Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 32 - Petaka?

Menjalani perawatan selama tujuh hari di rumah sakit terkadang membuat Aidan bosan. Pasalnya dia rindu tempat kerjanya, ingin segera bekerja kembali. Tapi nyatanya, fisiknya belum siap untuk menerima pekerjaan berat. Pulang dari rumah sakit pun, Aidan masih diminta Papanya untuk singgah di kursi roda. Bagaimana bisa ia melakukan pekerjaan berat sedangkan untuk berjalan terkadang masih tertatih?

Siang ini Gladys berkunjung ke rumah Aidan bukan sebagai guru les Zio melainkan sebagai kekasih Aidan. Mama Ayana juga terlihat ramah ke Gladys karena menganggap Gladys perempuan yang sopan padanya. Selama beberapa hari di rumah sakit, menurut Mama Ayana Gladys sangat telaten merawat Aidan. Dia ikut luluh dengan sikap Gladys. Dokter Jefri? Jangan tanya, dia sangat baik dan menganggap Gladys sebagai anaknya sendiri karena sudah merawat Aidan.

Sebenarnya semenjak Gladys jadi guru les Zio, keluarga Aidan juga sangat baik padanya. Bukan hanya saat ini saja. Tapi dari dulu juga seperti itu, meskipun pernah ada konflik antara Aviola dan Gladys, tapi keluarga yang lain tak pernah ikut campur sampai masalahnya selesai. Jangan tanya perasaan Aidan, semakin hari perasaannya pada Gladys bertambah.

"Gladys, Mama Ayana minta maaf ya? Jadi ngerepotin kamu beberapa hari ini jagain Aidan di rumah sakit," seru Mama Ayana pada Gladys saat Gladys terlihat memapah Aidan yang ingin berpindah dari kursi roda ke Sofa ruang keluarga.

Gladys menggeleng pelan dengan senyum ramahnya pada Mama Ayana, "Nggak papa Ma," jawabnya.

Melihat anak sulungnya yang meminta bantuan pada Gladys mengenai apapun, Mama Ayana berdecak sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aidan nempel kamu terus tuh, Mama sering dicuekin sekarang," sahutnya menyindir Aidan.

Mendengar Mamanya berkata seperti itu, Aidan sontak terkekeh pelan. Bak perempuan yang tengah terbakar cemburu karena perhatiannya teralih ke perempuan lain. Memang, sedari dulu kedekatan Aidan dan Mama Ayana tak diragukan lagi. Hubungan Ibu dan anak itu sangat erat. Bahkan, hal apapun yang membuat Mama Ayana tak suka, dia berani meninggalkannya demi kebahagiaan Sang Mama, "Kapan Aidan nyuekin Mama, hm?"

"Kemarin malam di rumah sakit, waktu kamu mau tidur. Tangan kamu gak lepas dari Gladys. Nggak boleh gitu, nikah dulu baru pegang tangan anak orang. Jaga kehormatan Gladys. Gladys perempuan seperti Mama. Jangan sampai kamu rusak!" tutur Mama Ayana.

"Berarti udah dapat lampu hijau ya?" tanya Aidan pada Mamanya.

Mamanya menghela napas dan tersenyum simpul. Saking keinginannya terkabul menikah dengan Gladys, Aidan menagih restu terus ke Mamanya sampai Mamanya perlahan merestui, "Sembuh dulu lah, Nak! Masa sakit begini mau ngelamar anak orang. Iya, Mama ngikut keputusan kamu, kamu udah gede kan? Udah bisa memutuskan mana yang baik mana yang buruk. Kasihan anak Mama udah tua. Takut kepengen buru-buru ngerasain surga dunia."

"Gunakan aja waktu-waktu ini untuk mengenal satu sama lain dulu asal jangan kelamaan. Kalau udah dirasa cocok, boleh ajak Mama sama Papa ke rumah Gladys. Atau kapan-kapan, Mama undang keluarga Gladys buat makan malam bareng. Gampang lah pokoknya itu bisa diatur yang penting kalian saling mengerti saling cocok satu sama lain dulu," tambah Mama Ayana.

"Nikah kan gak cuma surga dunia aja yang dipikir, nggak cuma nafkah batin juga. Aidan juga harus mikir nafkah yang lain," seru Mama Ayana lagi.

Langkah Azka terhenti saat melihat kakak dan mamanya saling bercengkrama di ruang keluarga. Dua kata yang sangat populer di telinga Azka 'Surga Dunia' itu terucap dari mulut Mamanya. Pembahasan yang menarik bagi Azka jika ikut bercengkrama bersama Mamanya.

Adik bungsu Aidan itu ikut menanggapi percakapan. Dia berjalan dengan santainya ke arah Aidan, "Apa nih surga dunia surga dunia? Lagi ngomong apa? Kalau ngomongin surga dunia ajak-ajak jangan simpen sendiri," celetuknya sembari ikut duduk di depan Aidan dan Gladys, lebih tepatnya duduk di samping Mama Ayana.

"Anak kecil belum cukup umur, ngapain kamu ikut nimbrung?" sahut Aidan pada Azka Sang Adik.

Azka memutar bola matanya malas saat Aidan mengatakan bahwa dirinya masih kecil. Kakaknya itu selalu tak satu pendapat dengannnya. Mungkin karena Azka bungsu, jadi label anak kecil masih melekat di telinganya, "Anak kecil apaan? Umur udah 27 tahun dibilang anak kecil. Mentang-mentang lo udah bangkotan. Malu noh sama Aviola udah punya anak dua," cibir Azka yang tak mau kalah.

Aidan jadi teringat Zio saat Azka menyinggung nama Aviola. Sudah sangat lama dia tak berjumpa dengan keponakannya. Mungkin, Gladys pun juga sama. Rindu bermain dengan anak kecil itu, "Aviola nggak kesini, Ma?"

"Besok katanya," jawab Mamanya.

Tanpa meminta izin ke adiknya terlebih dahulu, Aidan menganggap Azka mau menolongnya besok. Ia lantas menatap ke arah Gladys dan mengatakan bahwa besok yang jemput kekasihnya ke rumah ini adalah Sang Adik, "Besok kamu dijemput Azka ya kalau kesini, atau kalau capek nggak perlu kesini nggak papa. Istirahat di Kos," serunya pada Gladys yang dibalas Gladys dengan anggukan pelan.

Azka yang merasa menjadi bahan pembicaraan sontak mendengus pelan. Giliran minta tolong akur, "Boleh aja besok minta tolong jemput. Asal jangan nyesel kalo tiba-tiba Gladys besoknya minta putus soalnya udah kepincut bujang ganteng," sahut Azka.

Tak tersinggung dengan kalimat adiknya, Aidan memutar bola matanya malas. Tak mungkin juga Gladys berpaling ke adik Aidan, dari segi perawakan, Aidan lebih unggul.

Tapi untuk memberi pelajaran ke Azka, Aidan menatap tajam ke arah adiknya, bantal sofa yang ada di sampingnya spontan terlempar ke arah Azka sampai laki-laki itu meringis karena lemparan bantal dari Aidan mengenai kepalanya. Maklum, cemburu ke adiknya sendiri, "Kan ... kan ... Yang modelan begini lo mau, Dis? Mending sama gue, gagah, ganteng, kaya, ahli ibadah, baik hati," tukas Azka.

Gladys terkekeh saat menyimak pergulatan dua laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. Aidan yang dulunya pendiam dan tak banyak bicara, saat ini turut menyahuti apa yang dikatakan oleh Adiknya hanya karena terbakar cemburu. Tak mau kalah dengan Sang adik, Aidan sontak merangkul dua sisi pundak Gladys ketika Azka ingin menggoda kekasihnya. Sorot matanya mengisyaratkan ke Azka bahwa tak ada yang bisa menggoda calon istrinya itu tak terkecuali adiknya sendiri.

Ya seperti itu kelakuan kakak beradik, sampai Mamanya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat dua anak laki-lakinya yang saling berdebat satu sama lain hanya karena perempuan, "Azka," panggilnya pada Azka.

"Apa Ma?" sahut anak itu.

"Tolong bantu Mama nata kamarnya Kakak kamu. Ayo sekarang biar nggak nunda-nunda terus!" perintah Mamanya pada Azka.

Laki-laki itu menggerutu saat Mamanya memerintahkan sesuatu padanya. Bukan karena dia tak mau menuruti apa yang Mamanya mau, tapi dia malas melihat kakaknya terus-terusan menebar kebucinan di hadapannya, "Lah kok Azka sih, Ma? Yang punya kamar sendiri lah Ma yang beresin. Dia enak-enakan bucin, Azka yang disuruh-suruh," gerutunya lagi. Netranya menatap kakaknya dengan tatapan malas.

"Attalaric Azka! Kebiasaan kalau disuruh Mama komen dulu baru jalan. Kakak kamu lagi sakit, gimana mau nata ranjangnya sendiri? Ranjangnya perlu digeser dikit biar dia nyaman tidurnya. Mama nggak kuat kalau geser sendiri. Papa belum pulang. Makanya Mama minta tolong kamu. Ayo nggak usah banyak ngomong!" omelnya pada Azka.

Ya memang begitu, terkadang anak bungsu wataknya lebih keras. Sulit akur dengan kakak-kakaknya. Tak sekali dua kali, dulu waktu kecil juga seperti itu. Mama Ayana dan Dokter Jefri sangat hapal karakter masing-masing anak-anaknya. Maklum saudara jika tak ada konflik pasti akan hambar. Tapi jika kebanyakan konflik juga membuat kepala orang tuanya pusing. Meskipun begitu, mereka punya kelebihan masing-masing yang membuat Mama Ayana dan Dokter Jefri bangga.

"Yang sakit enak-enakan bucin Ma ...." adunya pada Sang Mama. Tapi Mamanya tetap menarik tangan Azka agar beranjak dari duduknya dan ikut ke kamar kakaknya untuk menata ruang tidur. Sedangkan Aidan dan Gladys masih tertinggal di ruang keluarga.

"Udah, kamu tuh dimintai tolong gitu aja banyak alasan. Kalau nggak nurut sama Mama nggak usah minta izin nikah ya?" omel Mama Ayana lagi pada Azka yang membuat Aidan tertawa puas melihat adiknya mendapatkan semburan amarah dari Mamanya.

Gladys yang melihat Aidan tak henti-hentinya menertawakan adiknya sontak memukul lengan Aidan dengan pelan, "Kamu sama adik kamu sendiri tega banget ngetawain," protes Gladys.

"Biarin aja. Biar dia nggak banyak ngomong. Azka kalau sama Mama takut. Kalo sama Papa diajak gulat. Azka dilihat-lihat cocok sama Dita. Kapan-kapan kita jodohin. Nggak usah didengerin kata-kata dia kalo nyakitin, dia orangnya rada ...." Ucapan Aidan menggantung tak melanjutkan kata terakhir. Setelah kata 'rada' telunjuk Aidan miring mengarah ke dahinya.

Gladys tahu yang dimaksud Aidan dengan memiringkan telunjuknya ke dahi itu adalah bahasa isyarat yang menunjukkan bahwa secara tidak langsung Aidan meledek adiknya 'sinting'.

"Sama kayak kamu dong!" sahut Gladys.

"Sama gimana?"

Gladys ikut memiringkan telunjuknya di dahinya, "Kamu juga agak ...." kalimatnya menggantung saat kedua pipinya dicubit Aidan karena Aidan tahu kekasihnya itu meledeknya balik.

"Dari mana teorinya? Ganteng gini dibilang sinting, hm?" tanya Aidan seraya memuji dirinya sendiri.

"PD banget. Yang bilang ganteng siapa? Kamu nggak ganteng," sahut Gladys yang tak mau memuji Aidan karena takut Aidan semakin percaya diri.

"Terus kenapa kamu mau?" tanya laki-laki itu balik.

"Ya bukan karena kamu ganteng secara fisik," sahut Gladys.

"Terus karena apa?" Aidan terus memojokkan Gladys sampai perempuan itu lelah menjawabnya.

"Tau ah ... pikir sendiri. Kamu dari tadi nanyanya nggak penting-penting banget, Mas! Ayo minum obat aja kamu dari tadi belum minum kan?" gerutu Gladys yang membuat Aidan gemas dengan sikap kekasihnya. Aidan tak henti-hentinya terkekeh saat kekasihnya itu menggerutu sebal.

Cantik. Batin Aidan bergulat. Merajuk saja cantik, bagaimana jika tersenyum sepanjang saat. Aidan yakin hatinya tak akan kuat menampung ribuan kupu-kupu saat hidup bersama Gladys nantinya. Begitu besar rasa suka Aidan pada perempuan itu, sampai seakan raga Aidan tak mampu kehilangannya sedikitpun. Selalu menanyakan kabar Gladys ketika perempuan itu pulang ke Kosnya. Dan menanyakan perihal, kapan Gladys siap dipinang secara serius.

"Aku ambilin air putih ya?" ucap Gladys yang menawarkan bantuan mengambilkan air untuk Aidan.

"Iya. Ayo ke dapur aja! Airnya ada disana. Minum obat di ruang makan aja," tutur Aidan yang meminta Gladys untuk dibantu pindah posisi ke kursi roda lagi.

Gladys perlahan memapah tubuh Aidan dari sofa untuk beranjak duduk di kursi rodanya lagi. Sebenarnya Aidan tak tega melihat Gladys memapahnya seorang diri. Perempuan itu sangat telaten memapah tubuh Aidan sampai Aidan benar-benar nyaman duduk di kursi rodanya, "Semoga punggungku cepat sembuh. Biar kamu nggak kesusahan bantu aku," ucap Aidan yang di-iya-kan Gladys.

Gladys mendorong kursi roda itu sampai ke ruang makan. Kebetulan ruang makan dan dapur basah jadi satu ruangan disana. Saat berhasil mengunci roda dari kursi yang diduduki oleh Aidan, Gladys lantas berjalan menuju ke dispenser yang ada di sudut dapur, "Gelasnya yang ini kan?" tanyanya mengarah ke Aidan sembari menunjukkan gelas bening yang ia pegang.

"Iya," jawab Aidan.

"Tunggu disitu ya? Aku siapin obatnya dulu sama minumnya," seru Gladys yang mulai mengambil segelas air untuk Aidan.

"Makasih Sayang," sahut Aidan pelan.

Ketika Gladys ingin mengupas tablet obat milik Aidan, tiba-tiba tangannya tak sengaja menyenggol sebuah gelas yang bertuliskan Anniversary 2 tahun pernikahan Ayana & Jefri. Gladys terperanjat saat pecahan gelas itu hampir mengenai kakinya. Tangan bergetar hebat saat ingin memunguti pecahan gelas itu. Ada apa ini? Dia posisinya di rumah orang, tapi dia merusak barang orang lain.

Prang!

"Kenapa Dis?" tanya Aidan yang cepat-cepat membuka kunci roda kursinya saat mendengar bunyi nyaring pecahan gelas itu dan segera mendekat ke arah Gladys.

"Gelasnya jatuh. Aku nggak sengaja. Aku beneran nggak sengaja, Mas! Aku ... aku tadi mau ambil obat kamu buat aku kupas tabletnya. Tapi gelas di sampingnya nggak sengaja kesenggol tanganku dan jatuh. Aku bener-bener nggak sengaja, Mas! Aku minta maaf. Ini gimana gantinya, Mas? Aku bener-bener nggak sengaja," seru Gladys dengan bola mata yang menahan cairan bening yang ada di kelopak matanya agar tak terjatuh.

Saat Aidan tahu gelas apa yang pecah, netranya melihat potongan gelas itu. Iya, itu gelas kesayangan Mamanya. Selalu Mamanya pakai untuk minum sehari-hari. Mamanya pernah menceritakan filosofi gelas itu pada Aidan, katanya gelas itu diberikan Papa Aidan sebagai hadiah permintaan maaf Papanya ke Mamanya. Karena waktu awal menikah, mereka sempat hampir bercerai karena suatu konflik. Gelas itu sebagai saksi bisu prahara rumah tangga Papa dan Mamanya.

Tapi mau bagaimana lagi? Gelas itu memang susah sangat tua. Tak heran jika langsung pecah saat terjatuh. Aidan mengakui hal itu. Tapi bagaimana ia membela Gladys jika Mamanya tahu masalah ini? Tidak. Aidan yakin masalah ini bisa diselesaikan.

"Aidan ada apa?" ucap wanita paruh baya yang berjalan ke arah dapur. Aidan sangat hapal itu suara Mamanya. Ia dan Gladys sontak menoleh ke sumber suara. Dan Gladys kesulitan menyembunyikan tangannya yang gemetaran.

"Ini kenapa? Gelas Mama kenapa jatuh begini? Ya Tuhan, Aidan ini gelas kado dari Papa kamu waktu ulang tahun pernikahan. Kenapa bisa pecah begini? Masalahnya ini gelasnya cuma ada satu sengaja nggak Mama pakai biar nggak gampang rusak. Kok bisa pecah gini sekarang?" ujar Mama Ayana yang sangat kecewa berat karena melihat gelas kesayangannya pecah begitu saja tanpa tahu pelakunya siapa.

Melihat Mamanya yang ikut berjongkok memunguti pecahan gelas itu, Aidan sangat merasa bersalah. Tapi ia juga tak bisa menyalahkan Gladys. Gladys tak sengaja. Dia benar-benar bingung. Sungguh, melihat Mamanya yang mematap pecahan gelas itu dengan tatapan datar dan kecewa, hati Aidan terasa teriris. Pasalnya seumur hidupnya, dia takut membuat perempuan paruh baya itu kecewa.

"Ma, Aidan minta maaf. Tadi Aidan nggak sengaja jatuhin gelas itu. Aidan mau berdiri tegak susah waktu mau ambil gelas minum. Jadinya nggak sengaja kesenggol gelas Mama. Aidan tadi kesusahan minum obat sendiri, Ma! Untung ada Gladys yang bantu kupas tablet obat Aidan biar Aidan gampang minumnya. Aidan minta maaf Ma! Aidan ganti gelasnya ya?" jelas Aidan berbohong. Aidan tak mau menambah masalah jika harus berkata jujur.

Posisinya, dia mencintai dua perempuan yang saat ini memunguti pecahan gelas itu. Dia tak bisa memihak hanya pada Mamanya saja. Rasa kasihan pada Gladys teramat dalam sampai dia berani mengorbankan dirinya sendiri untuk mengakui kesalahan Gladys.

"Bukan masalah gelasnya, Sayang! Masalahnya kenangan di gelas itu. Mama tuh nyimpen gelas itu biar inget terus kalau dulu pernikahan Mama sama Papa nggak baik-baik aja sampai konflik reda. Gelas itu jadi saksi bisu pernikahan Mama sama Papa kamu bisa sampai sekarang. Mama dikasih gelas itu sama Papa kamu buat kado ulang tahun pernikahan," tutur Mamanya dengan nada sedikit kecewa tapi tak bisa marah ke Aidan.

"Kalau gelasnya pecah Mama nggak punya kenang-kenangan, Sayang! Mama bukannya nggak mau kamu ganti gelasnya, Mama juga bisa beli gelas sendiri. Tapi .... Mama menyayangkan aja kalo pecah kayak gini. Kalau Mama masak Mama sering lihat gelas ini buat jadi penenang trauma Mama, Nak! Mama bisa lewati trauma Mama gara-gara gelas ini," isak Mamanya pelan usai menuturkan kalimat itu karena teringat kembali trauma buruk di masa lampaunya.

Ternyata sampai kapanpun masih sulit menerima takdir itu. Pasalnya, Mama Ayana juga bahagia bisa dihitung jari. Hanya usai menikah saja. Sebelum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya, Mama Ayana dulu belum pernah merasakan kebahagiaan sesungguhnya. Kurasa sulit harus menata ulang.

Aidan memejamkan matanya sejenak saat melihat dua perempuan yang dia cintai saling menahan air mata satu sama lain. Mama Ayana belum tahu jika yang memecahkan gelasnya bukan Aidan. Tapi Aidan bersyukur setidaknya hal itu menjadi kunci Gladys tak terlibat dalam masalah keluarga Aidan.

"Ma, Aidan harus ganti pakai cara apa? Biar Aidan ganti ya? Aidan bener-bener nggak sengaja tadi. Aidan bakal ganti dengan apapun yang Mama mau. Aidan bener-bener nggak sengaja mecahin gelas itu," tutur Aidan.

Sungguh, Aidan ingin memeluk Mamanya saat buliran bening yang ada di kelopak mata Mamanya menetes. Tak peduli dengan kursi roda itu, Aidan menarik tubuh Mamanya untuk saling mendekap dengan tubuhnya walaupun Aidan saat ini dengan posisi yang sulit berdiri. Dia masih singgah di kursi roda itu dengan tangan yang melingkar di pinggang Mamanya, "Aidan minta maaf, Ma! Aidan janji Aidan ganti dengan yang lebih baik lagi," ucapnya.

Gladys benar-benar merasa bersalah mendengar penuturan kalimat dari Mama Ayana. Aidan merasakan cairan bening di kelopak mata kekasihnya itu menetes juga karena merasa bersalah. Bagaimana bisa menenangkan Gladys dengan cara seperti ini? Sungguh, Aidan hanya bisa menggengam tangan Gladys untuk memberi ketenangan pada kekasihnya di balik dirinya masih memeluk Mamanya.

"Ma," panggil laki-laki paruh baya yang tiba-tiba menyusul ke dapur juga.

Mama Ayana sontak menguraikan pelukannya dan menatap Sang Suami saat Dokter Jefri memanggilnya, "Papa?" serunya.

Sepertinya Dokter Jefri baru pulang dari rumah sakit dan mengetahui ada insiden di dapur jadi dia langsung menuju ke arah dapur. Netranya menatap pecahan gelas itu sangat lama sebelum ia mengutarakan kalimatnya pada Sang Istri, "Udah nggak papa gelasnya pecah, itu kan gelas udah tua banget. Wajar kalau udah rusak, Ma? Itu artinya pernikahan kita bertahan lama banget, lihat anak-anak udah pada gede kita udah punya cucu. Wajar kok gelasnya pecah."

"Udah nggak papa, mungkin Aidan juga nggak sengaja. Lagian Aidan juga lagi sakit Ma, naik kursi roda. Wajar dia nggak hati-hati. Nanti Papa ganti yang lebih baru lagi ya?" tambahnya lagi mengucapkan pembelaan pada anaknya. Sungguh, Dokter Jefri pun tak tahu jika yang memecahkan gelas itu Gladys bukan Aidan.

Dokter Jefri tahu itu gelas pemberiannya. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur pecah. Mungkin bagi istrinya hal itu sangat sulit diterima. Wajar istrinya seperti itu, karena karakter istrinya memang sangat menyayangkan jika ada satu kenangan dalam pernikahannya hilang begitu saja. Entah itu berupa barang ataupun berupa foto.

"Bentar ya, Dan, Gladys? Papa sama Mama kesana dulu!" Dokter Jefri meminta izin ke anaknya untuk berbicara empat mata dengan istrinya karena tak enak jika berdebat masalah ini di depan anak-anaknya. Dari dulu, Dokter Jefri tak suka jika berselisih dengan istrinya di depan anaknya.

"Ayo Sayang!" pinta Dokter Jefri yang menarik tangan Mama Ayana untuk ikut dengannya. Aidan sangat paham, Papanya pasti akan memberikan penjelasan ke Mamanya mengenai insiden ini walaupun Papanya tak tahu siapa yang memecahkan gelas itu.

Tapi tahukah? Sedari dulu, Aidan sangat yakin dengan ucapan Papanya jika Mamanya akan luluh ketika Papanya sudah berbicara. Mengenai masalah ini, Aidan hanya bisa menyerahkannya pada Sang Papa karena dia sendiri juga bingung jika harus menyelesaikannya seorang diri. Sulit baginya harus berpihak ke kubu siapa. Dua perempuan yang sangat dia cintai.

"Hati kamu terbuat dari apa sampai kesalahanku kamu akui? Kenapa nggak kasih tau Mama Ayana kalo aku yang mecahin gelasnya?" tanya Gladys dengan tatapan kosongnya ke arah Aidan.

Aidan yang melihat mata Gladys sudah penuh dengan air mata yang ingin terjatuh dari sang pemiliknya, sontak memeluk pinggang kekasihnya itu, "Masalahnya udah selesai. Mama juga nanti paham kalo itu cuma gelas. Aku yakin Papa sekarang lagi jelasin ke Mama mengenai masalah ini," serunya menenangkan Gladys.

Apa jadinya jika Aidan tak mengakui kesalahan Gladys pada orang tuanya? Barang itu sangat berharga bagi Mamanya, dan saat ini rusak tak bisa diperbaiki lagi. Apakah hubungan mereka benar-benar akan baik-baik saja sampai menikah nanti?

Bersambung ....

Gilaaaa ini 2 part aku jadiin satu. 3000 kata lebih woyyy ayook komen yang banyak vote terusss sampe ending. Harusnya ini Jumat sama Senin jatahnya tapi udah aku upload sekarang buat nepati janji 100 komen kemarin.

Yok 250 komen lah biar panjang wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro