Chapter 6
Chapter 6
*
♡♡♡ Happy Reading ♡♡♡
*
Mobil dimanuver ke kanan, berbelok ke pagar tinggi menuju kediaman Vay. Setelah mobil berhenti di depan rumah, aku ikut turun berbarengan dengan Vay.
"See you at school, Vay. Masuk sana," ucapku, membuat Vay yang tadinya berjalan menjadi berhenti.
"Gue pikir lo juga masuk. Kalau gitu ngapain ikut turun?"
Aku meletakkan telapak tanganku di atas kepala cewek itu.
"Gue mau pastikan kalau putri kodok gue masuk ke dalam rumah dengan selamat." Ucapan alayku direspons desisan oleh Vay.
"Dih, geli banget. Tapi serius, mampir dulu, lah. Minimal minum, kek."
Meskipun enggak ada salahnya menerima tawaran Vay, aku tetap menolak kemurahan hati itu.
"Kalau gue mampir, artinya gue harus lihat wajah lo lebih lama lagi. Capek gue, udah seharian ditempelin sama lo," candaku. Aku langsung memasang perisai dari tangan untuk melindungi diriku dari pukulan Vay.
"Bener-bener, ya, lo. Emangnya selain gue, lo bisa temenan sama siapa, hah?" Vay mengakhiri serangannya dengan mendorong tubuhku.
"Ya udah, pulang sana. Bye, Ken." Vay melambaikan tangannya, enggak, lebih tepatnya mengibas tangan mengusirku pergi.
"Oke, oke gue cabut. Bye, Princess. Gue jemput besok pagi."
Aku masuk ke mobil, lalu kendaraan roda empat ini kembali berjalan di sepanjang jalan raya yang disoroti lampu-lampu jalan dan dikelilingi gedung pencakar langit yang kehadirannya bikin sumpek kalau dilihat di siang hari. Setelah beberapa menit dihabiskan di perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah. Sebelum masuk, aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Rudi karena sudah mau repot mengantar aku, Vay dan Mio main sampai hari sudah gelap.
Aku masuk ke rumah dan enggak kaget sewaktu merasakan ketidakhadiran manusia di lantai bawah. Jam sudah menunjukkan waktu untuk beristirahat, pasti semua anggota keluargaku sudah di kamar masing-masing.
*
Di pagi hari, aku harus bangun lebih awal dari semua orang. Berguna memenuhi tugas yang bahkan bukan kewajibanku, yaitu menjemput Vay dari rumahnya. Awalnya aku berencana bangkit dari kasur 15 menit lagi, namun aku menyadari kalau aku melalaikan waktu artinya aku bakal telat datang ke goa Vay. Enggak ada jaminan Vay bakal sedia dengan seragamnya sewaktu aku sampai di rumahnya nanti.
Aku mempersiapkan peralatan untuk pelajaran di sekolah. Setelah selesai dengan semua urusan di rumah, aku menuju parkiran mobil tempat Pak Rudi menunggu untuk mengantarku ke rumah Vay. Di kediaman Vay, alangkah kagetnya aku mendapati cewek itu enggak sedang ngorok di kamarnya. Vay sudah rapi dengan seragam hari Selasa dan dia sedang menyantap sarapan di meja makan.
"What a surprise," ucapku sesaat setelah melihat Vay. "Besok-besok lo gini juga, ya. Supaya gue enggak harus kurangin jatah tidur di pagi hari untuk bangunin lo doang."
Merespons ucapanku, Vay bertingkah melebih-lebihkan.
"Utututu. Pangeran kodokku pasti belum makan karena harus jemput gue. Nih, aaa—" Vay menyodorkan roti tepat di depan wajahku. Enggak butuh berpikir lama buatku untuk melahap roti itu.
"Tapi tumben banget lo udah ready pagi-pagi," tanyaku, seraya membersihkan remah roti di sudut bibir.
"Seriously? Lo se-penasaran itu? tu bukan hal yang harus banget lo pertanyakan. Yuk, berangkat aja, lah."
Perjalanan menuju sekolah cukup lenggang, dikarenakan kami berangkat lebih cepat ketimbang kemarin.
"Vay. Hari ini kelas olahraga. Lo ada bawa bajunya, 'kan?
"Ada. Bahkan gue udah pake kaosnya, dilapis sama kemeja." Vay menarik sedikit ujung pakaiannya.
"Gak sekalian celananya lo pake?"
Vay melirik. "Kayak orang tolol, dong. Udah pake rok pendek, masa di dalemnya pake celana training panjang."
~
Aku dan Vay baru kembali dari kantin. Begitu memasuki kelas, pandanganku tertuju pada Mio yang kesuramannya tertangkap langsung oleh radarku. Aku hendak menyapa cowok itu, namun tindakanku urung ketika Vay sudah melakukannya lebih dulu.
"Mio!"
Sosok yang dipanggil merespons kikuk.
"A—apa?"
"Lo mau ke mana?" Vay bertanya.
"Ma—mau ganti pakaian."
"Ck. Kenapa lo nggak ajak kita? Kan, bisa bareng." Vay berdecak heran, seakan ganti baju berbarengan dengan cowok adalah hal yang lumrah untuknya.
Aku menyadari betul kalau Vay dan Mio enggak bisa satu frekuensi-atau mungkin untuk saat ini, sehingga jadilah aku menengahi dua bocah itu supaya Mio enggak tersiksa lebih lanjut.
"Heh. Lo jangan gitu, lah. Kasihan anak orang lo kasarin mulu," ucapku, lalu merangkul bahu Mio dan mengajaknya pergi keluar kelas.
Aku hendak pergi ke toilet untuk mengganti seragam hari Selasa ke pakaian olahraga. Setelah aku dan Mio masuk ke toilet, Vay sempat kebablasan mengikuti kami ke toilet cowok.
"Emang si Vay, rada-rada banget. Enggak kebayang kalau dia lahir jadi cowok beneran," kataku. Namun, ucapanku enggak direspons oleh Mio.
"Mio."
"MIO." Aku memanggilnya sekali lagi dan menepuk pundaknya. Kalau ini Vay, mungkin sudah ku tempeleng kepalanya.
Setelah kurasa jiwa Mio kembali ke tempatnya, aku bertanya memastikan. "Lo nggak apa-apa, 'kan?"
Dia menggeleng. "Nggak. Nggak apa-apa."
"Oh, syukurlah. Gue pikir lo kerasukan," ucapku asal. Entah mataku yang salah atau tidak, melalui pantulan cermin bisa kulihat raut wajah kesal Mio terhadap ucapanku barusan.
Aku menggantung pakaian olahraga pada cantelan di toilet. Setelahnya aku melepaskan tiap-tiap kancing seragamku, lalu ketika aku hendak membuka total kemejaku, Mio berteriak histeris.
"AAAA."
Aku menutup kembali tubuhku dengan kemeja yang sudah enggak terkancing, lalu mendelik ke arah Mio.
"Lo kenapa teriak gitu? Lo nggak ganti baju?" tanyaku sebal.
Orang yang kutanyai malah melongos ke dalam bilik toilet. Entah kenapa aku seakan yang jadi orang jahatnya di sini.
~
Aku sudah selesai mengganti bajuku, tapi Mio belum sama sekali. Aku membatin kenapa cowok itu aneh banget. Aku bakal bilang tingkahnya yang menjerit barusan itu menggemaskan, kalau saja dia cewek. Tapi ini cowok. Memikirkan cowok menggemaskan langsung membuatku merasa geli.
Kunci salah satu bilik terdengar dibuka, Mio keluar dan ia sudah mengenakan pakaian olahraganya. Aku enggak bisa menahan tatapan penuh selidik ke seonggok daging hidup itu.
"Udah selesai?" Aku bertanya yang ditanggapi anggukan oleh Mio.
Aku berjalan mendekat ke arah cowok itu, lalu mendekatkan wajahku untuk menyelidiki anak ini lebih lanjut.
"A—ada apa?"
"Lo ... aneh." Aku menarik wajahku menjauh dari muka Mio.
Wajah Mio terlihat bingung, dia pasti berpikir kalau aku lah yang aneh di sini.
"Gue nggak mau bilang ini, tapi lo gemesin ... ngingetin gue sama ponakan cowok gue yang masih kecil. Padahal baru masuk TK, tapi dia udah nggak mau lagi gue mandikan."
Aku teringat anak sepupuku yang selalu menempel padaku tiap dia main ke rumah. Wajarlah kalau aku menganggap Mio menggemaskan karena dia mirip Freddy-ku yang imut. Namun, masih ada yang mengganjal dari sosok Mio ini. Aku menelengkan kepalaku seraya berpikir.
"Tapi, kenapa, ya. Gue merasa nggak asing sama lo? Apa kita pernah ketemu sebelumnya?"
*
♡♡♡ To Be Continued ♡♡♡
*
Jika suka, berikan vote dan komentarnya. Thanks ♡
15 Maret 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro