Sembilan
Asisten dosen akuntansi yang sedang menjelaskan mengenai metode penilaian persediaan perusahaan, membuatku semakin sakit kepala. Metode LiFo, FiFo, moving average, tidak ada satu pun yang kumengerti. Angka-angka yang terpampang pada layar proyektor begitu banyak dan memusingkan. Doa yang sedari tadi aku panjatkan agar kelas ini cepat selesai sepertinya tidak sampai pada Tuhan, jam seolah berputar begitu lambat, berulang kali aku mengecek arlojiku, jarumnya tidak bergerak.
Argh! Menyebalkan! Aku tidak pernah suka belajar seperti ini, apa yang hebat dari mempelajari cara menghitung persediaan barang perusahaan orang? Kalau memasak 'kan bisa buat kenyang. Nah ini? Bisa buat kepala meleduk, iya.
Karena kepalaku yang mulai sakit, aku mengalihkan pandanganku ke laki-laki yang duduk di barisan paling depan, dia tengah serius mendengarkan si asdos itu.
Aku tidak tahu akibat dari sebuah kebohongan bisa separah ini. Rayhan mendiamkan aku, sapaanku tidak dibalas, tidak lagi menungguku, dan tak lagi duduk di sampingku. Benar-benar membuatku frustrasi, karena dia melakukannya sudah hampir seminggu.
Setelah satu setengah jam yang sangat lama, kelas pun berakhir. Tidak menunggu lama, aku menghampiri Rayhan yang tengah memasukkan buku ke tasnya.
“Ray, aku minta maaf. Iya, aku salah udah bohongin kamu,” kataku memelas.
Dia tidak menghiraukan aku, ia malah beranjak meninggalkanku. Aku mengejarnya, mencoba menyejajarkan langkah kami, aku sampai berlari kecil untuk dapat melakukannya, mengabaikan sakit dari keseleo yang belum sepenuhnya sembuh.
“Rayhan, please!”
“Kamu mau apa, Kinan?” Rayhan berhenti mendadak.
“Aku minta maaf, apa sesulit itu untuk maafin aku?”
“Aku nggak suka sama pembohong. Kamu tahu aku sangat percaya sama kamu, dengan kamu ngelakuin itu kamu sudah merusak kepercayaan aku.”
Aku meringis mendengar pernyataan itu. Menusuk. Seolah yang kulakukan adalah kejahatan kemanusiaan, dan butuh pertobatan yang sungguh-sungguh agar dapat maaf darinya.
“Ray ... kamu seharusnya juga tahu kalau aku minta maaf, itu artinya aku benar-benar menyesal,” tukasku menyerah untuk terus-menerus menyesali perbuatan yang memang hakku.
“Oke, kalau kamu nggak mau maafin aku. Ya, udah. Nggak papa. Tapi perlu kamu tahu, aku sungguh-sungguh saat bilang aku menyesal.”
Sekarang giliranku yang berjalan mendahuluinya. Menyeret kakiku untuk melangkah secepatnya, walaupun dalam hati aku berharap dia mengejarku dan meminta maaf. Tapi sampai aku keluar dari gedung kampus, saat aku menoleh ke belakang untuk sekadar memastikan apa ia mengejarku atau tidak, nyatanya sosok itu tidak melakukannya.
Mengapa Rayhan harus semenyebalkan itu, mirip sekali dengan mama papa. Menyalahkanku, memojokkanku.
Membuatku tak punya kesempatan untuk membela diri, dan selalu mengaku salah.
•••
Entah angin dari mana yang membawa langkahku ke tempat ini. Aku melewati pintu kaca dan berjalan lurus menuju dapur. Aku celingukan seperti orang bodoh saat tidak kutemui Dinda disana, untunglah seorang pelayan mengatakan bahwa Dinda hanya keluar sebentar untuk membeli sesuatu. Pelayanan itu menyarankan agar aku menunggu di ruang kerjanya.
Ruangannya lumayan besar untuk ukuran kantor yang hanya ditempati satu orang. Tak jauh berbeda dengan desain kafe, di sini juga terdapat grafiti, namun bentuknya lebih sederhana dan hanya berbentuk tulisan tangan yang indah. Your dream comes true, tertulis disana seakan menghinaku.
Satu hal yang menarik perhatianku, ialah frame foto yang menggantung di salah satu dinding. Di dalamnya terdapat foto pria dan wanita berdiri bersebelahan, tangan si pria terlihat merangkul si wanita, keduanya tampak bahagia dengan senyum lebar yang menghiasi wajah.
“Maaf membuatmu menunggu," kata seseorang mengagetkanku.
"Dinda," aku menunjuk foto tersebut, "kalian sedekat itu, ya?"
Dinda melihat benda yang kutunjuk, lalu kemudian tersenyum seperti yang dilakukannya di dalam foto.
"Kami sudah kenal sejak masa SMA dulu, sekelas malah. Kamu tahu? butuh setengah jam untuk membujuk Bara agar mau berfoto denganku, itupun hanya sekali, makanya aku menggantung foto ini di sini, ini barang langka."
Aku bergumam pura-pura paham. Walaupun sebenarnya tangan Bara yang merangkulnya tidak menunjukkan keengganan Bara difoto, malahan mereka terlihat serasi. Pun tinggi Dinda yang hanya sebatas dagu Bara membuat pose mereka mirip sepasang kekasih.
"Kamu nggak cemburu hanya karena foto itu 'kan?"
Aku tersentak dan langsung menggeleng cepat, "buat apa? Lagi pula kami hanya teman."
Dinda tertawa terbahak mendengar jawabanku, ia lalu merangkul pundakku dan mencolek daguku, "anak muda sekarang suka banget menyangkal perasaannya. Kalau suka ya bilang suka."
"Enggak. Aku nggak cemburu," kutegaskan sekali lagi.
"Terserah kamu, Kinan," ia melepasku, "kalau kamu mencari Bara ke sini, dia tidak ada. Malam baru datang."
"Sudah dibilang aku cuma berteman dengannya. Dan aku tidak mencarinya, aku mencarimu," aku menarik nafas dalam-dalam sebelum memberitahukan tujuanku.
"Aku mau bantu-bantu di sini. Boleh, ya."
Tanpa perlu mempertimbangkan permohonanku, Dinda dengan cepat mengatakan 'ya'. Aku langsung memeluknya kesenangan, seperti yang kulakukan pada Kirana bila menyetujui permintaanku.
"Makasih," ujarku tulus.
•••
Masih dengan celemek dan tampang yang berantakan, aku buru-buru berjalan ke depan untuk memastikan perkataan Dinda. Ternyata benar, Bara benar-benar datang. Hal itu membuat pipiku memanas.
"Kamu jangan memikirkan yang macam-macam tentang aku dan Bara," kata Dinda sambil membuat motif di atas green latte.
Aku juga baru tahu dia pandai melakukan hal itu, tangannya begitu lihai membuatnya. Aku jadi semakin mengagumi dirinya. Seandainya saja orang tuaku mengijinkan aku mengejar mimpiku. Apakah aku juga semultitalenta Dinda, yang dapat memasak berbagai macam makanan, bahkan dapat memuat kopi seperti barista yang handal.
"Kinan, Bara menyukaimu."
"Hah?" Kataku pura-pura tidak tahu.
"Kamu mau buktinya," ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya, "lihat."
Ia memperlihatkan layar ponselnya padaku, menunjukkan dia yang menghubungi Bara, begitu bunyi sambungan berhenti, Dinda segera mengaktifkan loudspeaker.
"Bar, Kinan dateng, nih. Kamu nggak mau ke sini?" Ujar Dinda mengabaikan ucapan 'halo' Bara.
"Serius? Bentar-bentar, sepuluh menit lagi aku sampai," kata bara di seberang sana.
Dinda memutuskan sambungan, dan tersenyum penuh arti sambil menaik-naikkan kedua alisnya.
"Let's see."
Percakapan sepuluh menit tadi membuatku agak kikuk berhadapan dengan Bara, mana ia jadi semakin mempesona ketika menyugar rambutnya. Ada apa denganku, Tuhan, batinku bergejolak.
"Kata Dinda kamu kerja malam, kenapa jam segini udah datang?"
"Aku orangnya nggak suka terlambat, lebih baik kecepatan, kan."
Iya, sampai-sampai jam empat sudah datang. Aku terkekeh sendiri mendengar kebohongannya.
"Seharusnya kalau mau datang kabari aku dulu."
"Aku bukan datang ke rumahmu, jadi buat apa ngabarin kamu."
"Bagaimana kakimu, sudah sembuh?"
"Masih agak sakit, tapi tidak terlalu menyulitkan jalan lagi." Aku menggoyang-goyangkan kakiku.
"Syukurlah."
Aku memandang jalanan padat, mengingat sesuatu, aku langsung menepuk keningku. Kurogoh saku celana kulotku dengan terburu-buru dan mengeluarkan ponsel, lalu menghidupkannya.
Tepat sekali, ada lima belas panggilan tak terjawab dan beberapa pesan singkat dari kak Kirana. Aku melupakan bahwa Kak kirana telah berpesan akan menjemput aku hari ini, dia mengatakan bahwa aku harus menemaninya membeli sesuatu.
"Kayaknya aku harus pulang."
Buru-buru aku masuk dan segera berbenah. Aku harus segera pulang kalau tidak ingin menambah masalah.
"Aku baru datang, dan kamu langsung pulang."
"Lain kali, Bara."
Setelah berpamitan dengan Dinda, aku melenggang ke halte, tapi Bara menahanku. Ia menunjuk motornya, dan aku tidak memikirkan apa-apa lagi selain sampai ke rumah dengan cepat. Jadi aku langsung naik ke boncengannya.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro