Chapter 12
Chapter 12
***
♡♡♡ Happy Reading ♡♡♡
***
Perasaan dongkolku memuncak sewaktu melihat tingkah Mio yang menurutku terlewat lembek. Aku meletakkan kedua jari di pangkal hidung, ingin rasanya berteriak pada bocah cengeng ini kalau bukan dia saja yang sakit di sini.
Aku menarik tangan Mio dan memaksanya duduk, lalu aku mulai membersihkan kotoran yang ada di tubuhnya dengan handuk basah. Berulang kali aku mendengar suara Mio yang menahan tangis, tapi aku pura-pura enggak dengar dan membiarkan suara itu apa adanya.
"Ck, kan sudah gue bilang lo langsung pulang. Lo gak dengerin ucapan gue, jadi begini 'kan?" kataku.
Mio enggak merespons, dia masih sibuk menahan air mata dan ingusnya supaya enggak keluar. Di saat aku masih berurusan dengan Mio, Vay datang.
"Ken. Pinjem baju lo, dong. Seragam gue kotor banget, nih."
Aku meletakkan handuk di baskom, lalu bergerak menuju kamar untuk mencari pakaian ganti buat Vay dan Mio sekalian. Aku mengacak lemariku, mencoba menemukan baju yang ukurannya lebih kecil untuk dipinjamkan pada dua orang itu. Ketika aku sudah menemukan pakaian untuk Vay dan Mio, aku menatap pakaian yang kukenakan, seragam putihku dipenuhi jejak-jejak kotoran. Sebelum keluar dari kamar, aku mengganti bajuku lebih dulu.
Aku keluar dan mendapati Vay dan Mio sedang mengobrol, walau kelihatannya yang sibuk nyerocos cuma Vay seorang. Aku memberikan pakaian kepada Vay dan Mio. Vay ganti di kamarku. Sementara Mio ganti di ruang tamu, aku yang paksa, dia harus berhenti bersikap kayak cewek kena intip tiap kali ganti baju di depan laki-laki.
Mio sudah selesai mengganti pakaian. Wajahnya setengah merengut karena tadi aku menertawakannya sebab celana kedodoran yang dipakainya melorot.
Vay datang dari kamarku, mata cewek itu seketika berbinar sewaktu melihat Mio. Lagi-lagi, aku enggak mengerti obsesi berlebihannya pada Mio.
"Wah! Lucu banget lo, Mi," ucap Vay antusias, lalu cewek itu mendaratkan ciuman di pipi Mio. Aku terkekeh melihat apa yang kusaksikan barusan.
"Ken. Gue laper. Pesenin makanan sana," kata Vay.
Aku mengambil selembar brosur dari laci, lalu meletakkannya di atas meja. Vay menyambar brosur tersebut dan langsung membuat pilihan pesanan yang diinginkannya. Sementara Mio sibuk mengamati Vay, raut wajah yang segan dan rendah diri membuatku enggak ingin menjadikan Mio sebagai orang yang terpojok.
"Pesan aja yang lo mau, soal harga gak usah lo pikirkan. Vay yang bakal bayar semuanya," ucapku, barangkali bisa mengurangi rasa sungkan Mio.
Mio enggak langsung merespons, dia melirik brosur di tangan Vay dan berucap, "Nggak apa. Aku nggak lapar."
Vay yang mendengar kalimat itu pun menoleh. "Mi, lo harus pesan. Ini enak loh, gue yang bayarin."
Mio akhirnya mengindahkan ucapan Vay, namun apa yang dilakukan Mio enggak memberi kepuasan kepada Vay.
"Kok pilih yang ini?" Vay berucap enggak terima. "Kemurahan ini, Mi. Pasti dapat secuil dan rasanya nggak seberapa." Vay lalu merangkul Mio sok akrab, cewek itu membagi brosurnya supaya bisa dilihat bareng olehnya dan Mio.
"Mau, ya, yang ini?" kata Vay seraya menunjukkan salah satu menu.
"N-nggak usah, Vay. Itu kemahala-"
"Bilang i-y-a." Mata Vay melotot, dibarengi dengan kalimat penegasannya barusan, Mio pun setuju.
"O-oke, Vay. Makasih," balas Mio takut-takut.
"Gitu, dong. Lo harus makan kayak yang gue pilihin, biar nambah protein di badan cungkring lo itu."
Aku melirik ke Vay, ucapannya barusan membuatku ingin merespons sinis.
"Tau apa lo soal pentingnya protein? Lo taunya kan yang penting makanannya enak. Nggak usah sok jadi ahli gizi." Sadar akan risiko perkataanku, aku langsung membuat perisai dari tangan, tentu saja untuk membentengiku dari serangan Vay.
Makanan yang kupesan online bakal tiba dalam setengah jam, jadinya aku dan Vay memutuskan untuk main PS. Ralat, lebih tepatnya menemani Vay main PS. Vay terlewat jago main dan aku selalu kalah telak, hal itu bikin ego cowokku turun, sehingga aku enggak pernah mau main PS kecuali benar-benar dipaksa.
"Gimana? Gue menang, kan? Haha." Vay berucap senang.
"Iya, iya. Gue tau lo jago," kataku setengah hati.
Vay menegrucutkan bibir mengejek. "Utututu. Nanti kakak ajarin, ya cara mainnya."
Aku enggak mau kalah sarkas. "Baik banget putri kodokku mau ajari aku. Nanti aku ajari kamu biologi juga, ya, supaya nggak goblok di kelas."
Aku menertawakan sikap Vay karena ucapanku barusan, lalu pandanganku jatuh pada Mio, bocah itu sudah tepar di atas sofa. Mio jarang bicara, jadi aku sering lupa kalau dia ada.
"Apa?" tanya Vay. Aku mengedikkan kepala ke arah Mio.
"Gampang banget tidur anak itu," kataku seraya berjalan mendekat ke arah Mio.
Mio bisa kubiarkan saja tidur di sofa sampai pagi hari, tapi mengingat dia di sini sebagai tamu, bakal lebih masuk akal kalau aku yang tidur di sofa dan Vay tidur di karpet. Ya, itu lebih baik.
Aku menggotong Mio ke kamarku. Aku melemparkan, maksudnya menempatkannya di atas kasurku dan menarik selimut untuk menutupi tubuh anak itu.
Sebelum pergi, aku sempat memperhatikan wajah Mio. Ada sesuatu yang enggak pas dari dia. Sikap dia yang lembek dan cengeng membuatku berpikir kalau dia lebih mirip anak kecil atau perempuan.
Perempuan, ya?
Di tengah aku yang bergelut dengan pikiranku, secuil memori masa kecil mampir dan membuatku mengilas balik masa lalu.
*
Aku sedang bermain di taman belakang rumahku. Aku mencabuti beberapa bunga, mama mungkin bakal marah karena ini bunga yang dikasih nenek, tapi nenek enggak pernah mempermasalahkannya.
Setelah selesai dengan urusanku, aku bergegas menuju tempat Mimi yang sibuk mengamati kupu-kupu.
"Mimi!" Yang dipanggil enggak menjawab.
"Mimi!" Mimi menoleh, matanya masih berbinar kagum karena kupu-kupu yang diamatinya barusan.
"Ken!" Mimi malah meneriaki namaku balik. "Kupu-kupunya cantik banget. Aku belum pernah lihat yang kayak gini." Mimi menunjuk kupu-kupu di balik badannya.
"Oh, ya? Sering-sering ke mari supaya kamu bisa lihat terus," ucapku antusias.
Setekahnya, aku menggaruk pipiku malu-malu, sebelah kakiku kugesekkan di atas permukaan tanah.
"Mi-mimi."
"Hm?"
"Close your eyes!"
Mimi menelengkan kepalanya, dia kelihatan bingung. "Kloz yor ais? Itu apa? Aku nggak ngerti."
"Itu artinya tutup mata kamu, Mimi," jelasku.
Mimi menuruti kata-kataku, dia memejamkan mata. Aku mengeluarkan bunga dari balik badanku, lalu aku menyelipkan salah satu bunga di telinga Mimi.
"Open your-" Aku mengurungkan ucapanku. "Maksud aku, buka mata kamu, Mimi!"
Mimi membuka matanya, bunga di samping kepalanya membuatku bangga karena dia jadi kelihatan semakin cantik.
"Wah! Makasih, Ken. Omong-omong, yang kamu ucapin itu tadi bahasa apa, sih? Kloz yor ais?"
"Itu bahasa Inggris, Mi. Kamu nggak belajar itu di sekolah?" Aku bertanya penasaran.
"Aku juga belajar itu, kok. Tapi aku nggak pernah ngerti. Kamu hebat banget bisa tau."
"Aku sekolah di sekolah internasional, jadi tiap hari harus pakai bahasa Inggris." Ucapanku disambut tepuk tangan oleh Mimi, seolah yang kukatakan barusan bermakna luar biasa untuknya.
"Ken keren, ya. Kamu punya rumah gede, sekolah di tempat yang pakai bahasa lain, kamu juga baik. Ken... jangan tinggalin Mimi, ya."
Aku enggak menduga ucapan terakhir Mimi, kenapa pula aku harus tinggalkan dia?
"Nggak bakal, dong. Janji jari manis." Aku mengarahkan jariku ke depan Mimi, lalu gadis itu menautkan jarinya dengan milikku.
"Janji, ya."
*
Aku menggelengkan kepala, terkadang memori zaman dulu datang enggak tahu tempat, sekarang kan aku lagi enggak pengen mengenang masa lalu. Meskipun begitu, Mimi apa kabar, ya sekarang? Aku enggak banyak ingat tentang kenanganku dan dia, aku juga lupa alasan aku dan dia enggak pernah main bareng lagi.
Sadar terlalu lama merenung, aku keluar dari kamar, menyusul Vay yang kedengarannya sudah menyantap makanan duluan.
Sewaktu aku dan Vay selesai makan malam, cewek itu langsung kembali ke rumahnya, dia bersikeras supaya enggak perlu kuantar.
Beberapa menit setelahnya, aku mandi dan bergabung dengan Mio di meja makan. Akhirnya dia sudah sadar dari bunga tidur. Mio melahap makanan tanpa ragu. Aku membatin, di mana tadi bocah yang sok enggak mau dipesankan makanan.
Berkali-kali pesan teks datang dari ponselku, pesannya enggak terlalu penting, tapi tetap harus diladeni. Aku membalas tiap pesan yang masuk. Rupanya kesibukan kecilku mengundang rasa penasaran orang yang enggak diduga.
"Pacarmu?"
Aku menoleh, rupanya anak ini bisa kepo juga, ya.
***
♡♡♡ To Be Continued ♡♡♡
***
Jika suka, berikan vote dan komentarnya. Thanks ☆
26 Maret 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro