Sembilan belas
Apa sudah pernah kukatakan bahwa Bara memiliki peran yang sangat penting dalam hidupku? Juga apa aku sudah mengatakan bahwa tumpuan mimpiku kini ada bersamanya? Maka ketika dia menghilang dari hidupku, rasanya aku dibawa ke situasi hilang kendali atas akal yang kupunya.
Puncaknya malam ini, aku terlentang di atas kasur, menatap tiga origami buru yang tergantung di langit-langit. Sudah seminggu aku tidak menemukan Bara, nomornya tidak pernah bisa dihubungi. Ia benar-benar lenyap.
Padahal seminggu ini juga adalah masa-masa yang sangat sulit bagiku. Aku butuh dia agar bisa mengukuhkan diri bahwa aku sudah berjalan di jalur yang benar. Aku ingin dibenarkan walaupun apa yang yang kulakukan salah, aku ingin ada yang memaklumi kesalahanku dengan mengatakan bahwa yang kulakukan adalah wajar.
Capek, lelah, aku tidak tahu kapan ini akan berakhir. Bahkan untuk sekadar berpikir saja tidak bisa. Bayangan kejadian minggu ini berputar-putar di kepalaku, bagai film yang sudah diatur sedemikian rupa agar tidak pernah berhenti.
Susah payah aku bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju meja rias. Cermin di depanku menampakkan sosok yang kacau. Mata bengkak, rambut acak-acakan dan kaos yang sedari pagi masih kupakai hingga malam ini.
Tidak tahu mengapa, tiba-tiba saja aku sudah menggenggam erat sebuah cutter. Dan lagi-lagi setetes air mata lolos membentuk aliran yang lama kelamaan semakin deras. Aneh, padahal jelas-jelas sudah seharian aku menangis lalu mengapa air itu masih ada?
Memandangi cutter itu membuatku berjalan mundur dan berhenti di tepi kasur. Kudorong agar besi itu maju, putih bersih nan runcing. Aku ingin merasakan seberapa tajam benda itu.
"Kamu jangan gila cuma karena laki-laki itu," ucap Rayhan yang tetap fokus pada jalanan, walaupun sesekali melirikku.
Tidak mengindahkan perkataannya, aku masih terus mencoba menelpon Bara. Ingin kulemparkan ponselku ketika lagi-lagi operator yang menjawab. Frustasi, aku benar-benar benci melihat Rayhan tersenyum penuh kemenangan karena usahaku lagi-lagi gagal.
"Mau kau hubungi berapa kali pun, ia tidak akan menjawab. Aku tahu kamu belum sejauh itu sama dia, jadi lupakan saja."
"Stop, Rayhan! Kau tak tau apa-apa, jadi tolong diam aja."
"Aku tidak tau apa-apa? Sungguh lucu. Kau sedang mencari alasan untuk mempertahankan kesalahan yang kau buat."
"Aku. Nggak. Salah."
"Kau salah!" bentak Rayhan bersamaan dengan ia mengerem mendadak mobil yang kami tumpangi, sontak aku terdorong ke depan.
"Aku nggak mau bicara kasar, tapi sikap keras kepalamu selalu membuatku tak punya pilihan. Dengar, Kinan. Bara itu nggak baik buat kamu, lupain aja. Kau gadis pintar 'kan? Tau mana yang baik dan buruk 'kan?"
Satu sayatan, luka itu membuat rasa sakit berpindah pada pergelangan tanganku. Darah segar mengalir keluar, begitu banyak, namun wajah Kak Kirana yang menggeram marah membuatku kembali menorehkan sayatan kedua.
Sama seperti yang pertama, yang keduanya juga memberikan efek yang sama. Perlahan semua yang menumpuk di dadaku mulai berkurang, seiring semakin banyak darahku yang keluar.
"Kenapa nggak bisa jadi penurut, Kinan?! Mau kamu apa?!"
"Si Bara-Bara itu udah mati! Kamu udah diapakan 'sih sampai kamu nyariin dia segitunya?! Kalian udah ngapain aja?!"
"Kakak sangat kecewa dengan sikap kamu...."
Sial!
Mengapa rasa sakitnya kembali sangat terasa, kutekan dadaku mencoba untuk menghentikan sesuatu yang membuatnya terasa sangat menyakitkan. Aku bahkan kesulitan bernapas karena saking sesaknya. Ada yang menusuk-nusuknya, mencabik-cabiknya atau apalah yang membuatku tidak sanggup lagi untuk tidak menjerit histeris saat ini.
"Hentikan!"
Berulang kali kukatakan demikian, namun yang terjadi adalah sebaliknya.
"Sudah merasa hebat karena telah berhasil membangkang sepenuhnya? Nilai yang luar biasa, pertahankan jika kamu benar-benar ingin di hapuskan dari kartu keluarga."
Mama juga mengatakan hal yang sama begitu tau IP ku anjlok. Wanita itu tidak menamparku seperti papa, namun melakukan hal yang lebih menyakitkan.
"Sekali saja Mama minta Kinanti nurut sama perkataan Mama, bisa? Apa susahnya jadi anak penurut? Kirana saja bisa. Mama mohon sama kamu Kinanti, apapun yang sedang kamu lakukan saat ini salah. Apa pun yang kamu pikirkan itu salah."
Ketika kukatakan bahwa aku tidak salah, bahwa sebenarnya ini terjadi karena aku yang tidak mengerti apa yang selama ini kupelajari. Mama hanya menghela napas pelan, wajahnya tenang, lalu tanpa berteriak atau membentak ia mengatakannya.
"Terserah kamu Kinanti, kalau kamu pikir benar, lakukan. Tapi tolong buktikan. Mama ingin tahu seberapa tepat pilihanmu."
Aku hanya terdiam sembari memandang mama ketika bom besar ia jatuhkan tepat di depanku.
"Kamu ingin bertindak sesukamu, silahkan. Mama nggak peduli lagi. Bila perlu sekarang kamu pergi, sana pergi ke laki-laki yang menurut kamu itu baik buat kamu."
Kujambak rambutku keras agar setidaknya rasa sakit itu sedikit berpindah. Tapi, kenyataannya kepalaku di penuhi oleh ucapan-ucapan yang sangat menyakitkan itu, setiap kata yang terdengar seakan menguliti seluruh tubuhku.
Hingga tubuhku melemas dan aku kehilangan kendali atas diriku, perkataannya itu tidak juga berhenti berbisik.
"Kakak sangat kecewa dengan sikap kamu...."
"Aku nggak mau bicara kasar, tapi sikap keras kepalamu selalu membuatku tak punya pilihan. Dengar, Kinan. Bara itu nggak baik buat kamu, lupain aja. Kau gadis pintar 'kan? Tau mana yang baik dan buruk 'kan?"
"Sekali saja Mama minta Kinanti nurut sama perkataan Mama, bisa? Apa susahnya jadi anak penurut? Kirana saja bisa. Mama mohon sama kamu Kinanti, apapun yang sedang kamu lakukan saat ini salah. Apa pun yang kamu pikirkan itu salah."
Pintu kamarku digedor-gedor bersamaan dengan suara ketukan tidak berirama kudengar. Lalu menyusul suara Kak Kirana yang memanggil namaku, mama yang menjerit memerintahkan untuk membuka pintu.
Mengabaikan mereka, dengan panik aku menuju kamar mandi dan membasuh tanganku di wastafel. Mereka tidak boleh tahu luka ini, pikirku. Jadi, saat perlahan air mengenai dua goresan itu lama-lama berubah memerah, dan tidak berhenti cairan kental berbau amis itu keluar dari sana, aku akhirnya langsung mengunci kamar mandi.
Pucat wajahku di cermin menjawab semua. Dengan sisa-sisa energi yang kupunya dan apapun yang ada di sekitarku, kupecahkan cermin di depanku. Kuambil satu pecahannya yang, lalu menyayat satu lagi pergelangan tanganku, kuberikan berkali-kali sayatan di sana. Sampai tiba aku terjatuh terduduk, darah yang keluar membanjiri lantai, aku yang tidak sanggup menopang tubuh duduk lebih lama, lantas tergeletak tak berdaya.
Terakhir kuketahui kamarku berhasil didobarak, lalu semuanya menghitam dan tidak satupun suara yang dapat kudengar.
Aku senang, bisikan itu berhenti. Sakit itu menghilang. Dan berharap ini berlangsung selamanya.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro