12. Seharusnya Percaya
Selamat tinggal pindang ikan.
Hanya itu yang bisa kuucapkan mengingat kantung kresek yang repot-repot kubawa tergeletak di lantai kayu persis di sebelah sofa yang aku duduki. Terabaikan begitu, persis aku kemarin lusa. Oh, pindang ikan, semoga nasibku hari ini enggak seperti dirimu.
Kabar baiknya, Ibu Danu—mulai sekarang nekat kupanggil Ibu, karena Ceria juga Ba Bi Bu dari tadi—yang kemarin lusa terlihat super sibuk sekarang ini menyambut aku dengan duduk bersama di ruang tamu ini dengan senyum cerahnya. Kabar buruknya? Nenek sihir sialan bernama Ceria itu duduk persis di hadapanku. Kalau kalian bingung membayangkan, kami bertiga membentuk letter U dengan Ibu sebagai pusatnya.
"Jadi, Mona ini teman Danu dari Jakarta?"
Oke, aku benar-benar tidak paham, kenapa kadang-kadang Tuhan suka sekali melawak sampai membuatku sakit perut menahan keki. Dia menciptakan cewek bernama Ceria ini pasti dengan hati yang sedang senang. Cantik dari luar, dan memang tipikal cewek idaman begitu aku berinteraksi dengannya. Sialan!
Bahkan keanggunan Lanti pun enggak bisa disejajarkan dengan dia.
"Mungkin lebih tepat disebut pacar," jawabku. "Mengingat Danu sudah memintanya." Aku menekankan kata-kata tersebut supaya cewek di hadapanku ini mengerti batasannya. Meskipun Ibu masih baik sama kamu, tapi tetap saja kamu itu adalah masa lalu. Benda prasejarah. Fosil Pithecanthropus palaeojavanicus!
"Oh." Dia tetap tersenyum tenang. Kampret! Jangan kalah Mona, ingat artikel yang kamu baca kapan hari. Kalau kamu bersikap panik dan marah-marah, itu akan menunjukkan betapa enggak berkelasnya kamu sebagai pacar Danu sekarang. Dia cuma pura-pura tenang, Mon, jangan terkecoh!
"Mona kerja di mana?" Kali ini Ibu yang bertanya. Senyumku mengembang lebar. Dari kemarin kek, Bu, biar Ibu bisa tahu betapa bernilainya seorang Monarza. Salah Ibu, sih, mencueki aku kemarin lusa.
"Auditor, Bu," jawabku bangga. Kuberitahu, ya, profesi auditor itu bisa disejajarkan dengan orang-orang yang memiliki kuasa. Gimana enggak? Setiap klien harus menuruti apa yang kami perintahkan. Mana ada profesi lainn yang segini hebatnya? Temennnya cuma tukang cukur, presiden aja nunduk kalau disuruh tukang cukur.
"Auditor itu kerjanya, apa?" tanya beliau lagi. "Seperti... kontraktor?"
Heh?
"Hm... bukan, Bu. Kerjaannya mengaudit-audit, gitu."
"Mengaudit?"
"Ya... intinya memeriksa keuangan orang, Bu," jelasku dengan bahasa sederhana.
"Oh... bendahara," simpul beliau. Astaga!
Parahnya, beliau sama sekali tak terlihat terkesan. Bagaimana ini? Menerangkan profesi yang mengisi pundi-pundi uangku dengan sesederhana mungkin, terus disamakan dengan tukang simpan uang di kelas zaman sekolah dulu. Yang benar saja!
"Kalau Ceria ini punya butik," lanjut Ibu, seolah cewek yang dari tadi menyilangkan tungkainya dan menarik bibirnya dua senti ke kiri dan ke kanan itu tidak bisa bicara sendiri.
"Oh, pedagang," seruku membalas tanggapan Ibu yang menyamakan auditor dengan asdfjkl!
"Iya, saya hanya pedagang baju," sambungnya.
"Jangan merendah gitu, Nak Ceria."
Nak? What?
"Yang penting kamu menikmati."
Ah... itu cuma kata-kata hiburan untuk membuatmu enggak merasa minder, Ceria! Jangan senang dulu. Di sini kelihatan siapa yang lebih oke kan?
"Terakhir yang Ibu tahu kamu sudah merintis penjualan apa itu, Nak?"
"Online, Ibu," jawabnya tangkas.
Ol-shop? Ugh... apa yang keren dari sebuah ol-shop? Di zaman serba modern ini semua orang bisa punya ol-shop. Yang penting mau foto-foto dan upload-upload barang. Kelar!
Bagiku, yang namanya pekerjaan adalah sebuah profesi yang terikat waktu dan seragam plus sejumlah uang yang sudah ada standarnya sendiri. Bukan pemasukan yang tidak menentu seperti itu.
"Pekerjaan enak, tinggal upload-upload foto," komentarku.
"Iya, kurang lebih seperti itu," jawabnya dengan nada merendah. F*ck, kalau soal lihai merayu orang tua dengan bersikap merendahkan diri meninggikan mutu, cewek ini pasti jagonya.
"Yang penting kamu senang, Nak. Banyak waktu luang, kreativitas kamu juga tidak mati," ujar Ibu lagi dengan nada memuji.
Dan cewek itu tersenyum malu-malu seperti peliharaan dipuji majikan. Woy! Yang memuji itu nyokapnya Danu, calon mertuaku, kamu cuma masa lalu!
"Iya, Bu, kalau sekarang sih Ria sudah bisa ngelakuin hal-hal lain. Ngedesain sendiri, bosan itu bisa memasak, terus ngajak ponakan jalan-jalan, karena sudah ada asisten yang menangani bagian penjualan sama promosi tadi."
Oh, sudah punya pegawai sendiri? Lumayan lah, ya. Menggaji pegawai ol-shop paling cuma sejuta dua juta. Enteng.
"Dari bisnis yang dia jalankan, Ceria sudah bisa membeli mobil dan rumah sendiri, ya, Nak, ya?" ucap Ibu lagi.
"Hah?"
"Iya, itu cuma kebetulan, Bu. Keisengan karena saya mempunyai banyak waktu luang. Dan syukurnya banyak yang suka. Sekarang sudah banyak reseller di hampir setiap kota juga."
Apaaah? Bisa beli mobil dan rumah? Memangnya si Ceria ini jualan baju apa sih, sampai reseller-nya bisa banyak?
"Oh, boleh tahu brand-nya? Atau nama butiknya? Siapa tahu nanti saya berminat," ucapku. Enggak mungkin, dalam seumur hidupku aku enggak bakal mau mengenakan apa pun yang cewek sialan ini bikin. Pasti cuma sesuatu yang norak--
Ceria membungkuk kemudian menunjukan sebuah tas kertas dengan logo yang familier di mataku. Itu kan merek yang Kemi sebut-sebut dan pernah aku puji setengah mati. Murah tapi elegan. Kampret! Batalkan! Aku enggak pernah memuji, ya. Yang kemarin itu cuma khilaf! Aku menepuk dada sambil meminum suguhan air untuk meredakan sesak.
"Kalau Mona, kerjanya gimana? Berapa jam sehari?" tanya Ibu. "Masih banyak waktu luang?"
"Standar, Bu, kalau lagi bulan-bulan seperti ini pulang jam lima atau jam tujuh malam, biar enggak terlalu macet," jawabku. "Yah... nanti Ibu bisa lihat sendiri gimana macetnya Jakarta, Ibu jadi pindah kan?" Aku berpura-pura menunduk untuk menggosok hidung. Rasakan kamu, Ceria, aku punya info yang lebih akurat tentang keluarga Danu dibanding kamu.
"Iya, setelah acara Mbak Dinar, Ibu berencana ke Jakarta, Ri. Divanda kan juga kuliah di sana. Dinara ikut suaminya kerja ke Kalimantan."
"Oh, begitu. Sebenarnya berat sih, Bu, kalau Ibu masih di sini kan Ria bisa main ke sini," ucapnya dengan nada sedih. Cih... itu pura-pura pasti! "Tapi, kalau sendirian juga pasti kesepian. Mending sama Mas Danu aja, ngumpul di Jakarta."
Mas? Ew!
"Iya, nanti jarang bisa ketemu Ria kalau Ibu pindah ke Jakarta." Apa? Ibu di hadapanku ini bisa-bisanya bicara begitu. Jarang ketemu bukannya wajar, Bu? Dia cuma menjahitkan seragam keluarga untuk acara Mbak Dinara, setelah itu kelar tugasnya.
"Ah... Ibu, Ria kan juga ada rencana buka cabang di Jakarta. Gampanglah nanti kita atur biar bisa ketemu."
Apa? Buka cabang di Jakarta? Tolong bilang itu cuma basa-basi semata. Hanya karena terpancing ingin mengalahkanku saja kan? Iya kan?
"Iya, kalau kamu ke Jakarta, jangan sampai Ibu tidak dikabari. Ibu kangen masak-masak sama kamu, Ri."
"Iya, Bu. Ria juga kangen diajarin masak lagi sama Ibu. Papa sampai jarang mau makan di luar, dalihnya pengin masakan Ria terus. Berkat Ibu, sih, ini."
Ibu tertawa, terlihat benar-benar tersanjung dan bahagia. Aku? Mulai lemes tiada terkira, sama saja dengan kemarin lusa. Banyak dianggurin juga. "Lagian, kamu juga kenapa jarang ke sini, hm? Biar Danu di Jakarta kan pintu rumah ini selalu terbuka buat kamu."
Ya, ngapain dia sering-sering, Bu? Orang sudah putus.
Ceria terkekeh, dan sumpah kekehannya itu terdengar seperti tawa mengejek di telingaku.
Aku menatap ke sisi sofa, tepatnya ke lantai yang sudah mulai basah. Aku yakin es yang melapisi ikan sudah mencair dan sebentar lagi bau amis menyebar di ruangan ini. Hidungku sudah mulai gatal ingin bersin. Ugh!
"Nunggu Ibu minta dijahitin buat acara Mbak Dinar, baru kamu ke sini."
"Iya, maaf, Bu. Nanti Ria bakal sering ke sini. Biar Ibu enggak susah-susah datang ke butik lagi buat fitting. Pasti Ria kelarin segera, ya, biar lembur-lembur dikit juga enggak papa. Yang penting bisa selesai sebelum acara."
"Ya ampun, jadi merepotkan."
"Enggak papa, Bu, sekarang-sekarang jarang lembur karena kerjaannya sudah bisa dibagi-bagi sebagian. Tapi, demi acara Mbak Dinar ini enggak papa lembur sebentar."
"Anak baik," tepuk beliau di bahu si cewek sialan. "Kalau Mona, ada lembur-lemburnya juga?" Akhirnya Ibu mengalihkan perhatian padaku. Sumpah, tadi aku benar-benar merasa seperti remahan rempeyek yang diguncang di dalam kaleng Khong Guan. Menyerpih enggak kelihatan.
Aku bersin sekali, kemudian cepat-cepat meraih tisu dan membersit hidung. Ikan sialan! Baunya mulai menusuk-nusuk membuyarkan konsentrasi.
"Ya, tergantung tuntutan pekerjaan, Bu. Kemungkinan lembur sampai jam dua atau tiga subuh, dan itu bisa berlangsung selama tiga bulan. Pokoknya padat banget, Bu," jawabku. Kan? Ibu lihat sendiri kalau aku bukan golongan wanita manja yang cuma bisa jaga dagangan saja sambil main ponsel. "Kalau lagi kena musimnya, kalau enggak—"
"Wah! Kalau begitu tak ada waktu buat memasak?" sambar Ibu cepat.
Heh?
Aku tersenyum kikuk. "Untuk makan, sudah ada berbagai menu yang bisa kami pesan lewat aplikasi, Bu. Tinggal pencet-pencet dan nunggu sambil ngelarin kerjaan."
"Bukan! Maksud saya, selama waktu itu Danu tak bakal bisa menikmati masakanmu?" ucap beliau tajam, dengan pandangan menyipit ke arah onggokan kantung kresek.
"Emph...."
"Selama di rumah ini, Danu tidak pernah sekali pun makan makanan yang dibuatkan oleh orang lain. Selalu saya buatkan dia dengan senang hati."
"Ya—"
"Dan, saya berharap juga Danu menemukan seseorang yang bisa memiliki waktu luang untuk keluarga. Sehingga dia bisa makan di rumah dan bukan di warung-warung atau restoran. Lembur cuma di saat perlu saja, menjahit seragam untuk keluarga misalnya."
Tuhan, tolong tenggelamkan aku di Segitiga Bermuda sekarang juga.
[ Preferensi ]
Bagi sebagian orang, mungkin bandara adalah tempat paling romantis sekaligus mengharukan. Setidaknya begitu di novel-novel yang Lanti ceritakan. Tempat mengantar orang-orang tersayang, atau tempat mengantarkan keluarga menuju mimpi dan cita-cita. Kebanyakan dimulai dari bandara. Bahkan iklan film AADC favorit Saga itu juga mengambil setting di bandara.
Namun, sekarang keadaannya berbeda.
Aku dan Danu justru saling berdiam diri di bandara Juanda. Sudah beribu kata yang kami lontarkan, ujung-ujungnya hanya berdebat semata.
"Pesawat kamu, masih lama?"
Kami bertemu karena Danu menginjakkan kaki di Surabaya, sementara aku menunggu penerbangan ke Bali. Dalam dua puluh menit kami bersama, hanya diselingi desisan marah dan bisik-bisik protesku, karena aku masih waras dan merasa tidak pantas untuk berteriak frustrasi. Meskipun aku ingin.
"Kenapa? Sudah enggak betah nunggu aku pergi? Jadi kamu bisa pulang segera dan ketemu lagi sama si Ceria-ceria itu?"
"Mona... kenapa sih? Bawa-bawa dia lagi?"
"Kamu yang kenapa? Enggak pernah bilang kalau Ibumu sedekat itu sama dia? Kamu enggak tau rasanya jadi aku? Kambing congek di depan ibumu, Nu, diabaikan!" desisku.
"Mana aku tahu kalau Ibu dan Ceria masih sedekat itu. Dua tahun ini aku di Jakarta."
"Bener kamu enggak tahu? Atau cuma ngeles aja?"
"Aku enggak tahu, dan aku juga enggak pernah nanya Ibu," tegasnya.
"Kamu enggak tahu kalau seragam keluargamu dijahit sama dia?"
Di satu sisi aku benar-benar berharap Danu menggeleng, tapi... di sisi lain aku juga enggak mau menerima kebohongan.
"Tahu."
"Nah! Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?"
"Kenapa harus dia? Apa enggak ada penjahit lain? Surabaya kota besar, Nu. Enggak perlu jahit di dia juga kan?"
"Yang memutuskan Ibu dan Mbak Dinara. Mereka cocok dengan desain Ceria. Kenapa harus dipermasalahkan?"
"Nu! Itu cuma alasan," jeritku kesal. Beberapa orang menengok ke arah kami. Aku harus merendahkan suaraku, "Aku paham betul lagaknya Ibumu, beliau ingin kamu sama Ceria balikan, Nu. Aku bisa melihat itu."
Danu terdiam, menyugar rambutnya. Aku sebenarnya kasihan. Dia pasti capek sekali dengan tuntuan pekerjaan sementara di sini ketika bertemu, lagi-lagi kami hanya perang kata-kata. "Lalu, memangnya kenapa kalau Ibu mau begitu? Itu urusan Ibu. Kalau aku enggak, harusnya enggak masalah kan?"
"Tapi, bisa aja kamu lama-lama nurut Ibumu, kayak aku enggak tau aja sifatmu. Dasar anak Ibu!"
"Monarza, Sayang, denger aku. Urusan perasaanku, aku yang menentukan. Bukan Ibu. Kalau kamu masih ragu, berarti kamu enggak percaya aku?"
"Kalau aku bilang iya, kamu mau apa?" tantangku kesal.
"Kalau kamu enggak bisa percaya dan berdamai dengan itu semua, aku bisa apa, Mon?" keluhnya lelah. "Aku mengejar kamu hampir setahun lamanya, apa aku menyerah? Kamu perempuan pertama yang aku ajak ke rumahku di Jakarta, sama sekali enggak menyembunyikan semua itu. Biar kamu tahu ke mana nyariin aku. Kalau aku enggak serius, aku enggak akan ngelakuin itu. Kamu mau ketemu dan kenalan sama Ibu, aku kasih tahu beliau. Dan bagaimana reaksi beliau aku sama sekali enggak bisa mengaturnya, Mon. Tapi, enggak ada aku menyembunyikan siapa aku, siapa keluargaku. Bagian mana yang bikin kamu masih enggak bisa percaya, Yang?"
"Soal kamu dan Ceria itu. Kalian menyisakan terlalu banyak hal yang belum selesai."
"Ceria itu cuma masa lalu, tempat dia di belakang. Sekarang ada kamu. Kamulah yang ada di masa depanku. Kamu bisa lihat itu kan?"
"Masa lalu bisa saja terulang jadi masa depan. Apalagi dengan Ibumu yang gagal move on gitu," dengusku sebal.
"Itu urusan Ibu. Aku tahu siapa yang aku pilih."
"Siapa tahu kamu menyesal dengan pilihan itu."
"Mona, yang pernah pacaran sama Ceria itu aku. Bukan kamu. Yang pacaran sama kamu juga aku. Aku yang tahu, Mona."
"Tahu apa?"
"Aku yang tahu rasanya. Persetan dengan Ceria, dia memang baik, kuakui. Tapi, aku memilih kamu," ungkapnya.
"Kenapa?" kejarku. "Kenapa milih aku?" Mataku menyipit. "Atau mungkin kamu ngomong gini biar aku berhenti merongrong kamu?"
"Suatu saat kamu akan mengerti," ujar Danu. "Sekarang, kamu masih mau melihat masa depan kita atau terus-terusan mempermasalahkan keberadaan Ceria?" Jelas nada lelah ada di dalam suaranya.
Panggilan untuk segera memasuki pesawat membuat aku memilih untuk tidak menjawab.
Aku enggak tahu, Nu. Aku enggak tahu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro