6. Pacaran Sehat?
"Surabaya?"
Hal terakhir yang kubutuhkan adalah mata Saga yang menyipit fokus ke arahku setelah mendengar suara lantang Kemi.
"Ya. Sesekali, training di Surabaya enggak masalah kan? Lagian juga, kata Pak Arven itu buat level partner, kok. So, pasti bergengsi."
"Wih... jadi kamu bakal naik jabatan dong, Mon. Asyik," celetuk Lanti. "Traktir novel dong. Ada novel yang lagi jadi whislist aku nih, Mon."
"Boleh, asal genre thriller atau misteri gitu," sahutku cuek.
Kubuka buku agendaku, kemudian teringat sesuatu yang fatal sekali.
Aku belum mengetahui alamat Danu di Surabaya.
"Lo enggak punya rencana tertentu pas training di Surabaya, Mon?"
Ugh!
Mata yang tadi sibuk mengutak-atik rubik terbaru itu kini terbuka lebar. Menunggu jawaban. Kemi mengerutkan dahinya, ikut menatapku tajam.
"Surabaya?" Lanti menggumam. "Oh!" Gadis berambut sepunggung itu memutar badan. Mulutnya membulat tak percaya. "Danu asli Surabaya, bukan sih?" lanjutnya.
Kiamat!
"Ehem!" Dua deheman di satu waktu, tanda aku tak punya pilihan lain.
"Iya, keluarga Danu di Surabaya," cicitku pelan.
Percuma menghindar, selama Saga berada di ruangan ini berkelit sama saja dengan cari mati. Bocah tengik itu pasti punya cara untuk mengorek alasanku sampai aku harus mengakui. Dengan ataupun tanpa senang hati.
"Dan persisnya apa rencana lo?" todong Kemi. Rambut ombre pendeknya serasa menusuk-nusuk wajahku. Gatal rasanya kalau diinterogasi begini.
"Gue... berencana ngunjungin keluarga Danu di sana."
Tiga suara yang kuharapkan hilang mendadak. Saga memijit pelipis, Kemi menggigit bibir dan Lanti mencopot serta mengusap kacamatanya. Memangnya kenapa? Apa yang salah?
"Danu tahu?" tanya Saga, mungkin setelah dua menit berpikir.
"Tahu."
"Tanggapannya?" kejar Lanti.
Aku mengangkat bahu. "Dia enggak bisa nemenin," rutukku sebal. "Ya, lo lo kan tau, gue sengaja ambil cuti Kamis Jumat buat rencana ini. Tapi, Danu malah enggak bisa cuti."
"Enggak bisa apa enggak mau?" selidik Kemi.
"Kem!" Lanti berujar gusar.
"Menurut lo, Ga?" Kemi berbalik arah. "Lo kan cowok."
Saga menyugar rambutnya. "Ya, gue pikir wajar aja. Jabatan Danu kan lumayan. Dia enggak mungkin cuti di saat peak season kan?"
"Iya, sih," jawabku seraya menggigit lidah. "Tapi—"
"Dan lo, tetep kekeuh gitu ke rumah Danu tanpa dia?" berondong Kemi.
"Ya, rencananya begitu. Memangnya salah?" tanyaku sebal. Aku mengalihkan pandang dari delikan Kemi, meraih ponselku yang bergetar. Pesan singkat dari Gischa, rekan kerja Danu, yang kutunggu-tunggu masuk. Alamat Danu tertera lengkap di situ. Nah... inilah yang disebut dengan semesta mendukung. Tanpa harus bersusah payah dan panjang alasan, Gischa mau mengintip file personal Danu dan memberitahu tempat yang harus kutuju nanti. Kyah!
"Kamu enggak ngerasa ini terlalu... memaksa?" ujar Lanti pelan.
Aku mendengak, menemukan mata berkabut yang dibingkai kacamata hitam. "Maksud lo?"
"Apa ya... aku ngerasa kamu harusnya nunggu Danu untuk membawa kamu ke keluarganya. Bukannya datang tanpa Danu," lanjut Lanti meremas tangannya, "aku takut keluarganya Danu gimana gitu. Siapa tahu adatnya beda."
Halah! Aku nyaris tertawa. Apa Lanti selama ini enggak nyadar? Makhluk berambut ombre di depannya itu berasal dari suku yang terkenal halus. Solo. Tapi, sebaliknya? Gadis cuek dan urakan itu malah mengganti cat rambutnya tiga bulan sekali. Dan, Lanti sendiri, perempuan asal Kalimantan dengan suku yang terkenal keras malah sangat anggun. Mungkin iya, bagi sebagian orang, masih banyak yang perilakunya sesuai kepribadian suku identitas mereka. Tapi, melihat kedua sahabatku ini?
"Lalu, kenapa memangnya kalau mereka orang Jawa?"
"Biasanya ada tatakrama atau apa gitu, Mon," jelasnya takut-takut.
Oke! Aku segera mencatat kata-kata itu di buku planner-ku.
To do list: Cari bagaimana cara menaklukan calon mertua dari Suku Jawa?
[ Preferensi ]
"Jadi berangkat ke Surabaya, Yang?" Danu memecah keheningan di antara kami. Apa dia enggak paham bahwa aku lagi mengingat-ingat tips yang diberikan Google tadi? Yang paling aku ingat hanya 'berpikir sebelum berkata-kata' dan 'memasak makanan daerahnya'. Gajah di pesawat! Gawat. Aku harus sesegera mungkin mengunduh video memasak di Youtube atau meneror Lanti. Setidaknya, untuk urusan dapur Lanti bisa lebih dipercaya ketimbang Kemi apalagi Sa—
"Yang?"
"Eh?" Aku tergeragap.
"Kamu jadi training di Surabaya?" ulang Danu. Astaga, aku tadi belum menjawab pertanyaan dia, ya?"
"Jadilah. Approval udah turun, kok," jawabku. "Lagian ya, Nu, training itu nanti buat level partner. Kalau aku bisa ikutan kan investasi banget!" jelasku berapi-api. "Kata Pak Arven...," aku sengaja menggantung kata biar dramatis, "...kemungkinan tahun depan aku sudah menduduki posisi itu," ungkapku.
Senyum Danu mengembang. Dia menoleh ke arahku. "Hebat! Keren kamu, Yang," pujinya.
"Iyalah, pacar siapa dulu dong?" godaku.
Danu mesem-mesem. Aku beritahu, ya, Danu itu bukan tipe lelaki yang bikin kalian memutar kepala hanya karena sayang melewatkan sosoknya. Namun, kalau sedang mengulum senyum kayak gini, Danu itu tipe yang manis banget. Minta dihalalin pokoknya.
"Jadi, di Surabaya sampai kapan?"
"Jumat pulang."
"Selisih, ya. Jumat sore aku terbang."
Ugh. Lagi-lagi membuat aku teringat satu hal. "Kamu beneran enggak bisa cuti? Pulang Kamis sore gitu. Jadi Jumatnya kita sama-sama di Surabaya," pintaku.
Danu menghela napasnya sebagai jawaban. "Ini aja aku minta dispensasi pulang ontime tiap Jumat, Yang. Kerjaan lagi padat-padatnya. Enggak mungkin aku cuti."
"Sehari doang, Nu," bujukku lagi.
"Yang, kan kamu yang bilang, kalau mau sukses kita harus loyal sama pekerjaan. Kenapa sekarang kamu ngajak ngelanggar?" tanyanya retoris. "Kamu yang berkali-kali bilang, kalau kerja itu bukan cuma butuh komitmen dan konsisten, tapi juga persisten, right?"
Mau enggak mau, ya, aku ngangguk. Salah kamu sih, Mon, pake acara ceramah soal menyongsong kesuksesan sama Danu, mengajari Danu soal target pencapaian yang harus dicapai, sampai langkah-langkah spesifik yang harus Danu lakukan. Iya, kalian enggak salah baca. Jaman pedekate kami memang se-absurd itu. Makanya, aku yakin sama Danu, karena dia tipe lelaki yang mau diajak maju.
"Tapi, aku tetap ke rumah keluarga kamu, ya?" pancingku.
"Hm."
"Kenapa hm? Enggak boleh?" tuntutku langsung. Sumpah, ya, di mana pengertian Danu ini? Aku usaha mati-matian dalam hubungan ini respons dia cuma hm? Enggak support sama sekali?
"Apa enggak sebaiknya nunggu aku di sana?" jawabnya, membuat dahiku otomatis mengernyit. "Atau kamu yang nunggu sampai weekend? Kita sama-sama?"
"Aku enggak bisa. Weekend itu kantor ada gathering di Bali. Jumat aku kudu nyusul," terangku. "Lagian, kenapa harus nunggu kamu?"
"Ya... aku pengin aja memastikan situasi di rumah enak dulu, baru bawa kamu," jelasnya. "Ibu lagi pusing—"
"Kalau sudah ketemu aku, pasti pusingnya hilang," serobotku.
Danu geleng-geleng kepala. "Bukan gitu, Ibu itu—"
"Aku janji belajar masak sama Lanti. Kamu tenang aja. Pas di sana aku akan menjelma jadi calon menantu idaman," gurauku seraya tertawa. "Kamu cukup kasih tahu Ibu kalau aku mau datang."
Danu memijit pelipisnya. Itu tanda dia pusing atau lagi mikir sih? Semoga yang kedua, ya.
"Kamu ini sesuatu, Yang. Di mana-mana biasanya cewek takut datang sendiri ke rumah keluarga cowoknya. Didesak baru mau. Kamu semangat banget." Entahlah itu Danu sedang menyindir atau apa, ya? Bodo amat.
"Karena mereka itu enggak ada persiapan, Nu. Mereka datang dengan tangan kosong. Enggak ada strategi, enggak ada trik."
"Emangnya kamu pikir ini perang?" tanya Danu bingung.
Aku mengibaskan tangan. "Bukan, maksud aku, menghadapi klien aja ada jurus-jurusnya. Nah, gitu juga menghadapi Ibu kamu. Percaya deh, Ibu kamu bakal nerima aku," ucapku optimis. Jelas saja, di benakku sudah tersusun berbagai macam strategi. Di antaranya: bertingkah anggun, berpikir sebelum berkata, banyak mendengarkan saja, mengangguk antusias dan bantu-bantu memasak. Kelar!
"Menaklukkan Ibu enggak semudah itu," putusnya. "Tapi, pesanku, apa pun yang terjadi nanti, kalau hasilnya enggak sesuai, jangan dimasukkin ke hati."
"Maksudnya?"
"Ibu tipe perempuan yang bicara blak-blakan," jelas Danu. "Dan kamu cukup iya-iyakan saja. Sisanya biar aku tangani."
"Oke! Berarti kamu setuju ya, aku ke rumah kamu?"
"Memangnya aku masih punya pilihan lain?" tanyanya retoris.
[ Preferensi ]
"Kalo gue bilang, Mona sama Danu itu enggak pacaran." Celetukkan santai Saga memulai sore kami yang cerah. Lelaki penikmat kopi nomor satu di kantor itu meletakkan secangkir cairan pekat di mejaku. Apa lagi maunya kali ini? Terakhir kali dia menyogokku dengan minuman berkafein ini adalah saat aku harus pura-pura menjadi pacar centilnya agar dia bisa memutuskan hubungan dengan cewek yang menurut dia overprotektif. Ya... Saga memang kekanakkan begitu.
"Maksud lo, Ga?" tanyaku.
"Yah... bisa dibilang, Mona lagi pacaran sehat, gaya anak sekolahan," lanjutnya. Kata-kata terakhir itu pula yang membuat Kemi dan Lanti menarik kursi ke kubikelku.
"Hm?"
"Gue meragukan kemampuan cipokan Danu yang kata Mona sembilan itu," tegasnya melempar bom. "Lo liat aja, pacaran mereka cuma antar jemput pulang pergi kerja. Malam minggu ditinggal pulkam ke Surabaya. Jauh dari ena-ena."
Bibirku mengerucut dan Lanti menyambar sebelum aku membuka suara. "Saga, ih! Memangnya pacaran harus begituan? Kalau Mona nyaman-nyaman aja begitu, kenapa kamu yang rese?" bela Lanti.
"Nyaman?" gumam Saga pada dirinya sendiri. Licik. "Kalau dia nyaman, enggak bakal maksa diajak nonton. Lo tau, Lan, kuping gue jebol denger dia curhat soal Danu yang pulang tiap weekend." Kampret! "Ya, enggak, Mon?"
"Maksud lo apa, sih, Ga?" tanyaku kesal.
Lelaki itu menyeruput kopi yang belum kusentuh. "Gue cuma pengin lo nyadar, kalau enggak semua yang lo rencanain itu mulus kayak paha cewek-cewek Sunda. Dan gue cuma bisa bilang, nikmati aja, ini pilihan lo," jawabnya sambil mengeloyor pergi.
[ Preferensi ]
"Harus banget pulang tiap weekend?" tanyaku pada Danu. Lelaki itu mengerjapkan matanya, mungkin kemasukan debu.
"Kok tiba-tiba bahas ini?" Danu balik bertanya. Bukan tiba-tiba, sudah dari kemarin-kemarin mau bahas ini. Semua pembicaraan ini gara-gara aku kesal dengan kata-kata Saga tadi sore. Lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau, mobil melaju perlahan.
"Ya... apa enggak bisa dua minggu sekali, gitu?" tawarku.
"Permintaan Ibu, Yang, aku enggak enak nolaknya. Kenapa memangnya? Bukannya kemarin kamu setuju-setuju aja?"
Huh! Enak saja bilang aku setuju. Sudah kubilang, di balik anak yang perhatian, ada hati pacar yang tergores amarah.
"Yang bilang setuju, siapa?" dengusku. "Aku enggak ada ngomong gitu."
"Terus? Kenapa?"
Bilang jujur enggak, ya?
"Ya... apa, ya. Menurut aku, ini kan acara Mbak Dinara. Kenapa harus kamu yang repot bolak-balik Surabaya ngurusin ini itu," tambahku dengan nada kesal.
"Sudah aku bilang, aku anak laki-laki satu-satunya, dan—"
"Aku tahu, emang enggak bisa Mbak Dinara ngurus sendiri, atau calon lakinya bantu-bantu. Enak banget, nikah tinggal datang doang," gerutuku.
Danu mengerutkan dahinya. "Kenap—"
"Gini, lho. Ini kan persiapan acara Mbak Dinara," Danu mengangguk, "Sudah seharusnya dia ngurusin tanpa ngerepotin orang lain. Tahu sendiri, kamu kan juga jauh, enggak yang cuma lima langkah dari rumah Ibumu."
Danu masih diam membisu. "Mbak Dinara bukan orang lain," tuturnya pelan.
"Menurut aku, seharusnya Mbak Dinara bisa mandiri. Dengan perencanaan-perencanaan yang baik dia bisa menangani sendiri. Anggap aja persiapan pernikahan ini sebagai ujian pertamanya. Kalau ini bisa ditangani sendiri dan sukses, dalam kehidupan berumah tangga pasti bisa ngadepin. Ya kan? Kalau ini itu dibantuin melulu, apa ya? Terkesan manja gitu, Nu. Aku bukan apa-apa, ya, ngomong gini. Bagiku, perempuan harus kuat dan mampu mengatasi segala persoalannya sendiri. Kuncinya dengan rencana yang matang itu tad—"
"Selama Mbak Dinara belum menikah, dia adalah tanggung jawabku," potong Danu dingin. "Sejak Bapak enggak ada."
"Aku paham, Nu. Maksud aku baik, aku khawatir kamu sakit karena pulkam tiap minggu. Enggak sempat istirahat dan Seninnya langsung kerja."
"Maksud kamu, apa?" tanyanya. Ada nada asing dalam suaranya. Aku belum pernah mendengar Danu menggunakan nada begitu. Bukan hanya dingin, tapi...
"Enggak ada maksud apa-apa, Nu, cuma—"
"Asal kamu tahu, Monarza," Danu menatap mataku tajam. "Bagiku, keluarga adalah segalanya. Merekalah yang selama ini membantu aku dalam segala hal. Jadi, aku enggak akan pernah merasa lelah diminta membantu mereka."
"Nu?" bisikku pelan.
"Jangan pernah mengatakan keluargaku manja hanya karena mereka meminta bantuan. Karena yang namanya keluarga itu tidak ada istilah 'merepotkan dan direpotkan'. Paham kamu?"
Meskipun diucapkan dengan suara pelan, entahkenapa kata-kata Danu terasa bagai bentakan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro