25. Belajar Bersyukur
"Pasti capek banget, ya?"
Aku enggak bisa berkelit sok baik hati dengan bilang ini enggak papa atau belum seberapa. Nyatanya, aku emang lelah banget menghadapi panggilan demi panggilan pemeriksaan kasus kemarin. Namun, dengan adanya Danu yang selalu menemaniku dari hari pertama, aku bisa ngomong apa?
"Iya, capek," jawabku jujur. "Tapi, syukurnya ada kamu."
Danu memberiku senyum. "Aku kan sudah bilang, bakal menemani kamu terus. Maafin aku, ya?"
"Untuk?" Aku menatap kaca di balik sun visor mobil Danu, menatap kantung mata yang semakin menghitam saja. Ugh.
"Selama ini aku selalu membiarkan kamu sendiri dan mandiri. Aku selalu percaya kamu sudah merencanakan segala sesuatunya dengan baik. Hingga nyaris... nggak butuh aku." Suaranya memelan di akhir kalimat, membuatku terkesiap dan otomatis menatap sisi kanan wajahnya.
"Nu?"
"Ada kalanya aku merasa enggak dibutuhkan. Ada kalanya, aku merasa enggak pantas mendampingi kamu. Terlebih saat tahu pencapaian yang kau dapat. Kadang aku suka minder," curhatnya.
"Enggak gitu, Nu," sergahku cepat. "Aku malah salah langkah dan—"
"Iya, tahu." Dia tersenyum, menengok ke arahku sejenak. "Aku benar-benar sempat berpikiran begitu, Yang. Tapi, aku senang sekarang kalau kehadiran aku lebih berguna," gumamnya.
Lagi-lagi aku merasa ditampar kenyataan.
Seolah enggak cukup kejadian kemarin-kemarin membuatku bersalah pada Danu. Hingga aku mempertanyakan: masih sanggupkah Danu bertahan?
"Kamu masih ngerasa nyaman enggak sama aku?"
Danu terdiam lama. "Kamu mau jawaban jujur?"
Sedikit banyak aku ketakutan. Kadang kala, jawaban jujur lebih menakutkan ketimbang jawaban bohong tetapi ingin didengar. Namun, sekarang yang kubutuhkan bukanlah sesuatu yang hanya ingin kudengar saja! Berhenti egois, Mona!
"Iya."
Pandangan Danu menerawang lagi. Membuat tanganku semakin dingin saja. Aku... benar-benar takut kehilangan Danu setelah semua yang kulakukan padanya, setelah semua masalah yang kutimpakan padanya dengan semena-mena.
"Ada kalanya, aku merasa enggak kuat menjalani hubungan sama kamu, Mon." Dadaku mencelus. "Namun, hal-hal seperti itu hanya berlangsung sementara," tambahnya.
"Lalu?"
"Ya... aku berpikir setiap hubungan yang dijalani oleh dua orang juga mengalami pasang surut seperti kita. Kadang memuncak, kadang turun drastis. Selama aku masih merasa bisa bertahan sama kamu, aku enggak bakal keluar dari hubungan ini, Mon. Sekarang tergantung kamu."
"Maksud kamu, Nu?"
"Kamu tahu, aku dengan segala keterbatasanku. Aku yang sangat mementingkan keluargaku. Namun, aku janji, Mon, kalau kamu sudah menjadi bagian keluargaku. Aku pasti menjagamu sebaik aku menjaga mereka. Kalau kamu bisa bertahan dengan situasi begini, aku tetap ingin memeluk kamu terus, Mona."
Aku trenyuh.
Air mataku lagi-lagi turun.
Seharusnya aku sadar kualitas apa yang kulihat dari Danu sejak awal, dan kenapa kami bisa cocok meski banyak kerikil—bukan, batu besar menghadang—itu karena dalam hati kecilku, aku butuh sosok yang seperti Danu. Sosok yang mengutamakan aku dan anak-anakku nanti di atas segalanya. Karena aku... sudah terbiasa ditinggalkan.
Ditinggalkan Papa yang mengejar karirnya.
Ditinggalkan Mama yang jatuh dalam kehidupan sosialita agar ketidakhadiran Papa tak terasa.
Dan ditinggalkan Bang Makaio yang tenggelam dalam hobi gilanya.
Dengan Danu? Aku yakin... tanganku akan selalu digenggamnya.
"Nu...," panggilku.
Dia menoleh. "Hm?"
"Kalau aku bisa keluar dari masalah ini dengan selamat, kita... menikah, ya?" ucapku.
"Kok diam aja, Yang? Tadi di dalam kamu enggak disudutkan, kan?"
Aku menggeleng berkali-kali sampai pusing. Setengahnya untuk mengaburkan air mataku yang nyaris turun. "Enggak. Semuanya lancar."
"Baguslah kalau begitu."
Keterdiaman kami disponsori oleh teriknya matahari petang yang tak mampu ditangkal kaca mobil. Panasnya masih terasa sampai dalam. Air conditioner mobil pun tak mampu berbuat banyak. Yah, beginilah mobil Danu, bukan mobil-mobil CEO keluaran terbaru yang canggih luar binasa itu. Cuma mobil biasa hasil kerja kerasnya. Tapi, setidaknya ini masih mobil. Masih bisa melindungiku dari hujan dan petir.
Wah, apa aku kedengarannya bersyukur?
Aku menghela napas. Tersenyum sendiri. Entah apa yang membuatku bisa menyengir dalam kondisi begini, yang jelas... ada perasaan lega dan senang di hati.
Mungkin kasus kemarin mengajarkanku banyak hal. Menamparku dari segala sisi. Bahwa segala sesuatu yang terjadi, akan selalu ada hal yang bisa disyukuri.
"Kalau aku mau melamar kamu, kira-kira butuh dana berapa ya, biar diterima ortumu?"
Aku keseleg mendengar pertanyaan Danu.
[ Preferensi ]
"Sudah lama banget, ya, kita enggak nongkrong sama-sama kayak gini?"
"Ribuan tahun kayaknya," jawab Kemi. "Ya... lo tau sendiri kan kalau Mona gila kerja. Mana mau dia nongkrong dengan target dia yang sejibun itu"
Aku terbatuk gara-gara jawaban Kemi. Memang selama mengikuti pemeriksaan kasus ini, statusku dinonaktifkan.
"Kalau enggak kerja, dia sibuk pacaran plus rencana-rencana masa depannya itu," timpal Saga enggak tahu diri.
"Bisa enggak kalian ngomongin hal begini di belakang?"
Ketiga sahabatku kompak tertawa. Entah kenapa bukannya merasa keki karena ucapan mereka, aku malah ikut tertawa.
"Gue kemarin, segitunya, ya?" tanyaku.
"Bah... buanget... buanget," jawab Kemi. "Kita-kita sampai khawatir banget kalau rencana nikah lo enggak tercapai, jangan-jangan lo bakal bunuh Ibunya Danu atau mantannya itu."
"Anjir, Kem!" seru Saga.
"Astaga, gitu banget? Gue ngotot banget?"
Ketiganya mengangguk. Aku jadi sepet. Tapi, kalau semuanya satu suara begini, aku bisa apa? Berarti yang kulakukan kemarin benar-benar—
"Untung Danu sabar banget, ya," celetuk Lanti.
"Sabar dan lumayan pinter habis dihajar Saga," timpal Kemi.
Saga mesem-mesem, pura-pura enggak mendengar pembicaraan kami.
"Btw, kalian juga. Gue belum sempet ngomong makasih," ucapku. "Atas segalanya yang udah kalian lakuin buat gue."
"Apa sih?"
"Kalian selalu ada buat gue, nemenin gue di saat terpuruk gue. Tolong... tolong banget nanti kalau gue keasyikan sama Danu dan kerjaan, sampai nyuekin kalian, tolong toyor pala gue."
"Deal!" sambar Kemi sambil menjitak kepalaku.
Asem!
Badannya kecil sih, tapi tenaganya kuda. Kampret banget!
"Jadi, lo sama Danu gimana akhirnya?"
Aku menunduk, menyembunyikan pipiku yang tiba-tiba memerah. "Hm... ya, gitu."
"Gitu gimana?"
"Kelar masalah ini, Danu bakal ke rumah buat ngomong sama bokap nyokap gue. Ngelamar," bisikku.
"Eciyeee...."
"Ya... kalau gue mau cepat, gue kudu kompromi. Kemungkinan besar pakai tabungan gue buat segalanya. Tapi, enggak papa lah," ucapku seraya menerawang. "Kehilangan Danu bakal terasa enggak tertahankan dibanding tabungan gue."
"Widih... Mona kesambet!"
"Kem!"
"Lagian, nanti kalian bisa nabung lagi, habis nikah," dukung Saga bijak. "Kalaupun punya anak, juga pasti ada rezekinya. Enggak papa lah pake duit lo dulu, nanti juga pasti diganti sama Danu kalau kondisi dia udah stabil."
"Widih... Saga kesambet!"
"Kem!"
Gadis mungil itu tertawa. "Yah... apapun itu, gue dukung banget. Selama lo bahagia."
"Makasih."
"Uang memang bukan segalanya—" ungkap Lanti.
"Ih! Tapi tanpa uang, gue enggak bisa beli sepatu tauk!"
Aku tertawa, mendengar Kemi misuh-misuh.
Hah... apa ya? Setelah sekian lama, bukankah ini adalah salah satu hal yang bisa kusyukuri? Bisa tertawa bareng mereka seolah enggak ada masalah.
Namun, bukannya hidup memang begitu? Pintar-pintar kita saja dalam memikirkan masalah? Karena ada masalah yang bakal kelar dengan sendirinya, dan ada masalah yang memang harus kita terjang biar selesai? Yang penting... saat itu, kita enggak sendirian? Right?
Belum sempat aku menghirup minuman yang kupesan, ponselku bergetar dengan nomor yang belum kutahu. Dadaku berdebar, takut dari pihak pemeriksa atau kepolisian.
"Ha... halo?" ucapku.
Ketiga sahabatku menegakkan diri. Awas dengan segala kondisi. Kuaktifkan loudspeaker agar mereka tahu.
"Mona?"
Rasanya badanku dibanjur es seember karena suara itu.
"I-iya?"
Keheningan terjadi sekitar satu menit setelah itu. Aku bahkan mengecek sambungan telepon.
"Bisa Ibu bicara sama kamu? Bisa ikut Danu ke Surabaya?"
Begitu telepon diputus, rasa panikku benar-benar menyergap.
"Tolong... tolong cariin gue referensi. Gue harus nyusun rencana! Harus sedia amunisi! Gimana caranya menghadapi calon mertua yang baru saja trauma dengan kelakuan menantunya?" jeritku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro