15. Kain Sialan!
Aku bersumpah, aku sudah menahan lidahku sejak kejadian malam itu. Dari delikan mata Lanti yang mengisyaratkan bahwa tidak semua kejujuran harus diungkapkan segamblang itu, aku belajar untuk menghindari segala macam percikan enggak penting tentang acara pernikahan Mbak Dinara. Toh, ini bukan acaraku, ya, jadi aku menyingkirkan segala hal yang ingin kuutarakan mengenai proses persiapannya. Tutup mata sajalah selama enggak ada buaya yang tiba-tiba menggelepar nyasar di tengah acara, ibaratnya.
Pasang senyum penuh dukungan setiap kali Danu bercerita—kecuali bagian seragam keluarga, aku ngotot Danu enggak boleh menggunakan produk apa pun dari si Pedagang Mantan Terindah itu—hingga memuji dan berusaha terlihat tulus saat mendoakan kelancarannya. Kan? Aku juga sebaik itu. Sebagai perempuan, aku mengerti bahwa acara penting yang diharapkan terjadi sekali seumur hidup ini sudah direncanakan dengan baik sampai ke detail terkecil, tapi mungkin kebanyakan orang enggak bisa melihatnya. Ya sudahlah....
Rutinitas pekerjaan yang dua bulan lalu diinstruksikan Pak Arven juga menyita waktu. Aku butuh segala macam akal sehat untuk meneliti laporan keuangan perusahaan impor barang yang ingin mengajukan pinjaman dana ke bank itu. Parahnya, kondisi audit enggak senyaman beberapa bulan lalu. Dengan bergabungnya Arga ke tim kami, otomatis aku bingung sendiri dengan posisiku. Ingin memerintah anak Bos Besar jelas bukan sesuatu yang akan kulakukan mengingat aku masih sayang dengan pekerjaan ini. Belum lagi, percikan api yang disulut Kemi dengan mulut pedasnya membuat Arga tidak tinggal diam. Sekali Kemi menyindir, Arga mengaum dengan sama gilanya. Sepertinya, bulan-bulan terakhir ini Tuhan begitu senang membuatku sakit kepala.
"Siang ini, kita makan di mana?" tanya Kemi. Ia jelas-jelas menekankan kata 'kita' sambil mengedarkan pandang padaku, Lanti, dan Saga. Arga yang duduk paling pojok hanya mengerjap cuek sambil membaca korannya.
"Apa aja, asal gue ditraktir," jawab Saga. "Tapi, gue lagi pengin soto ayam yang di perempatan rumah sakit itu, lho," tambahnya. Soto ayam favorit kami itu bisa ditempuh sekitar seperempat jam menggunakan mobil kalau enggak macet.
"Udah minta traktir, milih lagi," gerutu Kemi. Duh... jauh amat, Ga. Kalo di situ, mending delivery aja, ya."
"Yaelah, kalo soto ayam kecampur plastik dan nyampe sini dingin sih males, Kem."
"Iya, mending makan di sana aja. Mumpung belum lapar banget ini."
"Gue enggak ikutan," tukasku.
"Lho, kenapa, Mon? Lo kan diajak sama kita," ucap Kemi. "Di-a-jak, Mon," ejanya seraya mengerling ke arah Arga.
"Iya, gue ada janji mau nemenin Danu fitting baju di butiknya Tante Novi."
"Oh, seragam kawinan kakaknya Danu itu?"
"Iya, Lan."
"Mau juga Danu nurutin lo?" tanya Saga. "Bikin baju di langganan lo, bukannya di tempat mantan terindah?" godanya.
Aku langsung gondok mendengar kalimat Saga.
"Ya sudah, kalau Mona janji sama Danu, Pak Arga ikut kita aja gimana?" celetuk Saga tiba-tiba. Lelaki ini memang enggak peka atau sengaja menuai pelototan Kemi yang sibuk mendesis-desiskan kode. Dengan cueknya Saga menyugar rambutnya dan berucap, "Bro? Ikut kan?"
"Hm," jawab Arga singkat.
"Gimana kalau pindah tempat?" usul Kemi. "Dekat butik Tante Novi itu kan ada ayam bakar yang enak. Di situ aja. Pedesnya nagih."
"Eh, enggak usah. Gue takut lama," tolakku.
"Enggak papa, sekelar-kelarnya lo nyusul, Mon. Ajak Danu sekalian. Atau siapa gitu, yang penting orangnya asyik. Yang enggak asyik, enggak usah diajak," ucap Kemi menggebu-gebu.
Aku dan Saga bertukar pandang, menahan kekehan yang hampir saja lepas gara-gara kelakuan si ombre yang terang-terangan memulai aksi provokasi.
"Mona?" panggil Arga, menurunkan korannya.
"Ya, Pak?"
"Sebisa mungkin, kamu jangan mengkonsumsi makanan pedas."
"Kenapa, Pak?" tanyaku heran. Ayam bakar yang akan mereka sambangi memang terkenal pedasnya.
"Karena apa yang kamu makan akan memengaruhi ucapan," ucap Arga dan entah kenapa aku tahu kalau kalimatnya belum selesai. "Saya enggak heran kalau ada perempuan yang bicaranya nyelekit karena doyan makanan yang pedasnya nagih," sambung Arga dengan tangan membentuk tanda kutip. "Pe-das-nya, nagih," eja Arga membalas kelakuan Kemi.
"Ups," ucap Lanti menutup mulutnya. "Aku enggak ikutan, ya."
"Terima kasih untuk undangannya, Ga. Tapi, saya ada janji makan sama Pak Arven. Mungkin lain kali," ujar Arga kalem. "Lagian, saya takut keluar api dari mulut Kemilau, kalau saya ikut makan di sana. Soalnya... pe-das-nya nagih," lanjut Arga kemudian berlalu menuju kantor ayahnya.
Kemi sudah menggeram. "Dasar anak Papi, mau apa lo?" jeritnya, membuat Saga membekap mulut Kemi dengan cepat, agar gadis itu tidak melanjutkan kibaran bendera perang.
[Preferensi]
Mengarang berbagai alasan agar Danu mau menjahit seragam di butik Tante Novi—butik langganan kami bertiga untuk berbagai acara sebelum Kemi tergila-gila dan memilih membeli di online shop milik Si Pedagang yang anu itu—sudah kulakukan berbulan-bulan lalu. Kubilang bahwa menjahit di sini lebih efektif jika sewaktu-waktu ada perubahan ukuran. Lagi pula, gadis itu juga pasti banyak orderan untuk keluarga Danu yang lain. Untuk kita berdua, cukup di sini saja.
Danu mungkin sudah malas mendebat, sehingga dia cuma meminta kain seragam dan mengikuti keinginanku untuk menjahit di Jakarta. Tanpa setahu dia, aku memaksa Saga menemaniku menjelajahi Pasar Mayestik untuk menemukan kain yang sama persis. Danu enggak berpikir aku sudi mengenakan segala hal yang berasal dari si Gurita itu kan? Meskipun aku tahu, kain yang dibawa Danu hanya cukup untuk satu potong pakaian. Hal itu juga yang membuatku bertekad mengganti kainnya. Enak aja dia cuma ngasih Danu. Aku tahu dia pasti sengaja. Huh!
Untungnya kami bisa menemukan bahan yang dicari meskipun ada perbedaan pola di serat kainnya. Setidaknya warnanya mendekati. Ah... Danu enggak mungkin mengetahui bedanya juga. Mana cowok perhatian dengan hal semacam itu. Ya kan?
"Hari ini udah jadi atau harus fitting lagi?" tanya Danu, saat kami berbelok ke butik Tante Novi.
"Kalau enggak ada perubahan ukuran sih, harusnya udah tinggal ambil."
Kami berdua turun dari mobil dan disambut dengan keramahan Tante Novi yang terkadang suka berlebihan. Aku mengabaikan dan langsung menatap seragam berwarna paduan gold dan hijau yang terpajang di patung. Kepunyaan Danu yang modelnya biasa saja. Dan... yeah, memangnya baju cowok bisa diapain lagi? Modelnya kan cuma bisa gitu-gitu aja.
"Punyaku mana, Tan?" tanyaku.
"Ada di dalam. Lagi finishing," jawab Tante Novi. "Yang cowok mau ngepas dulu? Biar puas sama hasilnya?" tawar beliau.
"Kamu bikin juga?" tanya Danu. Ya iyalah, dikira aku enggak bikin apa? Mana mungkin, aku sudah merencanakan ini sejak tahu tanggal pernikahan Mbak Dinara.
Danu maju mendekati pajangan dan menerima baju yang diulurkan oleh asisten Tante Novi. Dia membentangkan baju itu seakan menilai ukuran. Membalik-balik dengan teliti, mungkin mencari kecacatan.
"Yang?" panggilnya.
"Iya?"
"Kok rada beda, ya, sama kain yang kemarin aku kasih. Warna yang ini lebih pudar atau cuma perasaan aku saja, ya?"
Mati!
"Masa sih, Nu? Sama ah," kilahku, enggan menatap matanya.
Aku menenangkan degupan jantung yang tiba-tiba menggila saat Danu melangkah ke kamar pas. Duh... kok dia bisa tahu sih? Apa aku harus jujur, ya? Atau nanti saja?
Kebimbanganku terputus karena panggilan Tante Novi yang mengasongkan gaunku. Sebuah knee length dress tanpa lengan yang terlihat sangat cantik dan elegan berpindah ke tanganku. Tuh kan? Apa kubilang, menjahit di butik Tante Novi tuh enggak pernah menyesal. Buru-buru aku ikut masuk ke kamar pas persis setelah Danu keluar.
"Gimana? Pas?"
"Cukup," jawab Danu. "Kamu?"
"Ini baru mau nyoba," ucapku sambil menyerahkan tas tanganku padanya.
Untungnya, enggak ada masalah dengan pesanan kami, sehingga bisa segera berlalu dari butik Tante Novi. Aku pura-pura sibuk mengikat rambut saat Danu menuju kasir pembayaran. Kewajiban lelaki kan membayari pacarnya? Peraturan ini belum berubah kan?
"Yang," tegur Danu saat kami keluar dari butik Tante Novi. "Kamu lagi haid, ya?"
Aku terkesiap kaget. Jangan-jangan—"
"Tembus. Kamu mau ganti dulu apa gimana?"
Pantas saja perasaanku hari ini enggak keruan. Gampang capek dan malas-malasan.
"Si Kemi ngajak makan di situ," tunjukku. "Tapi—"
"Kamu bawa pembalut cadangan enggak?" tanyanya balik. "Kalau ada, kamu bisa nutupin pakai jaketku, Yang," tawarnya.
"Di kantor," ucapku gelisah. "Gimana dong?"
"Ya udah, kalau gitu kita balik aja, ya. Kamu ganti dulu. Daripada ikut makan tapi kamunya enggak nyaman."
Mau enggak mau aku setuju. Emangnya aku punya pilihan lain?
"Ehm, Nu?" ucapku. Danu masih berkonsentrasi menyetir megarah ke kompleks rumah
"Ya?"
"Itu, soal undangan Mbak Dinara...," Danu langsung mencengkeram setir. "Enggak, bukannya aku mau komentarin itunya, ih," lanjutku sewot. "Tapi, undangan buatku mana?"
Danu mengerjap dalam diam. Tampak bingung dengan pertanyaanku.
"Ya... emang sih tanpa undangan juga aku pasti datang, tapi kan biar jelas kesannya bagus gitu, aku sengaja diundang," jelasku. "Sengaja."
"Kayaknya undangannya habis deh, Mon," ucapnya akhirnya saat mobil berhenti di depan rumah. "Cetaknya terbatas."
"Oh. Tapi aku diundangkan?" ulangku sambil masuk ke dalam rumah, meninggalkan Danu menunggu di ruang tamu.
Enggak kedengaran sama sekali suara sahutan Danu sampai aku keluar dari kamar dengan setelan kerja yang baru. Dan kemudian aku rasanya ingin mengubur diriku saja.
Saga! Semua ini salah Saga!
Kain seragam yang dibawa Danu masih tergeletak di meja di sudut ruang tamu dan belum dipindahkan. Dan itu terjadi karena manusia dodol bernama Saga itu main lempar saja karena kesal menemaniku ke sana kemari di Pasar Mayestik.
"Ini apa, Yang?" tanya Danu pelan, tapi nadanya mematikan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro