis milik Gladys. Terlihat dua bola matanya sedikit berkaca. Entah apa yang menahannya saat ini untuk mengeluarkan buliran bening yang bernaung di kelopak matanya.
"Kamu kalau ngomong yang jelas. Dari tadi anu apa?" tanya Aidan yang masih tak mengerti dengan ucapan Gladys.
Mau tak mau akhirnya Gladys sendiri yang mengalah. Ia juga tak mau Aidan masuk ke dan ikut campur ke dalam masalahnya. Biarkan dirinya sendiri yang menyelesaikan. Entah nanti apa jadinya saat dia bertemu dengan Arga, "Saya turun disini aja. Nggak jauh dari sini. Pak Aidan hati-hati di jalan," serunya meminta Aidan untuk menghentikan mobilnya.
Aidan mengangguk. Ia lantas menghentikan mobilnya tepat di salah satu gang yang mungkin masih sedikit jauh dari Kos Gladys. Karena Gladys yang meminta, Aidan sendirilah yang menurutinya.
"Makasih Pak," jawab Gladys saat dirinya telah siap turun dari mobil hitam itu.
"Sama-sama," jawab Aidan.
Gladys turun dari mobil itu. Sebenarnya lumayan jauh dia harus berjalan ke kosan. Tapi karena untuk menghindari kesalahpahaman Arga, Gladys rela turun di tengah jalan. Bibir Gladys tersenyum tipis saat bunyi klakson mobil Aidan mengarah padanya, "Hati-hati," serunya.
Kini tepat di remang-remang malam Jalan Anggrek, Gladys berjalan gontai menuju ke Kosnya. Sunyi, karena pada dasarnya jalan itu bukan jalan utama yang banyak dilewati kendaraan berlalu-lalang. Sedari tadi Gladys memikirkan bagaimana caranya menghadapi sikap Andre nantinya, "Tenang Gladys ... Nggak bakalan terjadi apa-apa," serunya menenangkan diri sendiri.
Saat Gladys hampir memasuki gang tempat ia tinggal, satu tangan menahannya. Tangan besar itu mencengkram pergelangan tangan Gladys dengan erat. Bak lilitan ular yang benar-benar menyakitkan. Sampai-sampai rintihan kecil dari bibir Gladys terlontar, "Nggak perlu sembunyi-sembunyi di depan gang. Aku udah tau kamu turun dari mobil siapa tadi," ucap laki-laki yang menahan langkahnya.
"Arga?"
Ya. Laki-laki itu adalah Arga. Laki-laki yang memiliki segudang amarah pada Gladys. Dia menganggap urusannya di dalam apartemen bersama Gladys belum selesai. Sampai dirinya memutuskan untuk menyusul di Kosannya, "Brengsek!" umpatnya pada Gladys saat dia tak sengaja melihat Gladys turun dari mobil Aidan.
Kecemburuan itu membabi buta. Sedari tadi Arga tak bisa menahan amarahnya karena Gladys ada di dalam mobil laki-laki lain. Tak mau mendengar penjelasan Gladys, Arga sudah hilang kendali.
"Apa sih? Dateng-dateng udah ngomong kasar. Aku tadi—"
"Nggak usah banyak alasan. Kamu bisa mikir pakai otak nggak? Otak kamu bodoh dari dulu. Udah punya pasangan tapi jalannya sama laki-laki lain," sahut Arga yang tak mau tau dengan alasan Gladys.
Gladys pun juga lelah. Selalu saja merasa salah di hadapan Arga. Dikekang sana sini bukan berarti Arga melindunginya. Tapi malah menyakitinya, "Kamu jangan kekanak-kanakan. Ini udah malem. Nggak pantes kamu teriak-teriak di depan rumah orang seperti ini," serunya.
Bukan Arga kalau dia tak meludah ke sembarang tempat saat omongan Gladys tak sejalan dengannya. Emosi Arga tak karuan. Kepalanya rasanya ingin meledak hanya karena masalah Gladys bersama laki-laki lain. Bukannya dibicarakan baik-baik. Tapi malah mengedepankan amarahnya, "Persetan mau dimana pun itu. Kamu milik orang. Nggak pantas kamu keluar sana sini tanpa persetujuanku. Apalagi harus diantar sama laki-laki yang nggak jelas asal-usulnya."
"Kita belum menyelesaikan masalah. Tapi kamu malah menyepelekan masalah itu. MIKIR GLADYS! OTAK KAMU DIMANA? JADI PEREMPUAN JANGAN BODOH. Malam-malam diantar laki-laki lain. Kamu mau belajar jadi wanita murahan? Yang mau dipakai sana-sini?" umpat Arga berkali-kali.
Gladys sudah tak tahan dengan umpatan Arga yang merendahkannya. Bukan masalah Arga yang marah. Tapi martabatnya sebagai perempuan serasa diinjak-injak oleh kekasihnya. Gladys kira Arga adalah sosok laki-laki yang bisa menjadi rumah. Tapi nyatanya mulutnya mengeluarkan ribuan bisa yang mematok perasaan Gladys, "Jaga mulut kamu!"
Mendengar pembelaan Gladys, tangan Arga hampir melayang di pipi perempuan itu lagi. Sayangnya, tangan itu ditahan oleh seseorang, "Tolol, beraninya cuma sama perempuan. Sini kalo berani, maju! Bapak gue aparat. Lo mau gue laporin dugaan ujaran kebencian dan kekerasan terhadap perempuan, hah?" bentak Dita saat dirinya menahan tangan Arga untuk tidak menyentuh Gladys.
"Nggak usah ikut campur urus—"
Dita spontan memotong kalimat dari Arga sebelum kalimat itu terucap sempurna, "Apaan? Ikut campur? Ya jelas gue ikut campur orang dia sahabat gue. Kenape lo? Nggak terima? Mau gue telfonin Bapak gue biar kasus lo diusut secepatnya? Gue ada bukti nih, udah gue rekam lo ngapain aja tadi. Tinggal serahin ke Bapak gue. Besoknya busuk lo di penjara sampai ingus lo warnanya ungu," tegas Dita pada Arga.
Saat Dita menikam Arga dengan ucapan-ucapan yang mematikan itu. Gladys tiba-tiba jatuh dari berdirinya. Entah, tiba-tiba kepala Gladys rasanya berat untuk berdiri. Gladys lelah. Fisik dan pikirannya sedari tadi terkuras karena urusan Arga.
"Gladys!"
Bersambung ...
Nihhh 2600 kata lebih untuk anda yang masih stay wkwwk aku udah selesai dengan urusanku jadi aku bisa stay di wattpad lagi. Update sering-sering sampai tamat. Kemarin kan mau update tapi malah sakit tukak lambung sama infeksi dan radang telinga jadi gak bisa nulis. Terus positif copit juga jadi sebulan full gak nulis.
Sekarang i'm coming wkwkwk Mau besok lagi gak updatenya? 🤣🤣🤣🤣 Kenapa jadi update gila-gilaan gini wkwkw biar sampai konflik terus aku ghosting wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro