Part 13 - Putus?
"Nggak mau pulang," Zio menggeleng penuh saat Aviola mengajaknya pulang. Sedari tadi anak kecil itu menunggu kehadiran dari guru les private-nya. Gladys saat ini masih belum bisa menemaninya belajar karena izin sakit. Dan alhasil Zio menunggunya, tak mau diajak pulang.
Entah, hampir dua jam Zio masih ada di rumah neneknya. Tak mau diajak pulang, tak mau juga beranjak dari tempat belajarnya yang biasanya ia gunakan bersama Gladys. Sampai Aviola sebagai ibunya saja tak mempan membujuknya, "Mama sama Papa mau jalan-jalan. Zio nggak ikut?" tanya Aviola pada Sang Anak.
Zio lagi-lagi menggeleng. Entah kesekian kali gelengan itu terputar di leher Zio. Anak manis itu masih memanyunkan bibirnya karena keinginannya untuk bertemu gurunya tak dituruti, "Nggak mau. Mau nunggu Miss Gladys!"
"Miss Gladys kan nggak masuk. Lagi sakit. Nanti kalau udah sembuh, baru kesini main sama Zio," ungkap Aviola pada anaknya lagi.
"Zio mau belajal," Bibir Zio masih bersuara ingin bertemu dengan guru lesnya. Entah menurut anak kecil alasan apapun tak akan mempan menghalanginya untuk bertemu. Dia tetap keras kepala ingin Gladys menemaninya belajar. Baru kali ini Aviola melihat Zio benar-benar dekat dengan guru private-nya. Sebelumnya tak pernah seperti ini.
"Belajarnya besok lagi. Miss Gladys sakit. Jadi nggak bisa ngajar Zio. Hari ini Mama sama Papa mau ngajak Zio beli robot. Mau nggak?" Aviola masih berusaha membujuk anaknya. Meskipun benar-benar sulit. Terlebih lagi dia sering menghela napas panjangnya ketika Zio menolaknya.
Zio menggeleng lagi, "Nggak mau. Mau sama Miss Gladys," Zio tetap bersikukuh ingin bertemu. Dia mengerucutkan bibirnya karena sebal dengan Mamanya yang terus menerus membujuknya. Kedua tangan mungil itu bersendekap dada dengan bibir yang masih mengerucut beberapa senti, tak lupa kepalanya melengos tak mau menatap Mamanya.
Aviola berjalan ke arah Mama Ayana untuk meminta solusi karena anaknya sedari tadi tak mau diajak pulang, "Gimana Ma? Zio nggak mau diajak pulang," adunya.
Bibir Mama Ayana seakan paham dengan cucunya. Namanya juga anak-anak. Dia masih belum bisa memutuskan perkara yang ada di hadapannya. Zio masih belum genap lima tahun, ketika dia merasa nyaman dengan orang baru, nalurinya akan cepat ingin bertemu dengan orang itu terus. Sama seperti Zio pada Gladys, "Ya udah, biar disini aja. Nanti biar Aidan yang bujuk dia. Kamu fokus sama kandungan kamu dulu. Zio banyak yang jaga. Jangan khawatir!"
"Makasih ya Ma? Tapi beneran nggak papa kan? Aviola takut ngerepotin Mama sama Papa. Nanti kalau Zio rewel kasih tau Aviola ya? Atau nggak, minta bantuan ke Aidan sama Azka dulu. Pokoknya jangan Mama yang gendong. Mama sama Papa jangan sampai capek," ungkap Aviola.
Ayana mengangguk sembari terkekeh pelan saat mendengar ucapan dari anaknya. Wajar juga karena selama Aviola memiliki buah hati, dia tak mau merepotkan dirinya, "Iya. Disini juga ada saudara kamu yang bantu. Ada Aidan ada Azka juga," jawab Mama Ayana.
Saat Aviola asik bercengkrama dengan Mamanya, dia melihat sosok kembarannya tengah berjalan ke arahnya. Siapa lagi kalau bukan Aidan. Aidan terlihat masih memakai setelan kemeja biru muda yang melekat di tubuhnya dengan dasi biru tua yang masih rapi melingkar disana. Sudah bisa Aviola tebak, kembarannya itu pasti baru pulang dari kliniknya, "Aidan," panggilnya.
"Titip anak gue ya? Dia nggak mau diajak pulang. Ini gue ada janji konsultasi lagi sama Dokter. Zio mau les sama Miss Gladys katanya. Tau sendiri, Miss Gladys izin nggak ngajar. Anak gue nggak bisa dibujuk dari tadi," Aviola mengadu pada Aidan. Berharap kembarannya itu mau membantunya.
Tatapan Aidan langsung menajam ke arah kembarannya itu. Sudah menjadi pemandangan yang sering terjadi. Ketika Aviola ada urusan di luar, dia yang otomatis menjadi baby sister versi laki-laki, "Baru pulang udah disuruh jaga anak orang," ledeknya pada Aviola.
"Nanti ajak anak gue jalan-jalan! Bujuk-bujuk biar dia mau pulang. Sekali-kali belajar jadi Papa. Bentar lagi kan mau tunangan sama Dokter Selena," ungkap Aviola yang membuat Aidan melebarkan tatapan matanya.
"Itu gosip dari mana lagi?" tanya Aidan.
Aviola meledakkan tawanya saat melihat kembarannya menatapnya sinis. Tangannya tak bisa ia tahan itu memukul lengan Aidan. Aviola benar-benar ratunya jika harus menggoda kembarannya yang tak pernah terlibat masalah percintaan dengan perempuan. Entah, Aidan terlalu tertutup jika mengenai masalah itu, "Ih ... Udah nyebar tau beritanya sampai kompleks sebelah. Soalnya Mamanya Dokter Selena udah mau hajatan buat ngerayain pra-tunangan," ucap Aviola makin mengada-ngada.
Aidan mengerutkan dahinya. Ya namanya juga Aidan. Dia menganggap omongan Aviola benar, "Pra-tunangan apa? Nggak usah nyebar berita yang nggak ada penting. Dapat berita dari mana?" tandasnya pada Aviola.
"Ya mana gue tau, namanya juga gosip ya bisa dari mana-mana. Nggak cuma satu sumber aja. Ih ... Kebiasaan gak pernah gosip nih jadi dodol. Gimana sih, Dan! Masa belum dikasih tau Ayang Selena. Padahal denger-denger nih, katanya nanti bulan madunya di Switzerland. Cakep banget. Gue aja sama Mas Bagas bulan madu di Kebon," ungkap Aviola meledek kembarannya itu.
Saat Aidan ingin menimpali ucapan dari Aviola, Mamanya menahan tangannya. Biasanya jika tak ada Mamanya, sentilan dari tangan Aidan pasti sudah mendarat di kening Aviola. Tapi kali ini Aviola lolos karena Aidan lebih patuh dengan Mamanya.
"Udah ... Udah ... Kalian ini dari kecil nggak pernah bisa akur. Ada aja yang diributin," seru Mama Ayana.
💃💃💃
Di jam yang sama, namun di tempat yang berbeda. Gladys tengah duduk di sebuah taman berdampingan dengan kekasihnya. Ini pertama kalinya Gladys memunculkan wajahnya di depan Arga lagi setelah dia berkutat dengan sakit yang menjalar di fisik dan rohaninya.
Di kesempatan ini, Gladys sudah berpikir ribuan kali untuk mengentikan hubungannya dengan Arga. Entah apa yang terjadi nanti. Entah apa yang akan Gladys peroleh yang terpenting dia tak berurusan dengan Arga lagi. Karena Arga Gladys berkubang di hubungan yang tak sehat ini.
Mungkin dulu, waktu pertama kali Gladys mengenal Arga. Arga tak sebrengsek ini. Dulu, waktu awal mereka menjalin hubungan Arga juga tak pernah memperlihatkan sisi buruknya. Tapi mengapa? Ketika dia memutuskan untuk melabuhkan seluruh cintanya pada laki-laki itu dan akan segera melangsungkan pernikahannya, Arga mengeluarkan sikap aslinya.
Gladys pikir, sosok Arga adalah laki-laki yang baik, yang mampu menggantikan kasih sayang Papanya. Gladys pikir, ketika dia dulu hampir mengakhiri hidupnya saat melihat Papanya kecelakaan hebat, sosok Arga yang hadir menjadi penolongnya waktu itu, nantinya akan benar-benar merubah hidupnya. Tapi nyatanya apa? Di tengah jalan, Arga mengeluarkan sisi buruknya yang tak bisa Gladys toleransi.
"Beberapa hari ini kamu menghindar. Ada laki-laki lain sampai kamu menghindar padahal kamu punya pacar?" tanya Arga mengintimidasi Gladys yang duduk di sampingnya.
Gladys sengaja gak menatap laki-laki itu. Dia lebih memilih menatap ke segala arah di banding menatap Arga, "Aku sakit. Pikiran kamu jangan picik terus nuduh ini itu. Aku capek," ungkapnya.
Senyum miring terbit di bibir laki-laki itu. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan seakan tak percaya dengan jawaban Gladys, "Itu cuma alasan kamu aja. Kamu pura-pura sakit biar kamu bisa menghindar dariku. Terus kamu seenaknya diantar laki-laki lain, telfon, chatting dan semacamnya tanpa aku ketahui. Iya kan?"
"Alasan klasik. Biar bisa gonta-ganti laki-laki," tambah Arga lagi menuduh Gladys.
Ucapan Arga membuat Gladys sakit hati. Pasalnya Arga selalu menuduhnya sebagai wanita murahan dengan dalih kecemburuan dia, "Kamu yang seharusnya mikir, hubungan kita lama-lama nggak sehat. Gara-gara kamu curiga sana-sini. Gara-gara kamu nggak pernah berpikir positif, selalu cari kesalahan. Lama-lama kalau diterusin aku makin sakit jiwa," Gladys berusaha mengungkapkan kekesalannya.
Arga tersenyum miring lagi. Dia melihat Gladys menatapnya penuh dengan amarah, "Sakit jiwa? Yang nolong kamu waktu kamu mau bunuh diri dulu gara-gara Papa kamu meninggal siapa? Aku, bukan orang lain. Terus kamu bilang kita menjalin hubungan bikin kamu sakit jiwa?" tawa Arga meledak seketika saat mengatakan kalimat itu pada Gladys.
"Seharusnya kamu mikir Gladys! Papa kamu selama dia meninggal dia nggak menghasilkan apa-apa. Setidaknya kamu tau balas budi. Aku hadir di hidup kamu waktu kamu terpuruk. Yang hibur kamu waktu kamu terpuruk siapa? Aku. Nggak ada yang peduli sama kamu. Bahkan, kakak kamu yang katanya satu darah daging aja lebih milih hidup sama suaminya kan dari pada kamu?" seru Arga lagi.
"Aset Papa kamu udah habis. Kakak kamu mana peduli? Orang dia bukan anak kandung Mama kamu. Dia pasti lebih milih hidup bahagia bersama suaminya dari pada hidup sama Mama kamu. Hidup kamu makin hancur tanpa aku. Pikir itu! Yakin kamu mau lepas hubungan kita? Yakin kamu mau tambah hancur?" ancam Arga.
Ya kan? Bersama Arga dia semakin sakit. Gladys akui keberadaan Arga memang membuatnya lebih semangat hidup. Itu dulu. Tapi sekarang? Semua berubah semakin lambat laut bumi berputar bukan hanya untuk Gladys saja. Semua sikap Arga berubah drastis. Arga lebih kasar, lebih sering membentak, dan sering mengancam Gladys yang tidak-tidak jika permintaannya tak dituruti.
Gladys tak bisa seperti ini terus. Semakin lama dia bertahan semakin sakit. Justru jika dia tak keluar dari hubungan ini, dia akan tambah sakit. Arga telah kehilangan sisi baiknya.
Perlahan Arga menetralkan emosinya. Kedua tangannya lantas menangkup di pipi Gladys. Namun dengan cepat Gladys menepisnya, "Aku cuma mau kamu nurut apa yang aku katakan. Kita udah jalin hubungan bertahun-tahun. Kamu nurut, hidup kamu aman. Kamu nggak bakalan merasa kesepian," seru Arga.
Tekad Gladys tak bisa ia rubah. Dia sudah memikirkan hidup ke depannya akan seperti apa tanpa Arga, "Terserah kamu mau ngomong apa. Aku tetep mau hubungan kita berakhir hari ini," ungkapnya pada Arga.
Arga benar-benar tak terima. Dia masih mencintai Gladys. Dia tak bisa menerima keputusan Gladys untuk mengakhiri hubungan ini. Baginya hanya dirinya saja yang bisa menjalin hubungan dengan Gladys, "Nggak bisa. Kamu nggak bisa memutuskan perkara yang nggak aku setujui. Ingat Gladys! Kita sebentar lagi mau menikah. Kamu jangan kayak anak kecil yang minta putus nyambung putus nyambung!"
"Arga lepas!" Gladys berusaha untuk melepas genggaman tangan Arga yang semakin erat. Sakit. Benar-benar sakit. Arga terlalu keras mencengkram tangannya. Bagaimana bisa bertahan? Arga sendiri yang melukainya terlalu jauh.
Brakk!
Bodoh. Gladys benar-benar bodoh pernah mencintai laki-laki yang saat ini kasar dengannya. Dia pikir bertahan adalah sebuah alasan untuk memperbaiki hubungan. Tapi ternyata tidak. Tidak bisa ditoleransi. Arga melukainya untuk kesekian kali akhir-akhir ini.
Arga mendorong tubuh Gladys sampai jatuh di atas tanah. Untungnya. Untungnya batu kecil yang tertanam tak melukai kepala Gladys. Hanya saja. Lututnya tergores kerikil kecil saat dia mencoba untuk menopang tubuhnya.
"Sakit kan? Iya. Itu nggak seberapa dari apa yang pernah aku lihat. Kamu pikir aku bodoh? Nggak lihat kamu diantar laki-laki lain kemarin?" Arga hanya melihat Gladys yang tertatih-tatih bangun dari jatuhnya, tanpa menolongnya sedikitpun.
Sebenarnya iblis macam apa yang ada dalam tubuh Arga saat ini?
Gladys benar-benar tak terima harga dirinya dipermaikan kekasihnya. Papa Mamanya dihina mati-matian oleh Arga. Berkubang di dalam hubungan yang tak sehat membuatnya semakin tersiksa. Semakin membiarkan Arga melakukan apapun yang dia suka, membuat Gladys ikut sesak.
Entah, mendapatkan dorongan dari mana. Dia merasa tak terima saat Papa dan Mamanya dihina. Benar-benar sakit.
Saat Gladys terbangun dari jatuhnya dan berusaha untuk berdiri, tangannya dengan keras mendorong balik tubuh Arga sampai laki-laki itu hampir tersungkur. Arga terperanjat saat Gladys tiba-tiba melawan.
Belum sempurna Arga berdiri, tiba-tiba kaki Gladys menendang area sensitifnya dengan keras sampai laki-laki itu meringis kesakitan. Tak sebanding. Tak sebanding dengan hinaan yang keluar dari mulut Arga tadi.
Arga benar-benar dibuat shock oleh perlakuan Gladys. Dia mengerutkan dahinya menatap Gladys yang penuh dengan amarah. Dia tak menyangka Gladys melakukan ini padanya. Tak seperti biasanya Gladys seperti ini. Bahkan dengan lancang menendang pusaka area sensitifnya.
"Kamu boleh menghinaku murahan atau apalah terserah mulut busukmu itu. Tapi sekali kamu menjatuhkan harga diri Papa, Mama, dan keluargaku, aku nggak segan-segan melakukannya, lebih dari itu," ancam Gladys sebelum dirinya meninggalkan Arga yang masih kesakitan usai Gladys menendangnya.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro