Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12 - Perjodohan

Hey there! Baca part sebelumnya dulu baru baca part ini biar gak lupa alur 🤣 saking lamanya aku gak update wkwkw. Bissmillah semoga sampai ending rutin update seminggu setidaknya dua atau tiga kali biar bisa garap cerita Mas Bagaskara sama Mbak Apiola secepatnya.

💓💓💓

Ingatkah? Terlalu lama Aidan berurusan dengan Gladys, orang yang baru dia kenal, sampai-sampai membuat Sang Mama khawatir dengannya di rumah. Aidan sadar akan hal itu. Makanya waktu Mamanya menelfonnya, Aidan buru-buru pulang. Meskipun saat Mamanya menelfon tadi, dia masih bersama Gladys dan Adita.

Aidan saat ini terlihat lebih mempercepat kemudinya agar sampai di rumah. Urusan Gladys yang masih sakit, dia titipkan lagi pada Adita, sahabat Gladys. Walaupun begitu, Aidan juga tak meninggalkan tanggung jawab. Beberapa menit yang lalu, dia menyuruh Dita untuk menyimpan nomornya agar jika ada yang perlu bantuan, Aidan bisa membantunya.

Entahlah, sejak kapan pria dewasa ini bisa sampai berempati lebih pada perempuan yang baru ia kenal. Tanya hatinya sendiri saja dia tak tahu jawabannya. Bagaimana dia bisa menjawab alasannya? Tapi tak apa. Itung-itung sesekali terlibat bersama perempuan dari pada tak sama sekali sekali di usia yang sudah tak muda lagi dan matang untuk menikah.

"Sampai mana, Sayang?" tanya Ibunya lagi dalam sambungan telepon saat Aidan tengah fokus menyetir mobilnya.

"Ini Ma udah hampir sampai," jawabnya pada Ibunya dengan lembut.

Memang benar. Mobil Aidan saat ini sudah masuk ke area perumahan tempat dirinya tinggal bersama orang tuanya. Sengaja ia membunyikan klakson mobilnya ketika netranya melihat Ibunya berdiri di ambang pintu rumah. Entah, bagaimana bisa Aidan kehilangan sosok wanita paruh baya itu ketika dirinya menikah nanti. Dia tak bisa jauh dari wanita itu. Takut jika terjadi apa-apa, Aidan tak ada di sampingnya, "Aidan," panggilnya.

Aidan cepat-cepat memarkirkan mobilnya dengan rapi sebelum dua kakinya turun dari mobil dan menemui Mamanya yang sedari tadi menunggunya, "Lain kali kabari Mama sampai mana biar Mama nggak khawatir," ungkap wanita paruh baya itu saat melihat Aidan perlahan turun dari mobil hitamnya.

Tangan Aidan mengambil tangan wanita paruh baya itu dan segera mencium punggung tangannya sebelum masuk ke dalam rumah, "Iya. Maaf ya Aidan tadi bikin Mama khawatir," serunya pada wanita itu.

"Tadi bukan Dokter Selena kan yang kenapa-napa? Bukan temen kamu juga? Kok bisa ada orang yang nangis-nangis di jalan? Itu dia kenapa awalnya?" Mamanya menagih cerita lagi tentang siapa yang menangis saat dia menghubungi Aidan tadi.

Aidan tak mungkin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Mamanya. Apalagi dia sudah terlanjur mengatakan pada Mamanya dalam sambungan telepon bahwa dia baik-baik saja tak perlu ada yang dikhawatirkan. Soal wanita yang menangis ketika Mamanya menghubunginya tadi, Aidan terpaksa berbohong bahwa ada orang yang menangis di jalan dan posisinya dekat dengan Aidan. Makanya Mamanya mengira suara itu dari orang yang tak dikenal.

"Enggak. Nggak papa. Aidan juga nggak tau. Masuk yuk! Papa mana?" tanya Aidan yang berusaha mengalihkan pembahasannya agar Mamanya tak mengulik lebih lanjut cerita perempuan menangis itu. Biarkan menjadi angin belaka.

"Udah tidur Papa kamu," ungkap Mamanya saat menyahuti pertanyaan Aidan.

"Udah tidur? Kok Mama belum tidur?" tanya Aidan lembut.

Bibir Sang Mama ikut tertarik sebelum menjawab pertanyaan dari Aidan, "Mama nunggu kamu dari tadi. Di luar tuh udah mau hujan. Makanya Mama khawatir kalau kamu nggak pulang-pulang. Bawa jaket kan tadi? Kalau keluar kemana-mana jangan lupa bawa jaket. Sekarang musim hujan," seru Mamanya menasehati.

Aidan dan Sang Mama melanjutkan langkahnya ke arah dapur. Aidan yang kelelahan dan ingin mengambil segelas air untuk ia teguk sedangkan Mamanya mengambil buah pepaya yang telah terpotong rapi dalam mangkuk untuk diberikan pada anak tercintanya itu, "Tadi pagi Mama kupaskan buah pepaya yang dibeli Mbak Kinan. Kesukaan kamu kan? Nih makan dulu sebelum kamu ke kamar," seru Mamanya.

Bibir Aidan tersungging lebar saat perhatian Mamanya mencuat lagi. Sungguh, perhatian ini selalu dia dapatkan dari Mamanya, "Makasih ya Ma? Nanti Aidan makan. Mama kalau capek, tidur aja dulu. Udah malem."

"Udah pulang, Dan?" pertanyaan itu tiba-tiba terdengar dari seorang laki-laki yang sangat Aidan kenal. Ya, suara Papanya. Ternyata Papanya menyusul ke dapur.

Aidan mengerutkan dahinya ketika melihat laki-laki paruh baya itu duduk di salah satu kursi ruang makan, "Loh? Papa katanya udah tidur? Kok bangun lagi?" tanya Aidan.

Jefri, laki-laki itu melirik istrinya yang ikut duduk di sampingnya. Jefri ikut meneguk segelas air putih yang diberikan istrinya padanya. Saat istrinya itu membenarkan posisi duduknya, tangan Jefri sontak mengelus lembut pucuk kepala wanita paruh baya itu, "Iya tadi tidur bentar soalnya capek lembur. Bangun-bangun Mama kamu nggak ada di samping Papa. Jadinya Papa nyusul kesini. Mama kamu dari tadi nunggu kamu di ruang tamu nggak mau ikut Papa masuk kamar," jawabnya pada anaknya.

"Azka udah tidur?" tanya Aidan lagi pada Papa dan Mamanya.

"Di kamar," jawab Mamanya.

Tangan Mama Ayana kini menyodorkan puding coklat ke arah Aidan dan Jefri suaminya. Dua pria yang dia cintai itu menerima uluran puding dengan rekahan senyum manis yang bertengger di bibir masing-masing, "Ini makan! Puding dari Mamanya Selena tadi kesini. Dia kasih banyak banget puding, Dan! Tante Hapsari emang baik banget ya? Sampai bawa-bawa puding gini waktu kesini," ungkap Mama Ayana.

Papa Jefri mengulum senyumnya saat mendengar ungkapan dari istrinya. Ribuan kalimat yang dia simpan sejak tadi ingin mencuat di depan anaknya. Niat baik dari dalam dirinya ingin dia utarakan pada Aidan saat ini, "Duduk dulu! Papa mau ngomong sama kamu!" serunya pada Aidan.

"Hubungan kamu sama Selena gimana?" tanya Papanya pada Aidan.

Aidan menghentikan makannya saat mendengar pertanyaan itu. Jakunnya naik-turun di sela-sela dia mencerna kalimat dari Ayahandanya, "Hubungan? Hubungan apa?" tanyanya balik.

"Nggak ada hubungan apa-apa, Pa ... Ma!" ungkap Aidan menjawab pertanyaan dari Papanya.

Jefri sebagai ayah ingin meluruskan. Sebagaimana dia dulu juga diluruskan oleh orang tuanya mengenai perkara menikah di usai tiga puluh tahun. Dan sekarang? Anaknya mengikuti jejaknya. Usia matang menjadikannya tak melirik wanita untuk dinikahi.

"Dan, wajar Papa tanya gitu karena usia kamu udah cukup matang untuk menikah. Alasan apalagi yang membuat kamu menunda? Alasan karena kamu takut nggak bisa memaksimalkan berbakti ke orang tua? Alasan takut mengesampingkan orang tua kalau kamu menikah? Coba bicarakan ke Papa!" seru Jefri.

Jefri menatap manik-manik mata anaknya dengan lembut. Mencari celah jawaban dalam mata anaknya. Apa yang sedang anaknya cari sampai belum siap untuk menikah? Tak mungkin kan kasusnya sama seperti dia sewaktu muda? Bukan. Jefri tebak bukan karena itu karena memang kenyataannya Aidan tak pernah mengenalkan satu pun wanita pada dirinya dari dulu sampai sekarang.

"Nak, Papa sama Mama punya kehidupan sendiri. Kamu juga punya kehidupan sendiri. Justru, kalau kamu udah melabuhkan hati kamu ke perempuan yang kamu cintai. Dan kamu memutuskan untuk menikah, kami bangga! Mama kamu berharap seperti itu. Karena emang udah sewajarnya di usia kamu sekarang ini kamu menikah," ungkap Jefri lagi pada Aidan.

"Bahagiakan diri kamu sendiri. Selena perempuan yang Papa sama Mama restui. Perempuan itu sopan, cantik, dari keluarga yang cukup jelas, karirnya bagus. Seorang dokter juga. Papanya Selena juga baik, dia sebagai direktur rumah sakit Antara Putra. Mama dia juga pekerjaannya jelas Dokter Spesialis Paru-paru," Jefri menambahkan alasannya mendukung hubungan anaknya dengan wanita cantik yang dia kenal saat ini. Dan wanita itu menurutnya sangat cocok dengan Aidan.

"Kurang apalagi? Dia menurut Papa sama Mama perempuan yang sempurna. Selena juga anaknya nggak neko-neko. Papa kenal baik dengan keluarganya," tambah Jefri lagi mengungkapkannya di depan Aidan.

Tak hanya Jefri. Ayana sebagai Mama juga benar-benar merestui anaknya menikah  dengan perempuan yang menurutnya baik.  Terlebih lagi, sudut pandang keluarga wanita itu juga jelas. Siapa yang menolak berbesan dengan mereka. Ayana dan Jefri justru membuka lebar pintu rumah mereka untuk keluarga Selena, "Tadi Mamanya Selena kesini juga kasih batik tenun. Papa kamu yang asik ngobrol sama mereka. Ngomongin pasien, ngomongin ini ngomong itu. Sampai tau-tau udah sore," ungkap Ayana menambahi.

"Papa nggak bisa memutuskan. Karena yang menjalani hubungan itu kamu sama Selena. Tapi Papa berharap kamu bisa memutuskan jalan yang baik secepatnya demi kebahagiaan kamu," Bibir Jefri mengembang diakhir kalimat yang dia utarakan. Dia mengharapkan anaknya mencari kebahagiaannya sendiri dengan mencari pendamping hidup, dan perempuan yang direstui adalah anak dari rekan kerjanya. Sama-sama berprofesi sebagai seorang dokter.

"Mama tuh pengen banget kamu nikah, Dan! Mama pengen lihat anak Mama bahagia. Mumpung Mama masih bisa lihat kamu. Pengen nambah cucu," gelak tawa Ayana menggema di ruang makan. Tawa itu yang membuat Aidan ikut tersenyum.

Sejujurnya, Aidan masih berat untuk meninggalkan status lajangnya dengan alasan takut tak bisa lebih optimal melihat Mamanya. Takut tak adil membagi cintanya antara Mama dan istrinya nanti. Masih banyak ketakutan yang lain. Bukan karena dia tak siap masalah finansial dan biologis. Dia hanya tak siap masalah emosional saja.

Tapi jika Mamanya ingin Aidan menikah dengan Selena, apa Aidan sanggup? Dia sama sekali tak ada rasa dengan perempuan itu. Hanya sebatas rekan saja. Tak lebih. Tapi jika menolak, Aidan takut Mamanya kecewa dengannya. Sejatinya, selama Aidan hidup. Dia paling takut mengecewakan Mama tercintanya, "Nanti Aidan pikirkan ya? Mama sama Papa nggak perlu khawatir. Secepatnya. Aidan putuskan masalah ini. Mama bakalan gendong cucu dari istri Aidan nanti," ungkapnya.

"Kalau gitu Aidan ke kamar dulu. Besok-besok kita ngobrol lagi. Aidan mau istirahat. Besok pagi ada jadwal ke klinik," tambah Aidan lagi pamit ke orang tuanya sebelum dia benar-benar masuk ke dalam kamarnya.

Segelas air di atas meja, Aidan teguk dengan pelan sebelum dia beranjak. Sorot matanya yang terlihat lelah ia pejamkan sekejap untuk menetralkan pikirannya. Entahlah, ini sudah kesekian kalinya dia bingung menentukan pilihannya untuk jatuh cinta. Sulit bagi Aidan melibatkan perempuan dalam perasaannya. Mungkin, Aidan adalah tipikal laki-laki yang sekali mencintai perempuan dia tak akan bisa lepas dengan perempuan itu. Tapi dia tak mudah jatuh cinta semudah membalikkan telapak tangan.

Aidan melangkahkan kakinya dengan langkah gontai. Kakinya sedari tadi lelah melakukan aktifitas di luar rumah. Ingin cepat-cepat merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Saat masuk ke dalam kamarnya, langkah Aidan sengaja dia percepat. Seharusnya dia langsung ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tapi tanpa aba-aba tubuhnya ingin dia dudukkan sejenak di tepi ranjang sembari mengecek ponselnya.

0812xxxxxxx
Ini saya Pak, Dita. Gladys udah mau makan dikit-dikit. Tapi dikit banget. Makasih banyak obatnya tadi Pak. Makasih juga udah dipesenin makanan yang banyak.

Bibir tipis laki-laki itu tersungging saat membaca pesan singkat dari nomor yang belum dia simpan di kontak ponselnya. Jemarinya kemudian mengetikkan sebuah balasan untuk Dita.

Aidan
Sama-sama

Usai membalas pesan itu, Aidan merangkak menggeser tubuhnya untuk bersandar di punggung ranjang. Dia menyandarkan tubuhnya dengan seksama, sekedar membuang letihnya sebelum dia mandi.

Mama tuh pengen banget kamu nikah, Dan! Mama pengen lihat anak Mama bahagia. Mumpung Mama masih bisa lihat kamu.

Helaan napas keluar dari mulutnya saat kalimat dari Sang Mama terngiang lagi di kepalanya. Sampai kapan dia terjebak dengan ketakutannya untuk menikah. Atau mungkin, dia sebenarnya juga ingin menikah hanya saja dia belum siap mencintai perempuan dengan serius untuk dia nikahi.

Ketika tangan Aidan memindahkan ponselnya dari saku kemejanya ke atas nakas, tangannya tak sengaja menyenggol sebuah buku yang tak asing baginya. Oh iya, buku itu milik Gladys yang sempat ketinggalan di meja belajar Zio. Dan belum sempat dia kembalikan.

"Buku ini," gumamnya.

Aidan tergerak untuk membaca lembaran demi lembaran buku itu. Tak ia sangka, kemarin dia membacanya sampai pertengahan halaman, dan sekarang dia membacanya lagi lanjutannya.

Halaman 25

Pa, Gladys kangen. Kangen makan bareng di ruang tamu. Kangen diajarin main catur sama Papa. Meskipun Gladys gak paham-paham permainan itu, tapi Gladys seneng.

Pa, tau nggak sih Pah yang Gladys takutkan tiap malam. Gladys takut Mama nyusul ninggalin Gladys. Terus Gladys sama siapa Pa? Papa pernah bilang sama Gladys, Mama dulu pernah kecelakaan berat waktu Gladys masih belum lahir di dunia. Terus untungnya Tuhan masih menyelamatkan nyawa Mama sampai Mama bisa hidup. Tapi kenapa waktu Papa kecelakaan Tuhan nggak bisa menyelamatkan nyawa Papa?

Halaman 26

Info Loker Ngab! Kerja cuma satu bidang doang ternyata gak cukup buat biaya di Jakarta. Belum lagi kudu bayar ini itu. Hadeh! Ngeluh lagi manusia modelan gue. Bisa nggak sih ini, cuma leha-leha doang tapi duit jatuh 1M pas kita bersin :)

Membaca dua halaman saja membuat Aidan menerbitkan lekukan bibirnya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, sedikit heran pada perempuan penulis buku itu. Kok ada perempuan yang mood-nya tertulis di satu buku diary. Bukankah sekarang jamannya sosial media yang bisa menuliskan banyak cuitan hati? Kenapa dia masih berkubang dengan buku diary?

Ting!

Dering singkat notifikasi dari ponsel Aidan mencuat. Aidan lekas menutup buku itu dan beralih menyapa ponselnya lagi. Dia membuka layar kunci ponselnya dan membaca siapa yang tengah mengirim pesan malam-malam seperti ini.

Selena
Besok bisa ketemu? Mau kasih sesuatu titipan dari Mama buat Tante Ayana.

Bersambung...
[Bentar lagi konflik]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro