Tiga
Sebagaimana kota-kota besar lainnya, jalanan kota Medan selalu ramai oleh kendaraan. Warna magenta menghiasi langit sore ini, sangat indah walaupun hanya sebagian orang yang menyadarinya, sebab yang lain memilih sibuk dengan aktivitasnya.
Bus keempat semenjak kami duduk di halte ini telah melaju meninggalkan kami, setelah berhenti beberapa menit di depan kami tentunya. Rayhan telah menguap beberapa kali, dan setiap ia melakukannya pasti sambil mengusap wajah. Aku tahu dia lelah, kuis dari dosen ekonomi makro itu sangat menyusahkan. Soalnya mungkin hanya lima, tapi untuk menjawabnya memerlukan analisis data yang teliti dan membutuhkan beberapa sumber.
Suasana di dalam kampus masih ramai sampai nanti malam. Anak teater sedang mengadakan acara di dalam, semua mahasiswa diundang. Namun, aku dan Rayhan sepakat untuk tidak ikut andil dalam acara itu karena hari ini sudah sangat melelahkan. Kami memang tidak mengikuti UKM yang sangat aktif seperti teater. Hanya UKM yang mati segan hidup tak mau, UKM yang tidak memiliki banyak acara ataupun kegiatan, namanya saja tidak menarik; curahan hati mahasiswa. Tujuannya adalah sebagai wadah bagi setiap mahasiswa di universitasku yang ingin curhat atau bercerita tentang sesuatu, dan tugas kami memberikan balasan nasehat atau sekedar kata-kata penyemangat bagi si pencerita.
Awalnya kami sangat tertarik, namun ke sininya, UKM sepi curhatan yang mengakibatkan kegiatannya tidak berjalan lancar. Bahkan sebagian sudah banyak yang keluar.
Suara keras klakson membuat aku dan Rayhan secara bersamaan menegakkan tubuh. Sebuah motor hampir saja bertabrakan dengan mobil, untungnya si mobil cepat mengerem. Aku melihat arloji di lengannya kiriku menunjukkan pukul setengah lima.
Rasanya aku ingin melempar ke tong sampah saja jaket pria ini. Dia tidak menepati janjinya. Apa aku yang terlalu menganggap serius pernyataan pria itu? Hari ini aku ada dua kelas, di jam sembilan dan jam dua belas bersamaan dengan kelas Rayhan, kedua-duanya cukup menguras energi.
"Kita pulang saja, Ray."
Rayhan lagi-lagi mengusap wajahnya, kali ini tanpa menguap terlebih dahulu. "Jaketnya?"
"Yang punya saja tidak peduli. Lebih baik kita pulang dari pada buang-buang waktu seperti ini."
"Ya, sudah. Ayo ke parkiran."
"Aku naik bus saja."
Rayhan yang telah tiga kali melangkah berhenti. "Sudah kesorean, jalanan pasti sangat macet. Kamu nanti kamu jadi pulang malam, dan kamu tahu akibat dari itu."
Laki-laki yang memiliki darah campuran itu, memang memiliki prinsip yang sama dengan orang tuaku perihal bus. Rayhan ketika masih SMP pernah mengalami kejadian buruk ketika naik bus. Saat itu ia bersama ibunya akan pergi ke pasar, dan itu adalah pertama kalinya Rayhan menaiki kendaraan besar ber-AC itu. Karena padatnya penumpang yang masuk, Rayhan yang bertubuh kecil terdorong kuat oleh desakan penumpang hingga ia terjatuh sangat keras di aspal. Kepalanya bergesekan dengan aspal menyebabkan goresan yang cukup lebar dan membekas sampai sekarang.
"Kau juga seharusnya tahu dari dulu aku nggak pernah suka di paksa."
Kukatakan demikian karena Rayhan merupakan sahabatku sejak SMP. Dia seharusnya tahu persis sifatku seperti apa. Namun, Rayhan tetap Rayhan. Sahabatku yang selalu berusaha membuat aku menjadi seperti yang diinginkan orang tuaku. Jadi anak penurut.
Jangan sampai pulang ke rumah pada saat langit sudah gelap, jangan kebanyakan bergaul dengan teman-teman yang suka nongkrong, jangan sampai IP rendah apalagi sampai turun dari nilai sebelumnya. Dan masih banyak kata jangan lainnya yang tidak boleh aku langgar. Sejauh ini Rayhan berperan untuk membuatku mematuhi seluruh larangan itu. Baik, sih. Tapi aku merasa Rayhan menjadi orang tuaku di kampus.
"Kinanti." Ia berjalan kembali mendekat kepadaku, "aku nggak suka kau dimarahi lagi. Kau nggak pantas mendapat kata-kata sekasar itu, jadi kali ini, mau 'ya pulang sama aku?"
Saat aku hendak menjawab, sebuah bus biru dengan tulisan 'Alaska' di bagian luarnya berhenti. Aku menggeleng pelan, lalu memberikan senyum simpul.
"Hari ini enggak bakal dimarahi lagi. Dompet aku udah kembali, dan aku bakalan sampai tepat waktu di rumah. Sampai jumpa besok!" kataku lalu masuk kedalam bus.
Aku melambaikan tangan pada Rayhan yang menatapku sampai bus melaju membelah jalanan yang ramai. Sang petugas menanyakan tujuanku, lalu memberikan semacam tiket seharga enam ribu rupiah. Karena memang jam pulang kerja, bus sangat ramai, dan aku harus berdiri. Sebagian yang tak sanggup berdiri lama, mendudukkan diri di lantai. Tidak ada peraturan untuk itu, asalkan jangan bersender di pintu maka boleh-boleh saja. Aku sendiri tidak pernah melakukan itu, karena sangat aneh melakukannya sendirian.
•••
Bus kembali berhenti di pemberhentian selanjutnya, para penumpang lumayan banyak yang turun, namun masih tidak ada bangku yang kosong. Suasana jalan yang sangat padat membuat bus berjalan lambat, apalagi jalan Gatot Subroto memang terkenal langganan macet.
Bus berhenti mendadak, membuat tubuhku yang tak siap dengan hal itu limbung ke depan. Aku tidak sampai jatuh karena sebuah tangan menahanku dari belakang. Eh, tunggu. Tangan itu memelukku dari belakang. Refleks aku berbalik dan melihat senyum yang sangat menyebalkan menyambutku.
"Kamu lagi?!"
"Sama-sama," balasnya.
"Lepasin tanganmu!"
Dia melepasku, dan aku langsung menggapai pegangan. Mengingat sesuatu, aku langsung melempar jaket yang dari tadi kupegang ke wajahnya. "Jaket kamu."
"Terima kasih."
"Kenapa nggak nepatin janji? Kamu tahu aku udah nungguin berapa lama?!" cecarku mengingat betapa lelahnya menunggu sejak jam dua tadi.
"Aku bilangnya nungguin kamu, bukan kalian."
"Masalahnya apa?! Kamu benar-benar mau berbuat buruk sama aku, ya?"
Ia memakai jaketnya, tanpa melepas pandangannya padaku. Aku yang sudah kepalang kesal menatapnya balik dengan pelototan. Tapi, sepertinya itu membuat dia semakin senang.
"Pikiran kamu berisi hal buruk semua. Kurang-kurangin deh kayak gitu," katanya lalu mengulurkan tangannya. "Bara."
Ngapain dia?
"Kalau kamu?" Ia masih mengulurkan tangannya.
"Penting untuk kamu tahu?"
"Siapa tahu, nanti kamu pasangan aku di masa depan."
"Nggak peduli! Dan yah, aku ogah berkenalan dengan pria seaneh kamu!" balasku masih dengan nada kesal.
Pria-yang sekarang kuketahui namanya Bara-itu tak lagi tersenyum dan mengangguk seolah mengerti sesuatu. Bara menarik kembali tangannya lalu membuang pandangannya ke luar jendela, yang secara tidak sadar aku melakukan hal yang sama, memandangi padatnya jalanan.
"Aku minta maaf." Aku menoleh padanya, Bara berkata tanpa melihat ke arahku.
"Maaf tentang pertemuan pertama kita, dan hal-hal lain yang membuatmu kesal. Tapi, aku rasa ini pertemuan terakhir kita. Setelah ini kamu tidak akan bertemu aku lagi."
Rasa sesal merambatiku. Tidak seharusnya aku berkata sekasar itu padanya. Dan apakah untuk menghindari aku dia tidak akan naik bus lagi?
"Kenapa?" Oke, rasa penasaran membuatku berani bertanya. "Kenapa kita nggak bisa bertemu lagi?"
"Karena kamu nggak menginginkannya."
Oh, sialan! Sekarang aku terjebak dalam situasi di mana aku menjadi orang jahat. Bara masih tidak mau menatapku, tapi ini bukan berarti aku ingin ditatapnya. Entahlah, aku tidak suka diperlakukan seperti ini.
"Hei, jangan membuatku semakin merasa bersalah. Lihat aku."
Bara akhirnya menoleh. "Ya, sekarang kamu mau apa?"
"Aku Kinanti. Cukup kamu tahu Kinanti aja."
"Jadi kamu mau berkenalan denganku?"
"Bukan begitu! Aku cuma merasa bersalah karena ngomong kasar sama kamu. Lagi pula hanya berkenalan tidak masalah."
"Ya sudah, kalau begitu menurutmu." Bara kemudian mendudukkan diri di lantai. "Kayaknya macetnya panjang, dan mungkin akan sangat lama. Sebaiknya duduk saja, kalau tidak mau betismu sakit."
Aku ingin mengabaikan perkataannya, tapi setelah mendengar itu, betisku sekarang malah terasa sedikit pegal. Alhasil aku pun duduk di sampingnya dengan tas berada di pangkuanku.
"Kenapa kamu selalu berpikiran buruk?" Bara memulai percakapan.
"Karena nggak semua orang baik," jawabku sekenanya.
"Dan nggak semua jahat. Tau istilah positive thinking? Seharusnya perbanyak berpikir positif biar hidupmu lebih bahagia."
Aku mengernyit. "Tahu apa kamu tentang kebahagiaanku? Menurutku, berpikiran negatif dapat membuat kita semakin waspada dan terhindar dari hal berbahaya."
"Begitu, kah?" Tanya Bara lalu mengedarkan pandangannya ke seisi bus, sebelum kemudian berucap, "kalau begitu kenapa kamu naik bus setiap hari, padahal kamu tahu banyak hal berbahaya di sini, termasuk kecopetan, dan menolak ajakan teman laki-lakimu untuk mengantar."
"Dari mana kamu tahu? Kamu menguntitku?"
"Katanya waspada, masa ada orang yang menguntit kamu nggak sadar?"
"Dasar penguntit!" Aku memukul lengannya, "dan dia bukan laki-laki ku. Dia sahabatku."
"Kalau begitu bagus. Berarti aku punya kesempatan yang lebih besar."
Aku tidak sadar selanjutnya kami tenggelam dalam pembicaraan yang melebar ke mana-mana. Bersamanya sepanjang kemacetan yang sangat lama ini membuatku mengerti satu hal; dia bukan orang jahat. Ia cukup jujur dan suka melihatku memarahinya. Aneh, pria aneh.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro