18. Duit Laki, Duitku Juga!
Beberapa hari berlalu tanpa kejadian yang menarik. Yah... setidaknya menarik dalam definisiku itu adalah adegan datangnya Danu dengan uraian air mata dan memohon-mohon untuk memaafkan dia. Oke, kedengarannya konyol. Namun, cuma hal ini yang mampu membuatku bertahan menghadapi tekanan pekerjaan. Atau paling enggak, mempertahankan kewarasan. Karena perilaku dua manusia purba yang tak henti-hentinya melemparkan serangan verbal di udara.
Sudah cukup lagak King Arga dan Queen Kemi yang sepertinya diciptakan untuk membuat semua orang di sekitar mereka sakit kepala. Namun setidaknya, kelakuan mereka bisa membuat kepalaku yang seolah tak pernah berhenti memikirkan berbagai kemungkinan ini beristirahat sejenak untuk menerka-nerka.
Dan satu minggu telah berlalu.
Dan pahitnya, mungkin perkataan Saga benar.
Dan sakitnya, ternyata aku sudah melepaskan kendali atas kepemilikan hati.
Dan... perih sekali rasanya.
Saga dan kedua sahabatku tidak banyak berkomentar. Namun, aku bisa menebak kalau Saga selalu bertanya dalam isyarat mata pada Lanti. Gadis anggun itu menjawab dengan gelengan tak kentara. Bukan bermaksud geer, tapi aku yakin mereka membicarakan aku dalam diam.
Ya... Danu belum menghubungiku sama sekali.
Dan ya... aku menuruti perkataan Saga untuk menahan diri agar tidak menekan nomor ponsel Danu lebih dulu.
Dan juga... aku membutakan mata hati untuk menghubungi rekan kerja Danu dan berpura-pura bertanya iseng tentang keberadaan lelaki itu.
Dan itu... ternyata berat sekali.
"Ibu Mona?" Aku menengadah, menemukan Arga memanggilku. Mataku mengerjap sekali.
"Ibu Mona sedang kurang sehat," sambar Kemi. Ada apa ini? "Kalau ada yang ingin Anda tanyakan, silakan utarakan pada saya," sambung Kemi lugas.
"Saya menanyakan pendapatnya tentang temuan ini, Kemilau!" balas Arga. "Dan pendapat dia yang saya hargai." Jelas sekali tersirat kata-kata 'bukan pendapatmu yang kuhargai, Kemilau!'
"Maaf, Pak Arga. Bisa diulangi pertanyaannya?" ucapku menebas peperangan yang hampir saja meletus di ruang meeting. Jangan mencari alasan, jangan mengutarakan alasan, hadapi saja, Mon, batinku. Toh... Arga juga bagian dari tim ini, mana mungkin dia menanyakan hal yang aneh-aneh kan?
"Begini saja," Arga berdeham, "Saya kirim temuan yang saya maksud. Tolong Ibu Mona pelajari dan kirimkan feedback-nya satu jam lagi."
"Baik, Pak." Ini bosnya Arga atau aku? "Mohon maaf atas ketidaknyamanannya," ungkapku.
"No problem," Arga memberi isyarat agar kami bubar dari ruangan. Aku beranjak dengan cepat dan bertekad untuk segera memeriksa email dan mengirim jawaban dalm waktu paling lama limabelas menit. Aku harus menebus kesalahan! "Saya hanya punya dua opsi untuk kamu," suara Arga membuatku menoleh lagi. "Kamu bersihkan sendiri atau panggil office girl," sambungnya.
Aku membelalak. Kemi ternganga melihat kursinya sudah belepotan dengan ah... pasti gadis itu tidak sadar kalau 'tamu bulanannya' sedang berkunjung tanpa tanda-tanda.
"Akan saya bersihkan, sampai semua cermin di dunia ini berkata kalau kursi inilah yang paling bersih di dunia. Oh... cermin... cermin yang menggantung di dinding, kursi siapa yang paling bersih," gumam Kemi keki sendiri.
Arga melengos kemudian maju mendekati posisi Kemi.
"Apa?" jerit gadis itu.
"Yang lain tidak bawa jas atau jaket, Kemilau," ucap Arga seraya meletakkan jasnya di atas meja. "Atau kamu lebih suka bolak-balik ke janitor dengan rok penuh noda?"
"Oh," Kemi menekap mulutnya. Aku yakin matanya bulatnya berkilau takjub. Kami bertiga saja ternganga dengan perhatian Arga yang tidak disangka-sangka.
"Atau memang kamu lebih suka menunjukkan 'kebocoran' ini dan kemudian mendapatkan perhatian sekaligus pemakluman? Dengan alasan hari pertama? Agar kamu punya alasan untuk mengamuk dan melampiaskan kekesalan?" berondong Arga santai sambil bersandar di pintu.
"Get out," desis Kemi, tangannya sudah mencengkeram jas Arga. Aku yakin gadis nakal ini akan menggunakan jas itu untuk mengelap kursinya, kemudian menginjak-injaknya.
"Asal nanti kamu cucikan saja," lanjut Arga cuek, kemudian beranjak keluar. Menyisakan Kemi yang melolong bengis ke arah pintu.
Sedetik kemudian, lolongan Kemi tak lagi mengganggu indera pendengaranku. Sebuah pesan singkat masuk dan mengalihkan perhatianku dari rutukan gadis itu.
[ Preferensi ]
Adalah sebuah keanehan ketika orang yang menurutmu paling dekat denganmu tiba-tiba menjadi seorang yang begitu jauh, kalau kalian paham maksudku. Tentu saja biasanya disebabkan oleh cekcok alias pertengkaran. Tapi... kan, bukan aku yang menyulut?
Aku enggak egois, ya? Saga yang meninjunya dan menurut sahabat-sahabatku, itu pantas buat dia. Meskipun menurutku—
Shut up, Mona!
Aku sudah mencoba berbicara di dalam hati untuk menjaga agar mulutku enggak sibuk memberondong, tapi ternyata—
"Kupikir, kamu akan bertanya," ucapnya.
"Tentu saja," cetusku. "Baru kupikirkan untuk memulai dari mana, Nu."
"Ke mana saja kamu?" tanyanya. Eh? Bukannya harusnya aku yang bertanya begitu?
"Aku di sini," elakku bingung. "Kamu yang ke mana?"
"Aku mengurus segalanya setelah acara," jawabnya. "Dan kenapa kamu enggak menelepon?" lirihnya.
Untuk apa? Saga dan yang lain bilang agar aku berdiam. Karena ada saatnya kita harus menjadi pion hitam, menunggu si putih bergerak duluan.
"Kamu sendiri?"
"Kupikir kamu marah, dan aku sibuk mengurus semuanya," ucapnya lelah.
"Oh."
"Mona, aku minta maaf," lanjutnya setelah kami sama-sama terdiam, memandangi jalanan yang semakin runyam dimakan kendaraan.
Pernahkah kalian bingung harus menanggapi apa ketika sesuatu yang kalian damba-damba akhirnya muncul di hadapan dan meminta maaf?
"Untuk?"
"Untuk segalanya, Mona," ucap Danu sabar. "Karena aku enggak mengenalkan kamu ke keluarga, karena aku enggak membela kamu di depan Ibu, dan karena membiarkan kamu pergi begitu saja hari itu."
Aku menerawang, sejenak kulihat ojek payung tengah mengikuti pelanggannya dari belakang. Coba seandainya Bapak itu sedikit lebih ramah, ajak anak itu dalam satu payung. Bukannya membiarkan dia menggigil kedinginan di belakang. Shit!
"Mona."
Oke, aku hanya menyibukkan otakku saja. Sedari tadi sudah ingin kuteriakkan segala yang menyesak di dada. Tapi, mengumpat di depan umum enggak termasuk kelakuan seorang Monarza.
"Lalu aku harus gimana, Nu?" balasku akhirnya setelah Danu menolak memutuskan kontak mata. Perih di hati sepertinya mulai menjalar ke mata. Panas.
Aku sudah belajar menyingkirkan hati penuh drama ini dan kembali ke jalurku yang penuh perencanaan. Aku berencana memberikan Danu pelajaran hingga dia mengaduh ampun-ampunan. Aku berencana enggak akan memaafkan Danu karena—
"Aku yang salah, Mona," ulangnya lagi. "Setelah kamu pulang, aku bicara pada seluruh keluarga kalau aku dan Ceria sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi."
"Kenapa?"
"Kenapa? Kenapa aku melakukannya?" tanya Danu. Aku mengangguk. "Karena itu penting buat kamu, Mon," ucapnya pelan. Lagi-lagi kelakuan Danu yang seperti ini membuat jantungku jumpalitan. "Awalnya kupikir, hubungan ini cukup diketahui orang-orang terdekat kita, lalu kita menikah dan barulah mereka tahu. Namun ternyata, omongan teman kamu plus tonjokannya—"
"Menikah?" Mataku membulat. Dari sekian banyak kata yang Danu ucapkan, kenapa cuma itu yang mampir di otakmu, Mona.
"Kamu enggak berpikir aku main-main kan, karena kejadian kemarin?" balas Danu. "Aku memang lamban, Mona Sayang. Tapi aku sungguh-sungguh sama kamu."
Pembohong!
"Aku enggak akan bilang kata-kata manis lagi, kentara sekali mukamu enggak percaya," tuduhnya. "Tapi, lihat ini." Danu menyodorkan sebuah amplop yang telah dibuka ke arahku. Maksudnya?
Dengan enggan kubuka sepucuk surat yang tadinya dipeluk amplop berlogo tempat kerja Danu. Dan... pemberitahuan kenaikan jabatan?
"M-maksudmu?" Aku terbata. Ada sesuatu yang bersorak di dalam dada.
"Ya, kamu lihat itu. Aku sedang sibuk mengejar itu karena aku belajar dari kamu. Bahwa hidup harus penuh perencanaan. Tapi, sialnya aku enggak bisa membagi fokusku soal pekerjaan dan soal membujuk Ibu. Maafin aku, Sayang," pintanya.
Danu naik jabatan? Gajinya jadi berapa? Mona goblok! Kamu itu sedang mendengarkan Danu minta maaf. Fokus, Mona!
"Aku sudah membicarakan tentang kita kepada Ibu. Meski tanggapan beliau cuma begitu, tapi setidaknya beliau enggak melarang atau menolak kamu. Itu yang kusyukuri," lanjut Danu akhirnya.
Bisa beli mobil yang lebih bagus atau apa, ya? Shit!
"Lalu, aku harus gimana, Nu?" ulangku lagi.
Danu meraih tanganku, menggenggam erat dan mengusapkan jempolnya hingga membentuk lingkaran di punggung tanganku.
"Kalau kamu capek buat berjuang, cukup tetap bertahan di sini," ucapnya. "Sekarang biar giliranku yang menaklukan Ibu."
"Nu?"
"Kamu mau kan?"
Aku enggak akan membiarkan kamu berjuang sendirian, Nu. Aku akan mendukungmu, menyemangatimu, melakukan segalanya agar Ibumu itu mau mengikhlaskan Ceria pergi ke laci Nobita dan pergi ke masa lalu!
Terutama sejak kamu menduduki jabatan baru!
Menikahi manajer cabang!
Ini sesuai rencanaku!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro