Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Tiga puluh

Masih melekat jelas di ingatanku tentang terakhir kali kami bersama. Ia sekali lagi pergi. Namun kali ini dengan pamit terlebih dahulu padaku. Justru itu yang membuatku membingungkan perasaanku. Aku terlihat seperti remaja labil yang baru mengenal cinta di usia dua puluh lima tahun.

Kemarin aku merasa deg-degan bila bersama Rayhan, dan kuyakini itu pertanda bahwa aku menyukainya. Namun, hari ini aku merasa sedih karena telah kehilangan seseorang yang bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa denganku.

Hari itu, ketika mendengar pernyataan Bara mengenai semuanya, aku merasakan diriku tercabik-cabik di setiap detik ia berbicara. Entah mengapa aku merasa sangat bersalah, seakan-akan aku telah melakukan satu kesalahan besar.

Aku memandang keluar jendela, melihat sebuah mobil hitam masuk. Dari sana keluar Rayhan beserta keluarganya, mereka tampak antusias dengan acara yang akan berlangsung sebentar lagi. Aku juga melihat Papa menyambut kedatangan mereka dengan raut bahagia.

•••

Dua minggu yang lalu....

Setelah dia memberitahu alamatnya, aku segera berangkat ke sana. Benar saja, aku menemukannya duduk di sudut sana sambil tersenyum padaku. Aku berjalan menghampirinya.

"Maaf sudah membuatmu menunggu lama," kataku sekadar basa-basi seraya menempatkan diri di depannya.
Aku sendiri sedikit merasa aneh dengan diriku, karena jelas-jelas tadi aku berangkat ke sini dengan segera.

Mengabaikan pernyataanku, ia malah bertanya sesuatu yang langsung membuatku membeku. "Apa perasaanmu telah berubah?" tanyanya.

"Maksud kamu?"

"Kamu yang paling mengerti arti pertanyaan itu. Dan juga seharusnya kamu yang menjelaskan semuanya."

"Kamu lagi membicarakan tentang apa, Bara?"

"Tentang kamu yang berubah, tentang kamu yang sekarang memilih dia dari pada aku. Aku tidak perlu menjelaskan siapa dia, bukan? Kamu yang lebih tahu dia dan sudah sejauh apa hubungan kalian."

Aku ingin mengatakan bahwa ia salah, bahwa aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia maksud. Tapi aku memilih diam dan membiarkan ia melanjutkan pembicaraan.

"Tidak apa-apa kalau memang kamu lebih memilih dia. Aku senang, setidaknya dengan melihat kamu bahagia itu saja sudah cukup. Yah ... walaupun bukan aku alasan bahagiamu," katanya.

"Pernah kukatakan bahwa ada alasan mengapa kita dipertemukan. Garis takdir membawa kita bertemu, pada satu cerita yang melibatkan rasa. Aku selalu percaya bahwa Tuhan melakukannya karena dia tahu bahwa dari pertemuan itu, banyak hal yang dapat kita pahami mengenai mimpi.

"Bahwa mimpi itu untuk diraih buka dibawa tidur. Bertemu denganmu membuatku memiliki mimpi. Aku ingin lepas dari jeratan kelam hidupku, saat diri ini menyadari bahwa kamu lebih dari sekedar perempuan yang kusukai. Kamu tujuan hidupku.

"Aku ingin kamu bahagia. Aku berusaha keras melakukannya. Tapi, di akhir cerita aku gagal. Kebohongan yang besar membuatku tak lagi kamu percaya. Aku paham dengan itu. Siapa yang ingin dibohongi?

"Maka dari itu aku memilih untuk pergi. Kali ini aku akan benar-benar pergi, tidak akan kembali lagi. Berbahagialah dengan dia, dia pria yang baik."

Setengah ternganga aku menatap wajah Bara dengan pandangan yang mengabur sebab air mata yang menggenang itu minta di tumpahkan. Aku tidak mengerti tentang semuanya, lalu dia mengakhiri seenaknya.

"Kamu bicara apa?"

"Kinanti .... Aku tahu kamu sudah sangat paham tentang semuanya. Aku tidak apa, sungguh. Aku tahu kamu pasti merasa sedih karena rasa bersalah, aku minta maaf atas itu. Aku bahagia bisa mengenalmu, pernah menghabiskan waktu bersamamu. Aku pikir kita bisa bersama lagi, itu sebabnya aku kembali ke sini. Tapi ternyata ... aku telah kehilanganmu. Lima tahun dan kebohongan besarku adalah kesalahannya."

Tangannya  menangkup  wajahku, mengusap aliran air mata yang sudah membasahi pipiku. Aku tidak tahu apa yang terjadi namun rasanya begitu menyakitkan.

"Jangan nangis. Aku nggak suka."

"Ba--bagaimana caranya kamu mengakhiri semua tanpa memperjuangkannya. Kamu egois, Bara!"

"Aku ingin melakukannya, Kinanti .... Sunggu. Tapi aku sadar dengan begitu aku akan semakin membuat masalah di hidupmu. Aku tahu kamu tidak lagi mempercayaiku, sebab satu kebohongan besarku. Aku tahu kamu perlahan menyukai sahabatmu itu, aku sedih, tetapi juga senang akhirnya kamu menjatuhkan perasaanmu pada orang yang tepat. Rayhan pria yang tepat bersanding denganmu. Keluargamu juga menyukainya."

"Sejak kapan kamu jadi memikirkan pandangan keluargaku? Bukannya dulu kamu yang mengajariku untuk tidak mendengarkan pendapat mereka yang kolot?"

"Kinanti—"

Aku menjauhkan diri darinya, memberi jarak di antara kami. Sambil berusaha membuat air mataku tak jatuh lagi, aku menatapnya tajam.

"Tahu apa kamu tentang perasaan aku? Kamu nggak usah sok tahu siapa orang yang kusukai! Jangan ngatur hidupku! Mau aku menyukai siapapun, itu urusanku. Bahkan kalau aku tetap menyukaimu ketika kamu memilih pergi, itu juga hakku." Aku tidak bisa lagi menahan diri.

"Kinanti. Aku minta maaf."

"Kamu bodoh! Manusia bodoh yang pernah aku temui. Kamu bisa dengan mudah membuatku kembali jatuh padamu, jika saja kamu melakukan sedikit saja perjuangan. Tapi enggak. Kamu menyerah begitu saja. Bodoh!" Teriakku tidak peduli itu membuat orang-orang yang mendengarnya melirik kami.

"Kamu bilang Rayhan yang terbaik bagiku? Dari mana kamu tahu?! Kamu hanya ingin kabur dari masalah dengan alibi bodoh itu 'kan?!"

"Kinant—"

"Cukup Bara. Nggak usah bertele-tele, membuat aku seolah-olah menjadi merasa perempuan jahat. Kamu yang jahat! Seharusnya kita tidak pernah bertemu saja!"

Aku terperanjat ketika tubuhku di bawa ke dekapannya. Membuatku semakin sakit, aku ingin cepat-cepat mengakhiri ini. Aku tidak kuat. Pelukan itu memberikan efek yang cukup dapat membuatku menurunkan emosi.

"Jelaskan padaku, Kinan. Bagian mana dari kehadiranku di hidupku yang tidak membawa masalah?" tanyanya setelah mengurai pelukannya.

"Aku rela hancur bersamamu. Bila saja kamu memperjuangkan aku," kataku.

"Tapi aku tidak rela membawamu hancur. Aku tahu perasaan kamu sudah berubah. Kamu hanya perlu menyesuaikan."

"Aku mencintaimu Bara."

"Kamu menyukai Rayhan. Aku hanya cerita lama. Aku melihat sendiri faktanya. Kamu dan dia saling menyukai."

"Aku mencintaimu, bagaimana caraku untuk menjelaskannya?"

"Kalau begitu jelaskan mengapa kamu membalas malam pesta itu? Mengapa perlu kamu bersemu ketika mendengar rayuannya?"

Aku terdiam. Bara tahu semua yang terjadi pada aku dan Rayhan. Apa itu juga alasannya mengapa ia memilih untuk pergi? Bahuku melorot, kakiku lemas. Aku tidak sanggup memandang dia lagi, aku seperti orang bodoh yang berusaha untuk menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tidak kupahami.

"Kamu pasti mengerti semuanya nanti, ketika kamu sadar sebenarnya siapa yang kamu cintai.  Aku dan kamu ditakdirkan hanya sebatas satu kisah yang berakhir seperti ini."

"Aku tidak mengerti mengapa bisa seperti ini," kataku lirih.

"Itu adalah cara Tuhan menunjukkan jawaban mengapa kita dipertemukan. Jadi, apapun itu, hadapi saja, dan temukan jawabannya di akhir. Sebab ini hanya akhir bagi kisah kita. Hidup kita akan terus berlanjut sampai akhirnya nanti Sang Kuasa mengakhirinya."

•••

"Bagaimana, Kinanti?"

Aku tersadar saat mama menyentuh pundakku. Semua mata tertuju padaku, kulihat di seberang sana Rayhan menatapku penuh harap. Aku tidak akan tahu bagaimana akhir kisahku dengannya, apakah akan berjalan lancar atau tidak. Aku hanya tahu aku ingin membuat ini sebagai awal dari satu kisah yang telah berakhir.

"Iya, aku menerimanya," kataku.

Semua orang serentak mengucap syukur, dan euforia suka cita memenuhi rumah ini. Rayhan mengatakan terima kasih lewat gerakan mulutnya dan tersenyum begitu lebar padaku. Kubalas dengan senyum yang tidak kala lebar.

Selanjutnya kedua keluarga kami membicarakan tanggal yang tepat untuk mengesahkan hubungan itu di mata agama dan hukum.

[END]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro